Wacana Kekuasaan dan Wacana

20 mendasar, yaitu tentang bagaimana manusia mengalami dirinya sendiri dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, pada akhirnya tujuan dari penelitiannya yang serba panjang itu sebenarnya adalah untuk menyentuh soal subjektivitas yang merupakan bentukan sejarah. Sebagai tambahan, saya sertakan kutipan dari Foucault sebagai berikut, ...tugas filsafat adalah membuat diagnosis, dan tujuannya bukan lagi mengumumkan sebuah kebenaran yang sah bagi semua orang dan bagi semua zaman. Saya hendak mendiagnosis, melakukan sebuah diagnosis terhadap masa kini: menyatakan siapa diri kita sekarang dan apa artinya, sekarang, mengatakan apa yang kita katakan… 10

1. Wacana

“Wacana” merupakan istilah yang sangat penting dalam rangka menginterogasi sebuah kasus atau objek. Wacana di sini merujuk pada gagasan tentang “sesuatu yang mengatur dan meregulasi cara sesuatu, baik praktek sosial maupun objek, dibicarakan.” Meskipun wacana merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu bahasa, tetapi yang dirujuk oleh Foucault bukan pada tataran intrinsik atau struktur formalnya. Wacana yang dirujuk bukan tentang aspek linguistiknya tetapi pada fungsi dan efek dari wacana yang nantinya berpengaruh terhadap subjek. Dengan demikian, wacana ini bersifat non-linguistik. Foucault mendefinisikan wacana sebagai satuan-satuan fungsi unities of function, bukan sebagai makna atau signification. Khususnya dalam The Archaeology of Knowledge, Foucault mengembangkan seluruh rangkaian kategori untuk mengatur antara wacana dan relasinya terhadap praktik lainnya, peristiwa dan objek. Istilah yang dikenal dan sering dipakai dari 10 Ibid. Hal. 128. 21 Foucault adalah ‘praktik wacana’ discursive practice. Foucault menjelaskan gagasannya terkait ‘praktik wacana’ sebagai ‘berbicara adalah untuk melakukan sesuatu’. 11 Praktik wacana beroperasi berdasarkan pada aturan-aturan yang sangat spesifik terhadap waktu, ruang dan latarbelakang kultural. Atau dengan kata lain, praktik wacana merujuk pada produksi wacana dalam suatu masyarakat dan zaman tertentu. Dalam wawancaranya yang lain, Foucault secara eksplisit menyatakan bahwa yang menjadi penting bagi dirinya dan apa yang ingin ia analisis bukanlah kemunculan makna dalam bahasa, melainkan cara pelbagai wacana berfungsi dalam sebuah kebudayaan tertentu: bagaimana sebuah wacana berfungsi sebagai yang patologis dalam satu periode dan sebagai yang literer dalam periode yang lain. Karena itu, mekanisme wacanalah yang menjadi perhatian Foucault, bukan modus pemaknaannya. 12

2. Kekuasaan dan Wacana

Kekuasaan di sini, bukan berarti kekuasaan yang merepresi individu karena jika kekuasaan di sini bersifat merepresi seakan-akan ada ruang di mana individu dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal kekuasaan justru sering tidak disadari. Kekuasaan yang dibahas Foucault bersifat lebih mendalam lagi, yaitu kekuasaan yang hadir melalui wacana dan pengetahuan. Kekuasaan menurut Foucault 13 adalah seperti berikut ini: 11 Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 79. 12 Carette, hal. 127 13 Michel Foucault, hal. 94-95. 22 a. Kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan. Kekuasaan tidak berpusat pada manusiainstitusi, tetapi MENYEBAR. b. Kekuasaan bukan sebuah kekuatan yang hadir secara terpisah dari persoalanrelasi lain misalnya ekonomi atau pengetahuan, lalu mempengaruhinya dari luar. Sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi tersebut. Maka kekuasaan bukan sekadar membatasi atau melarang, tapi bersifat PRODUKTIF. c. Tidak ada hubungan yang sederhana dan top-down antara kekuasaan di level makro masyarakat luas dan di level mikro misalnya keluarga. Tidak ada semacam matriks kekuasaan yang kemudian direproduksi di semua level masyarakat. Kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan berubah-ubah. kekuasaaan di level lokal dan di level yang lebih luas saling mempengaruhi artinya, pengaruh itu tidak bersifat satu arah. d. Kekuasaan beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi bukan berarti bahwa ada orangkelompok tertentu yang merancangnya dan menjalankannya. e. Bahwa di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun demikian, atau lebih tepat karena itulah, perlawanan tidak pernah berada pada posisi di luar kekuasaan.

3. Problematisasi