Kerudung dan Kelas Sosial

44 Dengan menilik beberapa contoh di atas, baik yang ada pada pakaian perempuan Minangkabau maupun laki-laki bangsawan Mataram, apakah jilbab sepenuhnya cara berpakaian yang baru? Jika benar-benar baru, dimanakah letak kebaruan dari jilbab seperti yang banyak digunakan pada masa kini? Pada jilbab tidak selalu ditekankan pada cara menutup kepala yang rapat saja tetapi juga cara berpakaian longgar yang tidak membentuk badan secara ketat. Dalam hal bentuk pakaian longgar inilah tampaknya perubahan model berpakaian mengalami perubahan yang cukup signifikan. Meskipun hal itu hanya terjadi di masa-masa awal jilbab disebarkan. Penggunaan jilbab dengan pakaian yang tidak sepenuhnya longgar kemudian juga membudaya meskipun terus menerus ditentang kalangan yang lebih konservatif. Tetapi substansi menutup aurat yang saya tangkap adalah bahwa pada dasarnya bagian dada hingga kaki merupakan bagian tubuh yang hendak ditutup meski dengan cara memandang dan membicarakannya berbeda. Sehingga, keketatan untuk menutupinya pun tidak sama.

1. Kerudung dan Kelas Sosial

Kerudung yang merupakan sehelai kain yang dikenakan di kepala secara longgar, dengan rambut dan leher yang masih tampaknya lebih mudah ditemukan. Untuk memotret seputar kerudung pada masa-masa awal, penelitian yang dilakukan oleh Deny Hamdani dapat membantu untuk memberikan gambaran. Dalam penelitiannya mengenai anatomi jilbab di Indonesia, terdapat bagian-bagian yang sangat penting untuk menjawab pertanyaan di atas. Deny menelusuri cara penggunaan kerudung di kalangan khusus, perempuan santri. Kalangan santri yang ditelusuri adalah yang berafiliasi secara langsung dengan organisasi 45 Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ini, dua buah organisasi perempuan santri dibentuk, Aisyiyah atau Nasyiyatul Aisyiyah NA. Aisyiyah dibentuk pada 1914 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Siti Walidah istri KH. Ahmad Dahlan. Tujuan dibentuknya organisasi Aisyiyah adalah untuk membantu para perempuan memahami Al-Qur’an dan Hadis sebagai penuntun hidup. Beberapa tahun kemudian, organisasi hampir serupa dibentuk, Nasyiyatul Aisyiyah. Di dalam organisasi Nasyiyatul Aisyiyah selain mempelajari ilmu-ilmu agama, juga digalakkan keterampilan-keterampilan seperti manajemen rumah tangga, menjahit, memasak ataupun cara-cara berceramah tabligh. Menurut Deny Hamdani, melalui kedua organisasi tersebut, cara berpakaian yang mengenakan kerudung dihimbau oleh KH. Ahmad Dahlan. Melalui hasil penelitian Deny, kita dapat menemukan bahwa pada masa tersebut wacana mengenai ketertutupan tubuh di muka umum atau aurat sudah mulai dilegitimasi oleh klaim religius, yaitu yang dikemukakan oleh KH. Ahmad Dahlan. Namun, patut dicatat bahwa bentuk penutup kepala di sini, yang disebut kerudung, adalah sehelain kain yang digunakan secara longgar, tidak menutupi rambut dan leher secara ketat. Selain kalangan perempuan santri yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, Deny juga menelusuri kalangan santri Nahdatul Ulama NU. Seperti halnya kalangan santri Muhammadiyah, di kalangan NU pun terdapat kecenderungan yang mirip, yaitu menggunakan kerudung. 36 36 Deny Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, 2011, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH Co.KG, hal. 28-32. 46 Patut digarisbawahi bahwa Deny secara khusus meneliti perempuan kalangan santri, dengan merujuk pada definisi Clifford Geertz. Sejurus dengan itu, kita perlu memperhatikan kalangan yang bukan santri. Jika mengikuti kategori Geertz, yaitu kalangan abangan. Dalam kasus ini, saya berusaha untuk menghadirkan ingatan mengenai cara berpakaian nenek yang merupakan perempuan Sunda. Pada perempuan Sunda, unsur pakaian yang biasa dikenakan adalah sinjang atau samping. Sinjang atau samping adalah sejenis kain batik, terbuat dari kain yang halus dan dingin. Cara penggunaannya pun tidak berbeda- beda. Misalnya, nenek saya mengenakan jenis samping atau sinjang sederhana saat berada di dalam rumah. Jenis kainnya biasanya tidak terlalu halus dan harganya tidak terlalu mahal. Jika ia akan pergi ke pasar besar di pusat kota, ia akan mengenakan samping atau sinjang yang lebih bagus. Kainnya halus dan tidak murah harganya. Jika ia akan menghadiri hajat kawinan, ia pun akan mengenakan jenis samping atau sinjang terbaiknya. Pada masa yang sama, nenek dari pihak ibu yang tinggal di Garut juga memiliki kebiasaan gaya berpakaian yang tak jauh berbeda. Sinjang dan samping adalah kain yang wajib dikenakan dalam keseharian. Cara berpakaian nenek saya yang berada di desa ataupun di kota kurang lebih persis seperti yang juga digambarkan oleh Deny, meskipun merupakan suku yang berbeda, yaitu Jawa. Unsur terpenting yang akan dibahas di sini adalah adalah selendang. Seperti halnya Deny, hasil penelitian yang dilakukan Dennys Lombard atau Pijfer bernada sama. Merujuk pada Lombard bahwa perempuan Sunda dan Jawa, selendang memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan tingkat sosialnya. Bagi perempuan dari kalangan rakyat, selendang bernilai sebagai pengikat keranjang atau untuk 47 menggendong anak, tetapi bagi kalangan perempuan kelas tinggi, perangkat selendang ini hanya berfungsi sebagai hiasan. 37 Sementara selendang untuk mengikat di sini, khususnya untuk perempuan Sunda biasa disebut karembong atau samping. Jenis karembong atau samping sebenarnya mirip dengan sinjang untuk dikenakan sebagai penutup dari pinggang hingga mata kaki. Tetapi jenis dan ukuran kain yang digunakan berbeda, biasanya lebih kasar dan tidak terlalu lebar. Nenek juga mengenakan selendang dengan jenis berbeda. Selendang ini lebih mendekati fungsi sebagai penutup kepala. Jenis kain yang digunakan adalah sejenis kain sifon tipis dengan bunga-bunga sederhana hasil bordiran menghias beberapa bagian tertentu. Selendang yang biasa dipakai di kepala ini biasa disebut tiyung. Setelah menata rambut panjangnya dengan membuat sanggul sederhana, nenek melampirkan tiyung. Salah satu sisinya ditarik ke pundak, sementara satu ujung lainnya dibiarkan tergerai sedikit menyamarkan kebaya yang dadanya berpotongan agak rendah. Nenek di desa, juga menggunakan tiyung ini. Tiyung yang terbuat dari kain tipis berbordir biasa dikenakan untuk acara-acara formal. Selain membuat penampilan para perempuan ini anggun juga berwibawa. Jika merujuk pada Pijfer, terdapat perbedaan yang signifikan terkait penutup kepala ini. Pijfer melukiskan para perempuan Sunda yang mengenakan penutup kepala, disebut sebagai tiyung kukudung 38 khusus dikenakan oleh perempuan yang merupakan guru mengaji. Istilah lain dari penutup kepala yang dilukiskan oleh Pijfer adalah mihrahmah atau mihram dalam ucapan Sunda, bahasa Arabnya marahmah. Mihram adalah 37 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, 2008, Jakarta: Penerbit Gramedia, hal.158-159. 38 G.F. Pijfer, “Wanita dan Mesjid” dalam Fragmenta Ismica: Beberapa Studi Mengenai Indonesia Awal Abd XX, Jakarta: Penerbit UI Press, hal. 17 48 kerudung putih yang dilipat di atas kepala yang dikenakan oleh perempuan yang sudah pergi haji. 39 Sementara itu, nenek saya bukan guru mengaji, serta tidak pernah pergi haji. Tetapi dalam kesehariannya, penutup kepala berupa kain tipis berbordir biasa dikenakan untuk kepentingan khusus. Mihram atau kerudung putih bahkan biasa dikenakan untuk aktivitas sehari-hari di luar rumah tetapi untuk kegiatan yang tidak formal. Misalnya saat nenek dan perempuan sekitarnya hendak pergi ke rumah tetangga. Para perempuan leluhur saya tersebut adalah kalangan abangan, jika merujuk pada kategori Geertz. Tetapi mereka mengenakan jenis-jenis penutup kepala seperti yang digambarkan oleh Pijfer. Fakta tersebut juga bertentangan dengan kesimpulan Deny, bahwa misalnya, kerudung dikenakan oleh kalangan perempuan kelas sosial tertentu saja, yaitu santri. Kalangan perempuan abangan menurut Deny tidak tertarik untuk mengenakan kerudung. 40 Meskipun di sini terdapat penggunaan istilah yang berbeda, yaitu tiyung-mihram-kudung tetapi semuanya merujuk pada penutup kepala. Apakah hal tersebut sejalan dengan ungkapan Lombard yang menyatakan bahwa dari semua bagian badan, kepala adalah yang paling kuat bertahan terhadap segala bentuk akulturasi pakaian? 41 Di samping itu, yang terpenting adalah meneliti cara berpakaian para perempuan di masa lalu tidak mudah untuk disimpulkan menjadi sebuah kesimpulan yang monolitik. Seringkali terdapat kekhususan di luar kesimpulan-kesimpulan yang diajukan para peneliti. 39 Ibid, hal. 18 40 Deny Hamdani, hal. 28. 41 Denys Lombard, hal. 157-158. 49

2. Antara Standard Lokal dan Religiusitas