Kelahiran Jilbab Dalam Media

64 Melalui media juga kemudian mulai muncul bentuk-bentuk fetish yang disandarkan pada imaji jilbab. Iklan-iklan produk kesehatan, make up, bahkan cat tembok menggunakan model yang mengenakan jilbab. Bahkan imaji jilbab seperti kepolosan, halal dikait-kaitkan dengan produk yang tengah dipromosikan. Sementara itu, selain terbentuknya fetish, terciptalah juga mitos-mitos baru dalam fiksi ataupun komik untuk anak-anak. Mitos tersebut adalah mitos tentang sosok perempuan yang bermoral adalah perempuan yang menggunakan jilbab. Lahirlah kisah-kisah Cinderela ala muslim, yaitu para putri-putri kerajaan yang mengenakan jilbab rapat. Jilbab semakin populer dan menjadi tren, meski seringkali dilihat secara monolitik, yaitu selalu baik bagi perempuan.

1. Kelahiran Jilbab Dalam Media

Kehadiran jilbab tidak lagi hanya dapat ditemukan di ruang publik seperti sekolah, kampus, pusat perbelanjaan, atau ketika berada di dalam saran transportasi umum. Tetapi jilbab mulai memasuki dunia representasi, yaitu media. Melalui media, proses pengenalan secara lebih mendalam dan meluas lebih memungkinkan. Apalagi berakhirnya rezim Orde Baru merupakan babak baru bagi geliat media, terutama media cetak. Sebelumnya, sejak 1990-an jumlah media cetak yang muncul tidak terlalu banyak. Tetapi setelah rezim Orde Baru berakhir, surat izin penerbitan media cetak tidak seketat sebelumnya. Berbagai tema media cetak baru bermunculan, termasuk yang berfokus pada isu-isu kemusliman. Tercatat hanya sekitar 12 media muslim yang diterbitkan pada masa Orde Baru dan setelahnya. Majalah, jurnal ataupun koran bertajuk kemusliman bermunculan 65 misalnya Ummi, Sabili, Jurnal Islam, Laskar Jihad, Saksi, Nur Islam, Tarbawi, Al- Izzah ataupun Darul Islam. 54 Majalah seperti Ummi dan Sabili yang terbit sejak 1998 dengan dukungan jaringan Islam yang disebut Lembaga Dakwah Kampus LDK memuat tema-tema jilbab seperti konflik penggunaan jilbab dengan aturan sekolah serta cara penggunaan jilbab secara syar’i. Muatan mengenai jilbab juga menjadi tema yang sangat penting dalam media cetak yang terbit pasca-Orde Baru. Majalah seperti Paras dan Muslimah adalah majalah yan mengedepankan gaya hidup muslim urban. 55 Dalam konstruksi gaya hidup muslim yang dimuat majalah tersebut, jilbab merupakan elemen yang paling penting. Di dalamnya mulai diproduksi berbagai model pakaian dan jilbab yang disebut sebagai busana muslimah. Nilai yang dihadirkan majalah Ummi atau Sabili berbeda secara signifikan dengan Majalah Paras atau Muslimah. Dalam Majalah Ummi atau Sabili, jilbab tetap dilihat sebagai cara berpakaian yang aturannya ketat, bukan pada keindahan berbusana. Sehingga, di dalamnya tidak akan ada model jilbab yang, misalnya disebut sebagai ‘jilbab gaul’. Sedangkan dalam Majalah Paras atau Muslimah, mulai muncul model- model jilbab yang lebih mengedepankan keindahan. Apalagi Majalah Paras dan Muslimah adalah majalah yang bentuknya mengilat glossy, jilbab lengkap dengan pakaiannya tampil menjadi lebih bergaya. 56 Mata pembaca ataupun calon pembaca yang melihat foto perempuan berjilbab secara berbeda, yaitu indah dan bergaya. Mereka tak hanya melihat jilbab secara berjarak, tak tersentuh sehingga keterasingan tak terhindarkan. Melalui 54 Deny Hamdani, hal. 121-126. 55 Ibid. 56 Ibid. 66 perantara media, mulai tumbuh kontak yang lebih dekat. Bukan hanya itu, kehadiran para selebritis misalnya Ida Royani, Neno Warisman, Ida Leman, yang bertahun-tahun sebelumnya mengenakan jilbab dengan gaya yang modis, turut mempermudah proses keakraban antara masyarakat dengan jilbab. Hampir setiap tahun pula muncul selebritis yang tiba-tiba menggunakan jilbab sebagai pakaian keseharian sehingga membuat banyak orang terkejut. Kisah selebritis yang mengenakan jilbab diangkat secara dramatis kedalam media, bahkan dieksplorasi kedalam acara-acara infotainment. Melalui televisi yang merupakan sumber daya yang terbuka bagi semua orang dalam masyarakat industri serta mengalami pertumbuhan di negara-negara berkembang, jilbab dalam kehidupan para selebritis menjadi sumber pengetahuan populer. Para ibu yang kesulitan untuk memahami cara berpikir anak gadisnya yang memilih mengenakan jilbab dapat berkaca tuturan selebritis mengenai pilihannya yang serupa. Seperti yang dijelaskan oleh Hall mengenai televisi, televisi berdampak pada ‘ketentuan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita memersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami. 32

2. Jilbab Dalam Iklan