Setelah uji hipotesis dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H ditolak dan H
1
diterima. H
1
menyatakan bahwa rata-rata kemampuan representasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
Collaborative Problem Solving lebih tinggi daripada siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dengan taraf signifikansi 5.
C. Pembahasan
Pada penelitian ini diketahui bahwa kemampuan representasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Collaborative
Problem Solving lebih baik daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional yang diterapkan di sekolah tersebut. Model
pembelajaran Collaborative Problem Solving mendorong siswa untuk mampu merepresentasikan ide-ide matematis dari permasalahan yang diberikan. Jadi pada
pembelajaran ini setiap siswa memiliki kesempatan untuk mengemukakan gagasan dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri karena kegiatan
pembelajaran berpusat pada siswa student centered. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, dimana pembelajarannya masih bersifat teacher
centered, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk merepresentasikan ide-ide yang ia miliki.
Model pembelajaran Collaborative Problem Solving terdiri dari empat tahapan pembelajaran, yaitu siswa diberi permasalahan, permasalahan coba
dirancang penyelesaiannya secara individu terlebih dahulu, permasalahan diselesaikan secara berkelompok, dan transfer hasil kerja. Permasalahan diberikan
dalam bentuk bahan ajar individu Lembar Kerja Individu dan bahan ajar kelompok Lembar Kerja Kelompok. Permasalahan yang dimaksud adalah
berbagai permasalahan yang bersifat heuristik. Tahapan pertama model pembelajaran Collaborative Problem Solving
adalah siswa diberikan permasalahan heuristik heuristic task. Melalui permasalahan ini, siswa diberi stimulus untuk merepresentasikan ide-ide
matematis berkaitan dengan permasalahan berdasarkan pengetahuan yang ia
ketahui. Permasalahan disajikan dalam Lembar Kerja Individu LKI dan Lembar Kerja Kelompok LKK.
Tahapan kedua, membuat rancangan penyelesaian permasalahan secara individu. Peneliti membagikan Lembar Kerja Individu LKI kepada setiap siswa
untuk diselesaikan sendiri-sendiri. Pada tahap ini, siswa dilatih untuk merepresentasikan informasi yang diperoleh dari pertanyaan kedalam bentuk
gambar, simbol-simbol aljabar ataupun kata-kata sebagai hasil dari proses representasi internal yang berlangsung dalam pemikirannya. Pada pertemuan-
pertemuan awal, banyak siswa yang tidak paham dan kesulitan dalam mengerjakan LKI ini, meskipun sebelumnya peneliti sudah menjelaskan petunjuk
pengerjaan serta hal-hal apa saja yang harus diperhatikan. Sangat terlihat bahwa siswa tidak terbiasa dengan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah
seperti ini. Hal tersebut mengharuskan peneliti untuk membimbing siswa dalam menjawab setiap pertanyaan yang ada pada LKI.
Pada pertemuan pertama misalnya, peneliti harus menjelaskan maksud dari setiap pertanyaan yang terdapat pada lembar kerja. Padahal siswa sendiri
yang seharusnya berusaha memahami permasalahan, merancang penyelesaian, dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan bekal pengetahuan yang sudah
ia miliki, dan dengan memperhatikan lingkungan sekitar atau dengan mencari informasi dari sumber belajar buku pelajaran yang ada. Kecuali jika mereka
memerlukan informasi tambahan yang tidak bisa mereka peroleh sendiri, barulah disini peneliti sebagai fasilitator pembelajaran memberikan penjelasan tambahan.
Karena ketidakpahaman ini, banyak siswa yang asal-asalan dalam menjawab LKI, dan ketika peneliti meminta siswa untuk mengumpulkan hasil kerja mereka,
hanya 50 siswa yang mengumpulkan. Siswa yang tidak mengumpulkan, sebagian besar beralasan belum selesai mengerjakan dan tidak tahu harus
menuliskan jawaban apa pada LKI tersebut. Pembelajaran Collaborative Problem Solving pada pertemuan pertama dan kedua kurang berjalan sesuai harapan
peneliti. Namun pada pertemuan ketiga, keempat dan seterusnya, siswa mulai
terbiasa dengan pembelajaran ini. Peneliti hanya menjelaskan hal-hal yang harus