Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty

24 bukan berarti dapat terbebasnya subjek dari wacana tetapi merujuk pada praktik yang di dalamnya orang-orang dapat lebih kritis terhadap wacana yang telah membentuk dirinya melalui teknik yang hati-hati.

5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty

Dilihat dari agenda perlawanan terhadap sistem yang opresif terhadap perempuan, terdapat hubungan yang dilematis antara feminisme dan agama. Agama seringkali dilihat sebagai sebuah sistem yang cenderung tidak menjadi ‘sahabat’ bagi perempuan karena agama mempunyai kecenderungan untuk mengeksklusi dan menomorduakan perempuan. Khususnya tentang citra perempuan muslim yang melekat di kalangan sarjana-sarjana Eropa, misalnya, menyatakan bahwa relasi antara perempuan dengan Islam sangat memprihatinkan. Narasi yang muncul terkait hal tersebut adalah bahwa pada umumnya perempuan muslim diopresi, ditaklukkan, dan nyaris dianggap seperti budak, baik yang berposisi sebagai istri maupun anak perempuan. 17 Citra kondisi perempuan Muslim yang mengenaskan dari sisi kemanusiaan ini ‘mengundang’ kalangan feminis barat untuk menyelamatkan mereka. Salah satu contoh yang paling sering dijadikan sebagai fokus perhatian adalah penggunaan jilbab. Jilbab dianggap sebagai simbol yang jelas atas opresi terhadap perempuan muslim. Adalah Chandra Talpade Mohanty 18 yang secara radikal membongkar sistem yang lebih spesifik dalam menempatkan wacana perempuan dan agama ini. Mohanty, dalam artikelnya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and 17 Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal. 44. 18 Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”, 1988. 25 Colonial Discourses” yang diterbitkan pada 1988 berusaha mengkritik hegemoni feminisme mainstream yang menguniversalkan pengalaman perempuan tanpa mempedulikan konteks ras, kultur, dan religi. Menggunakan perspektif Michel Foucault, Mohanty membongkar adanya wacana ‘perempuan dunia ketiga’ yang didukung dan disebarkan penelitian-penelitian feminis barat. Menguniversalkan pengalaman adalah tindakan kolonisasi. Untuk menjelaskan hal tersebut, Mohanty, menggunakan istilah ‘kolonisasi’ colonization untuk menunjukkan penguniversalan pengalaman dalam karya feminis. Istilah ‘kolonisasi’ ini biasanya digunakan untuk menjelaskan pertukaran ekonomi eksploitatif baik dalam tradisi Marxisme kontemporer maupun tradisional. Kemudian, digunakan oleh perempuan feminis kulit berwarna di Amerika, untuk mengapropriasi pengalaman dan perjuangan mereka yang dihegemoni oleh gerakan feminis berkulit putih. Istilah kolonisasi ‘diperluas’ untuk menerangkan situasi hierarkhis, baik secara ekonomi maupun politis terhadap produksi wacana kultural, yaitu ‘Perempuan Dunia Ketiga’ ini. Wacana ‘perempuan dunia ketiga’ muncul sedemikian rupa akibat penggiringan isu-isu subjek perempuan dunia ketiga yang diteliti oleh feminis barat melalui berbagai aliran dana studi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut kemudian diartikulasikan dan didukung Amerika dan Eropa. Akibat penggiringan isu semacam itu, tanpa disadari tercipta kategori diskursif, ‘perempuan dunia ketiga’ sebagai subjek yang diteliti dan ‘feminis barat’ sebagai subjek yang meneliti. Relasi antara keduanya sudah jelas tidak setara karena dalam istilah ‘barat’ terdapat rujukan baik secara teoretis maupun praksis sebagai yang lebih sadar akan keadilan jender. Feminis barat mempunyai pandangan yang tidak sama 26 dalam melihat relasi perempuan dunia ketigaperempuan barat dalam berhadapan dengan sistem patriarkhi. Dalam penelitian yang dilakukan feminis barat, sudah termuat asumsi bahwa perempuan dunia ketiga adalah sepenuhnya korban patriarkhi, yang tidak bisa melawan, sudah jelas tunduk dan patuh sehingga tidak memiliki daya agensi. Sedangkan perempuan barat sebaliknya, yaitu mempunyai daya agensi terhadap patriarkhi sehingga mereka mempunyai kesadaran untuk melawan dan tidak patuh. Dengan kata lain, terdapat imaji perempuan ‘women’ yang ditulis dengan ‘w’ kecil dan Perempuan ‘Women’ yang ditulis ‘W’ kapital. Kedua cara penulisan ini untuk membedakan posisi perempuan pada umumnya terhadap sistem patriarkhi. Perempuan yang ditulis dengan huruf awal kapital, adalah perempuan yang seperti diinginkan oleh sistem patriarkhi. Sedangkan ‘perempuan’ dengan huruf awal non-kapital adalah individu-individu yang berusaha untuk mengelola sistem patriarkhi tersebut sesuai dengan kemampuan agensinya. Perempuan dunia ketiga dipandang sebagai seluruhnya hanya patuh terhadap patriakhi sehingga harus diberi kesadaran untuk melawan. Sedangkan feminis barat adalah perempuan yang mempunyai semangat perlawanan terhadap patriarkhi atau menjadi perempuan yang individual atau mandiri. Dengan asumsi semacam itu pula, misalnya dalam penelitian mengenai jilbab yang dikritik oleh Mohanty, wacana jilbab yang diteliti pada masyarakat muslim dunia ketiga menjadi terkesan monolitis dan statis. Wacana jilbab dilihat tanpa memperhitungkan konteks etnografis secara khusus sehingga wacana jilbab dilihat sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam wacana jilbab, para perempuan hanya dilihat sebagai pihak yang sudah jelas patuh. Kompleksitas 27 dalam wacana jilbab, misalnya keragaman cara perempuan muslim dalam memaknainya seakan bukan sesuatu yang mungkin. Lebih lanjut bahkan Mohanty menemukan, dalam tulisan-tulisan Frans Hosken, jilbab disejajarkan dengan isu seperti pemerkosaan, mutilasi, poligami, pornografi, kekerasan dan prostitusi. Kesemua kasus tersebut dimasukkan kedalam kejahatan hak asasi manusia yang mendasar. Perhatian Mohanty di sini adalah pada kecenderungan penelitian feminis Barat atas dasar dana studi atau beasiswa adalah mengenai subjek agensi. Perempuan Timur yang direpresentasikan dalam hasil penelitian feminis Barat ditunjukkan sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak mempunyai daya agensi. Dalam peta global beasiswa, secara struktur perempuan di Dunia Pertama dan Ketiga dianggap bukan kategori yang setara. Sehingga, penelitian tentang perempuan lebih banyak dipusatkan pada Dunia Pertama. Isu-isu yang menjadi bahan penelitian dalam berbagai masyarakat yang berbeda adalah: Secara lebih tendensius, diskursus feminis di Dunia Ketiga seringkali diasumsikan sebagai kategori yang homogen. Kelompok yang bernama “perempuan” dianggap sebagai kelompok yang tidak punya kuasa. Mohanty menekankan bahwa jika perempuan di Dunia Ketiga direpresentasikan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam hasil-hasil penelitian feminis Barat maka di sinilah telah muncul gerakan kolonialis. Perempuan Dunia Pertama yang merepresentasikan perempuan Dunia Ketiga dengan demikian memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “subjek” sejarah. Secara menyedihkan, perempuan Dunia Ketiga selalu hadir di bawah generalisasi perempuan Dunia Pertama yaitu sebagai ‘objek’ mereka. 28 Dengan kata lain, sejauh ini ‘PerempuanPara Perempuan’ dan ‘Timur’ didefinisikan sebagai Liyan atau secara periferal bahwa ManusiaHumanisme Barat dapat merepresentasikan dirinya sebagai pusat. Di sini yang terjadi bukanlah pusat yang menentukan yang sekeliling periphery, tetapi yang sekeliling inilah, dalam keterbatasannya, yang menentukan pusat. Seperti halnya feminis Kristeva, Cixous, Irigaray dan feminis lainnya yang merekonstruksi kecenderungan laten antropomorfisme dalam diskursus Barat. Mohanty dalam hal ini menyarankan sebuah strategi paralel untuk menemukan sebuah etnosentrisme tersembunyi dalam tulisan-tulisan feminis tentang dunia ketiga. Seperti telah dibahas sebelumnya, pembandingan antara feminis barat yang menghadirkan-diri self-presentation dan representasi feminis barat tentang perempuan dunia ketiga memberikan hasil yang penting. Imaji ‘perempuan dunia ketiga’ yang universal seperti perempuan berjilbab, perempuan perawan, dan lain- lain imajinya dibentuk dari ‘perbedaan dunia ketiga’ kepada ‘perbedaan seksual’ yang mendasarkan asumsi bahwa perempuan barat sebagai yang sekular, bebas dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Sebenarnya hal tersebut tidak memberi kesan bahwa perempuan barat adalah sekular, bebas, dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Mohanty merujuk pada penghadiran-diri secara diskursif, bukan sebagai realitas material. Jika dalam realitas material perempuan barat sekular, bebas dan mempunyai kontrol terhadap hidupnya sendiri maka tak diperlukan lagi perjuangan feminis politis di barat. Selain itu, penciptaan wacana ‘dunia ketiga’ sebagai yang kurang maju dan tidak mandiri secara ekonomi meneguhkan wacana ‘dunia pertama’ yang bersifat 29 tunggal dan istimewa. Tanpa wacana ‘perempuan dunia ketiga’ representasi feminis barat yang lebih maju dalam hal kesetaraan jender tidak akan ada. Bagi Mohanty, keduanya bersifat saling mendukung. Oleh karena itu, sudah saatnya melampaui Marx yang sempat menyatakan bahwa yang terkoloni tidak bisa merepresentasikan diri, mereka harus direpresentasikan. Melalui semangat Mohanty inilah, perempuan muslim dunia ketiga, sangat perlu untuk merepresentasikan diri agar dapat tergambar dengan jelas dan dinamis saat hidup dalam wacana jilbab, yang seringkali dianggap sebagai sumber opresi. Penyederhanaan pengalaman, dengan demikian merupakan penyederhanaan diri ‘perempuan’. oleh karena itu, menghadirkan pengalaman yang kompleks dalam jilbab yang akan dikerjakan dalam tesis saya ini, sepenuhnya sesuai dengan semangat yang diusung oleh Mohanty. Sudah saatnya pihak yang selalu dibicarakan, kini berbicara.

H. METODE PENELITIAN