Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri

185 Perubahan situasi atau problematisasi pada Alin justru terjadi pada saat ia menempuh sekolah pascasarjana. Saat itu Alin mulai memikirkan sepak terjangnya, termasuk tentang berjilbab. Semula jilbab dirasakanya tidak banyak mengubah apa pun dalam hidupnya, sejak ia sekolah pascasarjana mulai mempertanyakan fungsi jilbab dalam kehidupannya. Sebuah refleksi dialami Alin, yaitu bahwa ternyata jilbab menjadi lokus bagi dirinya juga. Alin mengakui bahwa ia membutuhkan semacam pertahanan dari sikap-sikap yang cenderung permisif. Jilbab mulai dimaknai oleh Alin sebagai salah satu cara untuk bersikap melindungi diri sendiri dari potensi permisif di dalam dirinya. Sedangkan pada Sari Asih, problematisasi yang ia alami dijembatani oleh sang ibu. Meskipun Sari sejak lama ingin mengenakan jilbab tetapi ibunya tidak mengijinkan dengan alasan konsistensi. Ibu Sari tidak melarang Sari untuk berjilbab tetapi ia mempunyai pemahaman bahwa jilbab bukan cara berpakaian yang bisa sembarangan dipakai atau dilepaskan begitu saja. Semula jilbab yang dipandang Sari bisa dengan mudah dikenakan karena hasrat kesalehan dan kecantikan tidak lagi sama. Melalui ibu, Alin mencoba untuk belajar mengenai perbedaan antara berjilbab dan tidak berjilbab. Berjilbab adalah konsistensi yang harus dijaga karena jilbab dinilai sebagai pernyataan keteguhan dan spiritualitas diri.

2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri

Dalam sebagian besar pengalaman terkait wacana jilbab yang sudah saya bahas di atas, gagasan penting yang harus digarisbawahi adalah pada ‘refleksi’. Sebagian besar dari kami melakukan refleksi terhadap jilbab yang sudah melekat 186 dalam definisi diri. Refleksi yang berpotensi untuk bahkan mempertanyakan lagi bukan sebatas pada jilbabnya saja, tetapi juga pada definisi diri yang telah dibangun di atasnya. Hampir tidak ada dari kami yang tidak mengalami problematisasi yang kemudian memancing munculnya refleksi. Kami pernah, dengan kadar yang berbeda-beda, berada dalam situasi problematisasi yang di dalamnya berbagai hal tidak lagi sama. Kami mengalami masa adanya kesadaran akan wacana dan pendekatan yang ada. Kami sama-sama menghadapi situasi perubahan hidup karena jilbab, mengalami disiplin berdasarkan wacana jilbab. Tetapi dalam hal ini jelas bahwa wacana jilbab memang membentuk kami tetapi tidak secara deterministik. Merujuk kembali pada Foucault tentang kekuasaan wacana yang tidak bersifat secara monolitik, melainkan di mana ada kekuasaan di situlah ada resistensi. Sehingga, kita dapat sama-sama melihat dan mengkaji bagaimana orang-orang tidak hanya sebatas mengalami ketundukkan terhadap wacana tetapi juga resisten terhadapnya. Dalam hal ini kembali lagi pada persoalan refleksi, adalah sebuah sikap yang sangat penting. Sebagaimana Foucault jelaskan bahwa orang-orang dapat melakukan ‘ontologi kritis terhadap diri’ yang menyediakan wacana yang membentuk subjektivitas seseorang dan kemudian mengarahkan orang untuk melihat ulang dirinya secara berbeda. Atau merujuk pada istilahnya, yaitu ‘teknologi diri’ yang bukan mengarah pada kebebasan dari wacana tetapi merujuk pada sebuah praktik yang melaluinya orang-orang dapat menjadi lebih kritis terhadap wacana yang telah membentuk dirinya melalui teknik atau cara yang hati- 187 hati. 85 Refleksi diri atau teknologi diri ini dapat kita lihat pada pengalaman Rini dan saya misalnya. Rini mempertanyakan ulang wacana jilbab dengan mencari beragam versi wacana jilbab yang ada. Rini seperti halnya juga saya, mengembalikan wacana jilbab pada sejarah kelahirannya. Sehingga dapat dimungkinkan sebuah situasi di mana kami dapat memposisikan kembali diri di dalamnya, bukan sebatas diatur sedemikian rupa oleh wacana jilbab. Kami juga bukan orang yang tidak sadar akan wacana yang sudah membentuk dan mendisiplinkan kami. Khususnya yang terjadi pada saya misalnya, saya tidak lagi melihat wacana jilbab sebagai sebuah kebenaran sejati. Dengan kata lain, saya tidak merasa berdosa seandainya sempat melepas jilbab. Terlebih setelah melakukan analisa sejarah wacana jilbab, saya sadar bahwa saya berada dalam pusaran wacana yang baru terbentuk pada tahun 80-an. Tetapi di saat bersamaan, saya juga sadar telah menjadikan jilbab sebagai lokus bagi definisi diri saya. Jilbab adalah lokus yang sejak dua puluh tahun saya berputar di dalamnya. Refleksi juga dilakukan oleh narasumber yang lain dan menjadi sebuah kekuatan untuk negosiasi. Dari kami berlima, penampilannya berbeda-beda, ada yang mengenakan jilbab dan gamis yang serba panjang serta menutup, ada yang mengenakan jilbab pendek hitam, ada yang mengenakan jilbab pendek yang berwarna-warni, dan ada pula yang melepas jilbab. Dalam perbedaan wujud fisik yang tampak, mencerminkan pengalaman yang berbeda-beda pula, bukan hanya setiap orang sudah mapan dengan wujud jilbab atau penampilannya yang terkini. Jilbab panjang, jilbab pendek penuh warna, hingga yang tidak mengenakannya sama sekali, bisa jadi pernah dialami oleh beberapa narasumber tersebut sekaligus. 85 Dalam Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Appoaches, 2003, London: Sage Publication Ltd, hal.76-77. 188 Perubahan bentuk jilbab yang begitu dinamis adalah akibat pertemuan dengan berbagai wacana yang ada di dalamnya. Satu orang bisa saja pernah mengalami mengenakan jilbab serba lebar, lengkap dengan pakaian serba lebar pula, bahkan terpikirkan untuk melengkapinya dengan cadar. Tetapi karena ia bertemu dengan wacana Islam yang berbeda, Jaringan Islam Liberal, kemudian pandangannya berubah terhadap jilbab. Jilbab lebar dan gamis secara perlahan berganti menjadi jilbab modis yang dianggap lebih ramah dengan lingkungan, yaitu tidak dianggap terlalu serius. Lebih ekstrimnya lagi, ada juga yang mengalaminya tidak sampai di situ, yaitu mengganti dari jilbab lebar menjadi modis, tetapi berubah menjadi jilbab yang memperlihatkan sedikit rambut, lalu kemudian benar-benar melepasnya. Perubahan tersebut merupakan hasil dari perjalanan individu dalam bernegosiasi dengan wacana yang ia temui. Kami berlima, tidak dapat dipisahkan karena masing-masing bagi yang lain merupakan cermin yang bisa saling merefleksikan diri. Keempat narasumber jilbab yang saya gunakan dalam subbab analisa ini berusia di atas 20 tahun dan di bawah 40 tahun. Faktor usia dapat memperlihatkan kompleksitas pengalaman hidup setiap individu yang saya coba amati di sini. Meskipun, bukan berarti terdapat standar kompleksitas menurut usia. Kompleksitas yang saya maksud di sini berhubungan erat dengan pengalaman mengelola diri saat berhadapan dengan berbagai wacana sosial yang hidup di dalam ruang simbolik yang sama-sama kita huni ini. Wacana sosial selalu ada dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga pengalaman sehari-hari tidaklah bersifat sederhana karena wacana sosial selalu berusaha untuk mendefinisikan siapa kita. Untuk wacana jilbab yang sifatnya pun berusaha untuk mendefinisikan diri setiap penggunanya, memiliki formasi wacana 189 yang beragam, tidak hanya terbatas pada satu wacana saja, misalnya wacana jilbab syariat saja. Kini saatnya untuk melihat bagaimana setiap narasumber yang saya amati, termasuk diri saya sendiri mengelola diri dalam formasi wacana jilbab semacam itu.

C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL