Pelembagaan Jilbab TITIK BALIK DALAM JILBAB

71 rezim Orde Baru yang tidak mengijinkan penggunaan jilbab di ruang publik, masa- masa ini adalah masa kemerdekaan dalam berjilbab. Jilbab yang berkibar dikenakan adalah jilbab kemenangan. Tetapi secara berlawanan, muncul titik balik di mana perempuan tidak lagi hanya memperjuangkan penggunaan jilbab sebagai bagian dari keseharian dan identitasnya. Tetapi kepentingan politik kelompok- kelompok tertentu mulai bermain dan mengendalikannya secara politis. Perempuan tak lagi semata berujar, “Sudah saatnya saya mengenakan jilbab.” Tetapi kini semakin sering terdengar, “Kapan kau akan berjilbab?” Wacana yang berkembang semakin menguat saat ini adalah bahwa jilbab merupakan sebuah kewajiban bagi perempuan muslim. Jika pada masa Orde Baru, wacana jilbab mendapat ‘suntikan’ ideologi dari gerakan Islam internasional, kini tak mudah untuk menemukan suara yang berbeda. Suara yang berbeda itu adalah suara yang di dalamnya dicetuskan pertimbangan-pertimbangan secara kontekstual mengenai penggunaan jilbab. Misalnya seperti suara yang dicetuskan oleh Muhammad Quraish Shihab yang berusaha untuk menempatkan jilbab sebagai bagian dari pilihan sadar penggunanya, bukan dipaksakan. Suara yang dikemukakan Quraish Shihab seringkali mendapatkan kontra di masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pada titik yang paling ekstrim, jilbab menjadi elemen yang dipentingkan sebagai penanda moralitas.

1. Pelembagaan Jilbab

Penggunaan jilbab sebagai cara berpakaian sehari-hari di ruang publik didorong oleh berbagai macam motif. Terutama penggunaannya pada level formal atau institusi. Jilbab dikenakan bukan semata-mata cara berpakaian sehari-hari, 72 tetapi sebagai bagian dari institusional, misalnya sekolah. Demikian pula jilbab yang didorong oleh peraturan daerah. Jilbab semacam ini dapat kita temui sebagai contoh dari penggunaan jilbab tidak hanya didorong oleh motif pribadi, sebagai pilihan bebas. Persoalan pemaknaan, atau mungkin kenyamanan dalam penggunaan dapat menjadi sesuatu yang penting pula di sini untuk diketahui. Adakalanya meski jilbab di sini merupakan bagian dari aturan kelembagaan, pengguna juga dapat merasakan kenyamanan di dalamnya. Meskipun hal tersebut tidak selalu terjadi pada setiap pengguna. Contoh pertama yang akan kita lihat adalah pemberlakuan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah. Sejak diberlakukannya izin atau surat keterangan untuk mengenakan jilbab bagi siswi sekolah secara umum, yang termaktub dalam SK 1001991 fenomena sebaliknya tak disangka-sangka akan terjadi. SK tersebut sebenarnya lahir dari proses perjuangan dari kalangan siswi dan pihak-pihak terkait sebagai cara berseragam baru. Meskipun izin untuk mengenakannya sudah lahir, tetapi yang terjadi adalah pemberlakuan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah secara menyeluruh. Hal ini menjadi ganjil karena awalnya segelintir siswi meminta izin untuk mengenakan jilbab, tetapi yang terjadi adalah jilbab malah diwajibkan. Di sini yang hilang adalah pilihan yang hadir dari pihak siswi untuk mengenakan jilbab atau tidak. Sekolah yang menjadikan jilbab sebagai bagian wajib dari seragam, misalnya adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Padang. Di sekolah ini, batasan seragam yang diberlakukan bagi siswi maupun siswa secara umum adalah merujuk pada batasan aurat dalam Islam. Aturan sekolah ini disepakati kedalam aturan yang bernama Haluan yang bernomor 03212005. Aturan tersebut juga 73 disepakati oleh pihak orangtua murid. Demikian juga yang terjadi pada SMAN 2 Padang. Selanjutnya di Sekolah Menengah Pertama 2 Padang dan Sekolah Dasar Alang Lawas menjadikan kombinasi baju kurung dan jilbab sebagai seragam sekolah. 59 Selain pemberlakuan jilbab di sekolah, kita juga dapat menemui hal serupa pada level aturan kerja. Misalnya yang aturan kerja yang harus diikuti oleh polisi wanita di wilayah tertentu. Aturan seragam di wilayah kerja ini biasanya terkait erat citra daerah tempat mereka berada. Daerah yang secara khusus menggunakan afiliasi Islam sebagai Peraturan Daerah, misalnya, maka akan memberlakukan jilbab sebagai bagian terpenting dari seragam kerja. Misalnya adalah yang diberlakukan di Kepolisian Wilayah Madura. Kapolda Jawa Timur Irjen Anton Bachrul Alam memberikan ‘imbauan’ kepada seluruh polwan muslimah untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam. ‘Imbauan’ dalam hal ini merupakan sebentuk aturan yang harus ditaati. Bripda Ela, yang merupakan salah satu ajudan Kapolwil Madura ini mengatakan, ”Mulai hari ini Selasa kemarin,Red. seluruh polwan di Madura berjilbab Mas. Kelihatan lebih cantik ya,” seperti dikutip oleh Koran Jawapos. 60 Sementara itu, pemberlakuan jilbab sebagai cara berpakaian sehari-hari, bukan lagi sebagai seragam dapat kita lihat wilayah tertentu. Pemberlakuan jilbab di ruang publik, meliputi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh penggunanya, selalu terkait dengan peraturan daerah yang berafiliasi secara formal dengan Islam. Islam tidak dijadikan sebagai cara hidup sehari-hari saja, tetapi juga 59 Deny Hamdani, hal. 153. 60 Meisusilo dalam “Polwil Madura Mulai Berlakukan Jilbab bagi Polwan Muslimah”, 2009, Koran Jawa Pos: 11 Maret. 74 dijadikan sebagai landasan hukum positif yang harus ditaati. Contoh yang paling terkait dengan kasus kita kali ini adalah pemberlakuan jilbab dengan segala persyaratannya di Aceh Barat. Penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh diatur oleh Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah, yaitu Qanun. Qanun terdiri atas: • Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Aceh. • Qanun KabupatenKota, yang berlaku di kabupatenkota tersebut. Qanun kabupatenkota disahkan oleh bupatiwalikota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota. Bupati Aceh Barat, Ramli Mansur, menegaskan kembali upaya-upaya untuk menegakkan Syariah Islam di wilayah yang ia pimpin. Ia melakukan penertiban cara berpakaian perempuan. Perempuan dilarang untuk mengenakan pakaian ketat, khususnya celana panjang. Larangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Bupati Nomor 52010 yang berlaku efektif mulai 27 Mei 2010. Dalam Pasal 15 ayat 1 huruf d disebutkan bahwa para pedagang yang masih menjual pakaian ketat akan dikenakan sanksi, hingga pencabutan izin usaha. 75

2. Imaji JilbabHijab sebagai Kewajaran konsensus