Jilbab dan Poligami NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL

193 perempuan berjilbab dalam sebuah negara dipahami sebagai tanda betapa tertindasnya perempuan di negara tersebut. Setelah memperhatikan ciri-ciri nada universalime etnosentris di atas, saya akan memberikan salah satu contoh tulisan mengenai jilbab yang ditulis oleh seorang Indonesianis. Berdasarkan salah satu contoh tersebut, menjadi sangat relevan bagi saya untuk menggunakan metodologi otoetnografi dalam meneliti jilbab.

1. Jilbab dan Poligami

Ciri khas tulisan tentang perempuan dunia ketiga yang bersifat orientalistik di antaranya adalah penyamaan antara jilbab, sunat perempuan, purdah segresi perempuan dan poligami. Penyamaan berbagai macam isu semacam ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa perempuan dunia ketiga rata-rata menjalani hidup yang pada dasarnya terpangkas berdasarkan jender femininnya dihambat secara seksual dan menjadi Dunia Ketiga baca: bodoh, miskin, tidak berpendidikan, dibatasi tradisi, religius, dijinakkan berorientasi pada keluarga, menjadi korban dan lain-lain. Dengan gaya bahasa yang tidak eksplisit, jika dibaca secara lebih kritis, beberapa ciri tersebut ada dalam tulisan Wichelen, Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia 2007. 88 Dalam tulisan Wichelen, kita akan menemukan penjabaran mengenai hadirnya imaji tubuh muslim yang baru, yang muncul setelah berlalunya era 88 Sonja van Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” dalam Geographies of Muslim Identities: Diaspora, Jender and Belonging, 2007, England: Ashgate Publishing Limited, hal.93. 194 Suharto. Tubuh feminin muslim hadir melalui jilbab. Berlawan dengan itu, tubuh maskulin muslim hadir melalui poligami. Wichelen tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa baik jilbab maupun poligami bersifat menindas perempuan. Tetapi melalui cara pemaparan tersebarnya jilbab di Indonesia ini sebatas sebagai pengaruh dari sosial politik, seakan jilbab dilepaskan dari konteks penggunanya. Jilbab hanya dilihat dari unsur fisiknya saja untuk kemudian diambil sebagai bahan dasar imaji tubuh muslim feminin. Di dalam tulisan Wichelen, kita tidak akan menemukan suara pengguna jilbab sedikit pun karena jilbab hanya dimampatkan menjadi sebuah imaji, yang tentu saja terkesan kaku. Kemudian, pembahasan imaji beralih pada poligami. Sebenarnya, antara praktik jilbab maupun poligami tidak terhubung sama sekali. Jika dikembalikan pada proses praktik wacananya, jilbab baru saja mengalami problematisasi sejak tahun 80-an untuk kemudian menemukan formasi wacananya secara bertahap hingga sekarang. Asumsi ketundukkan perempuan Muslim pada wacana jilbab secara mutlak sudah saya bahas dalam subbab kedua. Ketundukkan terhadap wacana jilbab tidak bersifat mutlak karena dalam hidup sehari-hari, berbagai wacana lainnya juga ikut masuk dan saling menunjang satu sama lain. Sementara itu, jika kita menilik pada wacana poligami, baik aturan maupun muatan teologisnya sama sekali tidak sama dengan jilbab. Poligami bukanlah semacam cara ‘berpakaian’ atau hidup yang harus dipraktikkan oleh seorang muslim. Secara sederhana, poligami adalah sebuah cara hidup yang sangat terbatas dan khas, dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Tetapi dalam tulisan-tulisan yang orientalistik mengenai posisi perempuan di negara-negara mayoritas muslim seringkali terjadi penyejajaran antara kedua isu tersebut. Tema 195 yang digarisbawahi melalui kedua isu tersebut adalah pada dasarnya mengenai kondisi perempuan muslim yang terkesan di bawah dominasi laki-laki, dikontrol oleh keluarga, serta tidak punya daya agensi apa pun. Dalam cara berpakaian, perempuan muslim harus patuh mengenakan jilbab. Sedangkan dalam berkeluarga, ketika mereka berada dalam poligami, sudah jelas mereka ditindas karena tidak berdaya untuk memilih selain diatur oleh laki-laki. Lebih lanjut lagi, Wichelen menggambarkan poligami melalui isu yang saat itu sedang berkembang dalam berbagai media, yaitu tentang Puspo Wardoyo yang menyelenggarakan ‘Polygamy Award’. Puspo Wardoyo dikenal sebagai laki-laki berduit sehingga sanggup memperistri lebih dari satu orang perempuan, atau poligami. Mengenai poligami ini, Wichelen sepenuhnya hanya menjelaskan tentang Puspo Wardoyo, yang sebenarnya merupakan isu sesaat saja yang sempat meledak di media-media. Puspo Wardoyo dengan poligaminya tidak cukup untuk dijadikan sebagai bahan dasar hadirnya imaji tubuh muslim maskulin laki-laki di Indonesia. Apalagi jika disandingkan dengan wacana jilbab yang sejarahnya jauh lebih rumit daripada isu poligami yang hanya merujuk pada Puspo Wardoyo. Melalui penyandingan dua isu yang sama sekali tidak berbanding ini, justru terkesan bahwa Wichelen telah menggambarkan bahwa perempuan muslim di Indonesia adalah perempuan yang tidak mempunyai agensi, tidak berdaya karena dalam cara berpakaian mereka tunduk patuh pada jilbab, sedangkan dalam berkeluarga ada dalam dominasi laki-laki sehingga tidak dapat menghindarkan diri dari poligami. Hal ini sesuai dengan ciri yang disebutkan oleh Mohanty di atas, perempuan dunia ketiga selalu didefinisikan sebagai korban yang tidak berdaya atau dilihat sebagai 196 objek penindasan. Analisis sudah dimulai dengan asumsi bahwa perempuan ditindas laki-laki di manapun di dunia, termasuk di Indonesia. 89

2. Jilbab dan Esensialisme