169 kekuasaan.
81
Dalam wacana jilbab, akan tampak bahwa setiap subjek mempunyai cara yang khas ketika hidup di dalam sebuah wacana, yang tidak bersifat monolitik
dan statis. Dengan kata lain, subjek mempunyai caranya sendiri untuk bernegosiasi.
Sekilas, praktik jilbab bagi setiap orang seperti sama saja. Mereka seakan hanya berada dalam masa peralihan dari ‘tidak tahutidak sadar’ akan batas tubuh
yang boleh tampak di muka umum, menjadi ‘tahusadar lalu mengenakan jilbab’. Kepatuhan tidak berhenti sampai di situ, disiplin tubuh telah dimulai. Tetapi
kepatuhan dan disiplin yang juga tidak berhenti sampai di situ. Hidup dalam wacana jilbab tidak bersifat sesaat saja. Sehingga, di dalamnya sebuah perjalanan
panjang sangat mungkin teralami. Dalam bagian analisa berikut ini, saya hendak menunjukkan bahwa subjek hidup dalam wacana jilbab secara negosiatif. Dengan
kata lain, wacana jilbab adalah lokus dalam mengelola diri.
1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri
Setelah problematisasi cara berpakaian terjadi secara sosial, bagaimanakah hal tersebut terjadi pada lingkup personal atau pada pengguna jilbab? Dalam hal
ini, sebuah perubahan baru cara pandang terhadap tubuh tidak hanya menghasilkan ketundukkan personal pada sebuah tata aturan. Setidaknya jika
hanya dilihat dari wacana dakwah, penggunaan jilbab sudah dikategorikan sebagai ketundukkan yang positif serta patut ditiru oleh perempuan yang belum
memilihnya. Tetapi jika dalam level personal, warnanya tidaklah statis seperti itu. Ketundukkan hanyalah satu hal di dalam jilbab. Pengenalan wacana jilbab,
81
The History of Sexuality Volume I, 1978, New York: Pantheon Books, hal.95.
170 mengubah diri agar sesuai dengan wacana tersebut atau negosiasi, pertemuan
dengan wacana lain yang melahirkan negosiasi ulang merupakan fase-fase yang mengubah penggunanya. Sebuah wacana dapat meresap kedalam diri seseorang,
mengubahnya, lalu menjadikannya diri yang tidak monoton. Berikut ini akan saya jabarkan proses wacana jilbab telah mengubah setiap diri.
a. Aku Saya sudah mengenal cara mengenakan jilbab secara rapat sejak belajar
mengaji di sekolah membaca Al-Qur’an di masjid belakang rumah yang berafiliasi dengan organisasi Islam Persis Persatuan Islam. Semua murid perempuan
mengenakan jenis pakaian yang sama, yaitu baju Gamis dan jilbab berwarna putih. Demikian pula dengan guru mengaji kami saat itu, sama-sama mengenakan jilbab
dengan rapat. Tetapi begitu kami pulang dari masjid, tidak ada satu pun dari kami yang tetap mengenakannya, termasuk guru mengaji yang tinggalnya tepat di
belakang rumah. Situasi saat itu, baik di lingkungan rumah maupun sekolah, jilbab hanya dipandang sebagai cara berseragam khusus saat belajar mengaji. Di sekolah
formal, tidak ada yang mengenakan jilbab meskipun sedang mengikuti pelajaran agama. Sampai suatu saat semuanya berubah saat seorang kawan yang bernama
Mira hadir dengan membawa gugatan, “Tau gak kamu, jilbab itu gak wajib. Ibuku yang bilang begitu. Al-Qur’an ga nyebutin kalau kita harus mengenakan jilbab.”
Melalui Mira kawan saya itu, momen problematisasi wacana jilbab mulai saya alami. Meskipun dalam suasana di sekolah mengaji saya telah mengenal cara
berpakaian dengan
mengenakan jilbab,
tetapi tidak
ada yang
mempermasalahkannya selain menganggapnya sebagai pakaian yang nyaman dan
171 pantas saja. Tetapi saat Mira menyatakan bahwa ‘jilbab tidak wajib’ mulai
membuat saya bertanya mengenai jilbab. Pernyataan yang dibawa oleh kawan ini terkesan ganjil karena saat itu jilbab memang belum umum dikenakan. Saya mulai
mempermasalahkan jilbab kepada ibu padahal saya juga tahu ibu tidak pernah mengenakan jilbab. Pada umumnya, orang-orang pada saat itu, tahun 80-an, tidak
terlalu memperhatikan dan mempersoalkan jilbab. Bahkan belum banyak orang yang tahu jilbab baik secara bahasa maupun praktik. Tetapi kawan saya datang
membawa sebuah penentangan terhadap jilbab. Sepertinya, pada kawan saya, Mira, situasi problematisasi sudah dialaminya terlebih dahulu, yang kemungkinan besar
terjadi melalui ibunya. Situasi problematisasi bagi saya dapat dipastikan terjadi sejak duduk di
sekolah dasar tersebut. Saya mulai mencium sebuah gelagat bahwa ada cara berpakaian yang diatur oleh Islam secara langsung. Meskipun demikian, saya tetap
hanya mengenakan jilbab jika sedang belajar mengaji di masjid. Saya tidak terlalu memikirkannya, serta tidak ada seorang pun yang menyeru saya untuk berjilbab.
Tetapi sejak saat itu jilbab menjadi salah satu cita-cita di kala dewasa nanti. Saya membayangkan di masa dewasa nanti saya mengenakan jilbab karena dengan
jilbab saya merasa nyaman. Cita-cita berjilbab mulai menemukan ruang untuk dipraktikkan saat saya secara sengaja memilih sekolah menengah atas yang masih
berafiliasi dengan organisasi Persis. Jilbab yang merupakan seragam di sekolah membuat saya merasa aman karena saya sering mengalami pelecehan seksual.
Pada saat bersamaan, saya mengalami kenyamanan sambil masuk kedalam proses disiplin tubuh. Disiplin menurut Foucault adalah sebuah “teknologi” yang
menyebabkan ‘cara untuk membuat seseorang berada di bawah pengawasanan,
172 cara untuk mengontrol tingkah lakunya, kecerdasannya, cara memperbaiki
penampilannya, melipatgandakan kemampuannya, cara untuk membuat seseorang lebih berguna.
82
Jilbab saya harapkan dapat mengamankan tubuh saya karena lebih menutup daripada pakaian seragam biasa. Masih pada saat bersekolah di sekolah
Islam tersebut pula saya kemudian memutuskan berjilbab secara konsisten. Sejak saat itu jilbab telah benar-benar saya jadikan sebagai lokus kedirian saya. Definisi
diri yang saya bawa adalah bahwa saya adalah seorang perempuan berjilbab, yang lebih serius dalam menjalani masa muda, lebih taat lagi pada agama, dan tidak akan
terombang-ambing kedalam tren mode. Di masa kulliah, saya bertemu dengan wacana jilbab yang lebih keras. Saat
mencoba aktif di organisasi keislaman di kampus tempat saya kuliah, saya bertemu dengan wacana gerakan Islam yang menuntut cara berpakaian sehari-hari benar-
benar diubah. Bahasa yang dipakai biasanya, hijrah. Hijrah atau pindah dari sebuah gaya hidup tertentu menjadi lebih Islami secara kaffah, yang tercermin dalam
jilbab. Saya sempat dinilai secara terbuka di depan teman-teman yang tengah melakukan khalaqah bahwa cara berpakaian seperti saya belum sesuai dengan
nilai-nilai yang diusung Islam. Dengan kata lain, cara berpakaian saya dan teman yang seperti saya belum berpakaian secara kaffah atau sempurna. Cara berpakaian
yang lebih ‘baik’ itu, yaitu berupa gamis dan jilbab lebar menyebar di lingkungan kampusku waktu itu. Tidak jarang kawan-kawanku memutuskan untuk mengganti
pakaiannya menjadi lebih tertutup, tidak mengenakan pakaian seperti kemeja atau celana panjang. saya sempat dikelilingi oleh para perempuan yang memutuskan
untuk mengenakan gamis dan jilbab lebar, termasuk kakak perempuan saya di
82
Clare O’Farrel, Michel Foucault, hal. 102.
173 rumah. Meskipun berulang kali mengalami pelecehan seksual di tempat umum,
saya tidak pernah memutuskan untuk mengambil cara berpakaian tersebut. Saya tidak pernah mengganti model pakaian ataupun jilbab. Saya tetap mengenakan
celana panjang dan kemeja longgar warisan dari kakak laki-laki saya. Alasan yang saya punya saat itu bisa dikatakan sederhana. Bagi saya pakaian tanpa potongan
seperti gamis justru membuat saya merasa tidak aman. Tubuh yang dibalut gamis saat berada di lingkungan yang ramai justru membuat tubuh saya tidak tertutup
dengan aman karena pakaian demikian justru membuat tubuh saya mudah terbentuk, misalnya saat tertiup angin.
Ketika pengalaman pecelehan seksual, termasuk saat masuk kedalam mimpi seorang kawan laki-laki yang berada di kelas perkuliahan yang sama, membuat
saya kembali mempermasalahkan jilbab. Saya mulai benar-benar berefleksi atas jilbab yang sudah beberapa tahun dikenakan. Situasi kegamangan antara keinginan
melepas jilbab
karena merasa
kosong makna
dan keinginan
untuk mempertahankannya muncul bersamaan. Saya merasa sudah terhubung dengan
jilbab sejak masih duduk di sekolah dasar, meskipun baru mengenakannya secara konsisten saat duduk di sekolah menengah atas. Saya memperlakukan jilbab
sebagai bagian dari diri yang sulit dilepaskan. Padahal tidak ada satu orang pun yang membuat saya mengenakannya. Dengan kata lain, baik orangtua maupun guru
mengaji tidak menyuruh saya untuk berjilbab. Jilbab saya jadikan sebagai pelindung karena pengalaman buruk akan tubuh. Mungkin yang ‘mendesak’ saya
untuk berjilbab adalah tubuh saya sendiri saat itu. Meskipun situasi tersebut ‘rusak’ oleh peristiwa tak terduga yaitu masih teralaminya pelecehan selama
berada di transportasi umum.
174 Jilbab tetap menjadi lokus bagi saya untuk mengolah diri lagi, dengan warna
yang berbeda. Saya memilih mencari hal lain yang dapat meredefinisi jilbab yang saya kenakan dengan cara meredefinisi konsep tubuh yang negatif akibat sering
dilecehkan yaitu merasa tubuh sebagai sumber dosa. Lalu saya bertemu dengan kelompok-kelompok sufi baik di daerah maupun di perkotaan. Meski tidak secara
langsung memperkuat keberjilbaban saya, wacana baru yang saya temui itu sangat berpengaruh. Jilbab dan religiusitas mulai berpadu lagi di dalamnya. Wacana
keagamaan aliran sufisme menyediakan pemahaman tentang tubuh perempuan sebagai yang istimewa bukan sebagai sumber dosa, termasuk bagi laki-laki
sehingga keistimewaan tersebut layak untuk diberi tabir berupa jilbab. Kekuatan yang saya peroleh tidak hanya dihidupi oleh wacana kegamaan saja. Beberapa
tahun kemudian saya menemukan wacana feminisme yang di dalamnya isu tentang tubuh pun dipersoalkan. Melalui wacana feminisme, khususnya melalui seorang
feminis Prancis, Luce Irigaray, saya mendapatkan pemahaman bahwa jelas bahwa siapapun tidak mampu merekacipta kembali seluruh sejarah. Namun aku pikir setiap
individu, perempuan atau laki-laki, dapat dan harus mereka ciptakan kembali riwayatnya, baik riwayat individual maupun kolektif. Untuk melakukan tugas itu,
sangat diperlukan penghormatan pada tubuh dan persepsi setiap perempuan dan laki-laki.
83
Melalui tulisan Irigaray tersebut, saya melakukan semacam penghormatan terhadap tubuh, bukan menyesalinya karena gagasan tubuh sebagai
sumber dosa. Jilbab dengan konteks pemahaman semacam itu, saya jadikan sebagai cara untuk menghormati tubuh. Sebenarnya logika umum antara wacana
keagamaan dan feminisme tidaklah sama meskipun sama-sama membicarakan
83
Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, 2005, Jakarta: Penerbit KPG, hal. 32.
175 tentang perempuan. Agama, khususnya Islam sering dijadikan sebagai ‘kambing
hitam’ bagi ketertindasan perempuan. Tetapi dalam pengalaman mengolah diri ini, wacana feminisme menjadi salah satu wacana yang memperkuat saya, khususnya
tentang tubuh tanpa harus ditabrakkan dengan pemahan yang berasal dari sumber yang lain. Dengan demikian, saya justru tidak terdorong untuk membuka jilbab
akibat bertemu dengan wacana feminisme yang mengusung kebebasan perempuan dengan cara yang berbeda. Agama dan feminisme dapat duduk berdampingan
untuk mengisi jibab yang saya kenakan sehari-hari. Setelah mempunyai makna personal akan jilbab, pengalaman selanjutnya
mengantarkan saya pada pertemuan dengan wacana-wacana lain yang tak kalah berusaha untuk mendefinisikan diri. Dalam hal ini berkaitan dengan pengalaman
membuka jilbab. Seperti yang sudah saya tulis dalam Bab III, pengalaman membuka jilbab pertama kali tidak berhubungan dengan wacana besar yang ada,
yaitu memasuki wacana Islam Liberal yang melihat jilbab sebagai sebatas bentuk budaya, bukan Islam. Alasan membuka jilbab yang hanya sesaat saja itu adalah
faktor alam yang untuk tubuh saya terlalu panas. Bertahun-tahun kemudian, pengalaman membuka jilbab saya alami lagi dengan sejumlah alasan yang kurang
lebih tidak jauh berbeda dengan pengalaman pertama, yaitu akibat faktor alam. Tetapi pengalaman berikutnya ini tidak sama benar dengan pengalaman pertama.
Pada pengalaman pertama, saya sepertinya memasuki sebuah ruang yang tanpa ideologi, yaitu sebatas menikmati kebebasan alam semesta tanpa tabir jilbab. Kali
ini, situasinya justru berkebalikan dengan pengalaman pertama. Salah satu penyebabnya adalah durasi membuka jilbab yang lebih intens daripada
pengalaman yang pertama. Sehingga saya lebih mempunyai waktu yang lebih
176 leluasa untuk memeriksa wacana apa yang kemudian saya masuki saat tidak
mengenakan jilbab. Kecurigaan feminis Barat terhadap tubuh yang serba ditutup oleh pakaian
adalah sebagai bagian dari kontrol terhadap tubuh. Tubuh yang ditutupi sedemikian rupa merupakan bentuk penaklukan, khususnya sebatas untuk
menjaga keamanan moral lingkungan sekitarnya. Tubuh dianggap tidak mempunyai kebebasan karena harus memenuhi hajat kepentingan orang lain,
dalam hal ini melindungi mata laki-laki. Tetapi tubuh perempuan bersifat performatif, yaitu tubuhnya selalu merupakan medan berbagai kepentingan, tidak
ada tubuh yang bebas dari wacana.
84
Hal ini terbukti saat saya tidak mengenakan jilbab. Saya mulai masuk kedalam wacana kecantikan populer yang sama-sama
mempunyai daya kontrol terhadap tubuh. Di saat tubuh saya dapat lebih leluasa menikmati udara, kepala saya juga tidak menahankan tekanan jilbab, muncul
‘tekanan’ yang lain. Saya mulai masuk kedalam wacana tubuh ideal yaitu tubuh langsing tanpa lemak bergelambir. Saya mulai memasuki sebuah disiplin tubuh
yang lain, yaitu mulai berolahraga secara teratur, mengurangi asupan makanan yang berpotensi kegemukan, dan lain-lain. Semua itu tidak dilakukan sebatas untuk
kesehatan. Tetapi hadir kesadaran bahwa disiplin yang saya lakukan itu demi terciptanya kecantikan yang dihasilkan oleh tubuh yang ideal. Sehingga, ketika
dalam kesempatan lain saya masih mengenakan jilbab, ada pemaknaan baru akan jilbab. Jilbab menjadi sebentuk tabir bagi tubuh yang tidak ideal.
84
Judith Butler, dengan gaya Foucauldian berpendapat bahwa wacana mendefinisikan, mengonstruksi dan memproduksi tubuh sebagai objek pengetahuan. Wacana adalah sarana kita memahami
bagaimana kondisi tubuh sebenarnya. Dalam Chris Barker, Cultural Studies; Teori dan Praktik, 2013, Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, hal. 259.
177 b. Mariana
Mariana lahir di sebuah kampung bernama Batang. Baik keluarga maupun warga sekampungnya dominan merupakan muslim beraliran Nahdatul Ulama
NU. Kekentalan NU orang-orang di sekitar Mariana begitu kuat sehingga mereka membedakan diri dengan organisasi atau aliran Islam lainnya yang berbeda, yaitu
Muhammadiyah. Tetapi nasib menghantarkan Mariana pada aliran Islam yang berseberangan dengan keluarga maupun warga di kampungnya. Akibat terlambat
mendaftar sekolah lanjutan dari sekolah menengah, tidak ada satu pun sekolah yang bisa menerima Mariana, kecuali sebuah sekolah yang berafiliasi dengan
Muhammadiyah. Padahal bersekolah di sekolah Muhammadiyah sangat tidak diharapkan. Mariana menjelaskan bahwa orang-orang di kampungnya punya
prinsip, ‘Mending masukkin anak ke sekolah Kristen daripada Muhammadiyah’. Mariana tidak tahu menahu ihwal prinsip tersebut kecuali menganggapnya sebagai
doktrin. Saat bersekolah di SMK Muhammadiyah, Mariana mulai bergiat sebagai
aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah IRM. Dalam organisasi IRM keteladanan adalah hal yang utama. Sosok murid yang dapat menjadi aktivis yang setara dengan
OSIS di sekolah umum ini, harus memenuhi syarat seperti prestasi pendidikan di sekolah harus bagus, yaitu termasuk kedalam lima besar, harus memiliki prestasi,
sanggup menjadi pendamping murid lainnya di kelas serta harus mengenakan jilbab baik di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian, jilbab adalah sebuah
kewajiban untuk aktivis IRM. Melalui organisasi yang diikutinya, Mariana mengalami konsep keteladanan dan prestasi dikaitkan dengan jilbab. Dengan
demikian mulai muncul penanda baru dalam konsep keteladanan dan prestasi
178 Mariana yaitu jilbab. Walaupun demikian, Mariana mengakui bahwa di sekolahnya
tersebut ia menemukan nilai-nilai spiritual. Mudahkah bagi Mariana untuk mengenakan jilbab? Padahal pada masa itu,
baik di keluarga maupun di kampungnya, jilbab yang umum dipahami adalah bersifat batiniah atau jilbab letaknya di hati. Saat Mariana mengenakan jilbab yang
modelnya pun serba lebar membuat keluarga Mariana sama sekali tidak sepakat. Penampilan Mariana mulai menjadi berbeda. Jilbab yang sebelumnya dipahami
sebatas di hati tiba-tiba menjadi konkrit. Lingkungan di sekitar Mariana mulai bereaksi bahkan menekankan bahwa jilbab itu tempatnya di hati, bukan seperti
yang dikenakan Mariana. Dalam hal ini, problematisasi bukan saja dihadapi oleh Mariana, tetapi juga oleh keluarganya. Di sini mulai muncul persoalan bahwa ada
penampilan yang merujuk pada sumber pengetahuan Islam, yang diadopsi oleh organisasi sekolah Mariana yaitu jilbab. Keluarga Mariana, khususnya ibu, juga
dihadapkan pada persoalan cara berpakaian. Mariana bahkan menuturkan bahwa ia sempat dikejar ibunya agar ia melepaskan jilbab besarnya itu. Tetapi jilbab tetap
dipertahankannya. Mulai sejak saat itu, jilbab menjadi sebuah disiplin yang dilakukan Marina untuk kemudian menjadi lokus untuk mendefinisikan diri.
Mariana mulai mengolah dirinya kedalam disiplin di seputar wacana jilbab yang berbentuk konkrit itu bukan sebatas di batin seperti yang diyakini keluarganya
pada saat itu. Keteladanan dan prestasi melekat dalam jilbab yang ia kenakan. Sehingga, konsep diri yang bermain di dalam diri Mariana adalah berjilbab, teladan,
dan berprestasi. Proses mengolah diri dengan menjadikan jilbab sebagai lokus tidak berhenti
sampai pada wacana kemuhammadiyahan-keteladanan atau prestasi. Konteks yang
179 melingkari Mariana mulai beralih dari Muhammadiyah ke Ikhwanul Muslimin IM.
Dalam konteks lingkungan IM, Mariana mengenal cara menggunakan jilbab yang lebih serius lagi, misalnya jilbabnya lebih lebar dari biasanya hingga sebatas lutut
bahkan kemungkinan untuk menambahkan cadar penutup wajah. Mariana pun sempat hendak memutuskan untuk mengenakan cadar. Lingkungan IM ini dikenal
Mariana saat ia melanjutkan kuliah ke kota Semarang. Mariana cukup lama berada dalam lingkungan IM sampai kemudian ia pindah kota untuk melanjutkan
aktivitasnya sebagai aktivis Muhammadiyah. Mariana pindah ke kota Jakarta. Saat berada di ibukota Jakarta, Mariana bertemu dengan beragam jilbab.
Mariana mengaku terpukau oleh warna-warni dan model jilbab yang dikenakan kawan-kawan di lingkungannya. Mariana mulai bertemu dengan wacana jilbab
modis. Kawan-kawan Mariana bahkan ikut terlibat untuk mendorong Mariana segera mengganti gaya jilbabnya yang dinilai tidak cocok untuk dikenakan di
ibukota. Kawan-kawannya mulai memperkenalkan cara berjilbab yang lebih modis. Wacana jilbab modis hadir untuk memberikan peluang bagi diri berpenampilan
lebih cair dengan lingkungan. Wacana jilbab modis yang diakomodasi Mariana memberikan peluang bagi Mariana untuk menampilkan diri lebih cantik dan
berwarna. Nantinya, melalui jilbab modis ini membuat Mariana dapat masuk kedalam lingkungan yang nonagamis, misalnya tempat ia bekerja.
Selain wacana jilbab modis, Mariana pun bertemu dengan dengan lingkungan yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal. Wacana Islam Liberal
dirasakan oleh Mariana lebih terbuka atau moderat. Mariana bahkan berseloroh bahwa pertemuannya dengan wacana Islam Liberal adalah semacam
pertaubatannya dari aliran Islam sebelumnya yang lebih ketat. Dalam wacana
180 Islam Liberal, Mariana berkenalan dengan wacana yang menyatakan bahwa jilbab
adalah budaya, bukan kewajiban agama. Tetapi dalam hal ini, Mariana tidak serta merta melepas jilbabnya. Mariana memilih untuk mulai meredefinisi jilbab. Ia
mulai memasukkan unsur budaya kedalam konsep berjilbabnya. Mariana mulai memperhitungkan lingkungan tempat ia hidup. Mariana tidak lagi seperti di masa
sekolah menengah
dulu yang
mengambil keputusan
drastis tanpa
memperhitungkan lingkungan. Sambil mendefinisikan ulang konsep jilbab, bentuk jilbab Mariana pun berubah. Mariana mulai mengubah penampilannya, mulai dari
jenis pakaian hingga bentuk jilbab. Jilbab yang dikenakan Mariana kini lebih beragam. Saat Mariana harus mengajar di universitas swasta yang tidak
mengijinkannya untuk berjilbab lebar, Mariana mengenakan jilbab modis. Pandangannya tentang jilbab pun tidak lagi sama dengan sebelumnya. Jilbab dilihat
juga sebagai cara untuk tampil menjadi cantik. Mariana mengakui bahwa kecantikan karena berjilbab membuatnya bertahan untuk mengenakan jilbab.
Berkaitan dengan itu, Mariana memposisikan jilbab tidak secara kaku, jilbab adalah sebentuk negosiasi dengan kultur yang ia masuki.
c. Rini Rini adalah seorang perempuan yang hidup di lingkungan Islam ketat. Sejak
kecil sudah didisiplinkan untuk menutup aurat secara tertib, meskipun tidak langsung diharuskan mengenakan jilbab. Ayah Rini yang mendidiknya sedemikian
rupa, bahkan Rini menyatakan bahwa ia dikontrol oleh ayahnya. Dengan pendidikan agama yang ditanamkan sejak usia dini itu, membuat Rini mulai
mengenakan jilbab permanen di saat Rini duduk di sekolah menengah pertama.
181 Pendidikan agamis ditanamkan sejak kecil, termasuk cara menutup aurat yang
ditekankan oleh ayahnya. Tetapi yang jelas, ketika Rini mulai mengenakan jilbab secara permanen, yaitu di sekolah menengah pertama, bibit pemberontakan di
dalamnya dirinya tumbuh. Rini mulai gelisah dengan jilbab yang dikenakannya sehingga mendamparkannya pada sebuah pantai, tempat pelariannya dari asrama
sekolah, untuk menyatakan sikap, “Apaan sih ini gue bete pake beginian?” Rini dengan marah melepaskan jilbabnya di tepi pantai. Rini tiba-tiba merasakan asing
dengan sehelai kain yang didisiplinkan ayahnya untuk dikenakan. Pendidikan dari kakeknya yang diturunkan kepada keluarganya tentang jilbab adalah jilbab
merupakan sebuah kewajiban dan berpahala. Tetapi Rini tidak lagi memandangnya demikian. Rini menyatakan sikap bahwa ia tak paham jilbab selalu dilekatkan pada
dirinya yang perempuan.
Saat Rini mulai memproblematisasi jilbabnya, Rini tak lagi menghadapi situasi dirinya secara sama lagi. Rini tiba-tiba merasa berdosa karena pernah
melepas jilbab di tepi pantai. Rini mulai mencicipi kegelisahan, terombang-ambing di antara dua sisi, yaitu di satu sisi ia kesal karena diatur untuk berjilbab tetapi di
sisi lain ia merasa berdosa karena sempat melepaskannya. Sejak saat itu, Rini berusaha untuk mengisi kegelisahannya dengan menggali lebih dalam tentang
jilbab. Rini tak lagi berpaku pada pendidikan kakek ataupun ayahnya. Ia mulai mencari warna tafsir lain tentang jilbab, sambil jilbab tetap dikenakannya dalam
aktivitas sehari-hari. Rini tidak sepenuhnya berusaha untuk bebas dari jilbab, tetapi ia melakukan refleksi sambil menggali wacana jilbab untuk ia kritisi.
Dalam perjalanan ia mencari warna tafsir lain tentang jilbab, Rini pun bertemu dengan aneka macam cara berjilbab. Saat itu Rini sudah lulus dari
182 pesantren. Sehingga ketika berbaur dengan banyak kalangan, Rini mulai melihat
bahwa cara berjilbab beraneka rupa. Rini sendiri masih mengenakan jilbab secara rapi dengan pakaian longgar berupa rok. Setelah keluar dari pesantren Rini
memungkinkan menemukan berbagai macam wacana tentang jilbab. Apalagi Rini kuliah di sebuah universitas Islam yang dikenal progresif, yaitu Universitas Islam
Negeri di Jakarta. Wacana jilbab yang digali kembali oleh Rini dimulai dari aliran normatif yang menekankan wajibnya berjilbab hingga wacana jilbab yang berbeda,
yang ia dapatkan dari buku-buku yang dibacanya, yaitu buku-buku yang ditulis Quraish Shihab, Nasaruddin Umar dan Fatima Mernissi yang nuansanya lebih
moderat. Buku terpenting yang ia temukan adalah yang beraliran Islam Liberal seperti yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia.
Horison pemikiran Rini kini sudah diwarnai oleh beragam aliran pemikiran Islam terhadap jilbab. Rini pun mulai mengubah penampilannya. Dengan riwayat
pengenalan jilbab yang secara paksa oleh ayahnya, membuat Rini lebih mudah mengakomodasi wacana jilbab yang lebih moderat. Rini pun telah menjadi
perempuan yang meredefinisikan jilbab serta dirinya sendiri. Semua itu berpengaruh terhadap caranya berpakaian dan berjilbab. Semula Rini yang
mengenakan jilbab dan pakaian serba lebar, mulai berubah. Rini mulai mengenakan rok atau celana panjang dengan jilbab yang tidak lagi lebar. Ketika
Rini bertemu dengan wacana Islam Liberal yang mempunyai argumentasi bahwa jilbab bukanlah cara berpakaian yang khas Islam, melainkan ada dalam konteks
banyak budaya di dunia, pandangan Rini pun semakin berubah. Puncaknya adalah pada tahun 2012 Rini menyatakan tidak lagi mengenakan jilbab. Rini sudah terus
menerus mengambil keputusan, bukan saja mengubah bentuk jilbabnya tetapi
183 mulai melepaskannya. Bersamaan dengan melepas jilbabnya, Rini merangkai
definisi aurat menurut dirinya sendiri yaitu bahwa aurat bukanlah persoalan fisik, tetapi moral. Menjaga aurat bagi Rini, bukan lagi diletakkan pada jilbab, tetapi cara
untuk menjaga diri sendiri agar tidak merugikan orang lain, misalnya mencuri atau korupsi. Dengan demikian, dengan semakin abstrak definisi aurat yang Rini punya,
jilbab tidak lagi dikenakannya secara formal seperti biasanya. Penampilan Rini bermetamorfosis
menjadi sebatas
mengenakan selendang
yang masih
memperlihatkan sebagian rambut, kemudian puncaknya adalah melepasnya. Tetapi Rini masih menyimpan jilbabnya untuk kegiatan-kegeiatan tertentu
misalnya saat menghadiri acara keluarga besarnya di kampung halaman. Saat Rini sudah melepaskan jilbab dari sebagian besar aktivitas sehari-
harinya, baik aktivitas formal maupun nonformal, apakah ia terbebas dari wacana jilbab yang sudah berkembang biak sedemikian rupa itu? Bagi Foucault,
perlawanan tidak ada di luar wilayah kekuasaan. Bila tindakan Rini yang melepas jilbab adalah perlawanan, tetapi bukan berarti ia kemudian menjadi bebas
sepenuhnya. Rini meskipun sudah melepaskan jilbab, ia tetap berada dalam wacana jilbab. Wacana jilbab yang ia masuki kali ini adalah wacana melepas jilbab
yang di dalamnya terdapat sejumlah pembicaraan, asumsi, analisa yang spesifik mengenai faktor-faktor yang memicu tindakan melepas jilbab. Salah satu asumsi
yang melekat pada tindakan melepas jilbab adalah lepasnya nilai-nilai spiritual dari diri. Sehingga tidak mengherankan jika pengguna jilbab yang tiba-tiba melepaskan
jilbabnya akan direpresentasikan macam-macam. Mereka bisa dianggap mengalami guncangan psikologis akibat beban hidup yang tak tertahankan, atau bisa juga
dianggap sudah menjadi perempuan yang membebaskan tubuhnya secara
184 sepenuhnya. Pengalaman Rini menyatakan anggapan semacam itu, yaitu Rini tiba-
tiba dipandang sebagai perempuan yang bisa diajak tidur dengan sembarang orang oleh senior di komunitas tempatnya berkegiatan. Rini dipandang sebagai
perempuan yang tidak lagi memegang nilai-nilai spiritualitas secara ketat lagi seperti saat berjilbab. Kepada saya, Rini menceritakan pengalaman yang sungguh
tidak mengenakkan itu, pengalaman yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Selain diperlakukan sebagai perempuan yang melepas jilbab berarti
melepas tubuhnya pada kebebasan mutlak, Rini juga tidak lagi diizinkan untuk memberikan materi di organisasi Islam tempat ia beraktivitas. Tanpa jilbab, ia
dipandang tidak lagi merepresentasikan ajaran Islam.
d. Dua Perempuan: Sari Asih dan Alin Hal menarik dari dua narasumber saya lainnya, yaitu Alin dan Sari Asih,
adalah problematisasi mereka tidak sama seperti yang dialami oleh saya, Mariana, dan Rini. Pada diri Alin, problematisasi tidak terjadi seperti pada kami bertiga yang
umumnya terjadi pada masa-masa awal mengenal wacana jilbab untuk kemudian membuat kami harus mengelola diri melalui jilbab. Jilbab bagi Alin tidak terlalu
banyak mengubah dirinya karena jilbab dijalani sedemikian rupa tanpa ada kebutuhan untuk mempertanyakannya. Alin mengenakan jilbab seperti tidak ada
bedanya dengan pakaian biasa. Cara Alin mengenakan jilbab pun hanya saat berada di lingkungan formal, misalnya sekolah atau kampus. Alin menjelaskan lebih lanjut
bahwa ia merasa tidak ada hubungan antara kesalehan dan pakaian yang dilengkapi jilbab.
185 Perubahan situasi atau problematisasi pada Alin justru terjadi pada saat ia
menempuh sekolah pascasarjana. Saat itu Alin mulai memikirkan sepak terjangnya, termasuk tentang berjilbab. Semula jilbab dirasakanya tidak banyak mengubah apa
pun dalam hidupnya, sejak ia sekolah pascasarjana mulai mempertanyakan fungsi jilbab dalam kehidupannya. Sebuah refleksi dialami Alin, yaitu bahwa ternyata
jilbab menjadi lokus bagi dirinya juga. Alin mengakui bahwa ia membutuhkan semacam pertahanan dari sikap-sikap yang cenderung permisif. Jilbab mulai
dimaknai oleh Alin sebagai salah satu cara untuk bersikap melindungi diri sendiri dari potensi permisif di dalam dirinya.
Sedangkan pada Sari Asih, problematisasi yang ia alami dijembatani oleh sang ibu. Meskipun Sari sejak lama ingin mengenakan jilbab tetapi ibunya tidak
mengijinkan dengan alasan konsistensi. Ibu Sari tidak melarang Sari untuk berjilbab tetapi ia mempunyai pemahaman bahwa jilbab bukan cara berpakaian
yang bisa sembarangan dipakai atau dilepaskan begitu saja. Semula jilbab yang dipandang Sari bisa dengan mudah dikenakan karena hasrat kesalehan dan
kecantikan tidak lagi sama. Melalui ibu, Alin mencoba untuk belajar mengenai perbedaan antara berjilbab dan tidak berjilbab. Berjilbab adalah konsistensi yang
harus dijaga karena jilbab dinilai sebagai pernyataan keteguhan dan spiritualitas diri.
2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri