Pengertian Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

memperoleh penyelesaian optimal dari berbagai pilihan penyelesaian yang muncul. Dalam menyelesaikan permasalahan secara berkelompok, sangat dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dari masing-masing siswa. Oleh karena itu, akan muncul berbagai respon ketika pertukaran pendapat ini berlangsung. Barron menyebutkan setidaknya ada lima respon yang mungkin terjadi. 1 No respon, setelah salah satu anggota kelompok menyampaikan pendapatnya mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya tidak memberikan tanggapan, baik menerima maupun menolak pendapat tersebut. 2 Acceptances penerimaan, yaitu setelah salah satu anggota mengemukakan pendapat mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya dalam kelompok menyetujui dan menerima pendapat tersebut. Ini ditandai dengan adanya respon positif baik berupa kata-kata ataupun tindakan yang mendukung dari solusi permasalahan yang diajukan. 3 Clarification klarifikasi, respon ini muncul ketika ada keraguan dari anggota kelompok lain terhadap penyelesain permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota kelompoknya, sehingga diperlukan penjelasan tambahan untuk lebih meyakinkan. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa permintaan untuk menjelaskan proses penyelesaian masalah dari anggota lainnya dalam kelompok. 4 Elaborations elaborasi, setelah penyelesaian permasalahan diajukan oleh salah satu anggota, anggota lainnya menyetujui dan memberikan informasi tambahan untuk melengkapi penyelesaian tersebut sehingga diperoleh solusi akhir kelompok yang optimal. 5 Rejections penolakan, respon ini muncul jika penyelesaian permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota kelompok dianggap kurang tepat. 22 Ketika proses pembelajaran Collaborative Problem Solving berlangsung, setiap siswa diharapkan ikut terlibat secara aktif dalam setiap tahapannya. 22 Ibid., p. 414 Terutama pada saat siswa belajar dalam kelompok, diharapkan setiap siswa aktif bertukar pendapat, saling share informasi, dan saling melengkapi satu sama lain sehingga diperoleh penyelesaian permasalahan yang maksimal. Jadi dari kelima respon yang telah disebutkan di atas, respon elaborasi diharapkan lebih sering muncul ketika diskusi kelompok. Seperti yang diungkapkan Windle dan Warren yang berpendapat bahwa proses sharing information, defining issues, sharing more information diperlukan agar pembelajaran Collaborative Problem Solving dapat berjalan efektif. Menurutnya, Collaborative Problem Solving bukanlah suatu proses linier yang berlangsung secara metodis melalui langkah-langkah tertentu. 23 Jika diperlukan kita bisa saja melakukan langkah maju mundur, artinya setelah melewati beberapa langkah kita kembali lagi ke langkah awal untuk memastikan bahwa penyelesaian yang diperoleh benar-benar penyelesaian paling efektif dari permasalahan yang ada. Lebih rinci Windle dan Warren menyusun proses Collaborative Problem Solving dalam enam langkah: 1 Share Perspective Proses ini dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami dengan jelas berbagai perspektif dari masing-masing anggota terhadap masalah yang dihadapi. 2 Define the Issue Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai topik yang menjadi poin penting dari persfektif yang muncul untuk didiskusikan bersama. 3 Identify the Interest Dari berbagai persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi untuk mengetahui kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan mencari kesamaannya. 23 Rod Windle and Suzanne Warren, Collaborative Problem Solving and Dispute Resolution in Special education, Hood River: Oregon Department of Education, 2001, p. 5-9 4 Generate Options Setelah melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi yang mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi. 5 Develop a Fair Standar or Objective Criteria For Deciding Pada langkah ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk memutuskan solusi akhir permasalahan dengan menggunakan indikator- indikator tertentu yang disetujui. 6 Evaluate Options and Reach Agrement Langkah terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi untuk selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir permasalahan. 24 Secara menyeluruh, Nelson membagi pedoman penerapan Collaborative Problem Solving kedalam tiga kategori, yaitu pedoman untuk guru, siswa serta pedoman bersama untuk guru dan siswa. 25 Pedoman tersebut digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.3 Pedoman Penerapan Collaborative Problem Solving 24 Ibid., p. 5-10 25 Laurie Miller Nelson, op. cit., p. 251 Berdasarkan yang diuraikan oleh Nelson, berikut akan dijelaskan mengenai pedoman penerapan pembelajaran tersebut. a Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi guru - Guru berperan sebagai fasilitator Pada pembelajaran ini guru hanya berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi pengetahuan bagi siswa. Tanggung jawab dalam pelaksanaan pembelajaran yang sebelumnya dipegang oleh guru beralih menjadi tanggung jawab siswa. Siswa menentukan informasi dan sumber apa yang dibutuhkan serta bagaimana cara memperolehnya. Guru membimbing, memberikan umpan balik, dan mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan. - Menciptakan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif Guru menciptakan lingkungan belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dalam suatu kelompok kecil dengan beragam kemampuan. Hal ini dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam bagi siswa. - Merumuskan fokus permasalahan Guru merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk memfokuskan siswa pada aspek terpenting dari suatu konten dan proses pembelajaran mereka sendiri. Inilah cara guru memfasilitasi pembelajaran siswa tanpa kontrol yang berlebihan. Guru berperan sebagai pembimbing kognitif siswa, siswa diminta untuk menelaah pertanyaan agar fokus pada aspek terpenting dari suatu konten dan mendukung untuk melakukan investigasi pada aspek tertentu secara lebih mendalam. - Memberikan penjelasan ketika diminta siswa Ketika ada beberapa informasi dan pengetahuan yang tidak dapat ditemukan sendiri, disinilah saatnya guru memberikan penjelasan, ataupun melakukan demonstrasi agar siswa memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang dibutuhkan. b Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi siswa - Menentukan bagaimana cara menggunakan informasi dan berbagai sumber yang diperoleh untuk memecahkan masalah - Menentukan dan memperhitungkan alokasi waktu untuk individu dan kelompok c Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi guru dan siswa - Guru dan siswa berkolaborasi untuk menentukan isu-isu dan objek pembelajaran - Mengumpulkan sumber-sumber belajar yang diperlukan - Guru melakukan penilaian terhadap siswa, baik secara individu maupun berkelompok Garis besar penerapan pembelajaran Collaborative Problem Solving menurut Nelson terdiri dari 9 tahapan, yaitu : 26 Gambar 2.4 Garis Besar Proses Pembelajaran Collaborative Problem Solving 26 Ibid., p. 258 Dari tahapan-tahapan pembelajaran yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, terlihat bahwa pembelajaran Collaborative Problem Solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dengan guru dan teman sekelompoknya dalam memecahkan suatu permasalahan serta memperoleh pemahaman terhadap suatu konsep. Permasalahan atau tugas yang cocok untuk pembelajaran ini adalah tugas yang bersifat heuristik heuristic tasks. Reigeluth berpendapat, “heuristic tasks are made up of a complex system of knowledge and skills which can be combined in a variety of ways to complete the task successfully”. 27 Ia menjelaskan bahwa tugas heuristik menuntut siswa untuk memiliki serangkaian keterampilan dan pengetahuan kompleks yang dapat dikombinasikan dalam berbagai cara untuk melengkapi tugas dengan baik. Jadi pada tugas heuristik, siswa tidak dapat menyelesaikannya dengan prosedur yang rutin. Ronis mengemukakan ada tiga hal penting yang harus diperhatikan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memecahkan masalah dalam kelompok kecil: 1 Siswa bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan dan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota kelompok berpartisipasi dalam penyelesaian tersebut. 2 Siswa dalam kelompok berbagi informasi dan mengembangkan idenya satu sama lain. 3 Setiap anggota kelompok harus dapat mempertanggungjawabkan penyelesaian kelompok yangmerupakan hasil kesepakatan semua anggota kelompok tersebut. 28 Berdasarkan uraian di atas, Collaborative Problem Solving adalah suatu pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kepada siswa untuk diselesaikan secara individu dan berkelompok. Pembelajaran ini sekurang- kurangnya harus mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 1 Adanya 27 Ibid., p. 247 28 Diane Ronis, op. cit. p. 116 permasalahan; 2 permasalahan coba diselesaikan secara individu; 3 permasalahan diselesaikan secara bersama dalam kelompok melalui proses sharing antar individu; dan 4 proses transfer hasil kerja sebagai solusi akhir permasalahan sebagai hasil kesepakatan dalam kelompoknya masing-masing.

c. Tahapan Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

Pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan berkelompok, untuk memperoleh solusi permasalahan dan pemahaman yang mendalam melalui aktivitas diskusi dalam kelompoknya masing-masing. Tahapan pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:  Fase 1: Adanya permasalahan Guru menyajikan permasalahan dengan memberikan lembar kerja individu kepada masing-masing siswa.  Fase 2: Membuat rancangan penyelesaian secara individu - Masing-masing siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan dan berusaha mencari solusi permasalahan tersebut. - Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum dimengerti untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya dalam kelompok.  Fase 3: Penyelesaian kelompok - Setelah waktu penyelesaian tugas individu habis, guru menginformasikan pembagian kelompok diskusi. masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa. - Setiap kelompok diberi bahan diskusi berupa lembar kerja kelompok LKK untuk diselesaikan secara bersama-sama. LKK berisi permasalahan individu dan permasalahan tambahan yang lebih kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang sedang dipelajari. - Di dalam kelompok, setiap siswa saling bertukar informasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap siswa dari permasalahan individu. - Antarsiswa dalam tiap-tiap kelompok saling berkolaborasi untuk mencapai kesepakatan mengenai solusi akhir kelompoknya dari permasalahan yang diberikan. - Guru memberikan informasi tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi ajar jika diminta oleh siswa. Terjadi kolaborasi antara guru dan siswa selama pembelajaran.  Fase 4: Transfer hasil kerja - Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan kelompok lain memberikan tanggapan. Terjadi kolaborasi antarkelompok untuk mencapai solusi optimal dari permasalahan. - Guru membimbing jalannya diskusi dan memberikan penjelasan tambahan kepada siswa jika diperlukan. Guru dan siswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

3. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa diterapkan guru di kelas. Pembelajaran ini masih berpusat pada guru. Pembelajaran konvensional yang diterapkan pada penelitian ini adalah pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah suatu strategi pembelajaran yang berpusat pada kegiatan guru dalam menyampaikan materi secara verbal dengan tujuan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Ada juga yang menamakan strategi ekspositori dengan istilah pembelajaran langsung direct instruction atau strategi “chalk and talk”, karena strategi ini menekankan pada proses bertutur secara langsung. 29 Jadi pembelajaran ini masih bersifat “teacher centered”, dimana siswa berperan sebagai objek pembelajaran yang hanya menerima materi dari penjelasan gurunya. 29 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2010, Cet. 7, h. 179 Berikut adalah uraian dari beberapa tahapan penerapan strategi ekspositori. 30 Tabel 2.3 Tahapan Pembelajaran Konvensional Tahapan Kegiatan 1. Persiapan Preparation  Memberikan sugesti yang positif dan menghindari sugesti negatif  Mengemukakan tujuan pembelajaran  Melakukan review 2. Penyajian Presentation  Menyampaikan materi pelajaran yang sudah dipersiapkan 3. Menghubungkan Correlation  Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat memahami keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya 4. Menyimpulkan Generalization  Mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan  Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang disajikan  Membuat mapping keterkaitan antarmateri pokok-pokok materi 5. Penerapan Aplication  Membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan  Memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan didukung oleh penelitian sebelumnya, yaitu relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh: 1. Supaporn Jaisook, Somyot Chitmongkol, Sumle Thongthew, dengan judul “A Mathematics Instructional Model by Integrating Problem-Based Learning and Collaborative Learning Approaches ”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran ini memiliki pengetahuan dan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi serta kemampuan koneksi matematik yang baik. Selain itu juga dapat meningkatkan pengetahuan dan 30 Ibid, h. 185 pemahaman siswa terkait suatu konsep atau proses matematika tertentu, menciptakan interaksi sosial, serta meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam mengungkapkan ide-ide dan pendapatnya. 31 2. Leo Adhar Effendi Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI dengan judul “Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP ”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang pembelajarannya menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. 32 3. Kartini Hutagaol dengan judul “Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama ”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, kemampuan representasinya lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Temuan dari penelitian ini, siswa yang belajar dengan pembelajaran kontekstual kemampuan mengkaji, menduga, hingga membuat kesimpulan berkembang dengan baik, dibanding siswa yang menggunakan pembelajaran biasa. 33 31 Supaporn Jaisook, Somyot Chitmongkol, and Sumle Thongthew, “A Mathematics Instructional Model by Integrating Problem-Based Learning and Collaborative Learning Approaches”, Silpakorn University Journal of Social Sciences, Humanities, and Arts, Vol. 13 No. 2, p. 271-294, Tersediaonline: http:www.journal.su.ac.thindex.phpsuijarticleview363388 diakses pada 3 Juli 2014 jam 13.25 WIB 32 Leo Adhar Effendi, “Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Siswa”, Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 12 No. 2, Portal Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2011, Tersedia online: http:jurnal.upi.edufileLeo_Adhar.pdf diakses pada 31 Juli 2013, jam 10.20 WIB 33 Kartini Hutagaol, “Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama ”, Infinity, Vol. 2 No. 1, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Februari 2013, Tersedia online: http:e- journal.stkipsiliwangi.ac.idindex.phpinfinityarticleview2726 diakses pada 3 Juli 2014, jam 11.58 WIB