Jurnalistik dalam Orde Reformasi

22 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s berdasarkan apa yang dianggapnya sebagai kepentingan keamanan dan ketertiban. Dari waktu ke waktu media massa memang berhasil mengomunikasikan berbagai gejala dan persoalan yang timbul dalam masyarakat kepada khalayak pembaca, pendengar, atau penonton. Tetapi masih jauh lebih banyak lagi komunikasi yang terjadi secara vertikal dan satu arch, hanya dari atas ke bawah tanpa selalu menghasilkan umpan balik yang terbuka dan terus terang. Perkembangan pers yang tidak menguntungkan pertumbuhan kebebasan berpikir dan berpendapat ini, pada akhimya menimbulkan rasa takut dalam jiwa para pengelola media massa. Mereka telah mengalami berbagai pemberangusan pers, baik secara individual maupun massal, yang hanya berdasarkan pertimbangan politik dari pemerintah yang tengah berkuasa dan tidak berlandaskan kepastian hukum karena alasan-alasannya tidak pernah diuji melalui pembahasan dan keputusan pengadilan yang bebas Atmakusumah, 1981:1-3. Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolotik Orde Baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 WD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan Orde Baru, kisah sedih itu masih terus berlanjut. Pembatasan dan bahkan pemberedelan terhadap pers terus berlangsung. Inilah yang disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap layaknya dalam perang gerilya, pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah yang dipilih oleh sebagian pers nasional hingga akhirnya dapat meloloskan diri dari jebakan-jebakan kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998. Lahirlah kemudian apa yang disebut Orde Reformasi.

6. Jurnalistik dalam Orde Reformasi

Seperti biasa, setiap kali suatu rezim tumbang, di situlah pers menikmati masa bulan madu. Kelahiran Orde Reformasi sejak pukul 12.00 Siang Kamis 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyerahkan jabatan presiders kepada wakilnya BJ Habibie, disambung dengan penuh sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia. Rasanya, jangankan orang, binatang pun di hutan-hutan ikut 23 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s berjingkrak dan bernyanyi menyambut reformasi. Terjadilah euforia dimana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan Serta-merta dibubarkan. Secara yuridis, UU Pokok Pers No. 211982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No. 401999. Dengan undang-undang dan pemerintahan barn, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan Pasal 9 Ayat 1 UU Pokok Pers No. 401999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat berikutnya 2 ditegaskan lagi, perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Kewenangan yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 UU Pokok Pers No. 401999, pers nasional melaksanakan peranan: a memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, b menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia Serta menghormati kebhinekaan, c mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan e melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan e Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Apa arti dan maknanya? Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka, menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saj a supremasi hukum. Jadi bukan sebatas hiasan peraturan seperti pada zaman Orde Baru. Ini sejalan dengan amanat Pasal 2 UU Pokok Pers 401999 yang menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Secara kuantitatif, dalam lima tahun pertama era reformasi, 19982003, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun ini setidaknya tercatat 600 perusahaan penerbitan pers baru, 50 di antaranya 24 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s terdapat di Jawa Barat. Jumlah ini sama dengan jumlah perusahaan penerbitan pers lama dalam era Orde Baru. Harus diakui, hasrat dan minat masyarakat menerbitkan pers dalam lima tahun pertama masa reformasi bagai jamur di musim hujan. Bahkan pada tahun pertama-kedua masa reformasi, bisa disebut di setiap kota di Pulau Jawa setidaknya terdapat 10 perusahaan penerbitan pers baru dengan komposisi 70 persen terbit mingguan dan 30 persen terbit harian. Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung reformasi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Dari seluruh perusahaan penerbitan pers baru, 70 persen gulung tikar paling lama pada tahun ketiga, 20 persen berikutnya tutup layar pada tahun keempat, dan hanya 10 persen Saja yang masih mencoba terus bertahan melewati tahun kelima. Sebagai contoh, di Bandung, ibu kota Jawa Barat, kini terdapat dua surat kabar harian lokal local newspaper yang lahir dalam era reformasi. Keduanya berjuang sangat keras untuk bisa tetap eksis secara bisnis, sociologic, dan politis. Kenyataan tersebut menunjukkan, kemerdekaan yang diraih pers secara ideologic dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta-merta mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Secara historic, pers Indonesia yang dulu dikenal dan menamakan diri sebagai pers perjuangan, dilahirkan untuk hidup. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Atas dasar itulah, pers nasional yang sekarang tetap terbit dan terus bertahan di seluruh pelosok di Indonesia, berusaha untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu. Sekali lahir, pantang bagi mereka untuk mati. Tidak demikian halnya bagi sebagian pers yang lahir dalam era reformasi. Mereka begitu mudah untuk lahir, tapi jauh lebih mudah lagi untuk mati.

7. Pers Indonesia Menggenggam Bara