163 dalam dunia bisnis jilbab ini, juga semakin memperteguh wacana jilbab di berbagai
kalangan, termasuk di kalangan para publik figur.
3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah
Telah muncul pula jilbab yang dijadikan sebagai sebentuk kewajiban yang ditekankan pemerintah daerah. Jilbab dijadikan sebagai sebentuk ‘seragam’ yang
wajib dikenakan, misalnya seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Syariah, seperti yang dipraktikkan kabupaten Aceh. Jilbab tidak sebatas dikenakan sebagai
bentuk pilihan perempuan tetapi sebagai aturan yang harus dipatuhi karena instansi atau lembaga yang mewajibkan. Wacana jilbab seperti ini pun, kurang
mendapat apresiasi dan banyak dikritik masyarakat, kalangan feminis pun yang seringkali mempersoalkan betapa kebebasan perempuan di dalamnya yang
menjadi hilang apabila jilbab diwajibkan demikian rupa.
4. Wacana Jilbab Islam Liberal
Wacana jilbab dari kalangan Islam Liberal hadir sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap wacana jilbab mainstream yang kekuasaannya semakin meluas dan
mendalam. Sehingga, orang-orang di lingkaran Islam Liberal mendiskusikan dan menerbitkan buku atau teks untuk mewakili pemikiran mereka. Argumentasi
mereka pada dasarnya adalah menyatakan bahwa jilbab tidaklah sedemikian ketat harus dilakukan oleh semua perempuan Muslim karena terdapat unsur konteks
yang berbeda antara masyarakat saat ayat tentang jilbab diturunkan, dengan masyarakat masa kini.
164 Tetapi muncul juga pandangan yang terkesan mengkritik tajam jilbab
dengan argumen bahwa jilbab adalah adopsi dari budaya Arab serta tidak ada hubungan khusus dengan religiusitas. Warna yang berbeda ini muncul dari
kalangan Jaringan Islam Liberal JIL dengan diterbitkannya sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad Sa’id wa Hujjiyyatul Al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab 2003.
Buku tersebut diterbitkan karena dapat mewakili pandangan JIL secara umum mengenai jilbab. JIL menolak pelembagaan jilbab sebagai bagian penting dari
ajaran Islam. Alasannya adalah jilbab secara historis bukan hanya milik ajaran Islam melainkan terdapat asimilasi kultur yang kompleks di dalamnya. Warna
tafsir yang ditawarkan oleh JIL bersifat lebih longgar terhadap jilbab. Jilbab dapat dipandang sebagai sebuah kewajiban, bisa juga tidak. Ketidakwajiban jilbab
tersebut dibahasakan oleh Al-Syamawi. Al-Syamawi menunjukkan bahwa hadis- hadis yang menjadi rujukan pewajiban jilbab adalah bersifat dha’if sehingga tidak
bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Wacana jilbab yang disuarakan oleh JIL biasanya, selain beredar melalui penerbitan buku, juga melalui diskusi-diskusi di
kalangan mahasiswa.
5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab