3,811. Nilai terendah pada dimensi perilaku hubungan adalah sebesar 21, dan nilai tertinggi sebesar 40. Selain itu, dimensi kematangan pekerjaan
dan psikologis memiliki mean sebesar 37,16 dan standar deviasi sebesar 4,137. Dimensi kematangan pekerjaan dan psikologis memiliki nilai
terendah sebesar 27 dan nilai tertinggi sebesar 47. Setelah memperoleh statistik data penelitian, peneliti akan
melakukan perbandingan mean empiris dan mean teoritis pada skala kepemimpinan situasional dan skala motivasi kerja. Selain itu, dilakukan
pula analisis data menggunakan one sample T-test. Hal ini bertujuan untuk mengetahui respon tanggapan subjek terhadap variabel penelitian.
Berikut merupakan hasil pengolahan data teoritis dan data empiris penelitian, serta hasil one sample T-test penelitian :
Tabel 21 Data Teoritis dan Data Empiris
Variabel Data Teoritis
Data Empiris Mean
Min Max
Mean Min
Max
Kepemimpinan Situasional
- Perilaku Tugas 25
10 40
33,32 28
38 - Perilaku Hubungan
25 10
40 32,39
30 39
- Kematangan Pekerjaan
dan Psikologis
30 12
48 37,32
34 40
Motivasi Kerja - Kebutuhan Eksistensi
15 6
24 19,04
13 24
- Kebutuhan Berelasi 27,5
11 44
36 29
42 - Kebutuhan
Berkembang 17,5
7 28
22,7 19
28
Tabel 22 Hasil One Sample T-test
Variabel Sig. 2-tailed
Kepemimpinan Situasional - Perilaku Tugas
0,000 - Perilaku Hubungan
0,000 - Kematangan
Pekerjaan dan
Psikologis 0,000
Motivasi Kerja - Kebutuhan Eksistensi
0,000 - Kebutuhan Berelasi
0,000 - Kebutuhan Berkembang
0,000
Hasil analisis terhadap variabel kepemimpinan situasional menunjukkan bahwa mean teoritis dari masing-masing dimensi memiliki
perolehan nilai yang lebih rendah daripada mean empiris dari masing- masing dimensi. Pada dimensi perilaku tugas, nilai mean teoritis yang
diperoleh sebesar 25 dan nilai mean empiris sebesar 33,32. Disisi lain, dimensi perilaku hubungan memiliki nilai mean teoritis sebesar 25 dan
nilai mean empiris sebesar 32,39. Selain itu, dimensi kematangan bawahan memiliki nilai mean teoritis sebesar 30 dan nilai mean empiris sebesar
37,32. Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada dimensi- dimensi kepemimpinan situasional adalah sebesar 0,000 p 0,05. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
kepemimpinan situasional di dalam organisasi cukup tinggi.
Pada variabel motivasi kerja menunjukkan bahwa mean teoritis dari masing-masing kebutuhan memiliki perolehan nilai yang lebih rendah
daripada mean empiris dari masing-masing kebutuhan. Pada kebutuhan eksistensi, nilai mean teoritis yang diperoleh sebesar 15 dan mean empiris
sebesar 19,04. Disisi lain, kebutuhan berelasi memiliki nilai mean teoritis sebesar 27,5 dan nilai mean empiris sebesar 36. Selain itu, kebutuhan
berkembang memiliki nilai mean teoritis sebesar 17,5 dan nilai mean empiris sebesar 22,7. Selain itu, tabel 22 menunjukkan nilai signikansi
0,000 p 0,05. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis. Hal ini
menunjukkan bahwa motivasi kerja pada relawan tinggi.
2. Frekuensi Data Kategori
a. Distribusi Frekuensi Dimensi Kepemimpinan Situasional
Karakteristik subjek berdasarkan dimensi kepemimpinan situasional dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Perilaku Tugas
dan Perilaku Hubungan. Hasil kelompok dimensi kepemimpinan ditampilkan pada tabel 23.
Tabel 23 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Dimensi Perilaku Tugas
dan Perialku Hubungan Pada Kepemimpinan Situasional No.
Dimensi Kepemimpinan
Situasional Subjek
Total Tinggi
Rendah F
F
1. Perilaku Tugas
73 100
- -
73 2.
Perilaku Hubungan 69
94,5 4
5,5 73
Dari skala yang telah diisi oleh 73 subjek diperoleh hasil yang kemudian dikategorikan menjadi 2 bagian, yaitu perilaku tugas dan
perilaku hubungan yang masing-masing memiliki skor tinggi dan rendah. Skor ini diketahui melalui mean teoritis pada masing-masing
dimensi. Pada dimensi perilaku tugas diperoleh hasil bahwa seluruh
responden sebanyak 73 subjek pada penelitian ini mempersepsikan bahwa pemimpin organisasi memiliki perilaku tugas yang tinggi.
Disisi lain, pada dimensi perilaku hubungan diperoleh hasil bahwa sebanyak 69 subjek mempersepsikan pemimpin organisasi memiliki
perilaku hubungan yang tinggi dan 4 subjek mempersepsikan pemimpin organisasi memiliki perilaku hubungan yang rendah.
b. Distribusi Frekuensi Efektivitas Kepemimpinan Situasional
Pada penelitian ini, dimensi kepemimpinan situasional dibagi menjadi dua kategori, yaitu skor tinggi dan skor rendah. Proses
kategorisasi ini diperoleh dari mean teoritis pada masing-masing
dimensi yang akan mengacu menjadi empat gaya kepemimpinan situasional. Pada dimensi perilaku tugas diperoleh mean teoritis
sebesar 25 sehingga subjek yang memiliki skor 25 dikategorikan telah mempersepsi bahwa pemimpin memiliki perilaku tugas yang
rendah. Sebaliknya bila subjek memiliki skor 25 maka subjek dikategorikan telah mempersepsi pemimpin organisasi memiliki
perilaku tugas yang tinggi. Pada dimensi perilaku hubungan diperoleh mean teoritis
sebesar 25 sehingga subjek yang memiliki skor 25 dikategorikan bahwa telah mempersepsi pemimpin organisasi memiliki perilaku
hubungan yang rendah. Sebaliknya bila subjek memiliki skor 25 maka subjek dikategorikan telah mempersepsi pemimpin organisasi
memiliki perilaku hubungan yang tinggi.
Tabel 24 Kategori Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya Kepemimpinan Situasional
Hasil Skoring Perilaku Tugas
Perilaku Hubungan
Gaya Telling Tinggi
Rendah Gaya Selling
Tinggi Tinggi
Gaya Participating Rendah
Tinggi Gaya Delegating
Rendah Rendah
Tabel 25 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Gaya Kepemimpinan
Situasional No.
Gaya Kepemimpinan Situasional
Subjek Frekuensi
1. Gaya Telling
4 5,5
2. Gaya Selling
69 94,5
3. Gaya Participating
- -
4. Gaya Delegating
- -
Total 73
100
Pada penelitian ini, skor tinggi dan rendah yang diperoleh masing-masing subjek digunakan untuk mengelompokkan subjek ke
dalam empat gaya kepemimpinan situasional yang terdapat pada tabel 25. Gaya selling merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki
presentase tertinggi pada perilaku tugas dan perilaku hubungan, yaitu sebanyak 69 subjek mempersepsi gaya kepemimpinan yang
diterapkan ke dalam gaya selling. Gaya telling merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki presentase yang cukup tinggi pada
perilaku tugas dan perilaku hubungan, yaitu sebanyak 4 subjek mempersepsi gaya kepemimpinan yang diterapkan ke dalam gaya
telling .
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak ada subjek yang dapat dikategorikan ke dalam gaya participating dan gaya
delegating . Hal ini disebabkan karena perolehan skor yang diperoleh
subjek tidak sesuai apabila dikategorikan ke dalam gaya kepemimpinan tersebut.
Tabel 26 Kategori Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional Berdasarkan
Kematangan Pekerjaan dan Psikologis Gaya Kepemimpinan
Situasional Tingkat Kematangan
Pekerjaan dan Psikologis
Gaya Telling R1
Gaya Selling R2
Gaya Participating R3
Gaya Delegating R4
Tabel 27 Distribusi Frekuensi Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional
Berdasarkan Kematangan Pekerjaan dan Psikologis No.
Gaya Kepemimpinan
Situasional Tingkat
Kematangan Pekerjaan dan
Psikologis Subjek
Keterangan F
1. Gaya Telling
R1 -
- R2
1 1,37
Tidak Sesuai R3
3 4,11
Tidak Sesuai R4
- -
2. Gaya Selling
R1 -
- R2
2 2,74
Sesuai R3
47 64, 38 Tidak Sesuai
R4 20
27,4 Tidak Sesuai
Total 73
100
Pada penelitian ini, diperoleh hasil pada sebanyak 1 subjek memiliki tingkat kematangan R2 pada gaya telling yang diterapkan
dalam organisasi non-profit. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan gaya kepemimpinan situasional tidak sesuai dengan tingkat
kematangan pekerjaan dan psikologis bawahan. Selain itu, sebanyak 3
subjek memiliki tingkat kematangan R3 pada gaya telling yang diterapkan oleh pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan situasional yang diterapkan oleh pemimpin tidak sesuai dengan tingkat kematangan bawahan.
Pada gaya selling yang diterapkan oleh pemimpin terdapat 2 subjek yang memiliki tingkat kematangan R2. Hal ini menunjukkan
bahwa gaya selling yang diterapkan pada organisasi non-profit sesuai dengan tingkat kematangan bawahan. Disisi lain, gaya selling yang
diterapkan oleh pemimpin tidak sesuai dengan tingkat kematangan bawahan pada 67 subjek, yaitu 47 subjek dengan tingkat kematangan
R3 dan 20 subjek dengan tingkat kematangan R4. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti kemudian melakukan
kategorisasi distribusi frekuensi efektivitas gaya kepemimpinan situasional berdasarkan tingkat kematangan bawahan. Kategori
tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 28 Distribusi Frekuensi Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional
Berdasarkan Kematangan Pekerjaan dan Psikologis No
Kesesuaian Gaya Kepemimpinan
Subjek F
1. Sesuai
2 2,74
2. Tidak Sesuai
71 97,26
Total 73
100
c. Distribusi Frekuensi Kebutuhan Motivasi Kerja ERG
Karakteristik subjek berdasarkan pengelompokkan kebutuhan motivasi kerja ditunjukkan pada tabel 29.
Tabel 29 Distribusi Frekuensi Kebutuhan Motivasi Kerja ERG
No. Kebutuhan Motivasi Kerja
Subjek F
1. Kebutuhan Eksistensi
27 36,99
2. Kebutuhan Berelasi
26 35,61
3. Kebutuhan Berkembang
20 27,4
Total 73
100 Dari skala motivasi kerja yang telah diisi oleh 73 subjek
tersebut telah dikategorikan oleh peneliti menjadi tiga kelompok, yaitu kebutuhan eksistensi, kebutuhan berelasi, dan kebutuhan
berkembang. Pada tabel 29 didapatkan hasil bahwa sebanyak 27 subjek 36,99 masuk dalam kategori kebutuhan eksistensi, 26
subjek 35,61 masuk dalam kategori kebutuhan berelasi, dan sebanyak 73 subjek 27,4 masuk dalam kategori kebutuhan
berkembang.
D. Hasil Penelitian
1. Uji Normalitas
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal Santoso, 2010. Uji
normalitas dilakukan dengan bantuan SPSS 16.0. Pada proses analisis ini,
data dikatakan memiliki sebaran data normal apabila memiliki p 0,05. Hasil uji normalitas yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut :
Tabel 30 Uji Normalitas
Variabel Kolmogorov-
Smirnov Z Sig.
Keterangan
Kepemimpinan Situasional
- Perilaku Tugas 1,356
0,5 Sebaran normal
- Perilaku Hubungan 0,920
0,366 Sebaran normal
- Kematangan Pekerjaan
dan Psikologis
1,247 0,089
Sebaran normal
Motivasi Kerja - Kebutuhan Eksistensi
0,940 0,340
Sebaran normal - Kebutuhan Berelasi
0,854 0,460
Sebaran normal - Kebutuhan
Berkembang 1,306
0,066 Sebaran normal
Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, dapat dilihat bahwa dimensi perilaku tugas memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar
1,356 dengan signifikansi 0,5 p 0,05. Selain itu, dimensi perilaku hubungan memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,920 dengan
signifikansi 0,366 p 0,05. Dimensi kematangan pekerjaan dan psikologis memperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov 1,247 dengan
signifikansi 0,089 p 0,05. Disisi lain, kebutuhan eksistensi pada variabel motivasi kerja
memperoleh nilai
Kolmogorov-Smirnov sebesar
0,940 dengan
signifikansi 0,34 p 0,05. Kebutuhan berelasi memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov
sebesar 0,854 dengan signifikansi 0,460 p 0,05. Selain itu, kebutuhan berkembang pada variabel motivasi kerja
memperoleh nilai
Kolmogorov-Smirnov sebesar
1,306 dengan
signifikansi 0,066 p 0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memenuhi syarat uji normalitas.
2. Uji Hipotesis
Dalam penelitian ini, peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi terhadap gaya kepemimpinan situasional. Hal ini dikarenakan pada tabel
28 diketahui bahwa kategori efektivitas kepemimpinan situasional yang diterapkan pada organisasi non-profit memiliki frekuensi yang tidak
seimbang dan mencolok. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa sebanyak 71 subjek menilai bahwa gaya kepemimpinan yang
diterapkan dalam organisasi non-profit tidak sesuai dengan tingkat kematangan pekerjaan dan psikologis relawan. Disisi lain, hanya terdapat
2 subjek yang menilai bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin memiliki kesesuaian dengan tingkat kematangan pekerjaan
dan psikologis relawan. Selain itu, dalam penelitian ini hanya terdapat dua kategori gaya kepemimpinan yang dominan sehingga gaya
kepemimpinan situasional tidak cukup valid untuk diukur. Hasil yang mencolok dan tidak seimbang tersebut menyebabkan peneliti tidak dapat
melakukan uji korelasi terhadap variabel gaya kepemimpinan situasional.
3. Analisis Data Tambahan
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis data tambahan untuk membuktikan adanya hubungan motivasi kerja pada relawan
berdasarkan lama masa kerja. Ardana et al., 2008 menyatakan bahwa motivasi kerja turut dipengaruhi oleh kemampuan atau kompetensi yang
dimiliki seseorang. Kompetensi tersebut dapat dilihat dari seberapa lama masa kerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan. Oleh karena itu
peneliti melakukan pengujian terkait masa kerja.
Tabel 31 Uji Data Tambahan Hubungan Masa Kerja dengan Motivasi Kerja
Value df
Asymp. Sig. 2-sided
Pearson Chi-Square
6,122
a
2 0,047
Likehood Ratio 6,032
2 0,049
N of Valid Cases 73
Pada tabel 31, uji data tambahan dilakukan dengan menggunakan metode Chi-Square. Dalam metode Chi-Square, data dikatakan memiliki
hubungan apabila nilai sig 0,05. Pada uji data tambahan terkait masa kerja ini, diperoleh nilai sig = 0,047. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara masa kerja dengan motivasi kerja relawan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa masa kerja
merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi kerja relawan. Berikut merupakan distribusi frekuensi subjek berdasarkan motivasi kerja ERG
dengan masa kerja relawan :
Tabel 32 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Motivasi Kerja ERG dengan
Masa Kerja
No. Masa Kerja
Subjek Motivasi Kerja
Eksistensi Berelasi
Berkembang F
F F
1. 6 bulan
– 2 tahun 45
18 66,67
18 69,23
9 45
2. 2 tahun
28 9
33,33 8
30,77 11
55 Total
73 27
100 26
100 20
100
Pada tabel 32 dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini terdapat 45 subjek yang memiliki masa kerja 6 bulan
– 2 tahun. Pada kategori tersebut, sebanyak 18 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan
eksistensi, 18 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berelasi, dan 9 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berkembang. Selain itu,
sebanyak 28 subjek diketahui memiliki masa kerja 2 bulan. Subjek dengan masa kerja 2 bulan ini terdiri dari 9 subjek yang tergolong
dalam kategori kebutuhan eksistensi, 8 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berelasi, dan 11 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan
berkembang. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada subjek
dengan masa kerja 6 bulan – 2 tahun memiliki motivasi kerja yang
cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan eksistensi dan kebutuhan berelasi. Disisi lain, pada subjek
dengan masa kerja 2 tahun memiliki motivasi kerja yang cenderung
dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan berkembang.
Dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan uji korelasi antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan. Hasil uji korelasi tersebut
adalah sebagai berikut :
Tabel 33 Uji Data Tambahan Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Motivasi
Kerja
Value df
Asymp. Sig. 2-sided
Pearson Chi-Square
8.467
a
4 0,076
Likehood Ratio
8.673
4 0,070
N of Valid Cases 73
Pada metode Chi-Square, data dikatakan memiliki hubungan apabila nilai sig 0,05. Pada uji data tambahan terkait jenis kelamin ini,
diperoleh nilai sig = 0,076. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi kerja relawan.
Berikut merupakan distribusi frekuensi subjek berdasarkan motivasi kerja ERG dengan jenis kelamin relawan :
Tabel 34 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Motivasi Kerja ERG dengan
Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin
Subjek Motivasi Kerja
Eksistensi Berelasi
Berkembang F
F F
1. Laki-laki
29 7
25,93 11
42,31 11
55 2.
Perempuan 37
17 62,96
12 46,15
8 40
3. Transgender
7 3
11,11 3
11,54 1
5 Total
73 27
100 26
100 20
100
Dari 73 orang subjek, dapat dilihat bahwa 29 subjek laki-laki terdiri dari 7 subjek yang tergolong dalam kategori kebutuhan eksistensi,
11 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berelasi, dan 11 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berkembang. Pada subjek
perempuan yang berjumlah 37 subjek, sebanyak 17 subjek yang tergolong dalam kategori kebutuhan eksistensi, 12 subjek tergolong
dalam kategori kebutuhan berelasi, dan 8 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berkembang. Selain itu, pada subjek transgender
yang berjumlah 7 subjek diperoleh hasil bahwa 3 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan eksistensi, 3 subjek tergolong dalam kategori
kebutuhan berelasi, dan 1 subjek tergolong dalam kategori kebutuhan berkembang.
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada subjek laki- laki memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh
adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan berelasi dan kebutuhan
berkembang. Selain itu pada subjek perempuan memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi
kebutuhan eksistensi. Pada subjek transgender, motivasi kerja yang dimiliki cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk
memenuhi kebutuhan eksistensi dan kebutuhan berelasi.
4. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori
ERG pada organisasi non-profit di Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut
yang disebabkan adanya proporsi yang tidak seimbang dan mencolok pada variabel kepemimpinan situasional.
Hasil yang diperoleh pada masing-masing variabel diketahui bahwa terdapat 4 subjek yang mempersepsikan gaya kepemimpinan di dalam
organisasi sebagai gaya telling. Selain itu, terdapat 69 subjek yang mempersepsikan gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam organisasi
sebagai gaya selling. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti kemudian melakukan uji kesesuaian gaya kepemimpinan yang telah dipersepsi oleh
relawan dengan tingkat kematangan relawan. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa terdapat 2 subjek memiliki kesesuaian gaya
kepemimpinan dengan tingkat kematangannya dan 71 subjek yang tidak memiliki kesesuaian gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangannya.
Hasil dengan proporsi yang tidak seimbang ini menjadikan peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi terhadap gaya kepemimpinan situasional.
Meskipun demikian, kualitas hubungan yang tercipta diantara pemimpin dengan bawahan diyakini sebagai salah satu faktor yang penting
untuk menunjang motivasi kerja seseorang Steers dan Porter, 1983; As’ad,
1978. Kualitas hubungan dalam gaya kepemimpinan situasional ini dapat tercipta melalui perilaku tugas dan perilaku hubungan yang diterapkan oleh
pemimpin dengan mempertimbangkan kematangan pekerjaan dan psikologis tiap bawahan Hersey dan Blanchard, 1986. Dengan memperhatikan tiga
dimensi gaya kepemimpinan situasional maka diharapkan terjadi peningkatan motivasi kerja pada bawahan.
Menurut Ardana et al., 2008, kepemimpinan bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Selain proses
kepemimpinan, terdapat berbagai macam faktor baik intrinsik maupun ekstrinsik yang dapat mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Salah satu
faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang yaitu kondisi pekerjaan, seperti jam kerja dan lingkungan fisik Ardana et al., 2008. Menurut Vina,
pada organisasi non-profit yang bergerak di bidang sosial, kondisi lingkungan kerja merupakan suatu hal yang cukup dipertimbangkan Komunikasi pribadi,
21 April 2015. Hal ini disebabkan karena lingkungan kerja yang dihadapi oleh relawan terbilang cukup rawan Komunikasi pribadi, 27 Maret 2014.
Lingkungan yang cukup rawan inilah yang dapat menjadi faktor penghambat timbulnya motivasi kerja pada relawan.
Lingkungan kerja dipandang oleh relawan tidak hanya sebatas tempat dimana relawan melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendapatkan
kenyamanan secara fisik, namun relawan juga memandang lingkungan kerja sebagai tempat dimana ia dapat memperoleh kenyamanan secara psikologis.
Kenyamanan secara psikologis ini dapat diperoleh relawan dari suasana kerja yang menyenangkan dan relasi yang terjalin dengan baik antar relawan
As’ad, 1978. Hal ini didukung oleh pernyataan Sheila, salah satu relawan Komunitas PLU Satu Hati, yang menyatakan bahwa lingkungan dengan
atmosfer kerja yang tinggi dapat memacu motivasi kerja relawan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Atmosfer kerja tersebut dapat
terlihat dari kelengkapan dan keaktifan anggota organisasi. Hal ini disebabkan karena relawan akan mempersepsi secara positif keaktifan
anggota organisasi lainnya sehingga memacu timbulnya motivasi kerja dalam dirinya. Selain itu, atmosfer kerja yang hangat dapat tercipta pula melalui
dukungan antar anggota sehingga ada rasa penghargaan di dalam diri relawan dan memacu motivasi kerjanya Komunikasi pribadi, 21 April 2015.
Selain adanya faktor ekstrinsik yang mempengaruhi, motivasi kerja relawan juga dapat dipengaruhi oleh adanya faktor intrinsik dalam diri
subjek. Faktor utama yang melatarbelakangi timbulnya motivasi kerja adalah minat seseorang untuk menjalankan tugas tersebut Ardana et al., 2008.
Maslach dan Ozer, serta Nesbitt et al., dalam Ross et al., 1999 menyatakan bahwa kurangnya rencana atau keinginan untuk menjadi seorang relawan
sebagai salah satu bentuk kurangnya minat seseorang dalam bekerja.
Kurangnya minat kerja seseorang berdampak pada kurangnya motivasi seseorang dalam bekerja sehingga terjadi peningkatan tingkat absen atau
mangkir dalam suatu organisasi non-profit tersebut. Pada dasarnya, organisasi non-profit melakukan pekerjaan untuk
memenuhi hasrat terciptanya masyarakat beradab, penuh belas kasih, dan berfungsi sepenuhnya. Dalam melakukan pekerjaan tersebut, diperlukan
kemampuan dan kompetensi guna menunjang kinerja relawan Hutapea dan Dewi, 2012. Kompetensi tersebut dapat dilihat dari seberapa lama relawan
bergabung dan ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Semakin banyak seseorang memiliki kemampuan dan kompetensi kerja, maka semakin tinggi
pula tingkat motivasi kerjanya Ardana et al., 2008. Namun berdasarkan uji data tambahan yang telah peneliti lakukan,
hasil yang diperoleh menyatakan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan motivasi kerja seseorang. Uji data tambahan yang dilakukan dengan
menggunakan metode Chi-Square yang menghasilkan nilai sig = 0,047 sig 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja
dengan motivasi kerja yang dimiliki relawan. Berdasarkan distribusi frekuensi subjek berdasarkan motivasi kerja dengan masa kerja relawan tidak
diperoleh hasil dengan proporsi yang terlalu mencolok. Pada subjek dengan masa kerja 6 bulan
– 2 tahun memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan eksistensi
dan kebutuhan berelasi. Selain itu, pada subjek dengan masa kerja 2 tahun
memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan berkembang.
Selain dengan melihat korelasi motivasi kerja dengan mengacu pada masa kerja, peneliti juga melakukan uji korelasi antara jenis kelamin dengan
motivasi kerja relawan yang dilakukan dengan metode Chi-Square. Pada uji korelasi tersebut diperoleh hasil sig = 0,076 sig 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan. Menurut Ardana et al., 2008 menyatakan bahwa
jenis kelamin turut mempengaruhi motivasi kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas. Namun pada distribusi frekuensi subjek berdasarkan motivasi
kerja dengan jenis kelamin tidak diperoleh hasil dengan proporsi yang terlalu mencolok. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa pada subjek laki-laki
memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan berelasi dan kebutuhan berkembang.
Selain itu pada subjek perempuan memiliki motivasi kerja yang cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan
eksistensi. Pada subjek transgender, motivasi kerja yang dimiliki cenderung dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan eksistensi
dan kebutuhan berelasi. Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja
relawan dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya suasana atau situasi kerja yang berubah-ubah. Suasana dan situasi lingkungan kerja yang
cenderung tidak tetap menyebabkan relawan merasakan adanya suatu
tantangan tersendiri dibandingkan dengan suasana pekerjaan yang dilakukan secara rutin Hutapea dan Dewi, 2012. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan rasa ingin melayani masyarakat dan mempengaruhi motivasi kerjanya Finkelstein, dalam Varela, 2013.
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada penelitian ini, peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi terhadap variabel gaya kepemimpinan situasional. Hal ini dikarenakan adanya proporsi
yang tidak seimbang pada hasil uji kesesuaian gaya kepemimpinan situasional sehingga peneliti tidak dapat menjawab hipotesis dalam penelitian
ini, yaitu terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori ERG pada organisasi non-profit di
Yogyakarta. Selain itu, peneliti melakukan uji data tambahan untuk melihat hubungan antara masa kerja dengan motivasi kerja relawan. Uji data
tambahan yang dilakukan dengan menggunakan metode Chi-Square menghasilkan nilai sig = 0,047 sig 0,05 yang berarti terdapat hubungan
antara masa kerja dengan motivasi kerja relawan. Selain itu, dilakukan pula uji korelasi antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan dan diperoleh
hasil sig = 0,076 sig 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan.
B. Saran
1. Bagi Subjek
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan. Hal ini
disebabkan karena terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja relawan, salah satunya adalah minat dan kemauan untuk
terus belajar. Oleh sebab itu, penelitian ini bisa menjadi bahan refleksi bagi relawan sebagai subjek penelitian untuk selalu menumbuhkan
minatnya untuk terus berkembang dan belajar. Dengan adanya minat belajar yang kuat maka diharapkan motivasi kerja relawan selalu stabil
dan dapat mengabdi dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati walaupun telah menghadapi banyak tantangan.
2. Bagi Organisasi
Bagi organisasi, berdasarkan hasil yang diperoleh maka organisasi perlu lebih memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi motivasi kerja relawan, salah satunya adalah faktor lingkungan kerja. Diketahui bahwa selain harus memberikan rasa aman
secara fisik, lingkungan kerja sebaiknya dapat memberikan rasa nyaman secara psikologis pula. Oleh sebab itu, penting bagi organisasi untuk
memperhatikan faktor lingkungan kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan selalu memberikan dukungan kepada relawan dan memfasilitasi
terjalinnya hubungan yang akrab antar anggota organisasi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dalam proses penelitian, peneliti mengalami beberapa hambatan yang menjadi keterbatasan pada penelitian ini. Keterbatasan tersebut ialah
peneliti kesulitan untuk memperoleh data yang disebabkan karena intensitas subjek untuk datang ke kantorbasecamp tidak pasti sehingga
pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti sebaiknya lebih jeli dan banyak mencari informasi terkait jadwal kegiatan organisasi yang akan
dituju. Hal ini dilakukan agar peneliti secara pasti dapat memperkirakan seberapa lama penelitian akan berjalan. Selain itu, sebaiknya peneliti
secara mandiri dapat lebih aktif lagi untuk melakukan pendekatan pada relawan sebagai subjek penelitian sehingga jalannya penelitian tidak
hanya tergantumg pada kedatangan relawan ke kantor saja. Keterbatasan kedua yang ada dalam penelitian ini adalah fokus
objek pelayanan organisasi non profit yang beragam sehingga dasar motivasi kerja relawan menjadi cukup beragam. Pada penelitian
selanjutnya diharapkan peneliti lebih memperhatikan fokus pelayanan dari tiap organisasi dan mengelompokkannya. Hal ini dilakukan karena
motivasi seseorang untuk bergabung sebagai relawan turut dipengaruhi pula atas ketertarikannya terhadap objek pelayanan. Oleh sebab itu,
penting untuk memperhatikan fokus pelayanan pada tiap-tiap organisasi agar tercipta keseragaman dasar motivasi kerja pada relawan.
Selain itu, keterbatasan yang terakhir ialah keterlibatan pemimpin pada organisasi non-profit yang dituju cukup variatif sehingga persepsi
subjek terhadap gaya kepemimpinan situasional menjadi variatif. Sebaiknya peneliti selanjutnya menentukan terlebih dahulu organisasi
yang akan dituju dan mencari informasi terkait struktur organisasi terlebih dahulu dan mempelajarinya. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan
gambaran mengenai struktur organisasi dan kepemimpinan di beberapa organisasi sehingga dapat mempertimbangkan organisasi non-profit mana
saja yang sesuai dengan kriteria penelitiannya. Dengan teknik ini, maka diharapkan dapat tercipta pula keseragaman cara pandang relawan dalam
mempersepsi gaya kepemimpinan di dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 27 Maret 2014. Wawancara “Permasalahan Yang Dihadapi Organisasi Non Profit Terkait Pola Kerja Relawan”. Kantor Victory Plus,
Jl. Tunggorono, Mrican Caturtunggal Depok
. Alderfer, Clayton P. Guzzo, Richard A. 1979.
Life Experiences and Adults’ Enduring Strength of Desires in Organizations.
Diunduh 25 Juni 2015, dari
http:www.jstor.orgstablepdf2989917.pdf .
Altman, Steven, Valenzi, Enzo, Hodgetts, Richard M. 1985. Organizational Behavior. Theory and Practice.
Florida : Academic Press, Inc. Ardana, Komang, Mujiati, Ni Wayan, Sriathi, Anak Agung Ayu. 2008. Perilaku
Keorganisasian . Yogyakarta : Graha Ilmu.
As’ad, Moh. 1978. Psikologi Industri. Yogyakarta : Percetakan LIBERTY. Azwar, Saifuddin. 1999. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azwar, Saifuddin. 2009. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Brahmasari, Ida Ayu Suprayetno, Agus. 2008. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan
dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan Studi Kasus Pada PT. Pei Hai International Wiratama
Indonesia. Diunduh
26 Oktober
2014, dari
http:cpanel.petra.ac.idejournalindex.phpmanarticleview1703917003 Damayanti, Devi. 2001. Hubungan Intensi Prososial Dengan Motivasi Kerja Relawan
Lembaga Swadaya Masyarakat di Yogyakarta. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Field, Andy. 2013. Discovering Statistics Using IBM SPSS Statistics 4th Edition. Canada :
SAGE. Hersey, Paul Blanchard, Kenneth H. 1986. Manajemen Perilaku Organisasi :
Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Terjemahan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Hutapea, Bonar Dewi, Fransisca Iriani R. 2012. Peran Kebermaknaan Hidup dan Kepemimpinan Melayani Terhadap Kepuasan Hidup Sukarelawan Lembaga
Swadaya Masyarakat. INSAN Vol. 14 No. 03 .
Jansen, Maria Rosaria. 2013. Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Gaya Kepemimpinan dan Dampak Stres Kerja di PT. Primagraphia Digital Jakarta.
Jurnal Psiko-Edukasi Vol. 11 No.2 .
Kreitner, Robert Kinicki, Angelo. 2005. Perilaku Organisasi. Edisi 5 Buku 2. Terjemahan. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.
Madianto, Ignasius. 2003. Hubungan Antara Kondisi Kerja dan Gaya Kepemimpinan Dengan Kepuasan Kerja Staf Administrasi Unika Atma Jaya Jakarta.
Jurnal Psiko- Edukasi Vol. 1 No.1 .
McMurray, A.J., Sarros, J.C., Merlo, A. Pirola, Islam, M.M. 2010. Leadership, Climate, Psychological Capital, Commitment, and Wellbeing In A Non-Profit Organization.
Leadership Organization Development Journal, Vol. 31 No. 5.
Munandar, Ashar Sunyoto. 2014. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia UI-PRESS.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Northouse, Peter G. 2013. Kepemimpinan. Teori dan Praktik. Terjemahan. Jakarta : PT. Indeks.
Purnomo, Agung. 1 September 2014. Wawancara “Motivasi Relawan Untuk Bergabung Kembali Menjadi Relawan Aktif”. Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia - DIY PKBI-DIY, Jl. Tentara Rakyat Mataram JT I705
. Puspita, Wilhelmina Reny. 2012. Status Keikutsertaan Mahasiswa Pada Organisasi Nirlaba
Ditinjau Dari Sikap Altruisme.Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma. Putranto, Matheus Andre Priyono. 2004. Hubungan Antara Persepsi Kepemimpinan
Demokrasi Dengan Loyalitas Kerja Anggota Dalam Sebuah Organisasi Industri. Skripsi
Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Putu, Prayanto, Natajaya, N., Yudana, M. tanpa tahun. Kontribusi Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah, Pendekatan Supervisi Akademik Kepala Sekolah, dan
Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Guru PNS Pada SMP Negeri di Kecamatan
Gerokgak. Diunduh
pada 31
Oktober 2014,
dari http:pasca.undiksha.ac.ide-journalindex.phpjurnal_aparticleview1213945
Rahadyani, Yohana R. A. 2005. Hubungan Antara Persepsi Guru Terhadap Gaya Kepemimpinan Dengan Motivasi Kerja Guru SMK Karya Guna Bekasi
. Jurnal Psiko-Edukasi Vol. 3 No. 2 .
Riggio, Ronald E. 2009. Introduction To Industrial Organizational Psychology. Fifth Edition.United States of America : Pearson Education.
Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi Kesepuluh. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.