51 mendorong para perempuan membiarkan kepala tidak tertutup adalah salah
satunya karena para suami senang ketika orang-orang mengagumi konde para istri. Alasan lain adalah mereka menghindari anggapan “fanatik” dalam beragama.
44
Berdasarkan data tersebut, dapat kita temukan bahwa cara menutup aurat dengan menggunakan kerudung sudah mulai disebarkan atau tepatnya
dipermasalahkan oleh kalangan Persis melalui Ahmad Hassan meskipun daya jangkaunya belum luas.
3. Kerudung dalam Ruang Sosial
Fedwa El Guindi yang melakukan penelitian tentang antropologi jilbab secara panjang dalam mendalam
di berbagai negara khususnya Mesir,
menyinggung hasil penelitian yang dilakukan oleh Makhlouf bahwa jenis-jenis tutup kepala merupakan indikator kondisi sosial seseorang dalam masyarakat dan
juga status sosial.
45
Penelitian Makhlouf yang dilakukan di Yaman ini menemukan bahwa terdapat beberapa jenis penutup kepala yang berbeda-beda bergantung
status sosial pemakainya, misalnya status menikah atau lajang. Bagaimanakah halnya dengan kerudung atau selendang dalam konteks Jawa atau Sunda? Deny
Hamdani sudah menjelaskan bahwa kerudung dipakai oleh kalangan santri yang berafiliasi dengan organisasi Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama. Sementara
saya menunjukkan bahwa kerudung atau selendang yang dikerudungkan dikenakan juga oleh kalangan perempuan yang tidak termasuk pada organisasi
Islam tersebut.
44
Kees van Dijk, hal. 97
45
Fedwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2004, Jakarta: Penerbit Serambi, hal.99.
52 Lalu bagaimanakah penggunaan kerudung atau selendang ini direspons
oleh lingkungan di sekitar mereka? Jika kerudung atau selendang merupakan salah satu bentuk dari ekspresi standard kesopanan lokal, dalam aktivitas apa sajakah
penggunaannya? Lantas bagaimanakah respons terhadap perempuan yang tidak mengenakannya? Kembali pada aktivitas sehari-hari perempuan Sunda, misalnya
yang dilakukan oleh nenek saya di Bandung. Ia akan mengenakan selendang baik disampirkan di pundak ataupun sesekali naik ke kepala di saat melakukan
aktivitas di luar rumah secara formal, misalnya mengunjungi hajatan atau pesta pernikahansunat. Saat pergi ke luar rumah seperti ke pasar, ia tidak
mengenakannya. Demikian juga saat ia menerima tamu di rumah, hanya pakaian kebaya dan kain yang dikenakannya. Sementara nenek yang berada di desa, tidak
terlalu jauh berbeda. Meskipun sesekali nenek mengenakan mihram yang dilipat di kepala seperti layaknya para perempuan Minang, saat ia menengok sanak saudara
atau mengontrol sawah. Merujuk pada aktivitas perempuan Sunda yang berada secara spesifik di
kota Bandung dan wilayah pedesaan Garut, rambut bukanlah bagian dari tubuh yang teramat sakral sehingga terlarang untuk ditunjukkan di muka umum. Rambut
panjang para perempuan digulung secara rapi lalu ditusuk dengan konde yang indah. Selendang atau kerudung yang terbuat dari kain transparan dan tipis masih
dapat memperlihatkan keindahan rambut yang ditata sedemikian rupa. Tetapi jika merujuk pada kalangan santri yang digambarkan oleh Deny, keadaannya tidak
persis sama. Apalagi perempuan di kalangan Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama kerap melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan politik. Seperti yang para
perempuan NU yang menjadi anggota parlemen, seperti Mahmudah Mawardi,
53 Maryam Kantasumpena, Maryamah Junaiedi, Hadiniyah Hadi, dan Asmah
Sjahruni.
16
Walaupun demikian, untuk menyimpulkan secara monolitik jelas tidak mungkin, terlebih dengan adanya protes Hasan terhadap para perempuan baik
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Persatuan Islam yang membiarkan kepala mereka terbuka saat menjabat sebagai pejabat publik atau mendampingi suami
yang menjadi pejabat.
46
4. Jilbab dalam Konteks Global