Organisasi Non-Profit RELAWAN ORGANISASI NON-PROFIT

diberikan oleh relawan dapat berupa pemikiran, keahlian, barang, jasa, serta waktu dalam pengabdian secara aktif di bidang kesejahteraan sosial dan tidak mengharapkan upah atau keuntungan finansial.

D. DINAMIKA

HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN BERDASARKAN TEORI ERG PADA ORGANISASI NON-PROFIT DI YOGYAKARTA Organisasi non-profit sebagai badan pemerintahan memiliki tugas pokok untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan ini dilakukan oleh beberapa individu secara sukarela demi terciptanya kesejahteraan di tengah masyarakat. Individu yang terlibat dalam pelayanan ini disebut sebagai relawan. Menurut Schroender dalam Hutapea et al., 2012, relawan merupakan individu atau kelompok yang memiliki kerelaan untuk melakukan beberapa hal sebagai wujud pengabdian masyarakat demi terciptanya kesejahteraan di tengah masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh relawan tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian yang sama sehingga pelayanan dapat dikatakan tidak memiliki keseragaman Wolf, 1984. Dalam proses pelayanan kepada masyarakat, relawan dituntut agar dapat memenuhi harapan masyarakat terkait permasalahan sosial yang timbul meskipun tidak ada keseragaman pendidikan dan keahlian pada seluruh relawan. Hal ini menyebabkan peran pemimpin begitu penting dalam proses pengkoordinasian relawan organisasi non-profit agar tercipta pola yang sama pada proses pelayanan Wolf, 1984. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggerakkan suatu kelompok sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Proses pencapaian tujuan ini dilakukan dengan cara membangun tim, menciptakan kesatuan, menyelesaikan perselisihan dalam kelompok, dan mempengaruhi setiap individu yang tergabung dalam organisasi tersebut Kreitner dan Kinicki, 2005. Keberhasilan dalam menggerakkan dan menciptakan suatu hubungan kerjasama ditentukan oleh bentuk kepemimpinannya. Dalam penelitian ini, bentuk kepemimpinan yang digunakan adalah gaya kepemimpinan situasional. Hal ini disebabkan karena pada bentuk kepemimpinan situasional menuntut seorang pemimpin untuk memiliki kepekaan dalam membaca situasi yang dihadapi lingkungan di sekitar kelompok untuk menentukan keefektifan perilaku kepemimpinannya. Selain berfokus pada situasi, kepemimpinan situasional juga menekankan pada hubungan yang terjalin antara pemimpin dan bawahan. Dalam prosesnya, kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara : 1 kadar bimbingan dan arahan perilaku tugas pemimpin terhadap bawahan, 2 kadar dukungan sosioemosional perilaku hubungan yang diberikan pemimpin terhadap bawahan, dan 3 level kematangan atau kesiapan bawahan yang nampak dari usaha yang dilakukan bawahan dalam setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pemimpin. Berdasarkan ketiga hubungan tersebut, teori kepemimpinan situasional mengatakan bahwa tingkat kematangan bawahan dianggap bagian penting dalam menentukan perilaku pemimpin Hersey Blanchard, 1986. Perilaku pemimpin yang disesuaikan dengan kematangan bawahan tersebut akan diterapkan dalam gaya yang beragam, yaitu gaya telling, gaya selling, gaya participating, dan gaya delegating Hersey Blanchard, 1986. Oleh sebab itu, pemimpin perlu mengetahui dan memahami tingkat kematangan bawahan agar dapat menyesuaikan pola kepemimpinannya. Tingkat kematangan yang ditunjukkan bawahan atas suatu tugas, fungsi, atau tujuan tertentu menjadi penentu banyaknya pengarahan atau dukungan yang harus diberikan oleh pemimpin kepada setiap bawahan dalam kelompok tersebut Hersey Blanchard, 1986; Madianto, 2003. Pada proses kepemimpinan situasional, penerapan masing-masing dimensi kepemimpinan situasional tersebut akan dipersepsikan oleh bawahan, baik secara positif maupun negatif. Persepsi positif merupakan kesesuaian harapan dengan proses yang dilakukan pemimpin efektif sehingga bawahan merasakan adanya rasa penghargaan dalam diri bawahan. Hal ini akan memacu semangat kerja, prestasi kerja, kepuasan kerja, dan meminimalkan intensitas absen dan resiko burnout pada bawahan. Sebaliknya, persepsi negatif merupakan penilaian dan pandangan anggota yang menimbulkan perasaan tidak didukung, tidak diperhatikan, tidak nyaman, dan tidak termotivasi untuk bekerja dikarenakan proses kepemimpinan yang tidak efektif Putranto, 2004; Anoraga, dalam Tawale et al., 2011; As’ad, 1978; Gibson et al., dalam Brahmasari dan Suprayetno, 2008, Tawale et al., 2011. Persepsi positif dan negatif dari proses kepemimpinan akan mempengaruhi tingkat motivasi kerja bawahan. Motivasi kerja adalah suatu dorongan dalam diri seseorang yang nampak dalam suatu tindakan sehingga individu tersebut memiliki keinginan untuk berperan aktif dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Teori motivasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan dasar yang dikembangkan oleh Alderfer. Alderfer 1979 mengatakan bahwa terdapat tiga kebutuhan dasar yang mendasari motivasi kerja seseorang, yaitu kebutuhan eksistensi, kebutuhan menjalin relasi, dan kebutuhan untuk berkembang. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, setiap individu memiliki tingkat motivasi yang berbeda dalam memenuhi masing-masing kebutuhan. Hal ini menyebabkan teori motivasi ERG tidak memiliki hierarki yang kaku dalam proses pemenuhan kebutuhannya. Selain itu, tingkat prioritas kebutuhan seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya : 1 faktor sosial, 2 faktor budaya, 3 latar belakang sosial, 4 latar belakang pendidikan, dan 5 kemampuan yang dimiliki Alderfer, dalam Siagian, 1989. Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja individu Ardana et al., 2008. Steers dan Porter 1983 berpendapat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja bawahan adalah kualitas hubungan antara bawahan dan atasan. Kualitas hubungan yang baik antara bawahan dan atasan dapat dilakukan dengan memberikan motivasi dan menginspirasi bawahan untuk ikut ambil bagian bagi kemajuan organisasi