130 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s
yang lain Diolah dari feature bertajuk: Raja Samudra dan
Putri Mila di Pengungsian. Harian Pagi Kompas, Jakarta,
7 Februari 2005. c. Nenek
y
enta berusia tujuh puluhan tahun itu sudah sebulan ini sakit.
Namun is
belum juga
pergi ke
dokter untuk
memeriksakan diri. Mbah Tanyem hanya tercenung di gubuk sempitnya, merasakan sakit yang luar biasa. Ia sulit berdiri,
apalagi untuk berjalan. Kata tetangganya, mungkin asam urat. Uang tak ada, anak pun tak punya Susahnya Orang
Miskin Kalau Sakit,
Harian Pagi Kompas, Jakarta, 7 Februari 2004.
3. Intro Deskriptif Sesuai dengan namanya, intro deskriptif hanya menggambarkan
kisah peristiwa. Intro jenis ini tidak mengajak pembaca, pendengar, atau pemirsa untuk masuk ke dalamnya dan menjadi pemain
atau aktor peristiwa. Intro jenis ini hanya menempatkan kita sebagai penonton. Ibarat kompetisi sepak bola, kita hanya berada di
pinggir lapangan. Kita hanya menyaksikan, mengamati, menilai jalannya pertandingan yang sedang digelar di tengah lapangan.
Kita mungkin bisa march atau bersorak, tetapi kita tak ikut dan bisa merasakan, misal tentang sakitnya tulang kaki kering kita, ketika
seorang pemain favorit jago kita harm dipapah ke luar lapangan setelah dijatuhkan dan dicederai oleh pemain lawan.
Menurut R. Williamson dalam Feature Writing for Newspaper, intro deskriptif bisa menjadi karikatur yang efektif, seperti sketsa
seorang
pelukis, yang
menekankan pada
ciri pokok
dan mengabaikan rincian yang tidak menarik Bujono, Hadad,
1997:39. Intro jenis ini cocok untuk feature profil pribadi. Sebagian besar wartawan, reporter atau jurnalis kita di Indonesia,
sangat menyukai intro deskriptif. Intro jenis ini dianggap cukup praktis, tak sampai menguras energi improvisasi
serta daya imajinasi penulis.
Contoh: a. Sejak siang hingga petang kemarin, rumah sederhana di
A Bali No. 28, Kelurahan Karang Tengah, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar, Jawa Timur, itu terlihat
lengang. Bahkan dari luar terlihat nyaris seperti tak berpenghuni. Pintu depan rumah bercat kuning yang mulai
131 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s
kusam itu tampak tertutup. Begitu pula, semua jendela tertutup rapat Saya Yakin Anak Saya akan Menang,
Harian Pagi Media Indonesia, Jakarta, 21 September 2004.
b. Muhammad Rosa
Fachri tekun
menekan-nekan kertas putih di hadapannya dengan penggaris khusus
yang memunculkan
bintik-bintik timbul.
Wajahnya tengadah. Siang itu dia sedang menyelesaikan soalsoal
mata pelajaran Bahasa Indonesia, tugas yang diberikan oleh
Rukina, wali kelasnya. Ari, sudah selesai sampai nomor berapa? kata Rukina Ketika Penyandang dang Cacat
Bersekolah di Sekolah Umum, Harian Pagi Kompas, Jakarta,
12 Februari 2005. c. Rentetan letusan senjata api di Siang oolong itu
membuat ribuan orang berhamburan dari kios dan toko-toko di Pasar Rawu, Kecamatan Serang, Java
Barat, Senin pekan lain. Saya langsung lari ketakutan. Begitu suasana redo, Saya balik. Saya lihat seorang kiai
bercambang lebat berlumuran darah, tutur Engkus, saksi mata. Geger akibat drama pembunuhan itu segera
menyebar. Sebab, kiai bercambang lebat itu adalah KH Cecep Bustomi, 41 tahun, kiai yang disayangi dan
disegani, sekaligus dibenci dan ditakuti, baik oleh kawan dan lawannya di Banten maupun di tingkat
nasional The Death of Cecep Bustomi,
Majalah Berita Mingguan Gamma, Jakarta: 8 Agustus 2000.
4. Intro Kutipan