61 kota besar seperti Bogor, mereka mengadukan perlakuan sekolah ke meja hijau.
Seragam jilbab yang dikriminalisasi diajukan para siswi sebagai tindakan yang sangat merugikan. Salah seorang siswi yang sempat mengajukan tuntutan untuk
diizinkan berjilbab menuliskan kisahnya dalam bentuk biografi, yaitu Ranti Aryani yang mengalaminya pada tahun 80-an.
53
Dalam proses pengajuan tersebut, masyarakat secara umum melihatnya sebagai sesuatu yang penting untuk dibela.
Masyarakat mulai melihat jilbab bukan melulu sebagai cara berpakaian yang aneh. Sementara itu, para perempuan yang lebih dewasa, yang berada di ranah
kerja juga mendapatkan perlakuan yang tidak jauh berbeda. Brenner, misalnya mencatat bahwa di jilbab dapat menghambat perkembangan karir. “Nek jilbaban
ora munggah pangkate.” Ungkapan tersebut berasal dari seseorang yang bekerja di bidang pemerintahan.
30
Bidang-bidang kerja seperti bisnis, jasa, dunia hiburan adalah dunia yang terbatas bagi para pengguna jilbab. Terlebih gaya busana jilbab
yang ada saat itu berbeda benar dengan busana-busana kantoran yang sudah umum, misalnya jas kerja. Kesan fanatik ataupun terlalu tertutup masih belum
dapat dilepaskan dari busana jilbab yang umum pada saat itu.
2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam
Konstelasi politik tidak dapat dilepaskan dari keberterimaan jilbab tersebut. Rezim politik yang tengah berkuasa secara leluasa mereproduksi nilai-
nilai yang kemudian berkembang di masyarakat. Misalnya, pada masa 1980-an masyarakat Indonesia secara umum belum terbiasa dengan hadirnya jilbab. Jilbab
seringkali dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam ekstrimis. Hal tersebut
53
Ranti Aryani, In God We Trust, 2014, Penerbit Matahari: Bandung.
62 berkenaan dengan posisi Islam politik yang masih dianaktirikan oleh rezim Orde
Baru, sehingga kelompok ekstrimis atau disebut fanatik tidak mudah diterima secara luas.
Popularitas jilbab terdongkrak oleh adanya rekonsiliasi antara Islam dan negara pada era akhir Orde Baru. Pada saat yang hampir bersamaan, gelombang
protes pelarangan jilbab di lingkungan atau ruang publik seperti sekolah terjadi secara mengharukan yang dilakukan oleh sekelompok siswi-siswi sekolah,
terutama sekolah Negeri. Dua peristiwa tersebut kemudian melahirkan Surat Keputusan yang membolehkan jilbab dikenakan sebagai bagian dari seragam
sekolah, yaitu SK 1001991. SK yang akhirnya dikeluarkan tersebut menjadi awal mula para perempuan Muslim, khususnya yang muda untuk mengenakan jilbab di
ruang publik. Peristiwa politik yang juga mempermudah keberterimaan jilbab adalah runtuhnya rezim Orde Baru. Penerbitan media cetak dan elektronik pada
masa Suharto diatur secara ketat dan cenderung homogen menemukan era baru. Media cetak tumbuh subur, termasuk media cetak yang secara khusus bertemakan
Islam. Majalah yang bercetak glossy menampilkan pernak-pernik yang berhubungan dengan jilbab. Kalangan selebritis yang memutuskan mengubah
penampilannya pun disorot secara khusus di berbagai macam media. Popularitas jilbab pada era pascareformasi semakin meningkat. Stigma
jilbab yang semula lekat dengan aliran Islam fanatik sudah bergeser. Faktor yang turut mewarnainya adalah semakin beragamnya latar belakang perempuan yang
memutuskan untuk mengenakan jilbab di ruang publik. Jika pada awalnya jilbab lebih banyak dikenakan oleh siswi sekolah menengah dan mahasiswi kelas
menengah, kini tidak lagi. Perempuan dari berbagai kalangan dan usia memilih
63 untuk mengubah penampilannya. Fenomena ini jauh berbeda dengan apa yang
ditemui oleh Suzanne Brenner. Brenner melakukan penelitian pada tahun 1996. Brenner masih mempertanyakan faktor pendukung jilbab di tengah situasi
kultural yang secara mengakar tidak sesuai dengan jilbab yang mereka kenakan. Misalnya, jilbab tidak dianggap berakar pada busana tradisional seperti kerudung
atau sarung. Masyarakat pun belum secara luas diterima dengan baik sebagai cara berpakaian Islami.
C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA