121 yang berikutnya harus kucapai? Sensualitaskah? Apakah nantinya aku akan masuk
kedalam wacana tubuh ideal? Sejak saat itu aku jadi lebih memperhatikan tubuh, tetapi bukan dalam kerangka sejauhmana tubuh harus ditutup tetapi sebaliknya:
Tubuh yang ideal adalah tubuh tanpa lemak Tiba-tiba aku jadi sering memperhatikan bentuk-bentuk tubuh perempuan, apakah berlemak atau tidak,
padat atau bergelambir. Demikian juga dengan rambut, tidak lagi kuperhatikan cara menutupnya tetapi apakah rambut tersebut terawat atau tidak, indah atau
tidak. “Tangan-tangan” yang berusaha mendefinisikan diri, kini telah berubah, atau mungkin malah bertambah. Tubuh tidak pernah lepas dari wacana yang berebut
hendak mendefinisikan dirinya.
B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP
Kini, jilbab telah benar-benar melahirkan makna yang lebih baru lagi. Baik maknanya secara personal maupun umum. Di mana-mana para perempuan, dari
berbagai usia mengenakan jilbab dengan gayanya sendiri. Situasi seperti ini tidak lahir dalam setahun atau dua tahun. Semua berjalan perlahan. Orang-orang
semakin terbiasa menemukan perempuan berjilbab, di manapun, siapapun. Tak ada lagi ledekan “Ninja” bagi pengguna jilbab. Hal sebaliknya malah dapat terjadi
yaitu perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab bisa mengalami pengalaman tidak mengenakkan. Di masa 90-an mungkin tak dapat misalnya, jika
ia memasuki wilayah yang jelas-jelas menggunakan Islam sebagai bagian penting, misalnya sekolah atau instansi, mereka harus mengenakan jilbab. Jika tidak
mengenakan jilbab, seakan terdapat stigma bahwa mereka belum menjadi perempuan Muslim yang penuh.
122 Seorang kawan bertanya, “Apa makna jilbabmu sekarang?” Menjawab
pertanyaan itu susah-susah gampang. Jilbab bagiku tidak lagi sebatas “kewajiban” atas nama agama ataupun sebagai perlindungan diri dari mata laki-laki. Cara
memandang tubuh pun semakin cair seiring dengan pengalaman tubuh yang semakin beragam. Jilbab juga tidak lagi bermakna ketat dan berat seperti masa-
masa sebelumnya. Meskipun sebaliknya, wacana jilbab semakin menguat. Ungkapan yang dibawa Mira saat dulu yang menyatakan bahwa jilbab tidak wajib,
kini sulit didengar secara biasa saja. Alasan yang panjang dan lebar harus menyertainya jika tidak ingin dianggap sebagai bagian aliran Islam sesat.
Jika kau pergi ke toko buku, di sana dapat kau temukan aneka buku mengenai jilbab kebanyakan ditulis oleh laki-laki yang lebih mengedepankan
pesan moral di dalamnya. Mereka ingin melihat kita menutup tubuh sedemikian rupa Padahal mereka tidak tahu jilbab bukan sekadar melaksanakan aturan
agama. Ya, ada saja penulis yang seperti itu. Atau kau juga bisa mencoba mengambil satu buku yang mengemukakan mengenai pendapat jilbab dari seorang
selebritis misalnya, maka kau akan menemukan betapa jilbab terkadang diletakkan kedalam posisi yang terbatas. Posisi yang selalu ada pada batasan
moral. Seakan segala kisah yang ada dibalik jilbab adalah kisah “positif” dan moralis semata. Apakah memang demikian adanya? Oleh karena itu, aku akan
mengajakmu “menemui” kawan-kawanku sesama pengguna jilbab dan juga mantan pengguna jilbab. Mereka bukan selebritis. Mereka juga bukan politisi.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang mudah kau temui sehari-hari. Mereka, adalah kawan-kawan yang mau berbagi mengenai pengalaman
berjilbab. Sebagian besar aku telah mengenal mereka sebelumnya. Beberapa cara
123 kulakukan agar percakapan mengenai jilbab ini dapat berjalan dengan nyaman,
seperti obrolan dua orang perempuan yang tengah curhat saja, bukan tengah melakukan wawancara yang kaku. Ada yang berhasil kulewati dengan nyaman, ada
juga yang tidak. Semua bergantung pada berkelindannya obrolan. Masing-masing obrolan berjalan dalam waktu yang berbeda-beda. Ada yang berlangsung hingga
tiga jam, bahkan ada juga yang cukup setengah jam saja.
Dalam bentangan sehelai kain yang sering disebut sebagai jilbab, kerudung, lalu kemudian hijab, kisah kami bernaung. Kami perempuan berbeda-beda latar
belakang dan usia mengalami jilbab dalam rentang waktu tertentu. Bagiku, jilbab yang telah dialami selama hampir 20 tahun, mempunyai warna yang unik. Unik
karena sekali waktu terasa begitu bermakna karena merasa menjadi lambang kepatuhan, di sisi lain penuh harapan untuk dapat terlindungi karena
menggunakannya. Tetapi di sisi lain, sekali waktu terasa tidak bermakna apa pun selain sebatas cara berdandan tertentu.
Kisah dimulai ketika aku tiba di Kota Jakarta sebelum tengah hari. Tetapi begitu turun dari kereta api yang ber-AC, kurasakan terik hari mulai menyengat.
Lagi-lagi aku merasa salah kostum. Tapi apakah aku memang salah kostum? Meski sudah kubuka pakaian luar berupa Cardigan, aku tetap kepanasan. Pada dasarnya
tubuhku selalu saja menanggapi rasa panas kota secara tidak bersahabat. Saat ini aku akan menemui Rini di kantornya yang jaraknya lumayan jauh dari stasiun
kereta Gambir.
124 Setelah merasakan teriknya panas matahari di perjalanan, aku bertemu
dengan Rini di kantornya. Bukan hanya terpaan AC yang membuatku merasa tidak kegerahan. Tetapi sosok perempuan di depanku membuat gerahku lenyap. Rini,
yang saat kuwawancarai masih tercatat sebagai mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tidak mengenakan jilbab atau kerudung. Aku
sudah tahu ceritanya dari seorang kawanku yang mengatakan bahwa Rini adalah aktivis perempuan yang telah melepas jilbab belum lama ini. Cara Rini berpakaian
sangat santai. Dia mengenakan rok selutut berpotongan lebar dengan padu padan kaos berlengan pendek. Hey, bukankah cara berpakaiannya ini adalah gaya
berpakaian favoritku? Seperti saat aku tengah berada di pantai Yogyakarta? Ya, aku tiba-tiba mulai cemburu karena Rini, yang seorang aktivis perempuan, berusia
jauh lebih muda daripada aku tetapi sanggup melepas cara berpakaian yang sudah lama akrab dengannya, yaitu jilbab. Rambutnya pun dipotong pendek hingga di
atas telinga seperti potongan rambut laki-laki. Sungguh potongan rambut yang sangat berani pula. Kisah hidup seperti apa yang telah dialami oleh Rini sehingga
berani memilih gaya yang sekarang? Aku mulai bertanya, “Bagaimana awal kamu mengenal jilbab?” Rini
menuturkan, “Aku sempat mengenakan jilbab permanen saat duduk di SMP. Di Sekolah Dasar pas lagi ngaji aja atau pas acara keluarga disuruh pakai jilbab oleh
orang tua. Bukan keluarga pesantren, tapi kakek punya yayasan yang berafiliasi dengan Islam, Islam fundamental banget, literal Al-Qur’an bangetlah. Keluarga
besar mengabdi di sana, kecuali orangtuaku. Sempat juga dipaksa mengabdi. Keluargaku mempunyai doktrin bahwa jilbab itu baik, berpahala dan itu ajaran
agama. Jadi sejak SMP, aku dimasukkan ke yayasan kakek, dan pakai jilbab di situ,
125 semi pesantren. Aku juga harus tahajud setiap malam. Lulus SMP masuk pesantren
di Banten, 2003. Empat tahun pesantren. 2007 Tmii aliran Gontor juga. Doktrin jilbab makin kental.” Sejujurnya, tak kusangka Rini berasal dari latar belakang
keluarga kental keislamannya seperti itu. Apa tanggapan keluargnya jika mengetahui gayanya saat ini? Keberaniannya untuk memilih gaya yang sekarang
tentu mempunyai pemicu yang kuat. “Tapi, tepatnya siapa yang pertama kali mengenalkan jilbab sama kamu?”
tanyaku. “Yang menyuruh berjilbab adalah ayahku. Ayah awalnya ngajarin bahwa perempuan harus tutup aurat. Naik kelas 4 SD sudah mulai pakai jilbab. Kalau
beres ngaji ditanya ayah. Kalau pakai celana pendek bermasalah. Semakin dewasa semakin sangat dikontrol. SMP kalau keluar rumah ga pakai kerudung dimarahi
ayah. Sedangkan, ibu, lebih mau membuka dialog. Tapi sejak ayah naik haji 2008, makin ketat. Di rumah juga ga boleh pakai baju tidur pendek padahal tadinya
boleh. Kalau pake celana pendek, ayah ngambil sarung untuk kupakai. Sebenarnya ayah bukan keluaran pesantren tapi mendapat pengaruh dari kakek. Ajaran kakek,
apa pun persoalan hidup maka kita harus kembali ke Al-Qur’an. Semuanya dikembalikan ke Al-Qur’an, mentah-mentah tanpa interpretasi. Ayahku
Palembang, ibu Jawa. Keluarga ibu di Jawa lebih religius tapi tidak memaksakan. Untuk urusan keagamaan tidak ada pemaksaan. Tante-tantenya ada yang tomboy,
pake rok mini, celana pendek, nenek tidak marah. Menurut nenek, mereka sudah diajari agama, mereka tahu mana yang baiktidak. “ Jilbab telah masuk kedalam
kehidupan Rini dengan warna yang cenderung ‘memaksa’ karena kekentalan Islam di keluarganya. Untuk hal semacam ini, aku tidak pernah mengalaminya.
Keluargaku bukan keluarga yang mempunyai keterikatan khusus dan kuat dengan
126 organisasi Islam manapun, bukan pula keluarga santri. Rini mengenal jilbab lebih
dahulu dari pihak luar, yaitu keluarga, bukan karena pencarian diri terlebih dahulu.
Dari penuturan Rini lebih lanjut tentang keluarganya, aku semakin sadar bahwa latar belakang keluarga kami sangat jauh berbeda sehingga cara berkenalan
dengan jilbab pun sangat berbeda pula. “Ibu, karena ada pemahaman ikut suami, apa yang ayah katakan pasti baik. Sejak saat itu berjilbab permanen. “ Dengan
menyimak cara Rini berhadapan dengan jilbab dan orangtua pun sangat berbeda. Dulu ayahku malah cukup heran dengan pilihanku untuk mengenakan jilbab. Aku
pun tidak sembunyi-sembunyi untuk mengenakannnya. Akibat merasa begitu dipaksanya untuk berjilbab, Rini bahkan sempat
ketika ia sekolah di pesantren Rini sempat kabur. Rini bak seorang ketua sebuah kelompok anak muda, mengajak serta kawan-kawan sekelasnya untuk melarikan
diri. Mereka lari ke daerah pantai. Di sana Rini membuka jilbabnya sambil berkata, “Apaan sih ini? Gue bete banget pake beginian.” Kawan-kawan perempuannya saat
itu menegur Rini karena tindakannya melepas jilbab. Rini pada usia belia telah melakukan pemberontakan pertamanya, meski hanya beberapa saat. Rini
kemudian kembali mengenakan jilbabnya. Ada rasa bersalah juga pada dirinya karena melepas jilbab. Tetapi pemberontakannya membawanya pada pertanyaan
terus menerus mengenai ‘apa itu jilbab’. Ketika di universitas, pencariannya tentang jilbab dimulai. Rini berpikir,
bahwa tradisi jilbab bukan hanya terintegrasi dengan Islam. Banyak budaya yang juga kira-kira punya tradisi menutup tubuh seperti jilbab dalam Islam. Pikirnya,
127 “Oh tradisi jilbab ternyata tidak dimiliki Islam saja. Kebetulan saja aku berada
dalam lingkungan Islam. Yahudi juga berjilbab, kalau begitu jilbab bukan tuntunan agama. Ada semacam budaya yanga berkelanjutan dengan jilbabnya itu.” Rini terus
mempertanyakan dan memperluas wawasan tentang jilbab. Pertanyaan seperti cara menutup aurat di Timur Tengah yang berlaku bagi muslim maupun
nonmuslim membawanya pada wawasan tentang menutup aurat akibat latar belakang geografis. Faktor seperti terik matahari dan debu di kawasan Timur
Tengah adalah faktor-faktor yang mendukung cara menutup aurat sedemikian rupa. Rini menjelaskan juga tentang kalangan yang memahami jilbab sebagai
pembacaan literal terhadap surat Annisa, yang diterjemahkan secara mentah lalu dikonsumsi secara mentah juga lalu disebut sebagai kewajiban.
Tetapi Rini menambahkan pikirannya mulai berubah saat bertemu dengan jilbab yang makin beragam. Ia juga menambah banyak literatur soal jilbab, yang
menurutnya mulai dari pandangan yang sangat kanan sampai yang kiri sekali. Jilbab menurut Fatima Mernissi, Nasaruddin Umar, Quraish Shihab, juga menurut
Musdah Mulia ia lahap. “Aku banyak melihat ulang, pemikiran garis lain, misalnya yang kanan banget seperti tuntunan berjilbab dalam Islam, terbitan buku-buku
kanan. Sampai kemudian mengkaji secara sosio-kultural. Seiring dengan pemahaman dan wawasan yang berubah dan bertambah,
demikian juga yang terjadi pada jilbab yang dikenakannya. Rini mulai mengenakan celana panjang. Suatu waktu jilbabnya diikat ke belakang demi kepraktisan. Lalu
berubah menjadi semacam sehelai selendang yang menyampir di pundak. Hingga kemudian ketika ia berkesimpulan bahwa jilbab lebih bersifat kontekstual,
campuran antara budaya yang kental, Rini mulai berbeda dalama memaknai
128 jilbabnya. Sejak Oktober 2012 Rini secara permanen melepaskan jilbab dari
tubuhnya. Seiring dengan itu, makna jilbab di kepalanya berubah menjadi lebih konseptual. “Jilbab adalah cara menutup diri kita, individu kita sendiri dari hal-hal
yang dapat merugikan orang lain. Misalnya korupsi atau mencuri.”
Dengan berapi-api, Rini berusaha menyimpulkan, “Adanya budaya, ayat- ayat kewajiban. Tapi apa yang disebut menutup aurat? Baik laki-laki maupun
perempuan harus menundukkan pandangan. Tidak ada hubungannya dengan fisik karena menutup pandangan. Aku mengkaji ulang, belajar, bertanya: aurat adalah
bagian aman diri kita, menutup individu kita dari merugikan orang lain. Tutup diri kita dari hal- hal yang merugikan orang lain misalnya korupsi atau mencuri. Aurat
tidak hanya sekadar fisik yang ditutupi. Kesimpulan itu juga bertahap berpengaruh pada caraku berjilbab: awalnya pake celana, jilbab diikat.... per kesimpulan itu
mengubah penampilan. Sambil melihat bahwa ada pola yang berbeda dalam penggunaan jilbab. Beda dengan Timur Tengah yang jilbabnya seragam. Sementara
Malaysia berbeda, jilbabnya lebih beragam.” Rini juga turut menjelaskan sejarah jilbab di Indonesia, “Awalnya tahun 80-an doktrin jilbab masuk ke Indonesia yaitu
pasmina panjang itu. Tudung, orang minang, orang Jawa...jilbab masuk ke indonesia melebur ke indonesia harus melebur seperti itu. Tahap melepas jilbab
ga ujug-ujug: rok, celana, jilbab mulai naik. Aurat bukan persoalan fisik semata. Bukan sekadar fisik yang ditutup-tutupi. Tahap aku melepas jilbab itu sangat
bertahap juga. Klimaks dari pergulatan itu aku menyimpulkan aurat adalah individu, mampu menghargai tubuh orang lain, diri orang lain. Lalu kemudian
melepas jilbab yang ternyata hanya menjadi simbol semata..”
129 Aku bertanya lagi, “Ketika melepas mulai berubah cara berjilbabnya,
bagaimana reaksi lingkunganmu?” Rini menjelaskan: Di pekerjaan responsnya baik-baik saja. Tetapi di kampus, ikut Himpunan Mahasiswa Islam HMI, sebagai
Ketua Umum Sekretariat Desember 2012. Waktu itu diminta isi materi pelatihan kaderisasi HMI cabang Ciputat dan Yogyakarta. Pada saat melepas jilbab Bulan
Oktober, teman-teman sudah pada tahu, bikin tulisan di facebook juga. Tapi ketika diundang isi materi ngga pakai jilbab belum pada tahu. Ketika mengisi materi
selama 15 menit, aku diberhentikan, lalu disuruh keluar. Dipanggil fasilitator. Panitia memanggilku, ‘Kak dipanggil fasilitator, penting kak, kak sangat penting.’
Panggilan sudah tiga kali berarti sangat urgent. Di luar ruangan 5 fasilitator laki- laki, menghakimi: ‘kampus kita kampus Islam, dan kampus Islam mengajarkan
berjilbab, dan bahwa Islam mengajarkan bahwa HMI adalah Islam, karena kultur kita karena Islam mengajarkan berjilbab, tuntunan Islam. Intinya aku dianggap
menyalahi aturan. Tawaran solusi saat itu: lanjutkan mengisi forum dengan mengenakan jilbab. Aku katakan kepada mereka, ini bukan solusi tapi paksaan. Jika
aku ikut solusi itu, bisa dibayangkan apa yang ada di kepala peserta, mahasiswa semester satu yang masih polos. Tadinya saya engga pake jilbab isi materi, disuruh
keluar oleh fasilitator lalu masuk lagi kedalam pakai jilbab. Mereka akan berpikir bahwa yang tadi ga pakai jilbab itu salah, sekarang yang pakai adalah benar. Aku
tak mau ambil resiko itu. Lalu aku akhirnya keluar. Aku kaget karena ini HMI Ciputat, bukan Sumatera atau Aceh yang masih konservatif. Itu sebuah pukulan
sekaligus refleksi diri bahwa pemaknaan jilbab sedemikian rupa itu sudah telalu jauh dan tidak ada yang menggugat.” Selain pengalaman yang tidak mengenakkan
tersebut, Rini juga tiba-tiba saja dipandang berbeda oleh kakak seniornya. Tiba-
130 tiba seorang senior mengajaknya untuk tidur Rini berusaha untuk tidak langsung
murka saat itu. Ia ajak berdebat kakak seniornya yang kurang ajar itu. Tetapi Rini mengakui bahwa ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pengalaman
seperti itu.
“Sekarang pandangan
Rini terhadap
perempuan yang
berjilbab bagaimana?” tanyaku. Rini menjawab, “Menghargai sekali. Mereka punya
komintmen religi terhadap Tuhan, selama mereka tidak maksain pemahaman ke orang lain. “Aku bertanya lagi, “Masalah di urusan privat bagaimana?” Rini
menjelaskan lagi, “Hubungan dengan Tuhan gimana? Aku lebih menikmati Tuhanku sekarang, lebih ramah, Tuhan masa lalu sangat membelenggu. Aku selalu
dipenuhi oleh dosa. Kalau buka jilbab selalu merasa dosa, Tuhan saat itu sangat membelengguku. Kalau kritis sedikit takut sesat. Tuhan sangat membelenggu.
Sekarang, semakin banyak interaksi, Tuhan rasanya sangat ramah.” Pertanyaan berikutnya yang kuajukan adalah soal perasaan. “Sekarang
merasa lebih baik nggak, Lin?” Rini menjawab, “Mungkin secara pemaknaan iya, tapi ritus sudah berbeda. Puasa Senin-kamis, shalat tahajud, dan lain-lain belum
bisa menikmati lagi.” Kini pertanyaan beralih ke soal spesifik tentang tubuh. “Bagaimana Rini memaknai tubuh sekarang?” Rini menjelaskan lagi: Setelah
banyak berkenalan dengan tulisan Michel Foucault, soal relasi kuasa, tentang tubuh perempuan, bagaimana penghargaan terhadap tubuh. Tubuh bukan sekadar
tubuh tapi integral dengan kemanusiaan. Kalau dulu tubuh perempuan ini adalah sebuah aib yang ditutupi, maka hari ini tidak lagi, tubuh yang harus dihargai yang
teritegrasi dengan kemanusiaan. Konsep cantik: cantik adalah yang mampu menghargai isi kepalanya.”
131 Aku mulai bertanya tentang fenomena jilbab saat ini, “Lalu bagaimana
tentang tren jilbab sekarang?” tanyaku. Rini menjawab, “Manis, dan menghabiskan banyak waktu. Itu fesyen saja, turunan pemaknaan, bukan sekadar budaya tapi
juga fesyen. Tapi sah-sah aja jilbab dianggap fesyen. Perkembangan pemahaman soal jilbab makin luas, sekalipun tidak semuanya bisa luas. Jilbaber: kanan banget.
Sedangkan hijaber, sebagai sebuah fesyen. Ada juga yang beriringan: modis tapi syar’i. “
Ketika aku berefleksi terhadap cara Rini memaknai jilbabnya, perubahan yang dialaminya, lalu mengubah pada caranya mengenakan jilbab, hingga ia
melepasnya, aku tidak seperti itu. Makna jilbab terjadi justru karena adanya pengalaman tubuh secara khusus, seperti tidak terlindunginya tubuh dari
gangguan laki-laki. Tetapi saat aku mengalami perubahan makna jilbab, tidak begitu berpengaruh terhadap caraku berjilbab. Aku tidak pernah mengalami
mengenakan jubah atau baju kurung. Aku tidak pernah mau memilihnya. Terlebih mungkin karena tidak ada yang memaksaku untuk mengenakannya. Semua kupilih
sendiri, mulai dari berjilbab hingga cara mengenakannya. Bisa dibilang perubahan jilbab pada diriku hanya terjadi di dalam kepala dan hatiku saja. Meskipun aku
mempunyai penyakit migrain yang cukup mengganggu, aku tidak serta merta melepasnya. Bahkan hingga empat tahun lalu, aku tidak pernah memikirkan untuk
sekalipun melepasnya, apalagi secara permanen. Hal ini mengingatkanku pada responden lainnya, ia adalah Marlina.
Marlina adalah kawanku semasa aku seringkali menjadi mahasiwa pendengar di jurusan Filsafat dan Teologi, Universitas Parahyangan. Sebenarnya
aku baru mengetahui bahwa ia pernah mengenakan jilbab belum lama ini. Ketika
132 aku sudah mulai sering mendatangi Unpar, Marlina sudah tidak mengenakan jilbab
sama sekali. Oleh karena itu aku tertarik untuk menjadikan pengalamannya untuk dipadankan dengan pengalamanku dalam penelitian tentang jilbab ini. Ternyata
Marlina mengenakan sejak sekolah menengah. Tetapi ketika suatu waktu karena migrainnya kambuh, ia tidak mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya bersifat
permanen hingga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi sebelumnya. Unpar adalah tempat kedua setelah ia tidak menyelesaikan di tempat pertama. Sebelum
masuk Unpar, Marlina masih mengenakan jilbab. Sudah sejak lama pula ternyata Marlina sering mengalami sakit kepala yaitu migrain.
Pembawaan personal Marlina memang begitu santai dan ceria. Termasuk ketika ia menuturkan tentang ihwal ia membuka jilbab. “Saya waktu itu mau
nonton ke bioskop sama pacar. Tapi kepala berat karena migrain. Saya coba ah ga pake jilbab. Eh ternyata enak.“ Marlina menuturkannya dengan santai sambil
diiringi tawa. Bahkan Marlina mengaku tidak begitu merasa bersalah. “Saya mah buka jilbabnya bukan karena alasan ideologis.” Begitu ia mengatakannya kepadaku
dengan santainya. Sosok Marlina maupun latar belakang hidupnya memang tidak sama persis seperti halnya Rini. Jilbab dikenal Marlina juga tanpa paksaan.
Sungguh aku takjub dengan cara penyikapan Marlina yang sedemikian santai saat ia melepas jilbab secara permanen itu.
Pengalaman responden lainnya, tak kalah unik dan menariknya. Tetapi sosok dan perjalanan jilbab pada Mariana memiliki banyak kesamaan denganku.
Terutama tentang pilihannya untuk tetap mengenakan jilbab meski pandangannya sudah lebih cair. Ia adalah Mariana yang kuwawancarai tepat setelah bertemu Rini
133 di Jakarta. Mariana lahir di Batang Jawa Tengah. Latar belakang keluarga terkait
erat dengan Nahdhatul Ulama NU. “NU jeklek.” Begitu terang Mariana soal
keterikatan keluarganya terhadap tradisi NU. Mariana meskipun lahir di keluarga NU, tetapi karena ia terlambat mendaftar sekolah, akhirnya memilih masuk
Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah. Padahal menurut pengakuannya, masyarakat di kampungnya membenci Muhammadiyah sampai-sampai mereka
punya selorohan, “Lebih baik menyekolahkan anak di sekolah Kristen daripada di sekolah Muhammadiyah.” Tetapi karena Mariana tidak menemukan sekolah lain, ia
masuk sekolah Muhammadiyah tersebut lalu mengikuti aktivitas IRMIkatan Remaja Muhammadiyah. Di dalam organisasi tersebut, siswa yang bisa ikut
hanyalah siswa teladan. Selain itu, jilbab adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi saat beraktivitas di IRM. Mariana mengakui bahwa selama berada di IRM, ia
mendapatkan kedalaman nilai-nilai spiritual.
Cara Mariana mengenakan jilbab tersebut sebenarnya tidak sama dengan aliran NU. Mariana menegaskan bahwa jilbab dalam tradisi NU lebih bersifat
batiniah, yaitu “yang penting dijilbabi itu adalah hati.” Pengalaman Mariana yang berasal dari keluarga beraliran NU, menjadi sangat unik karena ia memilih untuk
mengenakan jilbab yang menutupi tubuh, yang ukurannya pun serba panjang. Mariana berseloroh bahwa gayanya tersebut karena “tersesat” bersekolah di
sekolah yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, lalu aktif berorganisasi di Ikatan Remaja Muhammadiyah yang mewajibkan penggunaan jilbab. Saat itu, tahun 1998,
Mariana masih duduk di kelas satu. Tetapi jilbab sudah dikenakannya, dengan model serba panjang dan tertutup, termasuk mengenakan kaos kaki setiap kali
beraktivitas di luar rumah. Cara Mariana berjilbab yang serba panjang dan
134 tertutup tersebut tentu saja berbeda dengan keluarganya yang beraliran NU.
Mariana bercerita dengan bersemangat mengingat bahwa ia pernah sampai dikejar-kejar oleh ibunya agar lepas jilbab “Iya, jilbabku tuh sampe ditarik-tarik
disuruh dibuka” Selain itu, Mariana juga satu-satunya perempuan yang pertama kali mengenakan jilbab di kampungnya. Tanggapan warga di kampungnya juga ada
yang menyindir, “Ngapain pakai kerudung, sok alim.” Aktivitasnya di IRM tersebut membuatnya mengenal konsep-konsep ketat
dalam bergaul. Mereka yang aktif di IRM diangkat menjadi teladan sehingga harus memberi contoh yang baik. Mereka dilarang berpacaran, tidak bergaul bebas
seperti bersentuhan dengan laki-laki. Konsep-konsep tersebut diajarkan kepada aktivis IRM sebagai bentuk penyadaran. Mariana mengakui bahwa meskipun di
awal terasa seperti doktrin, tetapi kemudian muncul sebagai kebutuhan. Jilbab yang ia kenakan panjang dan lebar. Saat ia kemudian melanjutkan kuliah ke
Semarang, ia pun secara tak sengaja bertempat tinggal di sebuah kos-kosan yang penghuninya merupakan anggota salafi. Ketika di IRM, cara berpakaian
sebenarnya masih terhitung beragam, misalnya diperbolehkan menggunakan celana panjang longgar. Tetapi saat kuliah, Mariana ditarik oleh kawan-kawan kos-
nya untuk masuk kedalam Ikhawanul Muslimin IM. Kawan-kawan Mariana di kos adalah para perempuan yang mengenakan cadar. Kemudian cara berjilbab Mariana
pun menjadi semakin ketat, dalam arti semakin menutup tubuh. Jilbabnya berukuran satu meter setengah, menutup mulai dari kepala hingga lutut. Cara
berpakaian seperti ini berlangsung sampai ia lulus sarjana. Mariana mengakui, bahwa keyakinan cara berpakaian serba tertutup seperti itu terasa nyaman-
nyaman saja bagi dirinya karena sudah menjadi keyakinan diri. Justru Mariana
135 merasa tidak nyaman sebenarnya ketika mengenakan celana panjang, rok.
“....logika gak main, kalah sama keyakinan, untuk menghindari dari mata laki-laki, agar aman.” tukasnya. “Tetapi saat itu ada kasus mahasiswi Undip bercadar
diperkosa. Berarti ga ngefek ya, pikirku. Tapi tetep terus pakai pakaian yang sama. Orangtua udah pasrah aja. Hubungan yang sebatas anak-orangtua. “
Setelah lulus kuliah di Semarang, Mariana yang masih aktif di organisasi Muhammadiyah menghantarkannya ke ibukota Jakarta untuk masuk PPIRM.
Kejadian ini terjadi pada tahun 2005. Di sinilah Mariana mulai mengalami perubahan pandangan terhadap jilbab. “Jakarta mengubah banyak orang.” Begitu
seloroh Mariana. Bagaimana tidak, di Jakarta, jilbab lebih berwarna dibandingkan di kota tempat ia tinggal maupun kuliah. Mariana yang berasal dari kampus,
Universitas Dipenogoro Semarang, menemukan betapa berbedanya para perempuan berjilbab di ibukota Mereka berdandan cantik dengan mengenakan
pakaian potongan seperti celana panjang dan blus. Wajah mereka pun tampil mempesona dengan sentuhan kosmetik. Mariana melihat kerlap-kerlip perempuan
berjilbab begitu memukaunya. Kawan-kawan satu kosnya pun adalah kalangan perempuan yang penuh warna itu. Mariana juga sempat diledek kawan-kawan kos-
nya. “Sampai jilbab gue tuh pada disumpetin sama temen-temen kosku.” Begitu Mariana menggambarkan betapa penampilannya itu berbeda dengan kawan-
kawan di sekitarnya. Perkenalan dengan aliran-aliran pemikiran bernada liberal pun mengubah
cara pandang Mariana. Bahkan Mariana menyebutnya sebagi fase “pertaubatan”. Mariana menyukai pemikiran Jaringan Islam Liberal, seperti Ulil misalnya. Ia pun
aktif di komunitas Kenduri Cinta, Bentara Budaya, Freedom Institute. Pertemuan
136 antara kalangan perempuan berjilbab yang lebih berwarna dan pertemuannya
dengan aliran pemikiran liberal kemudian mengubah cara berpikir Mariana. Aku sempat bertanya, “Apakah sempat terpikir olehnya untuk melepas
jilbab?” Dia mengatakan kalau dirinya sudah biasa saja memandang jilbab tapi tak sampai dilepas. “Gue tanya sama temen-temen gue lebih cakep pake jilbab atau
engga. Temen-temen bilang lebih cakep pake. Ya udah. Gue juga gak mau ribet mikirin karena takut item kena sinar matahari atau keringatlah. Ya jadi kayak
pelindung ya akhirnya.” Mariana secara prinsipil juga menganggap jilbab adalah sebuah upaya
negosiasi dengan kultur. Konteks yang menentukan cara berjilbab seperti apa yang bisa dia pilih. Jika ia sedang berada di lapangan, ia akan mengenakan pakaian yang
tidak ribet. Misalnya dengan mengenakan celana panjang dan kaos saja. “Yang penting punya prinsip. Nggak hanya ngikut aja. Itu intinya.” Demikian Mariana
memberi penegasan untuk jilbabnya, apa pun bentuknya. Mariana juga sempat menjawab pertanyaanku tentang fenomena jilbab
modis. Ia menjawab, “Biarkan temen-temen muda yang berkreasi. Yang udah dewasa kayak kita mah punya prinsip. Gak bisa ribet gayaku karena aktivitas
kemana-mana. Sewaktu ngajar di Binus Bina Nusantara sempat ga boleh pake jilbab gede. Jadinya aku pake aksen modis. Mau ga mau jadinya, ganti-
gantinegosiasi kultur. Penghargaan terhadap kultur. Memahami tubuhnya lebih negosiatif, lihat situasi dan kondisi, biasa saja. Wawancara ditutup dengan
pernyataan Mariana, “Cara berjilbab berubah seiring dengan apa yang dipahami dan ditemui. Yang penting punya prinsip. Punya alasan. Jangan cuma ngikut aja.”
137 Di samping sosok Mariana, lain pula cara mengenakan dan memaknai jilbab
bagi Alin. Tubuhnya yang mungil tampak menarik dengan padu padan antara jilbab hitam polos yang diikat ke belakang, dengan kaos berwarna senada yang
dilengkapi dengan rompi bernuansa etnik. Seuntai kalung sederhana menambah cantik penampilan Alin. Aku agak rikuh membuka obrolan seputar jilbab ini karena
sebelumnya aku dan Alin tidak pernah berbincang secara mengenai hal-hal serius. Ketika kutanya awal Alin mengenal jilbab, Alin menjelaskan bahwa dari ibunyalah
yang memperkenalkan jilbab. Jilbab diperkenalkan ibunya ketika Alin duduk di kelas empat SD. “Biar cantik kayak mbak siapa..kalau ngga salah...Perasaannya,
pingin cantik, ga ada hubungannya dengan kesalehan. Waktu itu gua masih polos kali ya, jadi nurut aja…hehehe.”
Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, Alin mengenakan jilbab karena merupakan seragam sekolah. Alin bersekolah di pesantren. Saat di sekolah
menengah atas pun, Alin tetap mengenakan jilbab meski sekolahnya adalah sekolah negeri. “Karena mungkin udah terbiasa jadi pake ke sekolah dengan
kerudung juga, tapi Ngga tahu kalau jilbab pernah dilarang.. karena ga ngalamin.” Begitu penjelasan Alin saat kutanya tentang wawasan sejarah jilbab di negeri ini.
Jilbab mulai dikenakan Alin sebatas sebagai pelengkap seragam sekolah. Sedangkan ketika waktunya bermain, jilbab tidak dikenakannya. Kebiasaan
mengenakan jilbab sebagai bagian dari pakaian formal terus terbawa hingga masa dewasa. Alin masuk pesantren yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama.
Alin menambahkan bahwa jilbab yang diperkenalkan ibunya adalah sebagai persiapannya sebelum memasuki pesantren.
138 Selama berada di pesantren, Alin menjadi santri tetap. Ia mondok setiap
hari. Sosok Alin dalam berjilbab adalah, Alin selalu mengenakan jilbab hitam. Alin mengaku hanya punya lima buah jilbab yang kesemuanya berwarna hitam, yang ia
kenakan setiap harinya. Sedangkan untuk di rumah, Alin mengenakan jilbab langsung jilbab praktis, masih berwarna hitam juga. Ia mengaku warna hitam
mulai dipilih sejak sekolah di sekolah menengah atas. Alin menjelaskan, “Gak tau ya, gua ngerasa waktu di pesantren ga terlalu suka baur dengan anak-anak yang
lain. Ya gua ga terlalu suka misalnya ngegosip. Jadi, gua ngerasa warna hitam itu jadi pembeda antara gua dengan anak-anak yang lain. Yah, bisa dibilang warna
hitam itu kayak “ruang” untuk menyembunyikan eksistensi gua, tempat gua sembunyi dari realitas, kayak tempat sembunyi.” Alin menjelaskan lebih lanjut,
sambil berseloroh, “Warna hitam, bisa dibilang jadi kayak fashion statement gua.” Alin menjelaskan sambil tertawa dengan renyahnya. Jilbab masih dikenakan
meskipun ia tak lagi berada di lingkungan pesantren. Alin mengakui bahwa jilbab di masa SMA pun posisinya masih sebagai bagian dari pelengkap pakaian formal
atau seragam. Di saat di luar sekolah, Alin tidak mengenakan jilbab. Hingga masa di perguruan tinggi sampai jenjang S1 pun Ali masih memposisikan jilbab sebagai
bagian dari pakaian formal. Tetapi saat mulai studi paskasarjana, Alin mulai ingin melihatnya secara berbeda. Warna jilbab hitam pun tak sama lagi maknanya
dengan maknanya yang dulu. Warna hitam lebih sebagai pilihan saja. Pada masa studi S2, Ali mulai mempertanyakan untuk apa ia berjilbab. “Waktu masuk S2,
sempet mikir: Ari urang nanaonan pake kerudung, kelakuan juga ga berubah, ga jadi alim, nempel doang. Ngapain sih gua pake kerudung? Apa yang gua cari?
Kenapa gua masih pake? Toh gua ga jadi lebih deket sama Tuhan. Pergaulan juga
139 ga pernah gubris. Akhirnya masuk juga alasan-alasan...saya itu self restrain-nya
kurang. Istilahnya saya kalau dikasi ganja ya bisa saya bakar saat itu juga. Nah kalau pake kerudung godaan itu bekurang karena berpakaian sopan. Proteksinya
dari dalam. Alat kontrol tapi saya tidak merasa religius. “
Ketika aku bertanya, “Kamu merasa lebih saleh gak pake jilbab?” Alin menjawab, “Kayaknya engga ya. Gua ga merasa soleh gitu setelah pake jilbab. Kali
karena udah jadi kebiasaan ya. Kebiasaan pake sejak SMP.” Diingetin, karena pakai jilbab...soal kesalehan: I dont think so...beragama tidak untuk kesalehan. Saya
beragama untuk ketenangan. Tidak peduli saleh atau tidak. Kalau saya ...Ke sininya saya merasa tenang pake jilbab. “
Alin berasal dari keluarga yang berayahkan mualaf. Ayahnya berasal dari Yogyakarta yang dulunya beragama Katolik. Sedangkan ibunya berasal dari
Bandung. Orangtua Alin bisa dikatakan menerapkan cara yang demokratis, setidaknya itu yang dirasakan oleh Alin. Misalnya, Alin memberi contoh soal
kebiasaannya merokok sejak masa sekolah yang tidak terlalu dipermasalahkan keluarga.
Alin termasuk penikmat musik. Saat bercerita tentang menikmati konser musik ia menjelaskan, “Nonton konser saat aku masih agak rikuh. Aku juga main
sama anak-anak punk street. Terus disebut jilbab-riot, kacau. Kata mereka, ‘Kerudung-kerudung kelakuan mah kacau.. punk Bekasi. Tertarik sama musiknya,
punk 2001-an masih S1. Musiknya masih saya suka. Tapi tidak lagi bergaul dengan anak punk. Musik punk 80-an, ramon.” Berkaitan dengan selera musiknya aku
140 bertanya, “Pernah merasa terhegemoni dengan pakaian?” Alin menjawab, “Tidak,
cuek aja. “ Setelah bertemu dengan Alin yang notabene lebih cuek ini, aku bertemu
dengan Sari Asih. Sari mengenakan jilbab secara permanen ketika resmi menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Sebelumnya, kerudung hanya
dikenakan ketika sedang mengaji di sekolah baca Al-Qur’an atau madrasah. Selama wawancara, Sari hampir konsisten menggunakan istilah kerudung daripada jilbab.
Menurut pengakuan Sari, kerudung sudah mulai dikenalnya sejak kecil saat ia duduk di sekolah dasar. Sari tinggal di Pulau Biak. Di lokasi tersebut, mayoritas
nonmuslim atau Kristen Protestan. Setelah Kristen Protestan, barulah jumlah Muslim adalah jumlah terbesar kedua. Masyarakat muslim yang dikenal Sari di
Pulau Biak pun terkesan biasa saja, tidak terlampau ketat. “Kan kalau di Bandung itu cewek-cewek yang berpakaian mini, kalau waktunya adzan mereka langsung
melaksanakan shalat. Kalau di Biak sih enggak. Adzan ya adzan aja. “ Begitu Sari menggambarkan perbedaan keberagamaan di Bandung dan Biak yang dikenalnya.
Tetapi Sari sejak di sekolah dasar rajin mengikuti pesantren kilat di saat liburan sekolah tiba. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas selalu
mengikuti pesantren kilat. Tentang kerudung, Sari menegaskan bahwa, “Dari SD sebenarnya aku udah
pengen pake jilbab terus. Lihat guru ngaji yang pake rok rapi cantik. Beliau lulusan IAIN. Bilang sama mamah, pengen pake jilbab. Tapi kata mamah, nanti ajah. Waktu
itu juga pengen masuk ke pesantren juga ga dibolehin karena kualitasnya kurang bagus. Lalu aku bilang sama mamah pengen sekolah di Jawa. Aku pengen masuk
pesantren tapi ga diizinkan juga. Terus, pas sekolah dekat sama guru agama,
141 perempuan. Aku pengen pake kerudung, tapi kata mamah jangan dulu, nanti kamu
buka pakai. Tapi sempat bilang sama guru, pengen pake kerudung. Kata guruku, ya kamu pakai aja, kan selama ini udah kayak pake kerudung. Jadi aku tuh sehari-
harinya selalu pakai baju dan celana panjang. Jadi meskipun boleh diizinkan pake kerudung sama mamah, sehari-hari aku diajarin pake rok, celana panjang, jadi
enggak boleh pakai yang ketat-ketat. Guruku bilang, ‘Iya kmu setiap hari udah pakai baju dan celana panjang tinggal pake kerudung aja.’ Aku pikir, iya juga ya,
tapi aku masih galau gitu. Sering juga kepikiran misalnya suatu hari kalau sudah besar aku jemput anak di Taman Kanak-kanak aku pakai kerudung. Terus sama
temen-temenku yang laki-laki juga disemangatin pakai kerudung.” Aku mulai bertanya pengetahun Sari mengenai keleluasaan perempuan
mengenakan jilbab. Sari menjelaskan, “Pernah dulu masih kecil dengar dari mamah ada saudara yang dari pesantren yang pake jilbab trus pas poto ngga boleh
pakai jilbab karena harus kelihatan kuping. Aku pikir, oh pakai jilbab enggak bebas-bebas juga ya. Sejarah tentang pengizinan jilbab juga sempat aku dengar pas
mentoring di salman. Dulu katanya pakai jilbab belum boleh tapi orang berusaha. Sekarang udah boleh tapi malah pada susah pakainya. Trus pernah baca buku
Asma Nadia, “Jilbab Pertamaku.” Perjuangan pakai jilbab meski dilarang. Asma Nadia itu pas Ujian umum, ada razia jilbab karena dilarang. Asma Nadia cepat-
cepat ngerjain ujiannya terus loncat lewat jendela biar ga ketahuan gitu sama pengawas razia. Eh nilai ujiannya bagus sampai bisa masuk Universitas Indonesia.”
Llau aku bertanya, “Kamu pernah ngga baca buku-buku yang mewajibkan jilbab?” “Aku baca juga dari buku-buku ulama, dibaca di mushala. Tapi enggak ingat isinya.
Lebih inspiratif baca yang ditulis oleh asma nadia. Ikut mendorong untuk
142 mengenakan jilbab. Bentuk jilbab pas pakai enggak lebar-lebar amat tapi
melingker-lingker gitu. Dulu waktu SMA suka pake jilbab dililit, trus dikatain temen masa pake jilbab kayak gitu. Ada yang dicontoh ngga selain guru ngaji?
Selalu ingat guru ngaji di waktu SD dulu, pakai rok kaos kaki. Aku nyontoh kayak gitu. Yang penting nutupin dada, kalau warnanya cerah suka digangguin mamang-
mamang. Kalau warnanya netral cenderung engga digangguin. “ Selain itu, Sari tidak pernah digangguin orang apalagi dilecehkan orang.
Setelah lumayan panjang lebar bercerita tentang perkenalannya dengan jilbab secara wacana, aku bertanya tentang definisi jilbab. Sari menjawab, “Harus
menutup dada kalau menurut Syar’i. Kalau sekarang kan engga begitu ya. Jilbabnya belum sempurna yang kayak gitu. Jilbab sempurna di kalangan selebriti itu
misalnya Astri Ivo. Rasanya waktu jilbab dililitkan ya biasa aja, baik-baik aja, karena dulu belum tahu batasan-batasannya.” Lanjut Sari.
Sari pulang ke Biak tahun 2009 saat tengah ramai isu teroris. “Pas sampe di kompleks rumah dibilang teroris. Aku emang pake kerudung panjang, berwarna
hijau atau biru dan juga bermotif biar lebih baur. Eh tapi sama tetangga dibilangin di belakang teroris. Bahkan orangtua juga curiga aku teroris. Tapi untungnya ayah
suka nonton berita jadi enggak polos-polos banget. Sampe aku nangis-nangis sama mamah kalau aku bukan teroris.” Sari mengaku sangat sulit jika harus berhadapan
dengan orangtua, tidak mudah untuk membela diri. Menurut Sari, berangsur- angsur orangtuanya menyaksikan bahwa anaknya baik-baik saja. Meskipun saat di
lingkungan keluarga jadi seperti berbeda hanya karena sering mengaji atau shalat Dhuha. Soal cara berpakaian, ibu Sari sering memprotes, “kayak ibu-ibu pake rok
terus coba pakai celana biar gaul dikit.”
143 Aku bertanya tentang perempuan seperti Najwa Shihab yang tidak
berkerudung. Menurutnya, “Sayang sih, ayahnya ulama tapi dia tidak berjilbab padahal di Al-Qur’an kan wajib. Saya pernah dengar sih dari ayahnya dia ngga
pernah memaksakan anaknya untuk berjilbab. Tapi biar aja itu jadi proses dia berjilbab. Jadi ya orang bertindak sesuai dengan pemahaman mereka sendiri. Tapi
menurut saya sayang sekali mereka berkerudungnya kayak gitu.”
Bukankah kami, para perempuan yang bernaung di bawah bentangan sehelai kain bernama jilbab itu adalah sosok-sosok yang sangat berbeda? Cara kami
berkenalan dengan wacana jilbab, bernegosiasi dengannya, serta cara mengalami jilbab sungguh berbeda-beda. Jika aku merasa menemukan cermin diriku pada
mereka, itu pun tidak persis sama. Selain Sari Asih, yang memang sangat berbeda denganku, merupakan serpihan-serpihan cermin bagiku. Kalian pun dapat
menyaksikan sendiri bahwa sebuah kewajiban dari agama bukan begitu saja untuk mengatur hidup kami tetapi untuk memberi hidup itu sendiri. Jika para penulis
yang bernada moralis tentang jilbab memahami pengalaman Rini, jilbab yang diperkenalkan secara paksa, apa yang akan mereka bayangkan kira-kira? Mungkin
sosok Sari Asih adalah sosok yang ideal karena sepakat sepenuhnya pada jilbab sesuai dengan wacana besarnya. Tetapi kita tahu tidak bisa memaksa semua
perempuan menjadi Sari Asih. Dalam bentangan sehelai jilbab, beragam riak kehidupan dan pribadi bernaung di bawahnya. Tidak ada yang seragam, atau
bahkan sama persis.
144
BAB IV JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI
Sudah dijelaskan dalam bagian metodologi bahwa penelitian jilbab yang saya kerjakan menggunakan otoetnografi. Peneliti dalam jalur otoetnografi
berupaya untuk mengkaji posisi mereka dalam bidang akademis tertentu, dalam hal ini kajian budaya, untuk menghantarkan dan menulis tentang masyarakat
mereka sendiri sekaligus menjadi peneliti yang memilih sebuah ‘lapangan penelitian’ yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri atau sebuah
kelompok. Ini artinya, sang peneliti mencoba untuk meneliti budaya yang mereka hirup sehari-hari, tidak dengan cara berjarak seakan-akan diri tidak terlibat di
dalamnya, tetapi mencoba untuk menggali secara analitis kontruksi budaya tersebut. Selain tentu saja untuk memahami diri sendiri tetapi juga pada
dasarnya untuk mencoba masuk lebih dalam pada masyarakat melalui budaya tadi. Masyarakat tidak diandaikan sebagai sebuah kelompok statis yang dapat dianalisa
secara obyektif, sedangkan diri sendiri sebagai peneliti tidak dimatikan sedemikian rupa dalam rangka mengedepankan obyektivitas.
Sebelum benar-benar memasuki bagian analisa, perlu diketahui bahwa penelitian yang dikerjakan sejak tahun 2013 ini, pada awalnya bertujuan untuk
menyuarakan suara pengguna jilbab. Mengapa demikian? Bukankah sudah banyak penelitian jilbab yang mengetengahkan wawancara mendalam para penggunanya?
Dalam hal ini, selain bertujuan memberi perspektif lain untuk melengkapi penelitian jilbab yang sudah ada, saya terkadang menemukan hal-hal yang kurang