Susan Brenner 1996 - Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’

10

1. Susan Brenner 1996 - Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’

Penelitian Brenner yang berupa artikel panjang ini disajikan untuk menjawab pertanyaan signifikansi jilbab modern di kalangan Muslim Jawa, dengan menganalisa pengalaman perempuan-perempuan muda dalam konteks gerakan Islam yang lebih luas. Brenner berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian di seputar alasan yang diambil para perempuan muda untuk mengadopsi jilbab yang menurut Brenner sendiri tidak berakar pada tradisi lokal serta tidak didukung oleh masyarakat luas karena dianggap sebagai cara berpakaian “impor” sehingga stigma sebagai esktrimis atau fanatis sering mereka dapatkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Brenner memperkirakan bahwa keputusan untuk mengenakan jilbab merupakan proses transformasi diri perempuan di Jawa. Brenner memang melakukan penelitian di seputar Yogyakarta dan Solo saja. Gagasan yang menjadi perhatian dalam penelitian Brenner adalah soal jilbab yang dikenakan para perempuan muda tidak mempunyai akar tradisi lokal. Dengan demikian, jilbab dipandang sebagai corak baru pakaian Islam yang diimpor dari Timur Tengah yang berkebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh perempuan tua di Indonesia. Dalam hal ini, hasil penelitian Brenner cenderung bersifat esensialis, yaitu seakan-akan Islam dan Jawa adalah dua hal yang terpisah dan murni. Sehingga, ia melihat jilbab sepenuhnya impor dari Arab. Di samping itu, Brenner juga mengaitkan jilbab di Indonesia dengan di negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Sambil berusaha memperlihatkan 11 dinamika jilbab dalam konteks Indonesia, hasil penelitian Brenner menjadi kurang tepat, terutama ketika sampai pada kesimpulan bahwa jilbab di kota yang ia teliti juga berpotensi membatasi ruang gerak pemakainya bahkan lebih banyak menimbulkan kerugian karena membuat perempuan mendapatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Gagasan tersebut kurang kontekstual karena tidak melihat kehadiran jilbab dalam konteks yang lebih luas. Jilbab menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja atau naik jabatan karena bentuknya yang belum cair dengan masyarakat. Jika Brenner kembali melanjutkan penelitian jilbab di Jawa, ia akan melihat bahwa situasi justru berkebalikan, yaitu jilbab malah menjadi salah satu ‘prasyarat’ kerja di lapangan kerja tertentu. 2. Kelompok Studi Realino 2001 - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino Karen W. Washburn adalah seorang peneliti yang berasal dari U.C. Los Angeles, menjadi peneliti tamu di Kelompok Studi Realino. Washburn hadir dengan penelitian tentang jilbab untuk tema yang lebih besar yaitu komoditi global yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian lainnya yang juga dimuat dalam buku yang sama adalah tentang globalisasi identitas makanan. Mi Instan adalah komiditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia. Sedangkan, Washburn hadir meneliti globalisasi identitas pakaian. Jilbab adalah komoditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia juga. Sebagaimana lokasi Kelompok Studi Realino yang berada di Kota Yogyakarta, Washburn pun melakukan penelitian tentang jilbab di kota yang sama. Meskipun Yogyakarta sebenarnya kota yang dihuni oleh perempuan dengan 12 beragam suku karena merupakan pusat studi penting di seluruh Indonesia, responden yang dipilih adalah khusus perempuan bersuku Jawa. Tidak disebutkan secara khusus alasan pemilihan tersebut. Washburn melakukan penelitian untuk menangkap pengalaman personal perspektif mikro pengguna jilbab. Untuk upaya tersebut Washburn menggunakan wawancara sejarah hidup life history methodology dengan beberapa perempuan muda dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Washburn adalah jilbab tidak semata-mata hadir atas nama “identitas orisinil” tetapi juga sebagai simbol siasat terhadap semangat zaman yang sedang menjadi “trend”. Jilbab menjadi ruang rekonsiliasi antara otonomisasi personal untuk memfungsikan kebebasannya dan berdamai dengan tuntutan konformitas sosial. 6 Dalam pendahuluan yang diberikan oleh Monika Eviandaru terhadap penelitian tersebut juga disebutkan adanya keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Washburn dan Brenner. Penelitian yang dilakukan oleh Washburn berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Brenner. Terutama pada soal lingkup kultural jilbab yang disimpulkan sebagai cara berpakaian yang tidak berakar pada kejawaan. Gagasan yang digunakan dari Brenner adalah bahwa pada awalnya jilbab justru ditolak dalam perilaku kultur Jawa karena dianggap lebih bersifat “Arab”. Seperti yang ditekankan oleh Eviandaru, penolakan tersebut biasanya dilandasi oleh argumentasi bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang baik tanpa harus mengenakan tata cara pakaian Timur Tengah. Dalam hal ini, baik Washburn maupun Brenner mempunyai pandangan yang terkesan tidak berpijak 6 Washburn dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 21 . 13 pada sejarah. Mengapa? Karena seakan-akan tidak pernah ada perkawinan atau hibriditas antara kejawaan dan keislaman yang di dalamnya unsur kultur Timur Tengah sudah jelas akan hadir. Mungkinkah sebenarnya yang dimaksud oleh Washburn maupun Brenner adalah lebih kepada model jilbab modern, yaitu jilbab rapat yang tidak memperlihatkan rambut sama sekali? Tetapi walaupun demikian, tetap terdapat perbedaan yang cukup penting antara jilbab perempuan Indonesia dengan yang dimaksud dengan cara berpakaian ala Timur Tengah. Perempuan Jawa, misalnya, pada umumnya mengenakan jenis pakaian seperti celana atau blus untuk dipadankan dengan jilbab, tanpa harus ditambah oleh cadar. Meskipun cadar digunakan, tetapi bukan merupakan cara berpakaian yang lazim ditemukan. Berkaitan dengan itu, memang salah satu responden yang dipilih oleh Washburn adalah perempuan yang sehari-harinya mengenakan cadar. Tetapi sekali lagi penggunaan cadar di Indonesia bukanlah cara berpakaian yang umum dipilih oleh perempuan berjilbab. Hal menarik lainnya, masih terkait dengan persoalan kultural adalah adanya hasil penelitian yang juga ditekankan oleh Eviandaru dalam bagian pendahuluan terkait Islam sebagai pilihan untuk menjadi modern. 7 Istilah modern di sini, dapat dibaca sebagai ‘kebaruan’. Dengan kata lain, penelitian jilbab ini hendak meneropong cara ber-Islam yang lebih baru daripada yang sudah ada. Tetapi dalam keseluruhan wawancara tertangkap kesan bahwa istilah modern di sini juga merupakan pembedaan kutub antara “Islam”, “Modern” dan “Tradisional” 7 Ibid, hal. 24. 14 kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada suaminya ayah Noor sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur keluarga.

3. Sonya Wichelen 2007 - Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia