Wacana Penyalahgunaan Jilbab SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA

164 Tetapi muncul juga pandangan yang terkesan mengkritik tajam jilbab dengan argumen bahwa jilbab adalah adopsi dari budaya Arab serta tidak ada hubungan khusus dengan religiusitas. Warna yang berbeda ini muncul dari kalangan Jaringan Islam Liberal JIL dengan diterbitkannya sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad Sa’id wa Hujjiyyatul Al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab 2003. Buku tersebut diterbitkan karena dapat mewakili pandangan JIL secara umum mengenai jilbab. JIL menolak pelembagaan jilbab sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Alasannya adalah jilbab secara historis bukan hanya milik ajaran Islam melainkan terdapat asimilasi kultur yang kompleks di dalamnya. Warna tafsir yang ditawarkan oleh JIL bersifat lebih longgar terhadap jilbab. Jilbab dapat dipandang sebagai sebuah kewajiban, bisa juga tidak. Ketidakwajiban jilbab tersebut dibahasakan oleh Al-Syamawi. Al-Syamawi menunjukkan bahwa hadis- hadis yang menjadi rujukan pewajiban jilbab adalah bersifat dha’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Wacana jilbab yang disuarakan oleh JIL biasanya, selain beredar melalui penerbitan buku, juga melalui diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa.

5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab

Jilbab pada era pascareformasi adalah tanda khusus yang sudah menyatu dengan identitas kemusliman perempuan di negeri ini. Jilbab bukan sebatas cara berpakaian yang mengekspresikan nilai estetik tertentu tetapi dianggap sebagai ekspresi kesalehan seseorang. Citra kesalehan yang termuat di dalamnya, dapat juga dipakai oleh kalangan tertentu untuk menciptakan citra khusus. Misalnya ketika seorang perempuan yang menjadi pesakitan atau terdakwa karena kasus 165 korupsi yang tiba-tiba mengenakan jilbab di ruang sidang akan menuai kecaman. Mereka misalnya adalah Malinda Dee, Neneng Sri Wahyuni, dan Nunun Nurbaeti. Terbukanya kasus korupsi saja sudah membuat orang tercengang dan gemas. Tentu saja pelakunya menjadi sorotan berbagai media. Wajahnya akan muncul di berbagai media dengan cara yang ganjil. Dalam hal ini, sebuah majalah berita, Forum, mengangkat profil mereka dengan berfokus pada perubahan penampilan bukan pada kasus korupsi yang dilakukannya saja. Di dalam majalah Forum dipajang foto-foto ketiga perempuan tersebut sebelum menjadi terdakwa koruptor. Sebelum tersangkut kasus korupsi, para perempuan ini tidak mengenakan jilbab apalagi cadar. Foto mereka antara penampilan tak berjilbab dan berjilbab bahkan ada yang menutup sebagian wajah bak cadarkemudian ditampilkan dengan cara yang menekan. Mereka dianggap telah mencuri citra kesalehan dalam jilbab dan cadar untuk memanipulasi penampilan mereka di hadapan publik. Judul besar yang diangkat oleh majalah tersebut tajam dengan bunyi “Cadar dan Kerudung Munafik Perempuan-Perempuan Korup”. Sejak saat itu, jilbab tiba-tiba hadir di ruang-ruang pengadilan sebagai cara berpakaian baru para perempuan yang terjerat hukum. 79 Pemberitaan secara menyudutkan seperti itu dapat dibaca sebagai wacana penertiban, yaitu mengingatkan orang bahwa jilbab harus dipakai dengan niat dan syarat tertentu. Seakan-akan sudah pasti mereka hanya sekadar menyalahgunakan jilbab untuk menutupi wajah buruknya. 79 Dalam Majalah Forum Keadilan, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15. 166

6. Wacana Melepas Jilbab