Sonya Wichelen 2007 - Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia

14 kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada suaminya ayah Noor sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur keluarga.

3. Sonya Wichelen 2007 - Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia

Tulisan yang dikerjakan oleh Wichelen mengemukakan tentang kehadiran citra tubuh baru di Indonesia yang bertema secara khusus “kemusliman”. Ada dua tema besar tentang tubuh yang dianalisa oleh Wichelen, yaitu citra tubuh feminin dan maskulin. Citra tubuh kemusliman feminin yang dirujuk Wichelen berdasarkan popularitas jilbab sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi. Seperti halnya pada umumnya tulisan mengenai jilbab di Indonesia, situasi politik memang selalu dijadikan latar belakang yang tak pernah ditinggalkan. Dalam hal ini, Wichelen cukup memberikan konteks bagi hadirnya citra tubuh kemusliman berdasarkan jilbab. Tulisan Wichelen tidak mengetengahkan responden. Sementara itu, untuk citra tubuh maskulin, Wichelen mengambil tema tentang poligami. Tidak seperti halnya tema jilbab, untuk poligami tidak diberi konteks yang lebih luas oleh Wichelen. Wichelen hanya menggunakan popularitas sebuah kasus poligami yang digelontorkan oleh media massa. Popularitas poligami berdasarkan kasus seorang pelaksana poligami yaitu Puspo Wardoyo yang memberikan gaung cukup luas melalui media massa telah dijadikan sebagai hadirnya tubuh maskulin kemusliman. 15 Tulisan Wichelen penting untuk saya masukkan kedalam kajian pustaka karena secara eksplisit tendensi orientalistik dapat terbaca. Kesan orientalistik tersebut hadir dalam perbandingan isu jilbab dan poligami dalam keseluruhan tulisan. Tulisan Wichelen ini yang pada dasarnya hendak meneropong proses Islamisasi di Indonesia selama beberapa dekade yang telah melahirkan imaji dan diskursus baru pada tubuh Muslim. Wichelen menandai periode pasca-Suharto tumbang. Pada periode tersebut beragam kelompok Islam mulai memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Dengan demikian telah muncul pula isu-isu yang menyangkut jender dan seksualitas dalam diskursus publik. Isu terkait jilbab dan poligami memang benar adanya telah terangkat ke permukaan dan menjadi bahan perdebatan. Tetapi mengapa dalam tulisan ini menjadi terkesan orientalistik? Sekilas membaca tulisan Wichelen langsung mengingatkan pada penelitian-penelitian isu jender di negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Jilbab, cadar, harem, sunat perempuan dan poligami diletakkan sebagai persoalan umum yang dialami oleh perempuan di negara- negara mayoritas Muslim. Dalam tulisan yang konteksnya Indonesia ini, bukan mustahil sebenarnya untuk menghasilkan kajian yang lebih objektif. Tetapi sayangnya karena metodologi yang digunakan untuk melihat persoalan lebih bersifat sosiologis, hasilnya tidak terlalu mengesankan. Jilbab maupun poligami dilihat dari kacamata yang jauh. Baik pengguna maupun pelaku tidak hadir sebagai subjek yang dapat memberikan suara atau integritas. Sehingga tak dapat terhindarkan tendensi mengobjektivikasi di dalamnya. Tendensi objektivifikasi ini dapat terlihat ketika dilakukan pengkategorisasian jilbab yang ada, yaitu jilbab sebagai wacana konsumeris dan 16 Islamis. Perempuan pengguna jilbab dikelompokkan kedalam dua wacana tersebut seakan-akan batasnya begitu tegas. Perempuan pengguna jilbab hanya dikelompokkan kedalam kedua wacana tersebut tanpa melihat adanya kemungkinan dinamika yang lebih cair. Dalam hal ini, Perempuan pengguna jilbab direpresentasikan sebagai objek penelitian yang bukan saja tidak bisa bersuara tetapi juga sebagai yang semata tunduk terhadap wacana jilbab sedemikian rupa. Terlebih isu poligami yang disandingkan di dalam penelitian ini menciptakan kesan adanya penaklukan tubuh perempuan atas jilbab dan perayaan tubuh laki- laki karena poligami. 4. Deni Hamdani 2011 - Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women Penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah penelitian yang dilakukan oleh Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women 2011. Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menggunakan metode sejarah dan etnografi. Dengan penelitian jilbab yang sudah dilakukan Hamdani membuka kemungkinan bagi saya untuk memperdalaman penelitian yang lebih bernuansa. Gerak bathin dan pemikiran yang dialami oleh pengguna jilbab dapat melengkapi dinamika jilbab yang ada. Seperti yang nanti akan saya jabarkan di dalam penelitian ini, jilbab tidak menjadi semata-mata sebuah wacana yang monoton bagi penggunanya. Ada paksaan dan pilihan yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih bernuansa sangat penting untuk melanjutkan hasil penelitian Deni Hamdani ini. 17

G. KERANGKA TEORI