Jilbab dalam Konteks Global

53 Maryam Kantasumpena, Maryamah Junaiedi, Hadiniyah Hadi, dan Asmah Sjahruni. 16 Walaupun demikian, untuk menyimpulkan secara monolitik jelas tidak mungkin, terlebih dengan adanya protes Hasan terhadap para perempuan baik Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Persatuan Islam yang membiarkan kepala mereka terbuka saat menjabat sebagai pejabat publik atau mendampingi suami yang menjadi pejabat. 46

4. Jilbab dalam Konteks Global

Seperti halnya di Indonesia, terdapat keanekaragaman pakaian tradisional di kawasan Timur Tengah, demikian juga di Iran. Perbedaan dapat terlihat berdasarkan daerah, suku, kelompok agama dan kelas sosial. Pakaian tradisional tersebut berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Chalebi seperti yang dijabarkan oleh El Guindi, “jilbab” bagi perempuan beraneka ragam tergantung pada provinsi dan strata sosialnya. 47 Selain bentuknya yang berbeda- beda, penggunaan Di Iran, terdapat jenis penutup tubuh berupa jubah yang disebut chador. Chador adalah kain hitam pembungkus tubuh dari kepala sampai kaki, yang biasa dikenakan oleh perempuan tradisional di desa dan di kota sebelum terjadinya masa revolusi. Demi tujuan Westernisasi, Syah kemudian melarangnya, lalu setelah revolusi Islam demi melestarikan tradisi maka chador diperintahkan untuk dikenakan. Sementara itu, Leila Ahmed terdorong untuk melakukan penelitian tentang jilbab setelah disaksikannya adanya perubahan dalam cara 46 Kees van Dijk, hal. 96 47 El Guindi, hal. 200. 54 menutup tubuh para perempuan. 48 Sejak masa kecilnya, di Kairo, Leila menyaksikan adanya perbedaan antara penutup tubuh yang dipakai para perempuan secara tradisional dengan jilbab yang muncul bersamaan dengan adanya gerakan Islamisme Muslim Brotherhood atau dikenal dengan Ikhwanul Muslimin. Leila juga menerangkan bahwa semula para perempuan yang taat dan saleh tidak mengenakan jilbab seperti yang kemudian tersebar luas itu. Tetapi kemudian para perempuan, pada tahun 1970-an mulai banyak yang mengenakan jilbab. Leila mempertanyakan mengapa para perempuan mengadopsi jilbab, mulai dari negara-negara Timur Tengah dan ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk Amerika. Respons terhadap para perempuan yang tiba-tiba mengenakan jilbab secara sangat tertutup, mulai dari kepala sampai ujung kaki, bahkan termasuk muka banyak dibahas oleh El Guindi. Misalnya, respons yang sangat meremehkan datang dari kalangan sekularis radikal, yang mengolok-olok gejala baru ini dengan bahasa eksklusif dan materialis, “Wanita-wanita ini menutup rambutnya karena mereka tidak punya uang untuk pergi ke penata rambut”. Mereka juga dicap sebagai “mereka berjilbab untuk menutupi tampang buruknya.” Sementara reaksi yang paling umum diekspresikan dengan istilah-istilah kelasgaya hidup, “mahasiswa-mahasiswa dari kalangan rakyat jelatamiskin merasa minder dengan kehidupan kota besar”. Respons yang menyerang moralitas juga muncul seperti, “mereka berjilbab untuk menutupi hubungan seksual gelapnya dan perilakunya yang tak bermoral. Penelitian-penelitian mengenai jilbab pun dibuat. Para ilmuwan sosial Mesir secara berulang-ulang mengklaim bahwa “kelas” sosial 48 Leila Ahmed, The Veil’s Resurgence, From Middle East to America: A Quiet Revolution, London: Yale University Press, hal. 3-4. 55 merupakan faktor yang mendorong munculnya gejala baru itu, yaitu kehilangan orientasi di kalangan pemuda dari golongan pedesaan yang baru bermigrasi ke pusat-pusat kota dan kembali pada agama sebagai pelipur lara atau menghapus asal-usulnya. 20 Pada intinya, berbagai upaya untuk menjelaskan fenomena jilbab yang telah muncul di tahun 1970-an itu dikaji dengan berbagai macam pendekatan dan menghasilkan bermacam-macam kesimpulan. Bahkan kalangan feminis Barat pun turut serta berargumen bahwa jilbab tidak benar-benar membebaskan mereka karena jilbab adalah berbahaya dan berujung ganda. 49 Jilbab di berbagai negara Timur Tengah, dengan demikian juga merupakan cara berpakaian yang menyebar secara pasti. Cara berpakaian yang secara visual tidak sama persis dengan pakaian tradisional itu telah memicu berbagai penafsiran bahkan reaksi keras. Lalu secara bertahap, juga memasuki masyarakat Indonesia, melalui kalangan perempuan-perempuan muda seperti pelajar dan mahasiswa.

5. Kode Moral dalam Wacana Jilbab