79
4. Hilangnya Relatifitas JilbabHijab
a. Quraish Shihab dan Jaringan Islam Liberal Quraish Shihab adalah seorang penafsir mufassir Al-Qur’an terkemuka di
Indonesia. Sebuah buku yang berjudul Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer telah diterbitkan sejak
2004.
62
Dalam buku yang saya pegang, telah tercatat enam kali cetak, dengan edisi cetakan terakhir 2012. Buku yang ditulis oleh Quraish Shihab ini saya ambil untuk
menjadikannya sebagai contoh warna wacana mengenai jilbab yang berbeda dengan warna wacana dominan. Melalui kata sekapur sirih yang diuraikannya,
jelas terlihat bahwa ‘di belakang’ sana telah terjadi perdebatan cukup tajam mengenai apa yang dikemukakan Quraish Shihab mengenai jilbab ini kepada
publik atau umat. Ia menulis begini,
Keinginan bahkan desakan untuk menulis persoalan ini, sudah lama terbetik dalam benak penulis. Desakan itu lahir bukan saja dari banyaknya pertanyaan
yang diajukan kepada penulis menyangkut jilbab yang merupakan busana muslimah ini---baik melalui media massa maupun secara langsung dalam
pertemuan dan ceramah agama---tetapi juga karena ada yang menyalahpahami pandangan penulis menyangkut persoalan ini. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam yang membahas tentang Pemikiran dan Peradaban, dikemukakan bahwa menyangkut jilbab, penulis menyatakan ketidakharusannya
padahal yang selama ini penulis kemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan
jilbab tanpa menetapkan satu pilihan. Ini karena hingga saat itu penulis belum lagi dapat men-tarjih-kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu.
Dalam salah satu seminar di Surabaya, pernah penulis “setengah dipaksa” untuk menyatakan pendapat final, karena sementara hadirin boleh jadi tidak
mengetahui bahwa banyak ulama yang mengambil sikap tawwaquf, yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut berbagai persoalan keagamaan,
akibat tidak memiliki pijakan yang kuat dalam memilih argumentasi beragam yang ditampilkan oleh berbagai pendapat.
63
62
Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer telah diterbitkan sejak 2004, Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
63
Ibid. hal. xiv.
80 Ungkapan panjang yang ditulis oleh Shihab di atas memperlihatkan situasi
perdebatan yang cukup keras. Tahun 2004 adalah tahun ketika jilbab telah diizinkan untuk dikenakan di ruang publik, khususnya bagi kalangan pelajar.
Secara wacana dapat juga kita bayangkan pada tahun-tahun tersebut tengah terjadi proses penyebaran wacana jilbab secara intens. Jika jilbab telah diizinkan
di ruang publik, maka jilbab semakin diterima baik oleh kalangan masyarakat umum, terlebih lagi oleh kalangan pemuka agama yang notabene merasa
mempunyai akses khusus terhadap hukum Islam. Dengan adanya ‘pengakuan’ Shihab yang menyatakan bahwa ia setengah dipaksa untuk ‘mengambil-
keputusan’ mengenai hukum jilbab, dapat terlihat wilayah abu-abu semakin tidak mudah diterima. Jilbab harus diyakinkan sebagai sebuah kewajiban bagi
perempuan muslim, tidak bisa ditawar lagi. Situasi pencapaian pendapat yang berbeda, apalagi sebenarnya Shihab pun menuliskan bahwa sikap tawwaquf bagi
seorang ulama sangat mungkin, tetapi tidak demikian dipahami oleh publik, terutama bagi sesama ulama.
Dalam lanjutan sekapur sirihnya tersebut, Shihab bahkan mengakui bahwa ia tidak jarang dikecam oleh koleganya sendiri akibat ia menghidangkan aneka
pendapat keagamaan tanpa melakukan pen-tarjih-an, atau menetapkan mana yang lebih kuat. Sehingga ada kegelisahan para koleganya tersebut bahwa
masyarakat akan bingung. Shihab menekankan bahwa umat sudah selayaknya diberikan aneka pendapat ulama terdahulu mengenai sebuah urusan. Alasan yang
dikemukakan Shihab adalah secara mendasar hampir dalam semua persoalan rincian keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Bahkan Shihab
menambahkan bahwa keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al-Qur’an dan
81 hadis yang secara leluasa dapat menampung aneka pendapat. Hal yang paling
penting untuk digarisbawahi dari Shihab adalah bahwa menurutnya, mengemukakan lebih dari satu pendapat, sama dengan memberi alternatif-
alternatif yang kesemuanya dapat ditampung oleh kebenaran, kemudian dapat mempermudah umat dalam melakukan aneka aktivitas yang dapat dibenarkan
agama.
64
Tampaknya Shihab tengah berada dalam arus besar wacana jilbab yang mengerucut menjadi keseragaman. Meskipun pada tahun-tahun 80-an, ketika
para perempuan muda hendak memilih jilbab sebagai cara berpakaian mereka di ruang publik, saat itu mereka justru menemukan banyak rintangan, seperti
dikeluarkan dari sekolah. Jika saat ini, jilbab dipandang sebaliknya, merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi, maka dapat kita lihat persoalan
yang mengemuka bukan lagi sejauh mana jilbab itu harus dikenakan, tetapi juga merupakan masalah otoritas ulama terhadap umat. Ulama, dengan wajah yang
menekankan keseragaman yang berada di seberang posisi Shihab lebih menekankan kepatuhan daripada pemahaman umatnya.
Masih dalam sekapur sirih yang ia tulis, Shihab juga menerangkan bahwa beberapa koleganya menasihatinya agar tidak menerbitkan buku yang
mempersoalkan jilbab tersebut. Alasannya adalah kekhawatiran timbulnya kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara kalangan
sebagaimana pernah dialami oleh sementara cendikiawan yang mengemukakan pendapat baru, atau bahkan menyampaikan kembali pendapat ulama yang sudah
diketahui masyarakat kita pada umumnya. Shihab mengambil contoh seorang
64
Ibid. Hal. 10.
82 ulama, Nashiruddin al-Albani yang diakui sebagai pakar hadis kontemporer yang
harus bernasib dikecam dan dimaki oleh sementara ‘ulama’ ketika buku tentang jilbab yang ditulisnya terbit. Apa yang dilakukan al-Albani sebenarnya hanya
menunjukkan dan mengulangi pendapat mayoritas ulama terdahulu tentang lemahnya pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Hal menarik dari al-Albani adalah penjelasannya mengenai aurat wanita. Shihab menjelaskan bahwa menutup wajah dan tangan dianjurkan, tetapi
bukanlah sesuatu yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Seiring dengan itu, al- Albani menekankan bahwa pakaian yang dikenakan tidak boleh ketat, transparan.
Batasan yang ditekankan al-Albani adalah bahwa penting bagi wanita dalam konteks berpakaian untuk tampil secara hormat, tidak menampakkan dari
tubuhnya sesuatu yang rawan. Dan itu bukan berarti seluruh tubuh perempuan adalah aurat.
Kembali kepada Shihab, ia pun tidak menekankan bahwa jilbab bukan merupakan kewajiban bagi perempuan muslim. Ia menekankan begini:
Kepada mereka yang telah mengenakan jilbab, penulis harapkan tidak menanggalkan jilbabnya setelah membaca pandangan yang lebih longgar –
kendati dia menilai argumentasinya lebih kuat – karena betapapun, semua sepakat menghargai mereka yang berhati-hati dalam pelaksanaan ajaran agama,
sedang mengenakan jilbab paling tidak – merupakan sikap kehati-hatian.
65
b. Jaringan Islam Liberal
Buku kedua yang akan dibahas terkait wacana jilbab yang cenderung berbeda dengan arus besar, yaitu bahwa jilbab tak bisa ditawar lagi, adalah yang
65
Ibid. Hal. xv.
83 diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Buku tersebut
berjudul, Kritik Atas Jilbab yang ditulis oleh Muhammad Sa’id Al-Asyamawi.
66
Argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Asyamawi berbeda dengan yang dipaparkan oleh Quraish Shihab. Tetapi sebelumnya, mari kita simak terlebih
dahulu motif diterbitkannya buku yang ditulis dalam bahasa Arab ini oleh Jaringan Islam Liberal kita.
Sebagaimana layaknya sebuah buku yang diterbitkan, bagian redaksi mempunyai otoritas untuk memberi kata pengantar. Dalam hal ini, buku ini diberi
kata sedikit catatan yang ditulis oleh editornya, Nong Darol Mahmada. Nong langsung membuka catatan yang ia tulis dengan pertanyaan, Apa sih pentingnya
Jaringan Islam Liberal JIL menerbitkan buku tentang hijab atau di Indonesia dikenal dengan jilbab, ini? Sebelum menjawabnya, Nong langsung pula memberi
keterangan lanjutan bahwa pertanyaan tersebut sebenarnya bersifat sangat personal karena jawabannya pasti akan sangat subyektif. Saya sangat concern
dengan tema ini berawal dari pengalaman pribadi. Catatan yang diberikan oleh Nong menarik karena seakan-akan buku
tersebut diterbitkan untuk mewakili perempuan muslim seperti dirinya. Seperti apakah sosok Nong? Dan bagaimana kaitannya dengan pengalaman jilbab? Nong
menjelaskan secara cukup panjang lebar bahwa ia mempunyai pengalaman tidak mengenakan dengan jilbab. Ia diajari bahwa rambut perempuan adalah aurat. Jika
66
Muhammad Sa’id Al-Asyamawi, Kritik Atas Jilbab, 2003, Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal.
84 aurat tersebut tidak ditutup maka ia akan dibakar di neraka. Sejak saat itulah
Nong mengenakan jilbab karena takut dibakar di neraka.
67
Adapun terkait dengan buku yang diterbitkan JIL yang ia editori mampu memberikan argumentasi bahwa jilbab atau tradisi menutup rambut karena
dianggap aurat ini bukan semata ajaran Islam. Jilbab bukan sebuah kewajiban. Dan bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in merujuk pada Al
Asymawi merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. Kira-kira demikianlah kesimpulan yang kemudian diuraikan panjang lebar dalam buku
setebal 169 halaman ini. Selanjutnya,
paparan penulisnya,
Al-Asyamawi akan
pentingnya pembahasan mengenai hukum jilbab. Penting untuk dicatat juga, yaitu Al-
Asyamawi berasal dari negara Mesir. Konteks negara seperti Mesir tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai tulisan ini karena juga berhubungan
dengan tantangan Islam politik di dalamnya, yang juga dalam turut mewarnai wacana jilbab di Indonesia. Al-Asyamawi membuka tulisannya secara tajam
langsung merujuk pada bahaya atas bercampurnya pemikiran dan retorika keagamaan dengan warisan budaya masyarakat folklor, yang disebutnya sebagai
tradisi terbelakang, dan klise-klise murahan yang mempunyai dampak buruk bagi pemikiran keagamaan. Tampaknya, Al-Asyamawi mengusung kemurnian retorika
keagamaan alih-alih hibriditas dengan tradisi dan sebagainya. Kegelisahannya adalah akan terjadinya konsep-konsep yang berantakan, retorika bercampur aduk
serta nilai-nilai dasar agama menjadi melemah. Kegelisahan terkuat dari Al- Asyamawi adalah masyarakat akan jatuh terperosok ke dalam jurang imajinasi
67
Nong Darol, ibid. Hal v.
85 dan khayalan yang tak dapat membedakan antara realitas dan mitos, serta tidak
mampu memilah mana kebenaran dan mana propaganda belaka. Agaknya, kegelisahan terkuat dari Al-Asyamawi ini adalah berkaitan erat
dengan situasi politik Mesir yang seringkali mencampur aduk antara retorika keagamaan dan kepentingan politik. Ia menyebutkan bahwa ketika politik
mencampuri urusan agama, kepartaian mengintervensi urusan agama, kepartaian mengintervensi syariat, maka keduanya akan membentuk ideologi kemazhaban
yang totaliter diktator, lalu perlahan berubah menjadi keyakinan dogma yang kaku. Dalam perjalanannya menuju totalitarianisme, dan guna meliputi segala
perkara, menyentuh semua unsur, merambah semua aktivitas, maka dia mesti mencampuradukkan pemikiran dengan tradisi yang berkembang dalam masryakat,
menyingkat perjalanannya dengan tradisi yang usang, dan mencampurkan teks- teks dengan klise-klise tertentu. Dengan begitu, perkara menjadi kabur bagi banyak
orang, memusingkan. Kalau sudha begitu, tidak mudah dan tidak mungkin lagi membedakan antara pemikiran keagamaan yang genuine dengan tradisi
masyarakat; antara teks-teks agama dan retorika klise .
68
Selanjutnya, menurutnya mengaitkannya secara langsung dengan masalah jilbab. Jilbab sudah jelas merupakan persoalan tercampurnya antara pemikiran
keagamaan dengan tradisi masyarakat. Sehingga, menyebabkan banyak kesulitan dalam mengungkap akar masalah dan hakikatnya. Sebagian kalangan
menganggap bahwa jilbab adalah kewajiban agama, sedangkan sebagian lainnya menanggapnya sebagai slogan politik belaka tanpa studi yang memadai.
68
Ibid, hal.2.
86 Buku Al-Asyamawi ini, yang kegelisahannya sudah kita paparkan di atas,
diterbitkan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan argumentasi yang dijelaskan Quraish Shihab, tampak berbeda. Quraish Shihab memberikan landasan
argumentasi dari sisi sifat Islam yang dapat menenggarai perbedaan pendapat perihal sebuah masalah. Sehingga jika dikerucutkan menjadi satu warna saja,
sebenarnya menjadi tidak mencerminkan semangat Islam lagi. Sementara itu, Al- Asyamawi, menekankan argumentasi berdasarkan kemurnian antara retorika
keagamaan dan tradisi yang dapat diperalat menjadi sekadar kepentingan politis. Kedua buku dengan argumentasi yang berbeda ini, bagi saya, sebenarnya dapat
memberikan peluang bagi pengguna jilbab untuk memilih posisi dirinya. Dalam hal ini, tidak semata-mata apakah jilbab menjadi sebuah kewajiban bagi saya atau
bukan. Tetapi mengambil jilbab bagi perjalanan diri secara personal. Mengapa? karena jilbab bagi kita dapat benar-benar menjadi milik, entah itu dikenakan atau
tidak. Semuanya bergantung perjalanan diri, sejauh mana jilbab menjadi bagian dari hidup kita. Tetapi hal tersebut dapat memungkinkan terjadi sejauh para
pemilik otoritas hukum dapat bersikap bijaksana, dengan cara tidak memaksakan sebuah hukum sedemikian saja.
87
BAB III JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA
A. JILBABKU
1. Wacana
Akan kuceritakan kepadamu perjalanan sehelai kain yang biasa diletakkan di kepala perempuan muslim yang biasa disebut ‘jilbab’. Bersama dengan jilbab,
akan terdedahkan pula semesta bernama tubuh perempuan. Ya, tentu saja karena jilbab pada dasarnya adalah untuk menutupi tubuh. Di manapun konteksnya,
bukan hanya aku yang mengenakan jilbab tetapi banyak perempuan lainnya, tua, muda ataupun anak-anak.
Dalam beragam latar belakang, pilihan gaya, atau konsistensi penggunaan jilbab pada kami, jilbab tidak pernah menjadi semata-
mata urusan personal. Selalu saja ada saatnya jilbab merupakan urusan banyak orang, baik perempuan ataupun laki-laki. Mereka ikut terlibat dalam dunia jilbab
dengan berbagai alasan, mulai dari sekadar berkomentar secara ringan dalam keseharian, tetapi juga banyak yang ikut merumuskan konsepnya secara ketat atas
nama syariat Islam seraya menghubungkannya dengan moralitas yang harus kami jaga. Tak ketinggalan ada pula yang antusias mencipta kepantasan jilbab secara
estetis. Mereka adalah para perancang busana yang tergiur dengan popularitas jilbab yang semakin kuat. Selain mereka semua, tentu saja ada orang-orang yang
bersemangat mengamati jilbab sebagai objek penelitian. Inilah aku. Seorang mahasiswi yang sungguh bersemangat meneliti jilbab
yang telah akrab dengan tubuh dan pikirannya sejak dua puluh tahun yang lalu.