Jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis jilbab sebagai lokus pengelolaan diri : sebuah kajian otoetnografis.

(1)

ABSTRAK

Fenomena penggunaan jilbab semakin meluas. Bagi sebagian kalangan fenomena ini mungkin menggembirakan karena dianggap sebagai peningkatan kesadaran religi. Sementara bagi kalangan yang lain, jilbab tetap dipandang sebagai bentuk keterbelakangan Islam. Di antara kedua sisi yang bertentangan ini, pengguna jilbab ada di antaranya. Mereka ditarik ke salah satu sisi, ditarik juga ke sisi yang berlawanan tadi. Pertentangan semacam ini membuat perempuan muslim yang ada dalam pusarannya menjadi terus menerus direpresentasikan. Media Massa dan organisasi gerakan Islam adalah pihak yang secara konkrit merepresentasikan jilbab. Untuk mengatasinya, saya melakukan penelitian otoetnografi. Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam, menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui, membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali. Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya. Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak lapisan kesadaran.Hasil dari penelitian otoetnografi tersebut adalah untuk mendapatkan suara personal dari pengguna jilbab yang diawali oleh saya sendiri, lalu dari narasumber yang ada. Pengalaman personal jilbab ini, pada akhirnya juga mau mengatasi representasi jilbab dalam penelitian yang terkesan mengetahui suara kebenaran pengguna jlbab yang bernada kolonialistik, yaitu menganggap perempuan muslim dunia ketiga sebagai yang tidak mempunyai agensi.


(2)

ABSTRACT

Putting on hijab has increasingly become a ‘thing’ among Muslim women in Indonesia nowadays. In some groups, it’s a thing to celebrate since this phenomenon marks an elevation in the realm of religious awareness. In other groups, this phenomenon represents the backward mentality of Islam. Between the two poles of discourse are the women in hijab. Each poles act as if a magnet. Trapped in the middle of the poles, the women in hijab suffer the pain of being objectified in the process of representation. In this case, mass media and Muslim organization play the pivotal role in the representation. To deal with this situation, in this research I take the advantage of using autoethnography as the theoretical background. To be more specific, in the research autoethnography is used to build a connection between the self and the other and to see the dimensions in the connection of the two. Here are the steps. First, I – as the ethnographer – will focus on the objective (socio-cultural) side of our personal experience. Then, I will move to the subjective side hoping to reveal the fragility of the self which is moved by and/or move through cultural interpretation. Not only that the self is also distorted in it. Furthermore, when we magnify – up and down or back and forth – the dimensions in the making of the self we witness the distorted dividing line between the cultural (objective) and the personal (subjective); the condition in which we struggle to detect, see and analyze any diamond-clear differences. In short, in autoethnographic writing we search for the relation between what’s personal and what’s cultural. It is a writing in which consciousness levels are many and highly valued. And all these steps hopefully will lead to the finding of a personal voice of the women in hijab starting from myself which has the same position with all of my informants. More importantly, I hope this finding will transcend the colonial sense in most of the representation (research) of hijab in which Muslim women of the Third-World countries are sentenced to be guilty of not having agency (subjectivity).


(3)

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI:

SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Oleh:

Kurniasih 116322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

PERSETUJUAN

TESIS

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Oleh:

Kurniasih 116322005

Telah disetujui oleh :

Dr. Katrin Bandel ……….


(5)

PENGESAHAN

TESIS

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Oleh:

Kurniasih 116322005

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 10 Juli 2015

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : T. Tri Subagya M. A. ………

Moderator : T. Tri Subagya M. A. ………

Anggota : 1. Dr. Katrin Bandel ………

2. Dr. St. Sunardi ………

3. Dr. Gregorius Budi Subanar S.J. ………

Yogyakarta, 14 September 2015 Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sanata Dharma


(6)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Kurniasih

NIM : 116322005

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Jilbab Sebagai Lokus Pengelolan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis

Pembimbing : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 10 Juli 2015 Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 14 September 2015 Yang memberikan pernyataan


(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Kurniasih

NIM : 116322005

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di: Yogyakarta

Pada tanggal: 14 September 2015 Yang menyatakan


(8)

KATA PENGANTAR

Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saya ingin sekali tesis yang sedang saya kerjakan dapat dibaca oleh para perempuan di rumah. Ibu, kakak, kakak ipar, atau mungkin keponakan tidak akan terlalu kesulitan membaca tema yang juga merupakan bagian dari keseharian mereka. Keinginan itu muncul di tengah perjalanan tesis yang sudah berjalan selama beberapa semester. Bidang keilmuan yang saya ikuti ini, Kajian Budaya, pada dasarnya memperhatikan persoalan sehari-hari. Jadi, saya pikir, mengapa tidak tesis ini dapat dibaca dengan nyaman, bukan hanya secara akademis tetapi juga menyapa keseharian. Secara tidak direncanakan pula, pilihan Otoetnografi yang mengharuskan saya bereksperimen mengenai gaya penulisan memberi peluang yang cukup untuk keinginan saya tersebut. Sehingga, banyak waktu yang saya habiskan untuk menjajal gaya bahasa, mulai dari gaya seorang etnografer, terlebih gaya seorang novelis yang lebih menggiurkan. Tetapi karena proyek ini adalah sebuah syarat untuk kelulusan akademis, saya memutuskan untuk tidak terlampau ‘larut’ dalam gaya novelis. Selain waktu yang tidak memungkinkan, saya juga belum punya banyak keberanian untuk menyodorkan gaya penulisan dari metodologi penelitian yang masih terhitung baru ini, khususnya di Indonesia. Padahal institusi yang menaungi proyek penulisan tesis ini, yaitu Ilmu Religi dan Budaya, terlihat dari sikap para dosennya terhadap Otoetnografi, tidak akan terlampau mempersoalkan eksperimen gaya selama syarat-syarat penelitian akademis terpenuhi. Syarat-syarat tersebut misalnya akurasi data yang digunakan dan penggunaan literatur.


(9)

Meskipun batal menyodorkan hasil eksplorasi yang sudah sempat saya kerjakan, masih ada kesempatan lain untuk melanjutkan eksplorasi tersebut di lain waktu. Toh, sebuah penelitian bisa tanpa akhir jika kita tidak mengakhirinya. Seperti yang dinyatakan oleh dosen pembimbing saya, Katrin Bandel, bahwa jika mau terus memperdalam tesis yang sedang dikerjakan, akan selalu ada kesempatan. Katrin Bandel selaku dosen pembimbing telah mengingatkan banyak hal sekaligus memberikan keleluasaan kepada saya. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya haturkan kepada beliau. Mbak Katrin Bandel adalah dosen pembimbing yang dapat diajak berdebat, meski kami sama-sama keras kepala, tetapi sifat lembut serta malas berlama-lama terjerat belitan emosi membuat kami segera dapat ‘segar’ kembali lalu melanjutkan sesuatu yang sudah seharusnya berjalan. Terutama kesabaran beliau, saya mesti belajar banyak darinya.

Tesis ini juga dapat lahir atas masukan berarti dari Romo Benny sejak awal, yang menantang saya untuk mengerjakannya secara otoetnografis. Saya tidak menyangka tantangan tersebut selain mengasyikkan tetapi juga menyakitkan karena bagian terdalam dari pengalaman hidup saya harus dibahasakan untuk kemudian dibaca oleh para dosen. Rasa malu dan takut pengalaman pribadi tersebut dibaca orang lain, banyak teratasi oleh sosok didikan Pak Nardi, yang sudah seperti bapak saya sendiri, bahwasanya pengalaman hidup dapat menjadi sumber dari karya keilmuan. Bapak satu ini terkadang bagaikan seorang analisan daripada seorang pendidik sehingga terkadang saya merasa menjadi manusia transparan di hadapannya. Di sela-sela pengerjaan tesis ini, saya juga sering bercengkrama dengan sosok Romo yang selalu bersemangat, yaitu Romo Banar. Jika sedang sedikit putus asa, mendengarkan celoteh dan tawanya sering membuat


(10)

semangat saya bugar kembali. Ucapan terima kasih juga saya persembahkan untuk sahabat-sahabat seangkatan 2011, yang sempat berpadu dalam sedu sedan sambil menemani mimik-mimik bareng, yaitu Frans, Imran, Arham, Vini, Lamser, Gogor. Sungguh mereka sahabat-sahabat yang merupakan adik-adik saya tapi kedewasaannya membuat hati terharu, seperti halnya juga Wahmuji yang merupakan ketua angkatan. Kesabarannya untuk mendengarkan curhat-curhat akademis maupun nonakademis sungguh mengharukan. Juga kepada kakak angkatan, Zuhdi Sang, yang terlibat banyak dalam pengerjaan tesis ini, saya ucapkan terima kasih. Ia seringkali mengingatkan saya tentang banyak hal, terutama berjalannya roda waktu saat saya sedang ‘asyik’ larut dalam masalah nonakademis. Tak akan pernah terlupa, ibu kami di sekretariat yang telah banyak mengingatkan mahasiswa, yaitu Mbak Desy, serta bapak kami yang selalu berkeliaran di kampus, mondar-mandir ‘menengok’ para mahasiswa, yaitu Mas Mul, saya haturkan terima kasih sedalam-dalamnya.


(11)

ABSTRAK

Fenomena penggunaan jilbab semakin meluas. Bagi sebagian kalangan fenomena ini mungkin menggembirakan karena dianggap sebagai peningkatan kesadaran religi. Sementara bagi kalangan yang lain, jilbab tetap dipandang sebagai bentuk keterbelakangan Islam. Di antara kedua sisi yang bertentangan ini, pengguna jilbab ada di antaranya. Mereka ditarik ke salah satu sisi, ditarik juga ke sisi yang berlawanan tadi. Pertentangan semacam ini membuat perempuan muslim yang ada dalam pusarannya menjadi terus menerus direpresentasikan. Media Massa dan organisasi gerakan Islam adalah pihak yang secara konkrit merepresentasikan jilbab. Untuk mengatasinya, saya melakukan penelitian otoetnografi. Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam, menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui, membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali. Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya. Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak lapisan kesadaran.Hasil dari penelitian otoetnografi tersebut adalah untuk mendapatkan suara personal dari pengguna jilbab yang diawali oleh saya sendiri, lalu dari narasumber yang ada. Pengalaman personal jilbab ini, pada akhirnya juga mau mengatasi representasi jilbab dalam penelitian yang terkesan mengetahui suara kebenaran pengguna jlbab yang bernada kolonialistik, yaitu menganggap perempuan muslim dunia ketiga sebagai yang tidak mempunyai agensi.


(12)

ABSTRACT

Putting on hijab has increasingly become a ‘thing’ among Muslim women in Indonesia nowadays. In some groups, it’s a thing to celebrate since this phenomenon marks an elevation in the realm of religious awareness. In other groups, this phenomenon represents the backward mentality of Islam. Between the two poles of discourse are the women in hijab. Each poles act as if a magnet. Trapped in the middle of the poles, the women in hijab suffer the pain of being objectified in the process of representation. In this case, mass media and Muslim organization play the pivotal role in the representation. To deal with this situation, in this research I take the advantage of using autoethnography as the theoretical background. To be more specific, in the research autoethnography is used to build a connection between the self and the other and to see the dimensions in the connection of the two. Here are the steps. First, I – as the ethnographer – will focus on the objective (socio-cultural) side of our personal experience. Then, I will move to the subjective side hoping to reveal the fragility of the self which is moved by and/or move through cultural interpretation. Not only that the self is also distorted in it. Furthermore, when we magnify – up and down or back and forth – the dimensions in the making of the self we witness the distorted dividing line between the cultural (objective) and the personal (subjective); the condition in which we struggle to detect, see and analyze any diamond-clear differences. In short, in autoethnographic writing we search for the relation between what’s personal and what’s cultural. It is a writing in which consciousness levels are many and highly valued. And all these steps hopefully will lead to the finding of a personal voice of the women in hijab starting from myself which has the same position with all of my informants. More importantly, I hope this finding will transcend the colonial sense in most of the representation (research) of hijab in which Muslim women of the Third-World countries are sentenced to be guilty of not having agency (subjectivity).


(13)

DAFTAR ISI

Sampul ...i

Persetujuan ... ii

Pengesahan ... iii

Pernyataan keaslian ... iv

Pernyataan persetujuan publikasi ...v

Kata pengantar ... vi

Abstrak ... ix

Abstract ...x

Daftar isi ... xi

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TEMA PENELITIAN ... 7

C. RUMUSAN MASALAH ... 7

D. TUJUAN PENELITIAN ... 8

E. MANFAAT PENELITIAN ... 8

F. TINJAUAN PUSTAKA... 9

1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’...10

2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino ...11

3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia...14

4. Deni Hamdani (2011) -Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women...16

G. KERANGKA TEORI...17

1. Wacana ...20

2. Kekuasaan dan Wacana ...21

3. Problematisasi...22

4. Teknologi Diri ...23

5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty ...24


(14)

1. Sejarah Otoetnografi ...29

2. Definisi Otoetnografi...31

3. Strategi Pendekatan ...35

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN...37

BAB II...38

TRANSFORMASI PENUTUP KEPALA DI INDONESIA...38

A. PAKAIAN DALAM KONTEKS RELIGI DAN ETNISITAS (JAWA, SUNDA, DAN MINANGKABAU) ...41

1. Kerudung dan Kelas Sosial ...44

2. Antara Standard Lokal dan Religiusitas ...49

3. Kerudung dalam Ruang Sosial...51

4. Jilbab dalam Konteks Global ...53

5. Kode Moral dalam Wacana Jilbab ...55

6. Penyebaran Wacana Jilbab ...57

B. GEGER BUDAYA JILBAB (PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, PEMINGGIRAN KESEMPATAN KERJA) ...58

1. Alienasi Jilbab (pelarangan jilbab di sekolah, kantor) ...60

2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam ...61

C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA ...63

1. Kelahiran Jilbab Dalam Media ...64

2. Jilbab Dalam Iklan ...66

3. Jilbab Dalam Kisah Fiksi ...68

D. TITIK BALIK DALAM JILBAB ...70

1. Pelembagaan Jilbab ...71

2. Imaji Jilbab/Hijab sebagai Kewajaran (konsensus)...75

3. Yang Berbeda Tafsir, Yang Tersisih...77

4. Hilangnya Relatifitas Jilbab/Hijab ...79

BAB III ...87

JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA ...87

A. JILBABKU ...87

1. Wacana ...87

B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP ... 121


(15)

JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI... 144

A. SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA... 149

1. Wacana Jilbab Syariat ... 160

2. Wacana Jilbab Modis Tapi Syar'i ... 161

3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah ... 163

4. Wacana Jilbab Islam Liberal... 163

5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab... 164

6. Wacana Melepas Jilbab... 166

B. ANALISA JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI ... 167

1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri ... 169

2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri ... 185

C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL ... 189

1. Jilbab dan Poligami ... 193

2. Jilbab dan Esensialisme... 196

BAB V... 201

KESIMPULAN ... 201


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebuah mal baru kembali berdiri di kawasan Bandung. Balubur Town Square atau disingkat menjadi Baltos nama mal tersebut. Selain karena jaraknya yang tak jauh dari rumah, ada satu hal yang membuat saya tertarik untuk mengunjunginya. Di bagian depan mal tersebut terpampang foto cantik artis sinetron yang sedang naik daun, Citra Kirana. Dandanannya memukau dengan jilbab yang dikenakan sedemikian rupa serta sapuan kosmetik tipis yang membuat sosok Citra Kirana tidak bosan dipandang. Citra Kirana, yang dalam kesehariannya tidak mengenakan jilbab ini, hadir di dalam foto yang berukuran besar itu tengah berperan menjadi ikon sebuah merek busana muslim terkemuka. Di sampingnya, tampil juga iklan merek busana muslim lainnya yang sama-sama memajang foto perempuan berjilbab yang juga cantik. Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa iklan merek busana muslim menjadi bagian dari tawaran konsumsi di mal-mal, khususnya di kota Bandung.

Saat saya memasuki mal baru itu, aura magis yang menguar dari keindahan busana muslim yang beraneka rupa dan gaya segera menyita perhatian saya. Saya benar-benar tengah berada di pusat belanja yang tengah merayakan trend berjilbab. Toko-toko yang menata aneka perlengkapan berjilbab dengan apik dan menarik berderet memenuhi satu lantai penuh mal tersebut. Saya bisa mengaguminya tetapi sebuah ingatan di masa lalu melemparkan saya pada


(17)

kegelisahan. Dulu, pada 90-an, ketika saya pertama kali mengenakan jilbab, pengalaman berada di mal jauh berbeda dengan yang kini saya rasakan. Saat saya berpenampilan dengan jilbab di mal, saya merasa kurang begitu menyatu dengan suasana yang dihadirkan di mal. Bagaimana tidak? Foto-foto berukuran besar memampang perempuan-perempuan yang mencerminkan trend masa kini. Trend saat itu bukan perempuan berjilbab tentu saja. Sehingga, saya merasa ketinggalan zaman gara-gara jilbab sederhana yang saya kenakan.1Tetapi untuk mengubahnya

menjadi lebih modis agak sulit karena saat itu jilbab belum menjadi trend. Saya merasa, beginilah adanya jilbab yaitu pasti tidak sesuai dengan trend masa kini. Sehingga, tidak ada padu padan antara pakaian dan jilbab begitu beragam. Padahal di mal besar di pusat kota, perempuan muda yang tidak berjilbab biasanya berpenampilan modis dan trendi.

Kini, sekitar dua puluh kemudian, situasi jauh berbeda. Saya merasa sedang dimanjakan oleh dunia konsumsi yang menawarkan aneka model pakaian dan jilbab yang cantik. Tidak mudah untuk sekadar menerimanya dengan gembira karena pilihan untuk mengenakan model jilbab menjadi lebih beragam serta kemungkinan disebut ketinggalan zaman dapat teratasi. Jika tersedia uang, saya tinggal memilih gaya apa saja yang tersedia. Gaya yang merupakan perkawinan antara menutup aurat menurut syariat Islam dan mode trend terbaru. Tetapi perubahan yang saya alami di mal semacam ini ternyata tidak membuat saya lebih tenang. Malah keadaan ini menambah panjang daftar kegelisahan saya. Apa sebenarnya jilbab bagi saya kini?

1

Perasaan seperti ini, yaitu merasa kuno, tidak cair dengan suasana modern di sekitar mal masih tidak dapat dilepaskan, kecuali jika kita ikut mengakomodasi busana atau jilbab modis yang penuh warna.


(18)

Merebaknya jilbab di mana-mana membuat saya bertanya-tanya, fenomena apakah ini semua? Haruskah saya bergembira dengan semakin populernya jilbab di kalangan masyarakat umum ini? Haruskah saya lega karena jilbab tidak lagi diolok-olok sebagai “Ninja” seperti tahun 90-an? Haruskah saya juga bersyukur bahwa tak ada lagi ungkapan gegabah “Jilbab Racun” seperti yang terjadi di tahun 90-an? Dalam masa kegelisahan tersebut, saya tiba-tiba mendapatkan sebuah surat elektronik dari seorang teman lama yang kini berdomisili di Jepang. Ia bertanya dengan herannya kepada saya, “Kok bisa sih sekarang di Indonesia banyak banget yang pake jilbab? Dulu engga sebanyak itu kan? Trus kenapa baru sekarang-sekarang orang pake jilbab padahal kan Islam ada udah sejak abad berapa coba? Kan shalatnya juga udah sejak dulu tapi kenapa jilbab baru muncul sekarang-sekarang?”

Pertanyaan teman lama semasa saya kuliah Diploma 3 pada tahun 98 ini membuat saya merasa tidak sendirian dalam merasa gelisah dengan fenomena jilbab yang terus menerus merebak ini. Fenomena jilbab ini pasti memiliki pola tertentu yang menarik dan penting, bahkan tidak melulu bersifat teologis. Teringat masa-masa ketika jilbab sempat dilarang dikenakan di sekolah-sekolah, banyak murid perempuan di sekolah negeri seperti di Bogor dan Bandung yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah hanya karena berjilbab. Pihak sekolah menganggap jilbab melanggar aturan berseragam di sekolah. Mengapa kini ceritanya berbeda jauh? Sebaliknya, kini di sekolah-sekolah negeri, seragam yang dikenakan mendekati batasan pakaian berjilbab, yaitu rok yang panjang hingga mata kaki. Apakah mungkin materi teologis jilbab yang sudah berubah atau baru dapat dipahami oleh umat Muslim? Sehingga, bisa dimaklumi bahwa sebelumnya jilbab tidak dianggap


(19)

sebagai hal yang penting bagi perempuan Muslim atau bahkan dianggap penyimpangan oleh kalangan tertentu?

Karena popularitas jilbab di negeri ini yang semakin luas, aneka peristiwa terkait jilbab yang sepertinya tidak mungkin muncul di tahun 90-an pun kini menjadi mungkin. Misalnya ketika seorang perempuan terdakwa kasus korupsi mendadak mengubah penampilannya dengan mengenakan jilbab rapi. Sedangkan bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan, ia boleh mengenakan kostum pengantin berjilbab meski dalam kesehariannya tidak berjilbab. Bahkan jilbab pun bisa menjadi sebentuk seragam di instansi-instansi tertentu. Sementara itu, di ruang-ruang publik, tak jarang saya menemukan pengumuman tertulis, misalnya di sekolah-sekolah yang menggunakan warna Islami atau masjid yang berbunyi, “Anda Memasuki Kawasan Berjilbab.” Jika kita berlari sebentar ke Aceh, perempuan yang tidak berjilbab dikejar-kejar oleh aparat agar mengenakan jilbab. Siapapun kini dapat mengenakan jilbab, bergantung kepentingan yang hendak dituju. Jilbab juga dapat “dipaksakan” kepada karyawan demi kepentingan instansi atau lembaga atau peraturan daerah tertentu. Lagi-lagi saya mengingat masa lalu, periode 90-an saat tak banyak orang yang ramai-ramai mengumandangkan “kewajiban” berjilbab. Jilbab kini telah menjadi model identifikasi yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.

Sementara itu, secara internal, setelah mengenakan jilbab hampir 20 tahun membuat saya kembali berefleksi dan mempertanyakan jilbab. Apa makna jilbab bagi saya? Model identifikasi apa yang saya peroleh saat mengenakan jilbab di saat jilbab semakin populer? Mengapa hidup saya seakan tidak bisa dilepaskan dari jilbab? Terkadang jilbab juga terasa begitu spiritual, tetapi terkadang terasa tidak


(20)

lebih daripada sekadar model berpakaian biasa saja. Pada titik yang paling ekstrim, jilbab juga terkadang terasa menjadi gangguan akibat ketidaknyamanan secara fisik. Pengalaman jilbab yang tidak linier secara personal ini juga mencerminkan adanya pergeseran penyikapan jilbab secara umum. Dengan demikian pada jilbab terdapat struktur diskursif yang membentuknya. Jilbab mempunyai daya yang begitu kuat untuk menempatkan seorang perempuan kedalam posisi tertentu di dalam masyarakat. Selain itu, model-model jilbab pun menjadi semakin beragam. Model tertentu yang dipilih pun dapat dipandang sebagai tanda nilai sosial religius secara khusus. Misalnya, jika jilbab yang dipilih adalah yang serba longgar dan sederhana maka si pemakai akan ditempatkan sebagai seseorang yang ketat agamanya dan cenderung dianggap kolot. Sedangkan, jika model jilbab yang dipilih adalah sesuai dengan trend terkini yang penuh warna dan model maka ia akan ditempatkan pada posisi sebagai seseorang yang lebih modern.

Menyadari dan mengalami pergeseran di dalam jilbab secara intens membuat saya terus menerus berefleksi. Dua puluh tahun saya mengenakan jilbab membuat saya hinggap pada kesadaran bahwa jilbab yang dikenakan bukanlah sesuatu yang “sudah dari sananya” atau “terberi”. Setidak-tidaknya, cara menutup aurat berdasarkan syariat Islam ini telah mengkristal pada bentuk jilbab. Terdapat proses diskursif yang kental di dalam jilbab. Kesadaran semacam itu pun menghantarkan saya pada kondisi bahwa jilbab merupakan perangkat yang bukan saja menghadirkan keyakinan tetapi juga keraguan sekaligus! Jika jilbab adalah sebuah wacana yang membuat perempuan seperti saya harus mengalami berbagai hal yang penuh warna, demikian juga perempuan lainnya, apakah kami memang


(21)

sedemikian patuh? Apakah jilbab merupakan sebuah wacana yang membuat perempuan menjadi terepresi karenanya? Adakah cara untuk terbebas dari wacana jilbab? Kepatuhan pada wacana jilbab tidak mungkin dipungkiri. Tetapi apakah kepatuhan kami bersifat monolitis dan statis?

Jika kita perhatikan fenomena populer, misalnya melalui representasi media, jilbab menjadi terlalu sederhana. Jilbab lebih sering disorot sebagai bukti kepatuhan seorang perempuan Muslim terhadap aturan Islam. Di sisi lain, jilbab juga dipandang sebagai keniscayaan yang harus dipatuhi oleh setiap perempuan muslim tanpa memberikan kemungkinan penyikapan yang berbeda. Sementara, identitas muslimah pun yang dikonstruksi secara performatif melalui penggunaan jilbab. Demikian juga ketika perempuan memilih untuk melepaskan jilbabnya dengan pertimbangan tertentu. Dinamika yang kompleks dalam jilbab ini sangat penting untuk diteliti, lalu dianalisa karena akan memperlihatkan hubungan timbal balik antara pengguna dan jilbab sebagai sebuah wacana yang kompleks. Apa pentingnya hubungan timbal balik antara pengguna dengan diskursus jilbab? Hal terpenting adalah bagaimana perempuan memandang dirinya, baik secara spiritual maupun tubuh.

Oleh karena itu saya menjadi tertarik untuk meneliti wacana jilbab. Jika jilbab bukan sesuatu yang terberi, lantas bagaimanakah proses diskursif yang membentuknya? Jika jilbab membawa pengguna pada pengalaman yang khusus, bagaimanakah model pemaknaannya? Terakhir, kegelisahan serta ambivalensi atas jilbab yang saya alami membawa saya pada pertanyaan negosiasi seperti apakah yang hadir dalam jilbab, baik bagi saya sebagai peneliti maupun narasumber yang saya temui?


(22)

Pertanyaan-pertanyaan saya di atas berangkat dari kegelisahan saya sebagai pengguna jilbab yang mengalami pergeseran diskursif, baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, akan sangat terbatas jika, seperti halnya penelitian jilbab yang sudah ada, hanya dilakukan terhadap orang lain. Saya sebagai pengguna jilbab mempunyai akses yang mendalam, baik pemikiran maupun emosi terhadap jilbab sehingga lebih baik untuk menggalinya. Kemudian saya dapat mendeskripsikannya secara mendetail serta reflektif. Dalam hal ini, meneliti secara otoetnografis adalah pilihan yang cocok untuk saya.

B. TEMA PENELITIAN

Popularitas jilbab yang semakin berkembang mendorong penelitian yang akan berfokus pada analisa diskursif pada pengguna jilbab. Berkaitan dengan pengguna jilbab, peneliti yang juga pengguna jilbab mendorong untuk menggunakan metodologi otoetnografi. Dengan metodologi tersebut, peneliti mempunyai ruang yang mendalam untuk mengemukakan pengalamannya sebagai pengguna jilbab.

C. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah jilbab diwacanakan dari masa di Indonesia mulai dari Orde Baru hingga Pascareformasi?

2. Bagaimanakah wacana jilbab dialami dan dimaknai oleh pengguna jilbab?


(23)

3. Sejauhmana makna jilbab dinegosiasikan oleh penggunanya? dan apa hasilnya?

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui proses jilbab diwacanakan di dalam masyarakat pada beberapa periode sosial-politik yang ada;

2. Untuk mengetahui pengalaman dan pemaknaan jilbab oleh pengguna jilbab;

3. Untuk mengetahui negosiasi pengguna jilbab dan wacana jilbab.

E. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian mengenai jilbab, di saat jilbab sudah sangat populer di kalangan masyarakat akan sangat berguna setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, wacana jilbab bukanlah sebatas persoalan ekspresi religius saja. Terdapat struktur diskursif yang kental di dalam jilbab. Hal tersebut penting untuk diketahui agar saya (khususnya) dan masyarakat pada umumnya dapat melihat adanya konstruksi di dalam jilbab. Sehingga jilbab dapat diposisikan secara lebih adil baik bagi pengguna maupun yang memandangnya. Kedua, pergeseran wacana jilbab merepresentasikan pemaknaan jilbab. Ketiga, menambah perspektif insider terhadap penelitian yang sejauh ini banyak dilakukan olehoutsider.


(24)

F. TINJAUAN PUSTAKA

Semenjak popularitas jilbab semakin meningkat di Indonesia, banyak penelitian jilbab sudah dikerjakan. Di bawah ini akan disinggung beberapa hasil penelitian yang memiliki keterkaitan erat dengan tema penelitian yang akan saya lakukan. Ada dua kategori hasil penelitian yang saya gunakan. Pertama, adalah penelitian yang mengandung kecenderungan orientalistik. Penelitian tersebut adalah, “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’” (1996)2yang dilakukan oleh Susan Brenner dan Reconstructing “Muslimness”: New

Bodies in Urban Indonesia (2007)3yang ditulis oleh Sonya Wichelen. Sedangkan

kategori lainnya adalah penelitian yang dapat menjadi landasan atau titik berangkat bagi penelitian yang akan saya kerjakan. Penelitian tersebut adalah Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino (2001).4Selanjutnya, penelitian jilbab yang

sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011)5yang

dikerjakan oleh Deni Hamdani.

2

Susan Brenner, “Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women and ‘The Veil’” , 1996, Amerika: American Antropological Association, hal. 673-697.

3

Sonya Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” , 2007, England: Ashgate Publisihing Limited, hal. 93-108.

4

Karen Washburn, Jilbab, “Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa “ dalam

Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 111-146.

5

Deni Hamdani,Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, 2011, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH & Co.KG.


(25)

1. Susan Brenner (1996)- Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’

Penelitian Brenner yang berupa artikel panjang ini disajikan untuk menjawab pertanyaan signifikansi jilbab modern di kalangan Muslim Jawa, dengan menganalisa pengalaman perempuan-perempuan muda dalam konteks gerakan Islam yang lebih luas. Brenner berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian di seputar alasan yang diambil para perempuan muda untuk mengadopsi jilbab yang (menurut Brenner sendiri) tidak berakar pada tradisi lokal serta tidak didukung oleh masyarakat luas karena dianggap sebagai cara berpakaian “impor” sehingga stigma sebagai esktrimis atau fanatis sering mereka dapatkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Brenner memperkirakan bahwa keputusan untuk mengenakan jilbab merupakan proses transformasi diri perempuan di Jawa. Brenner memang melakukan penelitian di seputar Yogyakarta dan Solo saja.

Gagasan yang menjadi perhatian dalam penelitian Brenner adalah soal jilbab yang dikenakan para perempuan muda tidak mempunyai akar tradisi lokal. Dengan demikian, jilbab dipandang sebagai corak baru pakaian Islam yang diimpor dari Timur Tengah yang berkebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh perempuan tua di Indonesia. Dalam hal ini, hasil penelitian Brenner cenderung bersifat esensialis, yaitu seakan-akan Islam dan Jawa adalah dua hal yang terpisah dan murni. Sehingga, ia melihat jilbab sepenuhnya impor dari Arab.

Di samping itu, Brenner juga mengaitkan jilbab di Indonesia dengan di negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Sambil berusaha memperlihatkan


(26)

dinamika jilbab dalam konteks Indonesia, hasil penelitian Brenner menjadi kurang tepat, terutama ketika sampai pada kesimpulan bahwa jilbab di kota yang ia teliti juga berpotensi membatasi ruang gerak pemakainya bahkan lebih banyak menimbulkan kerugian karena membuat perempuan mendapatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Gagasan tersebut kurang kontekstual karena tidak melihat kehadiran jilbab dalam konteks yang lebih luas. Jilbab menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja atau naik jabatan karena bentuknya yang belum cair dengan masyarakat. Jika Brenner kembali melanjutkan penelitian jilbab di Jawa, ia akan melihat bahwa situasi justru berkebalikan, yaitu jilbab malah menjadi salah satu ‘prasyarat’ kerja di lapangan kerja tertentu.

2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino

Karen W. Washburn adalah seorang peneliti yang berasal dari U.C. Los Angeles, menjadi peneliti tamu di Kelompok Studi Realino. Washburn hadir dengan penelitian tentang jilbab untuk tema yang lebih besar yaitu komoditi global yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian lainnya yang juga dimuat dalam buku yang sama adalah tentang globalisasi identitas makanan. Mi Instan adalah komiditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia. Sedangkan, Washburn hadir meneliti globalisasi identitas pakaian. Jilbab adalah komoditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia (juga).

Sebagaimana lokasi Kelompok Studi Realino yang berada di Kota Yogyakarta, Washburn pun melakukan penelitian tentang jilbab di kota yang sama. Meskipun Yogyakarta sebenarnya kota yang dihuni oleh perempuan dengan


(27)

beragam suku karena merupakan pusat studi penting di seluruh Indonesia, responden yang dipilih adalah khusus perempuan bersuku Jawa. Tidak disebutkan secara khusus alasan pemilihan tersebut. Washburn melakukan penelitian untuk menangkap pengalaman personal (perspektif mikro) pengguna jilbab. Untuk upaya tersebut Washburn menggunakan wawancara sejarah hidup (life history methodology) dengan beberapa perempuan muda dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Washburn adalah jilbab tidak semata-mata hadir atas nama “identitas orisinil” tetapi juga sebagai simbol siasat terhadap semangat zaman yang sedang menjadi “trend”. Jilbab menjadi ruang rekonsiliasi antara otonomisasi personal untuk memfungsikan kebebasannya dan berdamai dengan tuntutan konformitas sosial.6

Dalam pendahuluan yang diberikan oleh Monika Eviandaru terhadap penelitian tersebut juga disebutkan adanya keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Washburn dan Brenner. Penelitian yang dilakukan oleh Washburn berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Brenner. Terutama pada soal lingkup kultural jilbab yang disimpulkan sebagai cara berpakaian yang tidak berakar pada kejawaan. Gagasan yang digunakan dari Brenner adalah bahwa pada awalnya jilbab justru ditolak dalam perilaku kultur Jawa karena dianggap lebih bersifat “Arab”. Seperti yang ditekankan oleh Eviandaru, penolakan tersebut biasanya dilandasi oleh argumentasi bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang baik tanpa harus mengenakan tata cara pakaian Timur Tengah. Dalam hal ini, baik Washburn maupun Brenner mempunyai pandangan yang terkesan tidak berpijak

6

Washburn dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 21.


(28)

pada sejarah. Mengapa? Karena seakan-akan tidak pernah ada perkawinan atau hibriditas antara kejawaan dan keislaman yang di dalamnya unsur kultur Timur Tengah sudah jelas akan hadir.

Mungkinkah sebenarnya yang dimaksud oleh Washburn maupun Brenner adalah lebih kepada model jilbab modern, yaitu jilbab rapat yang tidak memperlihatkan rambut sama sekali? Tetapi walaupun demikian, tetap terdapat perbedaan yang cukup penting antara jilbab perempuan Indonesia dengan yang dimaksud dengan cara berpakaian ala Timur Tengah. Perempuan Jawa, misalnya, pada umumnya mengenakan jenis pakaian seperti celana atau blus untuk dipadankan dengan jilbab, tanpa harus ditambah oleh cadar. Meskipun cadar digunakan, tetapi bukan merupakan cara berpakaian yang lazim ditemukan. Berkaitan dengan itu, memang salah satu responden yang dipilih oleh Washburn adalah perempuan yang sehari-harinya mengenakan cadar. Tetapi sekali lagi penggunaan cadar di Indonesia bukanlah cara berpakaian yang umum dipilih oleh perempuan berjilbab.

Hal menarik lainnya, masih terkait dengan persoalan kultural adalah adanya hasil penelitian (yang juga ditekankan oleh Eviandaru dalam bagian pendahuluan) terkait Islam sebagai pilihan untuk menjadi modern.7Istilah modern

di sini, dapat dibaca sebagai ‘kebaruan’. Dengan kata lain, penelitian jilbab ini hendak meneropong cara ber-Islam yang lebih baru daripada yang sudah ada. Tetapi dalam keseluruhan wawancara tertangkap kesan bahwa istilah modern di sini juga merupakan pembedaan kutub antara “Islam”, “Modern” dan “Tradisional”

7


(29)

kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada suaminya (ayah Noor) sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur keluarga.

3. Sonya Wichelen (2007)- Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia

Tulisan yang dikerjakan oleh Wichelen mengemukakan tentang kehadiran citra tubuh baru di Indonesia yang bertema secara khusus “kemusliman”. Ada dua tema besar tentang tubuh yang dianalisa oleh Wichelen, yaitu citra tubuh feminin dan maskulin. Citra tubuh kemusliman feminin yang dirujuk Wichelen berdasarkan popularitas jilbab sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi. Seperti halnya pada umumnya tulisan mengenai jilbab di Indonesia, situasi politik memang selalu dijadikan latar belakang yang tak pernah ditinggalkan. Dalam hal ini, Wichelen cukup memberikan konteks bagi hadirnya citra tubuh kemusliman berdasarkan jilbab. Tulisan Wichelen tidak mengetengahkan responden. Sementara itu, untuk citra tubuh maskulin, Wichelen mengambil tema tentang poligami. Tidak seperti halnya tema jilbab, untuk poligami tidak diberi konteks yang lebih luas oleh Wichelen. Wichelen hanya menggunakan popularitas sebuah kasus poligami yang digelontorkan oleh media massa. Popularitas poligami berdasarkan kasus seorang pelaksana poligami yaitu Puspo Wardoyo yang memberikan gaung cukup luas melalui media massa telah dijadikan sebagai hadirnya tubuh maskulin kemusliman.


(30)

Tulisan Wichelen penting untuk saya masukkan kedalam kajian pustaka karena secara eksplisit tendensi orientalistik dapat terbaca. Kesan orientalistik tersebut hadir dalam perbandingan isu jilbab dan poligami dalam keseluruhan tulisan. Tulisan Wichelen ini yang pada dasarnya hendak meneropong proses Islamisasi di Indonesia selama beberapa dekade yang telah melahirkan imaji dan diskursus baru pada tubuh Muslim. Wichelen menandai periode pasca-Suharto tumbang. Pada periode tersebut beragam kelompok Islam mulai memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Dengan demikian telah muncul pula isu-isu yang menyangkut jender dan seksualitas dalam diskursus publik.

Isu terkait jilbab dan poligami memang benar adanya telah terangkat ke permukaan dan menjadi bahan perdebatan. Tetapi mengapa dalam tulisan ini menjadi terkesan orientalistik? Sekilas membaca tulisan Wichelen langsung mengingatkan pada penelitian-penelitian isu jender di negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Jilbab, cadar, harem, sunat perempuan dan poligami diletakkan sebagai persoalan umum yang dialami oleh perempuan di negara-negara mayoritas Muslim. Dalam tulisan yang konteksnya Indonesia ini, bukan mustahil sebenarnya untuk menghasilkan kajian yang lebih objektif. Tetapi sayangnya karena metodologi yang digunakan untuk melihat persoalan lebih bersifat sosiologis, hasilnya tidak terlalu mengesankan. Jilbab maupun poligami dilihat dari kacamata yang jauh. Baik pengguna maupun pelaku tidak hadir sebagai subjek yang dapat memberikan suara atau integritas. Sehingga tak dapat terhindarkan tendensi mengobjektivikasi di dalamnya.

Tendensi objektivifikasi ini dapat terlihat ketika dilakukan pengkategorisasian jilbab yang ada, yaitu jilbab sebagai wacana konsumeris dan


(31)

Islamis. Perempuan pengguna jilbab dikelompokkan kedalam dua wacana tersebut seakan-akan batasnya begitu tegas. Perempuan pengguna jilbab hanya dikelompokkan kedalam kedua wacana tersebut tanpa melihat adanya kemungkinan dinamika yang lebih cair. Dalam hal ini, Perempuan pengguna jilbab direpresentasikan sebagai objek penelitian yang bukan saja tidak bisa bersuara tetapi juga sebagai yang semata tunduk terhadap wacana jilbab sedemikian rupa. Terlebih isu poligami yang disandingkan di dalam penelitian ini menciptakan kesan adanya penaklukan tubuh perempuan atas jilbab dan perayaan tubuh laki-laki karena poligami.

4. Deni Hamdani (2011) -Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women

Penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah penelitian yang dilakukan oleh Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menggunakan metode sejarah dan etnografi. Dengan penelitian jilbab yang sudah dilakukan Hamdani membuka kemungkinan bagi saya untuk memperdalaman penelitian yang lebih bernuansa. Gerak bathin dan pemikiran yang dialami oleh pengguna jilbab dapat melengkapi dinamika jilbab yang ada. Seperti yang nanti akan saya jabarkan di dalam penelitian ini, jilbab tidak menjadi semata-mata sebuah wacana yang monoton bagi penggunanya. Ada paksaan dan pilihan yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih bernuansa sangat penting untuk melanjutkan hasil penelitian Deni Hamdani ini.


(32)

G. KERANGKA TEORI

Meneliti sebuah tema yang sudah terlampau cair dalam keseharian tentu tidak mudah karena kita dipaksa untuk berjarak. Kita harus awas terhadap setiap unsur yang dialami sebagai keseharian. Tanda-tanda, pemaknaan, identitas, religiusitas, bahkan gaya hidup bersatu di dalam sehelai kain yang dikenakan sebagai jilbab. Satu-satunya amunisi yang membuat tema keseharian seperti jilbab dapat teratasi justru karena adanya kegelisahan di dalamnya sehingga membutuhkan jawaban meskipun sifatnya sementara. Untuk memasuki proses berjarak lalu melakukan analisa berbagai unsur di dalam jilbab tersebut dibutuhkan konsep-konsep yang memungkinkan untuk dapat membahasakan persoalan-persoalan yang ada di dalamnya. Konsep-konsep dibutuhkan untuk dapat memperluas dan memperdalam tema yang sedang saya kaji. Dalam hal ini, beberapa konsep yang diambil dari pemikiran Michel Foucault akan saya gunakan. Konsep-konsep tersebut meliputi konsep tentang cara kerja wacana dan kekuasaan, problematisasi, disiplin, dan teknologi diri. Selain konsep-konsep dari Michel Foucalt, dipinjam juga cara berpikir Chandra Talpade Mohanty dalam menerangi persoalan representasi perempuan dunia ketiga dalam penelitian.

Penting untuk dikemukakan terlebih dahulu tentang proses Michel Foucault mengembangkan konsep-konsep kritisnya. Untuk kemudian kita dapat sedikit mengetahui, kiranya, untuk tujuan apa konsep-konsep yang bertemakan sejarah itu dielaborasi. Dalam sebuah wawancara, Foucault berbagi cerita tentang tradisi filosofis yang dia alami pada masa tahun 1950-an. Foucault, sebagaimana juga orang-orang segenerasinya pada umumnya dipengaruhi oleh persoalan makna yang diperoleh dari pendidikan teladan guru-guru baru. Guru, saat itu mendidik


(33)

murid-muridnya dalam suasana aliran fenomenologi. Mereka dilatih untuk menganalisis pelbagai makna yang imanen dalam keseluruhan pengalaman yang dihayati, serta pelbagai makna persepsi dan sejarah yang implisit. Proses ini kiranya penting sebagai bahan dasar bagi pengembangan tradisi filosofis Foucault. Berkaitan dengan itu, perhatian Foucault juga dipenuhi oleh hubungan yang mungkin ada antara eksistensi individu sehingga dapat hadir. Lebih dalam lagi, Foucault juga dipenuhi oleh berbagai pertanyaan mengenai hubungan antara makna dan sejarah, atau antara metode fenomenologis dan Marxis.

Foucault percaya bahwa semua orang pada masa tersebut mengalami semacam perubahan yang pada awalnya tidak tampak penting tetapi ternyata sangat mendasar untuk memisahkan para generasi pada saat itu. Penemuan kecil atau kegelisahan kecil yang muncul di permulaan terkait syarat-syarat formal yang dapat memungkinkan makna muncul. Foucault menyebutkan bahwa generasi muda pada zaman itu memeriksa kembali gagasan Husserlian bahwa dimana-mana terdapat makna yang telah menyelimuti dan memberi kemampuan bahkan sebelum orang-orang mulai membuka mata dan berbicara. Bagi orang-orang segenerasinya, makna tidak muncul dengan sendirinya, ia tidaklah “sudah berada di sana” atau tepatnya, “ia sudah ada di sana”. Tetapi ada syarat-syarat di dalamnya, yaitu syarat-syarat formal. Lalu, sejak tahun 1955 generasi Foucault mencurahkan diri untuk menganalisis syarat-syarat formal bagi kemunculan makna.8

8

Jeremy R. Carrete (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, 2011, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hal. 122.


(34)

Tetapi dalam proses mengembangkan konsep kritisnya, Foucault tidak hanya dipengaruhi oleh tradisi yang di jelaskan di atas. Tetapi apa yang dilakukan Foucault kemudian seperti bertentangan dengan tradisi yang ia alami tadi. Jika sebelumnya, generasi dan perhatiannya tersita oleh syarat-syarat kemunculan makna, kini Foucalut mengarah pada pada bagaimana makna menghilangmelalui pembentukan objek. Penjelasan ini, secara eksplisit menunjukkan di mana letak posisi Foucault yang problematis untuk dimasukkan kedalam aliran strukturalisme. Foucault mengatakan, sejauh itulah dirinya tidak dapat dimasukkan kedalam apa yang didefinisikan sebagai ‘strukturalisme.’ Strukturalisme, berkebalikan dengannya, mengajukan persoalan mengenai syarat-syarat formal bagi kemunculan makna, mulai terutama dari contoh istimewa berupa bahasa, yang juga merupakan sebuah objek yang kompleks, penuh potensi untuk pelbagai analisis. Tetapi, di saat yang bersamaan, ia berperan sebagai model untuk menganalisis kemunculan makna-makna lain yang tidak persis merupakan makna sebuah tatanan linguistik atau verbal. Katanya, “dari sudut pandang itu, tak dapat dikatakan bahwa saya mempraktikkan strukturalisme, karena kenyataannya saya tidak berkepentingan dengan makna maupun pelbagai syarat dimana makna muncul, melainkan berkepentingan dengan syarat-syarat bagi modifikasi atau interupsi makna, dengan pelbagai syarat di mana makna menghilang, dan dengan demikian memungkinkan munculnya sesuatu yang lain.9

Penjelasan-penjelasan yang diambil dari wawancara Foucault itu penting untuk mengatasi pertanyaan, hal mendasar apa yang ingin dijelaskan oleh Foucault dalam berbagai teori yang ia kembangkan. Foucault mau mengatakan hal


(35)

mendasar, yaitu tentang bagaimana manusia mengalami dirinya sendiri dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, pada akhirnya tujuan dari penelitiannya yang serba panjang itu sebenarnya adalah untuk menyentuh soal subjektivitas yang merupakan bentukan sejarah. Sebagai tambahan, saya sertakan kutipan dari Foucault sebagai berikut,

...tugas filsafat adalah membuat diagnosis, dan tujuannya bukan lagi mengumumkan sebuah kebenaran yang sah bagi semua orang dan bagi semua zaman. Saya hendak mendiagnosis, melakukan sebuah diagnosis terhadap masa kini: menyatakan siapa diri kita sekarang dan apa artinya, sekarang, mengatakan apa yang kita katakan…10

1. Wacana

“Wacana” merupakan istilah yang sangat penting dalam rangka menginterogasi sebuah kasus atau objek. Wacana di sini merujuk pada gagasan tentang “sesuatu yang mengatur dan meregulasi cara sesuatu, baik praktek sosial maupun objek, dibicarakan.” Meskipun wacana merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu bahasa, tetapi yang dirujuk oleh Foucault bukan pada tataran intrinsik atau struktur formalnya. Wacana yang dirujuk bukan tentang aspek linguistiknya tetapi pada fungsi dan efek dari wacana yang nantinya berpengaruh terhadap subjek. Dengan demikian, wacana ini bersifat non-linguistik. Foucault mendefinisikan wacana sebagai satuan-satuan fungsi (unities of function), bukan sebagai makna atausignification.

Khususnya dalamThe Archaeology of Knowledge,Foucault mengembangkan seluruh rangkaian kategori untuk mengatur antara wacana dan relasinya terhadap praktik lainnya, peristiwa dan objek. Istilah yang dikenal dan sering dipakai dari

10


(36)

Foucault adalah ‘praktik wacana’ (discursive practice). Foucault menjelaskan gagasannya terkait ‘praktik wacana’ sebagai ‘berbicara adalah untuk melakukan sesuatu’.11Praktik wacana beroperasi berdasarkan pada aturan-aturan yang

sangat spesifik terhadap waktu, ruang dan latarbelakang kultural. Atau dengan kata lain, praktik wacana merujuk pada produksi wacana dalam suatu masyarakat dan zaman tertentu.

Dalam wawancaranya yang lain, Foucault secara eksplisit menyatakan bahwa yang menjadi penting bagi dirinya dan apa yang ingin ia analisis bukanlah kemunculan makna dalam bahasa, melainkan cara pelbagai wacana berfungsi dalam sebuah kebudayaan tertentu: bagaimana sebuah wacana berfungsi sebagai yang patologis dalam satu periode dan sebagai yang literer dalam periode yang lain. Karena itu, mekanisme wacanalah yang menjadi perhatian Foucault, bukan modus pemaknaannya.12

2. Kekuasaan dan Wacana

Kekuasaan di sini, bukan berarti kekuasaan yang merepresi individu karena jika kekuasaan di sini bersifat merepresi seakan-akan ada ruang di mana individu dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal kekuasaan justru sering tidak disadari. Kekuasaan yang dibahas Foucault bersifat lebih mendalam lagi, yaitu kekuasaan yang hadir melalui wacana dan pengetahuan.

Kekuasaan menurut Foucault13adalah seperti berikut ini:

11

Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 79.

12

Carette, hal. 127

13


(37)

a. Kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan. Kekuasaan tidak berpusat pada manusia/institusi, tetapi MENYEBAR.

b. Kekuasaan bukan sebuah kekuatan yang hadir secara terpisah dari persoalan/relasi lain (misalnya ekonomi atau pengetahuan), lalu mempengaruhinya dari luar. Sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi tersebut. Maka kekuasaan bukan sekadar membatasi atau melarang, tapi bersifat PRODUKTIF.

c. Tidak ada hubungan yang sederhana dan top-down antara kekuasaan di level makro (masyarakat luas) dan di level mikro (misalnya keluarga). Tidak ada semacam 'matriks' kekuasaan yang kemudian direproduksi di semua level masyarakat. Kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan berubah-ubah. kekuasaaan di level lokal dan di level yang lebih luas saling mempengaruhi (artinya, pengaruh itu tidak bersifat satu arah).

d. Kekuasaan beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi bukan berarti bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan menjalankannya.

e. Bahwa di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun demikian, atau lebih tepat karena itulah, perlawanan tidak pernah berada pada posisi di luar kekuasaan.

3. Problematisasi

Foucault menjelaskan lahirnya wacana seksualitas di Barat sebagai sebuah situasi perubahan perilaku. Katanya, pada awal abad ke 17 masih berlaku keterbukaan tertentu. Saat kegiatan seksual tidak ditutup-tutupi. Misalnya,


(38)

kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Namun, lanjut Foucault, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul oleh senja, sampai tiba malam-malam monoton kaum borjuasi Victorian. Sejak saat itulah seksualitas dipingit rapi. 14Ilustrasi tersebut kiranya menjadi contoh yang tepat untuk

menjelaskan sebuah konsep dari Foucault sendiri, yaitu ‘problematisasi’. Problematisasi adalah istilah yang digunakan Foucault untuk mendefinisikan sejarah pemikiran dalam buku kumpulan kuliahnya, Fearless Speech. Foucault membedakan antara sejarah sebuah gagasan dengan sejarah sosial. Dia menyatakan tidak berupaya untuk mengidentifikasi kapan kiranya sebuah konsep khusus lahir, atau menulis sejarah sebuah periode atau institusi. Dia menjelaskan bahwa sejarah pemikiran sebagai “sebuah analisa cara sebuah wilayah pengalaman yang semula tidak dipermasalahkan atau seperangkat praktik yang diterima tanpa pertanyaan...menjadi sebuah masalah—problem—yang melahirkan perdebatan dan diskusi, mendorong reaksi-reaksi baru, serta menginduksi sebuah krisis di dalam tingkah laku, kebiasaan, praktik, institusi yang sebelumnya sunyi.15

4. Teknologi Diri

Menurut Foucault, orang memungkinkan untuk melakukan ‘ontologi kritis terhadap diri’, yaitu berusaha untuk menyadari wacana-wacana yang telah membentuk subjektivitasnya. Hal tersebut bertujuan untuk mengimajinasikan ulang diri secara berbeda. Praktik ini disebut juga sebagai ‘teknologi diri’16yang

14

Ibid, hal. 3-4.

15

Clare O’Farrel,Michel Foucault,London: Sage Publications, hal. 70

16


(39)

bukan berarti dapat terbebasnya subjek dari wacana tetapi merujuk pada praktik yang di dalamnya orang-orang dapat lebih kritis terhadap wacana yang telah membentuk dirinya melalui teknik yang hati-hati.

5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty

Dilihat dari agenda perlawanan terhadap sistem yang opresif terhadap perempuan, terdapat hubungan yang dilematis antara feminisme dan agama. Agama seringkali dilihat sebagai sebuah sistem yang cenderung tidak menjadi ‘sahabat’ bagi perempuan karena agama mempunyai kecenderungan untuk mengeksklusi dan menomorduakan perempuan. Khususnya tentang citra perempuan muslim yang melekat di kalangan sarjana-sarjana Eropa, misalnya, menyatakan bahwa relasi antara perempuan dengan Islam sangat memprihatinkan. Narasi yang muncul terkait hal tersebut adalah bahwa pada umumnya perempuan muslim diopresi, ditaklukkan, dan nyaris dianggap seperti budak, baik yang berposisi sebagai istri maupun anak perempuan.17Citra kondisi

perempuan Muslim yang mengenaskan dari sisi kemanusiaan ini ‘mengundang’ kalangan feminis barat untuk menyelamatkan mereka. Salah satu contoh yang paling sering dijadikan sebagai fokus perhatian adalah penggunaan jilbab. Jilbab dianggap sebagai simbol yang jelas atas opresi terhadap perempuan muslim.

Adalah Chandra Talpade Mohanty18yang secara radikal membongkar

sistem yang lebih spesifik dalam menempatkan wacana perempuan dan agama ini. Mohanty, dalam artikelnya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and

17

Deepa Kumar,Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal. 44.

18

Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”, 1988.


(40)

Colonial Discourses” yang diterbitkan pada 1988 berusaha mengkritik hegemoni feminisme mainstream yang menguniversalkan pengalaman perempuan tanpa mempedulikan konteks ras, kultur, dan religi. Menggunakan perspektif Michel Foucault, Mohanty membongkar adanya wacana ‘perempuan dunia ketiga’ yang didukung dan disebarkan penelitian-penelitian feminis barat.

Menguniversalkan pengalaman adalah tindakan kolonisasi. Untuk menjelaskan hal tersebut, Mohanty, menggunakan istilah ‘kolonisasi’ (colonization) untuk menunjukkan penguniversalan pengalaman dalam karya feminis. Istilah ‘kolonisasi’ ini biasanya digunakan untuk menjelaskan pertukaran ekonomi eksploitatif baik dalam tradisi Marxisme kontemporer maupun tradisional. Kemudian, digunakan oleh perempuan feminis kulit berwarna di Amerika, untuk mengapropriasi pengalaman dan perjuangan mereka yang dihegemoni oleh gerakan feminis berkulit putih. Istilah kolonisasi ‘diperluas’ untuk menerangkan situasi hierarkhis, baik secara ekonomi maupun politis terhadap produksi wacana kultural, yaitu ‘Perempuan Dunia Ketiga’ ini.

Wacana ‘perempuan dunia ketiga’ muncul sedemikian rupa akibat penggiringan isu-isu subjek perempuan dunia ketiga yang diteliti oleh feminis barat melalui berbagai aliran dana studi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut kemudian diartikulasikan dan didukung Amerika dan Eropa. Akibat penggiringan isu semacam itu, tanpa disadari tercipta kategori diskursif, ‘perempuan dunia ketiga’ sebagai subjek yang diteliti dan ‘feminis barat’ sebagai subjek yang meneliti. Relasi antara keduanya sudah jelas tidak setara karena dalam istilah ‘barat’ terdapat rujukan baik secara teoretis maupun praksis sebagai yang lebih sadar akan keadilan jender. Feminis barat mempunyai pandangan yang tidak sama


(41)

dalam melihat relasi perempuan dunia ketiga/perempuan barat dalam berhadapan dengan sistem patriarkhi. Dalam penelitian yang dilakukan feminis barat, sudah termuat asumsi bahwa perempuan dunia ketiga adalah sepenuhnya korban patriarkhi, yang tidak bisa melawan, sudah jelas tunduk dan patuh sehingga tidak memiliki daya agensi. Sedangkan perempuan barat sebaliknya, yaitu mempunyai daya agensi terhadap patriarkhi sehingga mereka mempunyai kesadaran untuk melawan dan tidak patuh.

Dengan kata lain, terdapat imaji perempuan (‘women’ yang ditulis dengan ‘w’ kecil) dan Perempuan (‘Women’ yang ditulis ‘W’ kapital). Kedua cara penulisan ini untuk membedakan posisi perempuan pada umumnya terhadap sistem patriarkhi. Perempuan yang ditulis dengan huruf awal kapital, adalah perempuan yang seperti diinginkan oleh sistem patriarkhi. Sedangkan ‘perempuan’ dengan huruf awal non-kapital adalah individu-individu yang berusaha untuk mengelola sistem patriarkhi tersebut sesuai dengan kemampuan agensinya. Perempuan dunia ketiga dipandang sebagai seluruhnya hanya patuh terhadap patriakhi sehingga harus diberi kesadaran untuk melawan. Sedangkan feminis barat adalah perempuan yang mempunyai semangat perlawanan terhadap patriarkhi atau menjadi perempuan yang individual atau mandiri.

Dengan asumsi semacam itu pula, misalnya dalam penelitian mengenai jilbab yang dikritik oleh Mohanty, wacana jilbab yang diteliti pada masyarakat muslim dunia ketiga menjadi terkesan monolitis dan statis. Wacana jilbab dilihat tanpa memperhitungkan konteks etnografis secara khusus sehingga wacana jilbab dilihat sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam wacana jilbab, para perempuan hanya dilihat sebagai pihak yang sudah jelas patuh. Kompleksitas


(42)

dalam wacana jilbab, misalnya keragaman cara perempuan muslim dalam memaknainya seakan bukan sesuatu yang mungkin. Lebih lanjut bahkan Mohanty menemukan, dalam tulisan-tulisan Frans Hosken, jilbab disejajarkan dengan isu seperti pemerkosaan, mutilasi, poligami, pornografi, kekerasan dan prostitusi. Kesemua kasus tersebut dimasukkan kedalam kejahatan hak asasi manusia yang mendasar.

Perhatian Mohanty di sini adalah pada kecenderungan penelitian feminis Barat atas dasar dana studi atau beasiswa adalah mengenai subjek agensi. Perempuan Timur yang direpresentasikan dalam hasil penelitian feminis Barat ditunjukkan sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak mempunyai daya agensi. Dalam peta global beasiswa, secara struktur perempuan di Dunia Pertama dan Ketiga dianggap bukan kategori yang setara. Sehingga, penelitian tentang perempuan lebih banyak dipusatkan pada Dunia Pertama. Isu-isu yang menjadi bahan penelitian dalam berbagai masyarakat yang berbeda adalah: Secara lebih tendensius, diskursus feminis di Dunia Ketiga seringkali diasumsikan sebagai kategori yang homogen. Kelompok yang bernama “perempuan” dianggap sebagai kelompok yang tidak punya kuasa. Mohanty menekankan bahwa jika perempuan di Dunia Ketiga direpresentasikan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam hasil-hasil penelitian feminis Barat maka di sinilah telah muncul gerakan kolonialis. Perempuan Dunia Pertama yang merepresentasikan perempuan Dunia Ketiga dengan demikian memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “subjek” sejarah. Secara menyedihkan, perempuan Dunia Ketiga selalu hadir di bawah generalisasi perempuan Dunia Pertama yaitu sebagai ‘objek’ mereka.


(43)

Dengan kata lain, sejauh ini ‘Perempuan/Para Perempuan’ dan ‘Timur’ didefinisikan sebagai Liyan atau secara periferal bahwa Manusia/Humanisme Barat dapat merepresentasikan dirinya sebagai pusat. Di sini yang terjadi bukanlah pusat yang menentukan yang sekeliling (periphery), tetapi yang sekeliling inilah, dalam keterbatasannya, yang menentukan pusat. Seperti halnya feminis Kristeva, Cixous, Irigaray dan feminis lainnya yang merekonstruksi kecenderungan laten antropomorfisme dalam diskursus Barat. Mohanty dalam hal ini menyarankan sebuah strategi paralel untuk menemukan sebuah etnosentrisme tersembunyi dalam tulisan-tulisan feminis tentang dunia ketiga.

Seperti telah dibahas sebelumnya, pembandingan antara feminis barat yang menghadirkan-diri (self-presentation) dan representasi feminis barat tentang perempuan dunia ketiga memberikan hasil yang penting. Imaji ‘perempuan dunia ketiga’ yang universal seperti perempuan berjilbab, perempuan perawan, dan lain-lain) imajinya dibentuk dari ‘perbedaan dunia ketiga’ kepada ‘perbedaan seksual’ yang mendasarkan asumsi bahwa perempuan barat sebagai yang sekular, bebas dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Sebenarnya hal tersebut tidak memberi kesan bahwa perempuan barat adalah sekular, bebas, dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Mohanty merujuk pada penghadiran-diri secara diskursif, bukan sebagai realitas material. Jika dalam realitas material perempuan barat sekular, bebas dan mempunyai kontrol terhadap hidupnya sendiri maka tak diperlukan lagi perjuangan feminis politis di barat.

Selain itu, penciptaan wacana ‘dunia ketiga’ sebagai yang kurang maju dan tidak mandiri secara ekonomi meneguhkan wacana ‘dunia pertama’ (yang bersifat


(44)

tunggal dan istimewa). Tanpa wacana ‘perempuan dunia ketiga’ representasi feminis barat yang lebih maju dalam hal kesetaraan jender tidak akan ada. Bagi Mohanty, keduanya bersifat saling mendukung. Oleh karena itu, sudah saatnya melampaui Marx yang sempat menyatakan bahwa yang terkoloni tidak bisa merepresentasikan diri, mereka harus direpresentasikan. Melalui semangat Mohanty inilah, perempuan muslim dunia ketiga, sangat perlu untuk merepresentasikan diri agar dapat tergambar dengan jelas dan dinamis saat hidup dalam wacana jilbab, yang seringkali dianggap sebagai sumber opresi. Penyederhanaan pengalaman, dengan demikian merupakan penyederhanaan diri ‘perempuan’. oleh karena itu, menghadirkan pengalaman yang kompleks dalam jilbab yang akan dikerjakan dalam tesis saya ini, sepenuhnya sesuai dengan semangat yang diusung oleh Mohanty. Sudah saatnya pihak yang selalu dibicarakan, kini berbicara.

H. METODE PENELITIAN

1. Sejarah Otoetnografi

Istilah otoetnografi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kajian yang di dalamnya pelaku budaya memberikan kisahnya sendiri tentang budaya mereka.19 Meskipun demikian, pada dasarnya semua jenis

etnografi merupakan ‘etnografi-diri’ yang di dalamnya terdapat keterlibatan pribadi lalu dianalisa secara khusus. Sementara, otoetnografi secara khusus

19

K. Heider (1975) dalam Carolyn Ellis dan Tony E. Adams, “The Pursposes, Practices, and Principles of Autooethnographic Research: The Oxford Handbook of Qualitative Research, 2014, New York: Oxford University Press.


(45)

digunakan oleh mereka untuk menggali posisi antropologi dan relevansinya terhadap dunia akademis dan masyarakat. 20 Otoetnografi dipakai untuk

menggambarkan antropolog yang menghantarkan dan menulis tentang ‘masyarakat mereka sendiri sekaligus sebagai peneliti yang memilih sebuah “lapangan penelitian”, yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri atau sebuah kelompok.21Meskipun istilah ‘otoetnografi’ tidak terlalu sering

dipakai selama tahun 1980-an, para sosiolog, antropolog, sarjana komunikasi dan lainnya melakukan interpretasi oral, etnografi pertunjukkan, dan peneliti feminis mulai menulis dan menganjurkan bentuk narasi personal, subjektivitas, dan refleksi dalam penelitian. Para peneliti tersebut tertarik pada pentingnya berkisah dan penciptaan budaya, serta secara progresif terlibat dengan jejak pribadi dalam praktik etnografi. Terdapat penolakan gagasan bahwa etnografi harus menyembunyikan subjektivitas di belakang atau menghidupkan terus menerus aura objektivitas dan kemurnian. Para peneliti ini mulai melibatkan diri mereka sebagai bagian dari apa yang mereka teliti, sering menulis cerita tentang proses penelitian dan sesekali memfokuskan diri pada pengalaman mereka sendiri.22

Periode 1990-an banyak bermunculan sumber-sumber mengenai otoetnografi lintas berbagai disiplin ilmu, misalnya Carolyn Ellis menerbitkan sebuah buku:Final Negotiations; Ellis, 1995a) dan lebih dari dua lusin esai tentang otoetnografi dan menyunting dua buku tentang pengalaman pribadi dalam penelitian—Investigating Subjectivity (dengan Michael Flaherty; Ellis, 1992) dan Composing Ethnography (Dengan Art Bochner; Ellis, 1960an) Bochner (1994;

20

Ibid, Goldsmidt (1977)

21

Ibid, Hayano (1979)

22


(46)

1997) menerbitkan esai-esai tentang pentingnya kisah pribadi dan relasinya terhadap teori, lalu bersama-sama Ellis mereka mulai menyunting serial buku Ethnographic Alternatives yang kesemuanya menggambarkan cara dan alasan pengalaman pribadi harus digunakan dalam penelitian. Buku penting lainnya adalah karya dari Reed-Danahay yaitu Auto/Ethnography (1997) dan buku Handbook of Qualitative Research(Denzin & Lincoln, 1994) yang memasukkan bab tentang pengalaman pribadi dan penelitian (Clandinin & Connely, 1994) dan menulis sebuah metode penelitian (Richardson, 1994).23

2. Definisi Otoetnografi

Otoetnografi merujuk pada sebuah pendekatan dan penulisan yang mencoba untuk menjelaskan dan menganalisa secara sistematik pengalaman pribadi (auto) (lihat misalnya Ellis, 2009a; Ellis, Adams, & Bochner, 2011).24

Penelitian ini menentang cara kanonistik dalam melakukan penelitian, yaitu merepresentasi orang lain, dan memperlakukan penelitian sebagai sesuatu yang politis, hanya untuk kepentingan keadilan sosial dan tindakan kesadaran-secara sosial. Seorang peneliti menggunakan prinsip-prinsip otobiografi dan etnografi untuk ‘melakukan’ dan ‘menulis’ otoetnografi. Oleh karena itu, sebagai sebuah metode, otoetnografi merupakan sebuah proses sekaligus hasil (Ellis, Adams, and Bochner 2011).25

Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa

23

Ibid., hal. 255-256.

24

Ibid., hal. 253.

25


(47)

besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam, menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui, membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali. Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya. Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak lapisan kesadaran.26

Otoetnografi menggunakan refleksivitas untuk menggambarkan pertemuan (intersection) antara diri dan masyarakat, yang khusus dan umum, yang personal dan yang politis (Berry & Clair, 2011 dalam Ellis dan Adams: The Oxford Handbook of Qualitative Research 2014). Otoetnografi juga mengenal dan menghormati hubungan antara peneliti dengan orang lain (Ellis, 2007), dan memperlakukan peneliti sebagai sebuah tindakan yang secara sosial sadar (Holman Jones, 2005a) dan membantu memanusiakan secara emosi proses penelitian.27

Otoetnografi juga menyatakan secara tidak langsung hubungan: kisah yang ditulis peneliti menghubungkan antara diri dengan budaya; cara otoetnografer meneliti dan menulis kisah ini menyatukan antara metode ilmu sosial dengan kepekaan estetika kemanusiaan, praktik etnografi dengan bentuk seni dan sastra yang ekspresif. Otoetnografer menulis kisah tentang hidupnya karena berpikir

26

Carolyn Ellis, Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group, hal. 37-38.

27


(48)

bahwa kisah hidup yang khusus dapat membuktikan sebuah cara yang berguna tentang pengalaman manusia secaraumum.

Perlu ditekankan di sini, meskipun dalam otoetnografi diberikan kesempatan untuk menghadirkan pengalaman peneliti cukup besar, tetapi otoetnografi jelas tidak sama dengan otobiografi. Otoetnografi tetap berfokus pada budaya yang hendak diteliti, bukan semata-mata pada diri personal peneliti seperti dalam otobiografi. Untuk persoalan-persoalan tertentu, jika peneliti mempunyai akses yang lebih besar atau bahkan lebih dalam terhadapnya, alih-alih hanya meneliti orang lain, memeriksa persoalan atau wacana yang bekerja di dalam diri sendiri menjadi begitu penting. Kembali lagi ke persoalan ‘objektivitas’, kita menghadirkan pengalaman peneliti melebihi yang dilakukan dalam etnografi tradisi lama, berupaya untuk tidak terjebak pada ‘mengobjektifikasi’ data atau pengamalan hidup orang lain yang diteliti. Kecenderungan untuk mengobjektifikasi pengalaman orang lain ini misalnya adalah ketika peneliti melihat data tersebut secara statis untuk kemudian dianalisa sesuai dengan kerangka teori yang akan dipakai.

Hal lainnya yang bisa ditambahkan tentang otoetnografi, jika merujuk pada Paula Saukko, dapat dilakukan perbandingan dengan pengalaman hidup orang lain.28Dengan demikian, di sini saya lebih memilih komparasi antara diri sendiri

dan orang lain. Jalan semacam ini memungkinkan bukan hanya perbandingan pengalaman tetapi juga (tentu saja) refleksi yang lebih kompleks atas bekerjanya sebuah wacana di dalam diri—baik diri sendiri maupun narasumber—yang tengah 28

Paula Saukko menggunakan otoetnografi dalam rangka menginterogasi pengalaman sebagai anorexia,The Anorexia Self: A Personal, Political Analysis of a Diagnostic Discourse, New York: State University of New York Press.


(49)

diteliti.29 Secara konseptual, untuk mencapainya, otoetnografi menggunakan

prinsip-prinsip hermeneutika atau fenomenologi untuk memahami pengalaman hidup yang berbeda. Selain itu, prinsip fenomenologis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui muatan sosial (social baggage) yang merintangi pemahaman kita mengenai pengalaman yang berbeda. Kedua, adalah agar menjadi lebih kritis atas batasan-batasan pemahaman kita sendiri yang mengembangkan sensitifitas atau keterbukaan melalui kemungkinan perbedaan pengalaman hidup yang radikal.

Karakteristik fitur lainnya, sebagaimana juga fenomenologi, adalah secara khusus tertarik pada moda pengalaman hidup seperti emosi (Douglas, 1977; Ellis, 1991), perwujudan (embodiment) (Merleau-Ponty, 1962) atau yang suci (Buber, 1970; Levinas, 1985) yang seringkali diabaikan dalam penelitian sosial yang berorientasi rasionalistik. Salah satu argumentasi paradigma bahwa ini adalah cara non-rasional untuk berhubungan dengan dunia ini seringkali dihubungkan dengan kelompok-kelompok yang terbungkam, seperti perempuan atau orang non-Barat yang dibungkam oleh dunia Barat, atau laki-laki kulit putih yang berfokus pada rasionalitas. Kemudian, otoetnografi mengembangkan bentuk kajian dan tulisan yang bertujuan untuk lebih adil terhadap emosi dan bentuk-bentuk pengetahuan yang mewujud.30

29

Maso, dalam Paula Saukko,Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications, hal. 57.

30


(50)

3. Strategi Pendekatan

Adapun beberapa model pendekatan yang digunakan dalam metode Etnografi-Baru ini adalah:

a. Wawancara (polyvocality) Bersama Sejumlah Responden di Kota Bandung dan Jakarta

Responden yang akan diwawancarai tidak berdasarkan kategori khusus, misalnya latar belakang organisasi sosial yang diikuti atau tingkat pendidikan. Unsur terpenting yang digunakan untuk memilih responden adalah waktu penggunaan jilbab (sudah lama menggunakan jilbab ataukah sebagai pengguna yang terhitung baru), gaya jilbab yang dikenakan (jilbab modis atau jilbab sederhana), dan yang tak kalah penting adalah unsur konsistensi penggunaan jilbab ( ada yang benar-benar tidak pernah dilepas selama di ruang publik, ada pula yang menggunakan jilbab untuk waktu khusus saja, atau bahkan seorang perempuan yang pernah berjilbab secara konsisten). Adapun nantinya latar belakang organisasi keagamaan hadir, hal tersebut bukan secara sengaja menjadi unsur yang sangat penting tetapi mengemuka begitu saja dari responden. Misalnya, latar belakang organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, atau juga Hizbut Tahrir Indonesia, atau NII. Mereka pun tidak ada yang bersedia untuk menjadi representasi dari organisasi yang memang mereka ikuti.

Responden yang dipilih berjumlah sepuluh orang yang tersebar di Kota Bandung dan Jakarta. Wawancara dilaksanakan secara marathon dari satu responden ke responden yang lain selama kurang lebih dua pekan selama tahun


(1)

untuk melihat sejak kapan kiranya jilbab dipersoalkan, gugatan-gugatan saya mulai lebih jelas. Praktik wacana jilbab pada dasarnya bergulir sesuai dengan sifat kekuasaan yang tersebar kemana-mana tanpa bisa dibendung dan tanpa pusat sehingga menjadi formasi wacana yang berkembang biak terus hingga sekarang. Gugatan yang tadinya diarahkan secara tidak jelas, mulai dilunakkan oleh penemuan bahwa jilbab tidak sepenuhnya sesuatu yang baru. Apakah yang baru dari jilbab itu? Cara orang-orang membicarakannya, membahasnya, lalu menjadikannya sebagai sesuatu yang sedemikian penting dalam keseharian. Itulah kiranya gagasan baru berkaitan dengan jilbab. Jilbab yang sering dibicarakan sehingga menjadi wacana yang beranak pinak itulah yang membuat situasi terkadang menjadi rumit. Jilbab tidak sebatas sebagai yang personal. Jilbab malah berpotensi dijadikan lambang untuk merepresentasikan sesuatu di luar penggunanya.

Karena jilbab sudah dibahas sedemikian rupa oleh siapapun, orang-orang pengguna jilbab khususnya, serta perempuan muslim pada umumnya, berpotensi untuk selalu direpresentasikan dalam batas-batas wacana yang sudah ada tersebut. Representasi yang beredar tidak seragam, tapi bahkan bertolak belakang satu sama lain, yaitu di satu sisi jilbab dipahami sebagai lambang akan terjaganya moral, tetapi di sisi lain juga sebagai perlambang kekolotan dan keterbelakangan. Penilaian stereotipikal semacam itu ternyata tidak mudah dihapus dari keseharian. Menyadari berbagai representasi tersebut, upaya yang penting dilakukan melalui penelitian otoetnografi adalah memberi suara alternatif, suara yang personal.


(2)

kesaksian tetapi lebih dalam lagi. Kesaksikan yang saya bayangkan di sini adalah sebatas melihat pengalaman. Dalam hal ini pengalaman disadari untuk diinterogasi.

Dalam perjalanan penelitian, mulai tampak persoalan yang ada secara lebih jelas. Konsep formasi wacana membuat lebih jelas lagi faktor-faktor yang membuat wacana jilbab menjadi kompleks seperti sekarang ini. Wacana jilbab bukan saja sebatas pada jilbab syariat tetapi sejumlah wacana lainnya, misalnya wacana jilbab Islam Liberal, hingga wacana melepas jilbab. Dengan semakin jelasnya perkembangbiakkan wacana jilbab semacam itu, arahnya tetap saja sama, yaitu hendak merepresentasikan jilbab pada sebatas urusan moralitas. Padahal pengalaman personal jauh melebihi urusan moralitas.

Selain menginterogasi pengalaman personal yang dikaitkan dengan latar belakang sosial dan kultural saya menyandingkan beberapa narasumber sebagai pembanding sekaligus sumber refleksi. Suara personal dalam wacana jilbab semakin kompleks. Suara personal yang muncul, yang dalam hal ini merupakan penemuan penelitian, menjadi lebih kaya. Penemuan penelitian yang dapat saya rangkum adalah sebagai berikut:

1. Jilbab sebagai lokus pengolahan diri yang berdiri bersama wacana-wacana lain, sufisme dan feminisme (hasil interogasi terhadap pengalaman wacana jilbab saya);


(3)

3. Jilbab sebagai penutup aurat yang bersifat konseptual, bukan pada tubuh. Menjaga aurat berarti tidak merugikan orang lain (hasil interogasi pengalaman Rini).

Tetapi setelah menemukan suara yang personal, persoalan tidak selesai sampai di situ. Saat berhadapan dengan hasil penelitian jilbab yang sudah ada, misalnya yang sudah dikerjakan oleh kalangan Indonesianis muncul masalah yang butuh proses untuk dapat membahasakannya. Semula saat membaca hasil penelitian Indonesianis untuk pertama kalinya, saya hanya merasa kurang nyaman tanpa tahu penyebabnya. Setelah dibaca beberapa kali, saya mulai menemukan alasan ketidaknyamanan tersebut. Mereka terlalu percaya diri dapat menggali suara kebenaran tentang jilbab. Tetapi secara mengejutkan, meskipun saya sudah mencoba berulang kali untuk membahasakannya secara jelas, rasa ragu selalu datang. Saya sering dilanda rasa tidak percaya diri dapat mengkritik hasil penelitian mereka. Ternyata posisi saya sebagai perempuan dari dunia ketiga yang biasanya direpresentasikan oleh kalangan dunia pertama berpengaruh terhadap artikulasi. Dibutuhkan upaya untuk meyakinkan diri bahwa kritik saya terhadap mereka cukup beralasan. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka juga berpotensi ‘merebut’ suara yang personal, artikulasi dapat terucapkan sedikit demi sedikit. Artikulasi yang pada dasarnya mau menyatakan bahwa jilbab bukan sebatas alat kontrol bagi moral, yang menuntut kepatuhan mutlak.


(4)

menemukan wujud dan arah yang pasti. Berkat proses penelitian ini, kini gugatan-gugatan saya berkaitan dengan jilbab sudah jelas arahnya, yaitu ditujukan kepada pihak-pihak yang selalu berebut untuk ‘memberi suara’ kebenaran. Suara kebenaran yang berpotensi untuk menghilangkan suara personal. Seakan suara personal tidak mungkin hadir, selain tunduk pada representasi dominan yang ada.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Leila. 2011. The Veil’s Resurgence, From Middle East to America: A Quiet Revolution,New Heaven: Yale University Press.

Aini, Kurrotu. 2014. “Aktivis Pejuang Jilbab” dalamKesaksian Para Pengabdi: Kajian tentnag Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia. Jakarta: Rumah Kitab. Al-Asyamawi, Muhammad Sa’id. 2003. Kritik Atas Jilbab. Jakarta: Jaringan Islam

Liberal.

Aryo, Gatot. 2010.The Jilbab Code, Jakarta: Coretan Book Publishing.

Barker, Chris. 2013.Cultural Studies; Teori dan Praktik.Yogyakarta: Kreasi Wacana. Brenner, Susan. 1996. Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women

and ‘The Veil’,Amerika: American Antropological Association.

Candraningrum, Dewi. 2013. Negotiating Women’s Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia.Thailand: Irasec.

Carrete, Jeremy R. (ed.). 2011. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

El Guindi, Fedwa. 2004. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, Jakarta: Penerbit Serambi.

Ellis, Carolyn. 2004. Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group.

_____, dan Tony E. Adams. 2004. The Pursposes, Practices, and Principles of Autooethnographic Research: The Oxford Handbook of Qualitative Research. New York: Oxford University Press.

Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality Volume I, New York: Pantheon Books.

Hamdani, Deny. 2011. Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH & Co.KG.

Irigaray, Luce, 2005.Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda.Jakarta: KPG.

Juneman. 2010. Psychology of Fashion; Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab]. Yogyakarta: LKIS.

Kumar, Deepa. 2012. Islamophobia and the Politics of Empire, Chicago: Haymarket Books.

Lombard, Denys. 2008.Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan,Jakarta: Gramedia.


(6)

Nadia, Asma. 2014,Jilbab in Love, Jakarta: Asma Nadia Publishing House. O’Farrel, Clare. 2011.Michel Foucault, London: Sage Publications.

Pijfer, G.F. 1934. “Wanita dan Mesjid” dalam Jurnal Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Indonesia Awal Abd XX ,Jakarta: UI Press.

Saukko, Paula. 2008. The Anorexic Self: A Personal, Political Analysis of a Diagnostic Discourse, New York: State University of New York Press.

______, 2008. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications.

Shihab, Quraish. 2004. Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer.Jakarta: Lentera Hati.

Spivak, Gayatri Cakravorty. Can Subaltern Speak? dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader.New York: Harvester/Wheatsheaf.

van Dijk, Kees. 2005.Sarung, Jubah, Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, Yogyakarta: LKIS.

van Wichelen, Sonja. 2007. “Reconstructing ‘Muslimness’: New Bodies in Urban Indonesia” dalam Geographies of Muslim Identities: Diaspora, Gender and Belonging, ... (ed.). England: Ashgate Publishing Limited.

Wichelen, Sonya. 2007. Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia, England: Ashgate Publisihing Limited.

Washburn, Karen. 2001. Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa, dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global,Yogyakarta: Kanisius.

Koran dan Majalah

Meisusilo. Polwil Madura Mulai Berlakukan Jilbab bagi Polwan Muslimah, Koran Jawa Pos: 11 Maret 2009.

Majalah Forum Keadilan, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15. ______, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15.