Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematis Menurut Mudzakkir No. Representasi Bentuk-bentuk Operasional 1 Representasi visual: a Diagram, tabel, atau grafik  Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram, grafik atau tabel  Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah b Gambar  Membuat gambar pola-pola geometri  Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya 2 Persamaan atau ekspresi matematis  Membuat persamaan atau model matematika dari representasi lain yang diberikan  Membuat konjektur dari suatu pola bilangan  Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematis 3 Kata-kata atau teks tertulis  Menuliskan interpretasi dari suatu representasi  Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika dengan kata-kata  Menyusun cerita yang sesuai dengan suatu representasi yang disajikan  Menjawab soal dengan menggunakan kata- kata atau teks tertulis  Dapat menyatakan ide matematika dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis Menurut Lesh, Post dan Bohr ada lima representasi untuk konsep. Awalnya mereka hanya mengemukakan dua bentuk representasi yaitu berupa model dan gambar manipulatif. Kemudian dalam penelitian selanjutnya, mereka menambahkan simbol tulisan, bahasa lisan, dan situasi dunia nyata sebagai representasi atau pemodelan dari suatu konsep. 9 Berikut adalah ilustrasi dari kelima representasi yang mereka ungkapkan. Tersedia online: http:journal.unnes.ac.idsjuindex.phpjpe, diakses pada 9 Desember 2013, jam 02.48 WIB 9 John A. Van De Walle, Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, Jakarta: Erlangga, 2007, Edisi ke-6, h. 34 Gambar 2.2 Representasi Menurut Lesh, Post, dan Behr Gambar di atas menunjukkan bahwa kelima representasi tersebut saling berkaitan satu sama lain. Proses menginterpretasikan konsep dari suatu representasi ke representasi lainnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan ide-ide baru yang mereka peroleh dan kemudian menggabungkan ide-ide tersebut untuk mengembangkan konsep-konsep baru. Dalam penelitiannya, Lesh, Post, dan Behr menemukan bahwa siswa yang mengalami kesulitan dalam menerjemahkan suatu konsep dari satu representasi ke representasi lainnya akan mengalami kesulitan pula dalam menyelesaikan permasalahan dan memahami perhitungan 10 . Representasi membantu siswa dalam memahami suatu konsep. Selain itu juga, membantu meningkatkan keterampilan siswa menyajikan ide kedalam berbagai bentuk representasi akan memperbaiki pertumbuhan konsep siswa. Kalathil dan Sherin mengemukakan tiga kegunaan representasi siswa. Yang pertama, representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru dan kelas mengenai proses mereka berpikir berkaitan dengan suatu konteks matematika. Dalam suatu kelas dimungkinkan bahwa siswa memiliki representasi 10 Ibid., h. 34 yang berbeda-beda mengenai suatu masalah. Hal ini memberikan kesempatan kepada guru untuk mengetahui bagaimana proses berpikir dari masing-masing siswa. Kedua, representasi digunakan untuk memberikan informasi mengenai pola dan kecenderungan diantara siswa. Ketiga, representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat bantu pembelajaran di kelas. 11 Representasi merupakan alat bantu pembelajaran yang berguna tidak hanya bagi siswa, tetapi bagi guru juga. Bagi siswa, representasi dapat membantu mengembangkan berbagai kemampuan matematisnya, dan bagi guru dapat melihat kecenderungan proses berpikir masing-masing siswa. Secara umum representasi matematis adalah ungkapan ide-ide matematika sebagai hasil pemikiran siswa dalam menghadapi suatu konsep atau permasalahan. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan representasi matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam menyajikan ide-ide matematika dalam bentuk representasi visual berupa gambar, membuat model matematika dari permasalahan yang diberikan, dan menjawab soal dengan menggunakan teks tertulis.

b. Indikator Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan representasi matematis siswa yang hendak dicapai dalam penelitian ini terbagi dalam tiga aspek, sebagai berikut: Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa No Aspek Representasi Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa 1 Visual  Membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaian 2 Ekspresi matematis  Membuat model matematika terkait dengan permasalahan yang diberikan.  Menyelesaikan permasalahan yang melibatkan berbagai ekspresi matematis tersebut. 3 Teks tertulis  Menjawab soal dengan menggunakan teks tertulis 11 Kalathil dan Sherin, op. cit., h. 27-28

2. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

a. Collaborative Learning

Collaborative dapat diartikan sebagai kolaborasi atau kerja sama. Marjan dan Mozhgan mengartikan collaborative learning sebagai suatu pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan sekelompok siswa untuk bekerja bersama dalam memecahkan masalah, melengkapi tugas, dan menciptakan suatu produk. 12 Sementara Smith dan MacGregor dalam Marjan dan Mozhgan mendefinisikan collaborative learning sebagai suatu istilah yang memasukkan berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan hubungan intelektual antarsiswa, atau antara siswa dengan guru secara bersama-sama. Pada umumnya siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan dua orang atau lebih, satu sama lain saling mencari pemahaman, solusi, pengertian, atau menciptakan suatu produk. 13 Kedua pendapat tersebut memfokuskan pembelajaran kolaboratif pada proses kerja sama antarsiswa dalam kelompok ketika pembelajaran berlangsung. Dalam proses kerja sama, setiap siswa harus menyadari bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok kecil yang harus saling bekerja sama untuk dapat mencapai tujuan bersama. Dengan kesadaran tersebut, setiap siswa akan memiliki rasa ketergantungan positif satu sama lain untuk dapat mencapai keberhasilan kelompok yang diinginkan bersama. 14 Kunci utama untuk mencapai hasil tersebut mereka akan berusaha bekerja sama dengan maksimal salah satunya dengan cara mendiskusikan bersama informasi-informasi yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Yang perlu ditekankan adalah pembelajaran kerja sama bukan sekedar menuliskan hasil akhir, tetapi yang menjadi komponen penting adalah bagaimana siswa dapat berproses bersama satu sama lain secara sinergis dalam mengembangkan pengetahuannya. Secara bahasa collaborative learning memiliki arti yang hampir sama dengan istilah cooperative learning, yaitu bekerja sama. Namun pada dasarnya 12 Marjan Laal and Mozhgan Laal, “Collaborative learning: what is it?”, Proccedia-Sosial and Behavioral Sciences 31, Oxford: Elsevier, 2012, p. 491 13 Ibid., p. 492 14 Diane Ronis, Pengajaran Matematika Sesuai Cara Kerja Otak, Terj. Herlina, Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media, 2009, h. 108 keduanya memiliki perbedaan. Menurut Gunawan: “Proses belajar secara kolaborasi atau collaborative learning bukan sekedar bekerja sama dalam suatu kelompok, tetapi penekanannya lebih kepada suatu proses pembelajaran yang melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil di dalam kelas”. 15 Dari pendapat tersebut berarti yang menjadi fokus perhatian pembelajaran kolaboratif adalah proses komunikasi antarsiswa ketika bekerja sama, dan bagaimana mereka berproses bersama dalam mengembangkan pengetahuannya. Jadi pembelajaran kolaboratif bukan bertujuan untuk menyamakan persfektif siswa mengenai suatu konsep tertentu sebagai hasil akhir diskusi kelompok, tetapi bertujuan untuk memperkaya pengetahuan siswa dari berbagai persfektif yang muncul ketika diskusi berlangsung dan kemudian diharapkan siswa dapat menginternalisasi secara individu untuk memperoleh pemahaman mengenai konsep tertentu. Ada lima unsur penting dalam proses pembelajaran kolaboratif, yaitu: 1 Adanya rasa kebersamaan; 2 Adanya interaksi yang saling mendukung antar anggota kelompok satu sama lain; 3 Adanya rasa tanggung jawab secara individu dan kelompok untuk keberhasilan proses pembelajaran; 4 Kemampuan komunikasi yang baik antarpribadi dalam suatu kelompok kecil; 5 Adanya proses refleksi terhadap fungsi dan kemampuan mereka bekerja sama sebagai suatu kelompok. 16

b. Pengertian Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

Collaborative Problem Solving. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr Greene dalam buku “The Explosive Child”. Menurutnya Collaborative Problem Solving menerapkan dua prinsip utama, yang pertama yaitu tantangan sosial, emosional dan perilaku anak-anak hendaknya dipahami sebagai produk sampingan dari perkembangan kemampuan kognitif. Kedua, penyelesaian masalah secara kolaboratif hendaknya dijadikan fokus perhatian dalam 15 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, Cet. Ke-IV, h. 198 16 Ibid., h. 199. menghadapi suatu tantangan. Greene mengembangkan pendekatan ini dalam hal perkembangan psikologi anak. Dalam dunia pendidikan, Nelson mengemukakan bahwa Collaborative Problem Solving merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran, yaitu pembelajaran kerja sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini sebenarnya memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif, namun tidak komprehensif. 17 Lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk berkolaborasi secara natural dan efektif sangat penting untuk didesain agar mereka dapat mengembangkan pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah desain pembelajaran Collaborative Problem Solving yang didukung oleh kegiatan pemecahan masalah siswa dimana siswa dapat melakukan kesepakatan, didasarkan pada proses kolaboratif alami mereka masing-masing. Menurut Djamilah, langkah pembelajaran kolaboratif berbasis masalah adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah yang menantang; 2. Siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi dan merancang penyelesaian permasalahan tersebut secara individu sebelum mereka belajar dalam kelompok; 3. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide teman dalam kelompoknya, membuat konjektur, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan, dengan cara saling beradu argumen. Setelah itu siswa menyelesaikan masalah yang diberikan guru secara individual; 4. Siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah yang diperoleh. 18 17 Laurie Miller Nelson, “Collaborative Problem Solving”, dalam Reigeluth ed, Instructional-Design Theories and Models A New Paradigm of Instructional Theory, New York: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1999, p. 245 18 Djamilah Bondan Widjajanti, “Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta: FMIPA UNY, 2008, h. 7, Tersedia online: http:eprints.uny.ac.id105011P13-Djamilah.pdf, diakses pada 30 Desember, jam 12.59 WIB