Antara Standard Lokal dan Religiusitas

49

2. Antara Standard Lokal dan Religiusitas

Aspek penting yang perlu dikemukakan dalam penggunaan penutup kepala yang sudah dijabarkan di atas adalah muatan wacana yang mendorongnya, baik dalam kerudung, tudung, tiyung, atau mihram. Deny, menggunakan kategori seperti estetika, kepantasan, standard lokal atau konservatisme untuk membahasakan wacana dalam kerudung yang ia teliti. 42 Di sini, saya meminjam kategori-kategori tersebut untuk mencoba menelusuri adakah perbedaan antara muatan standard lokal atau religiusitas dalam aneka penutup kepala yang sudah dijelaskan di atas. Hal ini perlu untuk mengetahui bagaimanakah cara para perempuan pada masa itu terdorong atau didorong untuk mengenakan penutup kepala, khususnya saat berada di muka umum. Ibu Sri, 43 seorang perempuan Jawa berusia 60 tahun, yang menghabiskan masa kecilnya di kota Magelang bercerita tentang ibu atau neneknya dalam menggunakan selendang atau kerudung. Dalam menyebut sehelai kain yang ia tunjukkan kepada saya, Ibu Sri terkadang menyebutnya selendang, atau slayer bahkan kerudung bergantung cara mengenakan kain tersebut. Kain berukuran persegi panjang mirip brokat tersebut disebutnya sebagai selendang saat dikenakan di salah satu pundak dalam keadaan terlipat rapi. Biasanya cara penggunaan semacam itu saat ibu atau neneknya berangkat ke acara resmi seperti hajatan perkawinan. Sementara jika kain tersebut dibentangkan lalu disampirkan pundak lalu naik ke kepala untuk mendatangi acara kematian, ia menyebutnya sebagai dikerudungkan. Saat ia ditanya cara keluarganya membahasakan cara 42 Deny Hamdani, hal. 33 43 Sri. 24042015 Wawancara. Yogyakarta. 50 pemakaian kain tersebut, ia menjelaskan bahwa tidak ada bahasa khusus berupa nada perintah untuk mengenakannya. Kain tersebut dikenakan lebih sebagai dorongan kepantasan atau standard lokal perempun pada masa itu. Sedangkan pada acara khusus seperti pengajian, penggunaan kain sebagai kerudung pun tidak terlampau ditekankan, meskipun banyak perempuan memang sengaja mengenakan kain dengan cara dikerudungkan. Ia sempat berseloroh bahwa dalam pengajian yang terkadang ia ikuti, yang paling penting adalah ia mendengarkannya dengan telinga, bukan dengan kerudungnya. Maksudnya adalah pada masa tersebut, di lingkungannya masih memungkinkan para perempuan tidak mengenakan kain yang dikerudungkan meski dalam acara religius. Cara penggunaan kain yang dikerudungkan pun tidak terbatas pada kalangan santri, atau guru mengaji. Tetapi walaupun dalam pengalaman Bu Sri penggunaan kerudung dan semacamnya cukup longgar dan merupakan ekspresi kepantasan dan standard lokal secara umum, tidak sepenuhnya demikian. Dorongan wacana yang ada bergantung juga pada afiliasi dengan organisasi Islam secara khusus. Meskipun bukan berarti tersebar secara merata di berbagai wilayah seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Menurut data yang dikemukakan oleh Van Dijk, pada tahun 1930- an, tokoh terkemuka Persatuan Islam Persis yaitu Ahmad Hassan, mengeluh bahwa sebagian besar perempuan birokrat Jawa dan elit keagamaan tidak memakai kerudung, demikian pula para istri dan puteri pemimpin tingkat tinggi Jawa seperti bupati—dan banyak Muslim yang saleh. Misalnya adalah pemimpin organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Persatuan Islam sendiri. Ahmad Hassan berpendapat bahwa alasan yang 51 mendorong para perempuan membiarkan kepala tidak tertutup adalah salah satunya karena para suami senang ketika orang-orang mengagumi konde para istri. Alasan lain adalah mereka menghindari anggapan “fanatik” dalam beragama. 44 Berdasarkan data tersebut, dapat kita temukan bahwa cara menutup aurat dengan menggunakan kerudung sudah mulai disebarkan atau tepatnya dipermasalahkan oleh kalangan Persis melalui Ahmad Hassan meskipun daya jangkaunya belum luas.

3. Kerudung dalam Ruang Sosial