77
3. Yang Berbeda Tafsir, Yang Tersisih
Pada era pasca-reformasi ini, popularitas jilbab di masyarakat secara umum telah begitu kuat. Terutama dalam penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam
percakapan sehari-hari maupun dalam tulisan yang tercetak di media massa, istilah jilbab sudah menjadi hal biasa. Sambil sesekali istilah jilbab digantikan
dengan istilah yang terkesan lebih trendi, seperti ‘hijab’. Penggunaan istilah kerudung masih dapat ditemui dimana-mana, tetapi istilah jilbab atau hijab jauh
lebih populer. Popularitas seperti ini, ditanggapi sebagai sebuah kebenaran yang sudah mutlak atau ‘sudah dari sononya’. Jilbab dianggap sebagai cara berpakaian
yang menutup tubuh sedemikian rupa yang telah diperjuangkan selama beberapa dekade. Jilbab dianggap sebagai cara berpakaian yang sudah sepantasnya
dikenakan perempuan muslim manapun. Sementara itu, sejarah para perempuan muda yang secara eksklusif memilih jilbab ini pada tahun 80-an menjadi
terlupakan. Sedemikian populernya jilbab ini, sikap ‘memilih’ para perempuan muda tersebut tidak demikian diingat. Hal yang diingat adalah jilbab
diperjuangkan sedemikian rupa. Sehingga, kini sudah selayaknya siapapun apalagi perempuan muda seperti pelajar dan mahasiswa mengenakan jilbab.
Perdebatan mengenai sejauh mana jilbab ini harus digunakan pada era pascareformasi ini sudah tidak terlalu kuat seperti masa-masa sebelumnya.
Banyak kalangan, dimanapun, sudah menjadikan jilbab sebagai bagian dari cara berpakaian sehari-hari. Mulai dari busana pengantin dengan ragam desainnya,
imaji perempuan santun di desa, hingga anak-anak perempuan belum berusia baligh pun telah diberi jilbab. Jilbab diserap sebagai bagian penting dari cara
78 berbusana sehari-hari maupun khusus. Jika pada tahun 80-an saya masih bisa
menemukan dengan mudah dialog mengenai jilbab dalam keseharian seperti, “Emang jilbab wajib gitu?”, kini tidak sama lagi. Nada yang diungkapkan mengenai
jilbab ini adalah, “Kapan Anda akan mengenakan jilbab, bukankah jilbab kewajiban bagi kita?”
Para pemuka agama secara umum, melalui media massa maupun pertemuan publik menyebarkan jilbab sebagai sebuah kewajiban yang tak bisa
ditawar lagi. Seakan wacana mengenai jilbab ini sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Lantas apa jadinya jika masih ada kalangan yang berasal dari pemuka agama
menyatakan bahwa jilbab tidak wajib? Dan mengapa sampai muncul argumentasi dari kalangan tertentu, yang menyatakan bahwa jilbab adalah bagian dari kultur
Arab? Terdapat fenomena yang patut untuk digarisbawahi terkait dengan hal tersebut. Kalangan yang tidak bersepakat dengan warna wacana jilbab
sebagaimana yang diyakini masyarakat pada umumnya mendapat tempat yang berbeda. Warna wacana jilbab di sini adalah jilbab diyakini sebagai cara
berpakaian sedemikian rupa, yang menutup batas-batas yang sudah disepakati berdasarkan Al-Qur’an, tidak bisa ditawar lagi. Dalam hal ini, saya akan
mengangkat fenomena Quraish Shihab, seorang penafsir Al-Qur’an terkemuka di negeri ini, yang sempat menuai perdebatan publik cukup keras yang disebabkan
oleh perbedaan warna wacana jilbab yang ia kemukakan. Untuk mendapatkan pembanding warna wacana yang berbeda, saya akan mengangkat wacana jilbab
yang dikemukakan oleh Jaringan Islam Liberal melalui buku yang mereka terbitkan.
79
4. Hilangnya Relatifitas JilbabHijab