Kredibilitas Penelitian KESIMPULAN TINJAUAN PUSTAKA

67 rapport yang dibangun oleh peneliti yang dapat dilihat dari respon partisipan terhadap pertanyaan yang diajukan.

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas Poerwandari, 2007. Kredibilitas penelitian kualitatif menurut Poerwandari 2007, terletak pada keberhasilannya mencapai maksud, mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Kredibilitas penelitian mengenai penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, sangat dijaga oleh peneliti. Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas komunikatif dan kredibilitas argumentatif. Peneliti melakukan pengecekan kembali pada data-data dan analisa data dari hasil wawancara di lapangan dengan partisipan yang bersangkutan, yang bertujuan untuk menyamakan persepsi peneliti dengan apa yang dimaksudkan oleh partisipan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias-bias peneliti yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu untuk menguji berbagai kemungkinan dan menjaga kekonsistenan data yang diungkapkan oleh partisipan. 68

H. Prosedur Penelitian

Pada prosedur penelitian, diuraikan bagaimana semua langkah penelitian dirangkai menjadi suatu prosedur penelitian yang utuh, dimulai dari perencanaan atau persiapan tindakan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan penelitian yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini, yaitu:

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian Moleong, 2006 yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan kehidupan ibu tiri, bagaimana sikap ibu tiri dalam menghadapi penilaian negatif atau stereotype yang muncul akibat status yang dimilikinya, bagaimana tanggapan ibu tiri terhadap duda yang memiliki anak tunarungu, serta bagaimana ibu tiri menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. b. Menyusun pedoman wawancara Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang digunakan yaitu Jersild, 1963 tentang penerimaan diri serta aspek-aspek yang mempengaruhi penerimaan diri. Setelah mendapatkan tinjauan pustaka peneliti mulai menyusun pedoman wawancara dengan membuat 69 sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan topik penelitian. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing. Setelah itu, peneliti melakukan percobaan dengan mengajukan pertanyaan ke beberapa mahasiswa untuk melihat efektifitas pedoman wawancara dan memeriksa kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. c. Membuat informed consent pernyataan pemberian izin oleh partisipan Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa partisipan telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapa pun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. d. Mempersiapkan alat-alat penelitian Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti alat perekam, alat untuk mencatat, seperti alat tulis dan kertas, serta pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya dan pedoman observasi. 70 e. Persiapan untuk mengumpulkan data Peneliti mencari informasi tentang calon partisipan penelitian dan memastikan bahwa calon partisipan tersebut memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah itu, peneliti menghubungi kedua partisipan untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Partisipan pertama pada penelitian ini tidak sulit untuk didapatkan, hal ini dikarenakan partisipan pertama tinggal di dekat rumah peneliti. Namun, untuk menemukan partisipan kedua, peneliti sedikit mengalami hambatan. Hal itu dikarenakan pada awalnya peneliti memiliki keterbatasan informasi untuk menemukan wanita yang menikah dengan duda yang memiliki anak tunarungu. Kemudian, setelah peneliti menyebarkan informasi kepada teman, maupun saudara, akhirnya peneliti mendapatkan informasi dari tetangga terdekat bahwa ada partisipan yang memenuhi kriteria penelitian. Pada pertemuan pertama, awalnya partisipan kedua tersebut menolak untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian dikarenakan alasan pribadi. Namun pada pertemuan ketiga, partisipan menghubungi peneliti untuk bertemu dan ia ingin langsung melakukan wawancara. 71 f. Membangun rapport, informed consent dan menentukan jadwal wawancara Peneliti melakukan proses membangun rapport dengan partisipan dan memastikan kesediaan partisipan untuk ikut serta dalam penelitian. Rapport yang dibangun dengan partisipan penelitian sebanyak 2 kali pertemuan dengan masing-masing partisipan. Setelah rapport terbangun dengan partisipan, kemudian peneliti memperoleh kesediaan dari partisipan untuk ikut serta dalam penelitian. Setelah itu, peneliti mengajukan informed consent untuk ditandatangani oleh partisipan. Kemudian, peneliti dan partisipan menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Memastikan ulang waktu dan tempat wawancara Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memastikan ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan partisipan. Peneliti menghubungi partisipan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan partisipan dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara. b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara Setelah partisipan menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara”, lalu peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman 72 wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti menggunakan pedoman wawancara terstruktur, dimana setiap peneliti memiliki daftar pertanyaan beserta beberapa pertanyaan probing yang mungkin dilakukan Stewart Cash, 2000. Peneliti dan partisipan 1 telah membuat janji untuk bertemu di rumahnya pada hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014. Peneliti kemudian memutuskan untuk mengambil data pada hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014 pukul 12.11-13.45 WIB di rumah partisipan di Mabar, Medan Deli. Wawancara II dilakukan pada hari Selasa tanggal 27 Mei 2014 dimulai pada pukul 17.10-18.36 WIB. Pada wawancara kedua ini, sebelumnya peneliti dan partisipan 1 belum membuat janji. Wawancara I dan wawancara II memiliki jarak waktu yang sangat jauh, yaitu wawancara I pada bulan Maret dan Wawancara II pada bulan Mei. Hal tersebut dikarenakan partisipan 1 sulit dijumpai karena ada urusan keluar kota dan pulang kerja sangat larut malam. Di akhir wawancara II, peneliti membuat janji kepada partisipan untuk melakukan wawancara ketika partisipan memiliki waktu luang di hari Minggu. Wawancara III dilakukan hari Minggu pada tanggal 15 Juni 2014 yang dimulai pukul 15.21-16.54 WIB. Wawancara III merupakan wawancara penutup pada partisipan 1. Wawancara I pada partisipan 2 dilakukan pada hari Jum’at tanggal 13 Juni 2014 yang dimulai pada pukul 14.16-14.52 WIB. Wawancara 73 II dilakukan pada hari Sabtu 14 Juni 2014 yang dimulai pada pukul 12.16-12.45 WIB. Alasan partisipan 2 selalu mengajak peneliti melakukan wawancara pada siang hari, karena ia sudah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Wawancara III dilakukan pada hari Senin 16 Juni 2014 yang dimulai pada pukul 13.41-14.27 WIB. Wawancara III dilakukan karena masih ada beberapa data yang harus ditanyakan dan direfleksikan. Wawancara III dilakukan sebagai wawancara penutup pada partisipan 2.

3. Tahap Pencatatan Data

Peneliti menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Di sini peneliti menggunakan alat bantu perekam untuk membantu agar pencatatan data yang diperoleh tidak ada yang terlewatkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah proses wawancara selesai, data yang direkam dengan alat perekam, dituliskan ke dalam bentuk verbatim. Data hasil observasi juga tidak lupa untuk dicatat setiap selesai melakukan wawancara. Langkah selanjutnya adalah membuat koding berdasarkan teori yang digunakan. Hasil koding dapat membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasikan data yang diperoleh. Adapun contoh kode yang digunaka yaitu W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014. Dimana maksud kode tersebut yaitu W1 adalah wawancara pertama, R1 adalah partisipan 1, ST 74 adalah inisial partisipan 1, P adalah jenis kelamin partisipan 1, MDN.30Mar2014 adalah tanggal dilakukannya wawancara.

I. Metode Analisa Data

Proses analisis data dimulai dengan memahami seluruh data yang ada dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan lainnya. Ada beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari 2007, yaitu:

1. Organisasi Data

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah catatan lapangan dan kaset hasil rekaman, data yang sudah diproses sebagiannya transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti, data yang sudah ditandaidibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. Setelah proses wawancara selesai, langkah pertama yang dilakukan peneliti yaitu menuliskan hasil rekaman wawancara kedalam bentuk verbatim sehingga menjadi transkrip wawancara yang utuh, kemudian peneliti membuat narasi dari hasil observasi yang dilakukan selama proses wawancara.

2. Koding dan Analisa

Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding dan analisis. Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang 75 diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Pengkodingan juga disertai dengan analisa data dan analisa tematik yang disesuaikan dengan teori penerimaan diri dari Jersild 1963 yang telah dijelaskan di Bab II.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Peneliti kemudian melakukan pengujian terhadap dugaan. Dugaan adalah kesimpulan sementara. Proses pengkodingan kemudian akan memunculkan tema-tema yang menunjukkan aspek-aspek penerimaan diri pada partisipan. Peneliti kemudian juga mencoba mencari kekonsistenan partisipan akan data yang diberikan dengan bertanya kembali saat wawancara. Hal ini dilakukan peneliti untuk meyakinkan hasil yang telah didapatkan di lapangan. Dengan mempelajari data temuan dari hasil penelitian, peneliti mencoba beberapa temuan baru yang memperkaya data penelitian mengenai penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

4. Strategi Analisis

Patton 1990 menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri indigenous concepts maupun konsep-konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis sensitizing 76 concepts. Analisa yang dilakukan adalah analisa studi kasus secara mendalam pada partisipan penelitian. Peneliti menyesuaikan pengkodingan dengan konsep teori penerimaan diri oleh Jersild 1963 yang telah disusun dalam pedoman koding sebagai kode yang akan diberikan pada analisa tematik.

5. Tahapan Interpretasi

Kvale dalam Poerwandari, 2007 menjelaskan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan upaya pengambilan jarak distansi dari data, dicapai melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta melalui memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus. Peneliti memaknai data berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh partisipan dengan teori penerimaan diri dari Jersild 1963. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyesuaikan hasil data dengan teori yang relevan. 77

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil analisa dan pembahasan berdasarkan wawancara dalam bentuk narasi yang dilakukan kepada kedua partisipan. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-subjek dan disesuaikan dengan teori yang terdapat dalam Bab II Tinjauan Pustaka. Langkah pertama adalah dengan menjabarkan analisa data dari partisipan seperti identitas diri serta latar belakang partisipan. Selanjutnya adalah penjabaran data hasil wawancara serta pembahasan berdasarkan aspek penerimaan diri yang baik menurut Jersild 1963. Pada kutipan wawancara nantinya, akan disertai pemberian kode-kode khusus. Tujuan dari pemberian kode tersebut adalah sebagai cara untuk mempermudah pengorganisasian dan sistematisasi data Poerwandari, 2007. Contoh kode yang digunakan adalah: W1.R1.P.MDN.4Feb14L1b25-32h12, memiliki makna yaitu, data tersebut diambil melalui proses wawancara pertama W1 kepada Partisipan pertama R1 yang berjenis kelamin perempuan P. MDN.4Feb14 menunjukkan bahwa proses wawancara dilakukan di Medan pada tanggal 4 Februari 2014; L1 adalah koding mengenai analisa tematik berdasarkan pedoman wawancara. Kode b25-32 merujuk pada kutipan wawancara yang terletak di baris 25 sampai 32 pada halaman refleksi dan analisa terlampir, sedangkan h12 adalah nomor halaman pada verbatim. 78

A. HASIL 1. Analisa Data Partisipan 1

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan 1 Keterangan Partisipan 1 Nama Sartika Jenis Kelamin Perempuan Usia 24 tahun Suku Banten Pendidikan Terakhir SMA Pekerjaan Service Advisor Menikah di Usia 22 tahun

2. Data Wawancara Partisipan 1

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1 No. Partisipan Waktu Wawancara Lokasi Wawancara 1. Partisipan 1 Hari Minggu, 30 Maret 2014 Pukul : 12.11-13.45 WIB Rumah Partisipan 2. Partisipan 1 Hari Selasa, 27 Mei 2014 Pukul : 17.55-18.36 WIB Rumah Partisipan 3. Partisipan 1 Hari Minggu, 15 Juni 2014 Pukul 15.21-16.04 WIB. Rumah Partisipan 4. Partisipan 1 Hari Senin 10 November 2014 Pukul 20.21-20.51 WIB. Rumah Partisipan 79

a. Partisipan 1

1 Hasil Observasi pada Wawancara I - Lokasi dan Waktu Wawancara : Rumah Partisipan pada hari Minggu, 30 Maret 2014 pukul 12.11-13.45 WIB. Rumah Sartika terletak di dalam sebuah gang yang memiliki jalan cukup besar dan banyak dilalui oleh kendaraan yaitu kendaran roda dua dan roda empat yaitu mobil. Jarak rumah partisipan dengan rumah peneliti tidaklah jauh, kurang lebih hanya berjarak kira-kira 500 meter. Rumah Sartika merupakan sebuah rumah sewa yang memiliki 1 ruang tamu tanpa sekat yang digabungkan dengan ruang TV. Rumah Sartika dilengkapi dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan sebuah dapur kecil yang terlihat dari ruang tamu. Rumah Sartika terdiri dari 4 bagian, yatu bagian teras depan, bagian ruang tamu, bagian kamar dan bagian belakang yang sekaligus berfungsi sebagai dapur dan sebuah kamar mandi. Di bagian teras depan ada dua buah kursi plastik berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya. Wawancara pertama dilakukan di dalam ruang tamu partisipan yang berukuran ± 4x3 meter. Ruang tamu yang didominasi oleh cat berwarna putih tersebut, dipenuhi oleh beberapa barang dan perabot di dalamnya. Pada sisi kiri dari pintu masuk ada 2 buah jendela yang cukup tinggi berukuran kira-kira 1 x 0.5 meter. Kemudian terdapat lemari 2 pintu dengan rak tv di tengahnya di sisi sebelah Selatan arah mata angin. Lemari 80 yang cukup besar tersebut berukuran kira-kira 4x3 meter, dimana pada lemari itu terdapat sebuah televisi, DVD, kemudian ada beberapa buku pada sisi kiri dan kanan lemari yang tersusun rapi. Di dalam ruang tamu juga ada sebuah kursi goyang yang cukup besar yang terbuat dari rotan sehingga hampir memenuhi ruang tamu. Di dalam ruang tamu juga terdapat sebuah meja kecil di antara 2 buah kursi tamu dari plastik berwarna biru yang menyandar ke dinding. Disamping kursi tamu tersebut, ada sebuah lorong kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar tidur. Partisipan kemudian duduk di atas kursi berwarna biru yang terbuat dari bahan plastik dengan kedua kaki yang disila di atasnya. Jarak duduk antara partisipan dan peneliti memiliki jarak sekitar 30 cm dengan posisi duduk saling menghadap. Sartika merupakan seorang wanita dewasa awal yang berkulit kuning langsat dan memiliki rambut hitam ikal sebahu. Sartika memiliki bentuk wajah yang bulat dan memiliki hidung yang mancung. Secara fisik, Sartika memiliki berat badan sekitar 70 kg dan tinggi sekitar 155 cm sehingga bentuk tubuhnya kelihatan sedikit gemuk. Saat wawancara dilakukan, partisipan terlihat mengenakan baju daster tanpa lengan yang terbuat dari satin berwarna biru muda sepanjang lutut dengan rambut diikat satu ke belakang membentuk sanggul. Awal wawancara, partisipan terlihat duduk tanpa bersandar di kursi yang didudukinya. Partisipan terlihat bersemangat menjawab beberapa pertanyaan umum seperti nama, usia, pada usia berapa menikah dan 81 sebagainya yang diajukan peneliti di awal wawancara. Partisipan juga terlihat beberapa kali tersenyum ketika ditanya tentang usia pacarannya bersama suaminya, Bang AN. Ketika membahas tentang asal mula perkenalannya dengan suami, partisipan terlihat beberapa kali tertawa dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Ketika ditanya mengenai topik seputar status ibu tiri dan keputusannya menikah dengan seorang duda, partisipan telihat sedikit kurang nyaman. Hal tersebut terlihat dari perilaku partisipan yang terlihat menggaruk-garuk kepalanya. Partisipan juga terkesan bosan dan sempat bertanya kepada peneliti tentang banyaknya pertanyaan yang akan diajukan. Seiring berjalannya waktu, partisipan terlihat semakin terbuka ketika bercerita mengenai keadaannya kepada peneliti. Partisipan juga terlihat beberapa kali tersenyum ketika membahas tentang anak tirinya, terutama ketika membahas mengenai kemampuan anak tirinya yang suka menulis dan menggambar. Partisipan sesekali menjawab pertanyaan dengan nada meninggi yang terdengar tegas ketika membahas mengenai respon anak tiri ketika pertama kali bertemu dengannya. Partisipan juga terlihat tertawa terbahak-bahak ketika menjawab beberapa pertanyaan tentang hubungannya dengan suami. Sesekali partisipan juga terlihat diam dan menjawab pertanyaan dengan terbata-bata sambil melayangkan pandangannya ke atas langit-langit ruang tamu. Pada menit keempat puluh, partisipan terlihat sedikit gelisah dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan posisi 82 duduk partisipan yang merasa tidak nyaman, dan bolak-balik memainkan ujung kukunya serta sesekali memandang jam dinding diatas pintu masuk. Proses wawancara terhenti ketika ada tamu partisipan yang datang kerumahnya. 2 Hasil Observasi pada Wawancara II - Lokasi dan waktu wawancara : Rumah Partisipan pada hari Selasa, 27 Mei 2014 pukul 17.55-18.36 WIB. Sore itu, partisipan terlihat sedang mengucir rambut anak tirinya dalam keadaan berdiri di depan pintu masuk. Ketika melihat peneliti datang menghampirinya, partisipan tersenyum dan menyuruh peneliti untuk masuk dan menunggunya di dalam ruang tamu. Saat itu, terlihat suami partisipan sedang membersihkan sepeda motornya didepan teras rumahnya. Setelah selesai mengucir rambut anak tirinya, partisipan memperbolehkan anak tirinya untuk membeli makanan ringan di warung dekat rumahnya. Partisipan kemudian langsung menyuruh peneliti untuk duduk di kursi, namun peneliti menolaknya karena saat itu partisipan mengambil posisi duduk di lantai. Akhirnya, peneliti dan partisipan duduk di lantai dan saling berhadapan. Jarak duduk antara peneliti dan kira-kira 45 cm dengan posisi saling berhadapan. Pada saat itu, partisipan memiliki posisi duduk yang tidak menyandar ke dinding dengan kaki kiri ditekuk ke atas dan kaki kanan dilipat ke dalam. 83 Sore itu partisipan kelihatan selesai mandi, dimana rambut partisipan yang terurai sebahu terlihat basah dan memakai polesan bedak yang sedikit tebal memenuhi wajahnya. Partisipan terlihat hanya menggunakan bedak di sore itu dan tidak terlihat penggunaan make-up yang mencolok pada wajahnya. Partisipan tampak menggunakan kaos berlengan pendek berwarna biru yang bergambar kucing. Partisipan mengenakan celana pendek selutut yang bermotif bunga dengan corak warna-warni. Partisipan tidak mengenakan perhiasan sehingga penampilannya tidak kelihatan mencolok saat itu. Saat sebelum wawancara, partisipan sempat bertanya kepada peneliti beberapa hal seputar perkuliahan peneliti. Kemudian, partisipan mempersilahkan peneliti untuk mewawancarainya. Di awal wawancara, partisipan menjawab dengan lancar dan semangat pertanyaan yang diajukan kepadanya. Partisipan terlihat sedikit tertawa ketika menjelaskan urutan saudara kandungnya. Ketika ditanya mengenai status ibu tiri, partisipan terlihat mulai menjawab dengan nada yang rendah dan mata menatap ke atas langit-langit tanpa melihat peneliti. Kemudian partisipan juga terlihat tertawa ketika menjelaskan pendapatnya mengenai status ibu tiri. Sesekali partisipan juga terlihat menyisir rambutnya yang basah dengan menggunakan jemari kanannya. Partisipan juga memberikan penekanan pada kata-kata yang berhubungan dengan penilaian lingkungan tentang status ibu tiri. 84 Pada wawancara kedua ini, terlihat kehadiran suami partisipan yang mondar-mandir memasuki ruang tamu. Hal ini sedikit mengganggu proses wawancara, karena partisipan sesekali menggoda suaminya di depan peneliti dan meminta pendapat suaminya mengenai topik wawancara yang diberikan oleh peneliti. Partisipan juga terlihat sesekali tertawa ketika menjawab pertanyaan mengenai adaptasi dalam menghadapi keluarga barunya. Partisipan juga terlihat beberapa kali tersenyum dan sangat bersemangat ketika menjawab pertanyaan mengenai penampilan dirinya dan kelebihan dirinya. Pada menit kelima puluhan, partisipan terlihat bingung ketika menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Partisipan terlihat menggaruk-garuk kepala, memandangi langit-langit ruang tamu dan mengambil posisi menyandar ke dinding sehingga sedikit menjauhi peneliti. Akhirnya, proses wawancara berakhir ketika adzan maghrib berkumandang. 3 Hasil Observasi pada Wawancara III - Lokasi dan waktu wawancara : Rumah Partisipan pada hari Minggu, 15 Juni 2014 pukul 15.21-16.04 WIB. Wawancara ketiga dilakukan di tempat yang sama yaitu di rumah partisipan. Wawancara berlangsung di teras depan rumah partisipan yang berukuran kira-kira 4 x 2 meter. Di teras depan rumah partisipan, terdapat 2 buah kursi plastik berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya. 85 Ketika wawancara, peneliti dan partisipan duduk di atas pagar semen yang didominasi cat bewarna orange. Jarak duduk antara peneliti dan partisipan kira-kira 45 cm dengan posisi saling menghadap. Partisipan menaikkan kaki kirinya di atas pagar semen dan mengambil posisi duduk tidak menyandar pada tiang kayu sambil condong ke depan mendekati peneliti. Saat wawancara ketiga, partisipan tampak menggunakan baju seragam bola berlengan pendek yang berwarna biru laut dengan kombinasi celana pendek di atas lutut. Rambutnya dikucir satu kebelakang membentuk sanggulan. Pada saat itu, partisipan kelihatan baru bangun tidur, dimana matanya kelihatan masih sembab. Partisipan tidak terlihat menggunakan make-up ataupun perhiasan pada saat itu. Menit-menit di awal wawancara, partisipan menatap peneliti sambil mengusap-usap hidungnya dengan gerakan memutar ke bawah. Wawancara sempat berhenti ketika partisipan mengeluarkan handphone dari saku celananya dan membalas sms di tengah sesi wawancara. Partisipan kemudian mempertahankan kontak mata ketika bercerita mengenai kondisi anak tirinya yang tunarungu. Partisipan sesekali tampak tersenyum dan menyentuh pundak peneliti ketika mendengar pertanyaan dari peneliti. Saat wawancara ketiga, partisipan terlihat bersemangat dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Partisipan sempat menundukkan pandangannya ketika bercerita mengenai dirinya yang tidak bisa menceritakan masalahnya kepada orang lain. Namun, setelah itu partisipan kelihatan terbuka kepada peneliti ketika menjelaskan perasaannya ketika 86 memendam masalah yang dihadapinya. Partisipan tampak merasa nyaman dengan peneliti. Hal tersebut ditunjukkan dengan kontak mata yang dipertahankan oleh partisipan dan juga sesekali menyentuh pundak peneliti ketika bercerita. Partisipan juga sempat terlihat merasa bosan ketika wawancara, hal tersebut terlihat dari gerak-geriknya yang menggaruk- garuk kepala, membenarkan posisi duduknya yang kelihatan tidak nyaman dan menjawab pertanyaan sambil menatap sembarang arah. Saat wawancara, beberapa hal yang mengganggu proses wawancara yaitu suara kendaraan yang lalu-lalang melewati gang rumah partisipan. Selain itu suara anak-anak yang bermain di depan rumah partisipan, membuat proses wawancara menjadi tidak kondusif. Namun, wawancara dapat berjalan dengan lancar sampai selesai. 4 Hasil Observasi pada Wawancara IV - Lokasi dan waktu wawancara : Rumah Partisipan pada hari Senin, 10 November 2014 pukul 20.21-20.51 WIB. Wawancara keempat dilakukan di tempat yang sama dengan wawancara sebelumnya yaitu di rumah partisipan. Wawancara berlangsung di teras depan rumah partisipan yang berukuran kira-kira 4 x 2 meter. Di teras depan rumah partisipan, terdapat 2 buah kursi plastik berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya.Saat itu, sepeda motor suami partisipan menutupi kursi tersebut, sehingga mengharuskan peneliti 87 dan partisipan duduk di atas pagar semen yang didominasi cat berwarna orange. Jarak duduk antara peneliti dan partisipan kira-kira 30 cm dengan posisi saling menghadap. Partisipan tampak mengenakan kaos lengan pendek bercorak loreng ala kulit macan dengan celana pendek di atas lutut. Rambutnya diikat satu ke belakang sehingga jerawat yang di dahinya kelihatan jelas. Pada awal wawancara, partisipan menanyakan beberapa hal tentang proses wawancara yang dilakukan sebelumnya. Pada wawancara keempat ini, partisipan terlihat beberapa kali tertawa terhadap jawaban yang diberikan. Partisipan sangat menikmati proses wawancara kali ini, hal ini terlihat dari perilaku partisipan yang memukul pundak peneliti ketika menjawab pertanyaan yang diberikan. Proses wawancara sempat terhenti ketika partisipan kedatangan tamu suaminya. Selama proses wawancara, partisipan terlihat mengsusap-usap dahinya yang berjerawat. Partisipan juga terlihat mempertahankan kontak mata yang cukup lama dengan peneliti ketika menjawab semua pertanyaan yang diberikan. Hal-hal yang mengganggu proses wawancara yaitu suara kendaraan yang lalu-lalang di depan rumah partisipan. Selain itu, suara teriakan anak- anak yang sedang bermain gundu di halaman depan rumahnya. Di pertengahan wawancara, anak tirinya juga sempat hadir dan mencolek- colek partisipan untuk mengetahui apa yang dilakukan partisipan dengan 88 peneliti. Kemudian, partisipan juga sempat kedatangan tamu sehingga memotong jawaban yang diberikannya. Secara keseluruhan, keempat proses wawancara dapat berjalan dengan baik. Pada wawancara pertama sampai wawancara keempat, partisipan terlihat mengalami peningkatan untuk membuka diri dengan peneliti. Partisipan pada awalnya cukup sulit untuk membuka dirinya dengan peneliti, sehingga peneliti harus membangun rapport sebelum wawancara dimulai. Setiap akan mewawancarai partisipan, peneliti berusaha untuk membangun rapport dengan partisipan dalam waktu yang cukup lama. Rapport yang dibangun dengan partisipan, dimulai dengan bercerita mengenai pembicaraan umum seperti pekerjaan, kegiatan di hari libur dan sebagainya.

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 1 1 Latar Belakang Kehidupan Ibu Tiri

Sartika adalah seorang wanita dewasa awal yang berusia 24 tahun. Sartika adalah anak kelima dari 7 bersaudara. Saat ini, keenam saudara kandung Sartika telah menikah. Ayahnya seorang pegawai di salah satu instansi swasta sedangkan ibunya adalah mantan seorang pengusaha warung makan. Ibunya pernah membuka warung makan di daerah Krakatau, Medan. Namun, ketika tempatnya berjualan direnovasi menjadi Ruko, ibu Sartika berhenti berjualan dan lebih memilih untuk mengurus cucu pertamanya, Azmi. Saat ini, Sartika berdomisili di Mabar kecamatan Medan Deli, Medan bersama dengan suami dan anak tunggal dari 89 suaminya. Rumah Sartika berdekatan dengan rumah orang tuanya yang berjarak kira-kira 500 meter. Pendidikan terakhir Sartika adalah SMA. Sartika mengambil Sekolah Menengah Kejuruan SMK bagian Sekretaris di SMK Al-Fatah, Medan. Sartika lulus SMK pada tahun 2008. Setelah lulus SMA, Sartika menganggur selama 2 tahun dan membantu ibunya berjualan di warung makan milik ibunya. Sartika tidak berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena dia merasa lelah untuk bersekolah. Untuk itu, Sartika lebih memilih membantu ibunya berjualan di warung makan sampai ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Ketika membantu ibunya berjualan di warung makan, Sartika bertemu dengan salah satu langganan tetap ibunya, bang AN. Pertemuan antara Sartika dan Bang AN berawal ketika Bang AN sering makan siang di warung makan ibunya Sartika. Jarak antara warung makan ibunya Sartika dan kantor Bang AN yang dekat, membuat mereka sering bertemu dan berkenalan satu sama lain. Berikut penuturan partisipan: “Enggak. Mamak kakak jualannya di Krakatau, dia kan kerjanya di Krakatau dekat jualan mamak kakak. Dari situ.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b158-160h8 Perkenalan Sartika dengan Bang AN menjadi semakin dekat, ketika bang AN meminta tolong kepada temannya untuk mendapatkan nomor telepon Sartika. Setelah mendapatkan nomor telepon Sartika, Bang AN 90 pun mulai menjalin komunikasi dengan Sartika melalui telepon dan pesan singkat. Berikut penuturan partisipan: “Dari temen sih sebenernya. Kemaren kakak kan bantu-bantu mamak gitu kan, jualan. Pas disitu deket-deket sama kerjaan dia gitu kan . Itu bukan dia yang mau minta nomor telfon gitu kan? Kawannya tertawa. Hem..dari situlah telfon-telfonan, gitu kan. Itulah ngajak ketemuan, langsung ketemuannya di rumah. Itulah, dari situlah perkenalannya sampek seterus- seterusnya.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb57-66h4 Setelah kurang lebih sebulan merasa cukup kenal satu sama lain, Sartika kemudian dikenalkan dengan adiknya bang AN. Dari perkenalan tersebut, Sartika kemudian ditawari pekerjaan oleh adiknya bang AN. Akhirnya sampai saat ini, Sartika bekerja di salah satu bengkel mobil terbesar di kota Medan selama tiga tahun. “Tamat SMA, kemaren nganggur kan, 2 tahun kan? Hem..terus ada adeknya suami kakak ngajak inilah..ngajak kerja. Yaudah, disitulah kerjanya gitu loo. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA2b23-26h2 Perbedaan usia antara Sartika dan Bang AN yaitu 9 tahun. Menurut Sartika, usia tidak menentukan pemikiran seseorang. Sartika tidak mempermasalahkan perbedaan usia antara dirinya dan Bang AN. Sartika menjelaskan, terkadang usia yang lebih tua dari dirinya masih memiliki pemikiran seperti anak-anak dan sebaliknya terkadang usia yang lebih muda dari dirinya, memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Namun, Sartika menjelaskan bahwa dirinya lebih suka dituntun atau diarahkan oleh seorang lelaki yang memiliki usia lebih tua darinya. Oleh karena itu, 91 perbedaan usia antara dirinya dan bang AN, bukan menjadi penghalang untuk berkenalan. “Sembilan tahun. Dia tahun ’81, sekarang udah tiga puluh...tiga lima, apa tiga empat ya. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb280-282h14 “Kakak kan istilahnya kan lebih muda dari dia gitu kan? Kakak lebih seneng dikasih pengarahan gitu loh. Dikasih pengarahan sama orang yang lebih tua..istilahnya..pacaran kami ya..istilahnya..gimana ya..nyaman dalam arti…nyambunglah istilahnya gitu ya.” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b389-396h19 Perkenalan yang dimulai dari media komunikasi telepon, mengantarkan Sartika dan Bang AN bertemu di rumah Sartika untuk hubungan yang lebih lanjut. Ketika di rumah Sartika, Bang AN langsung menyatakan isi hatinya kepada Sartika. Sartika menyatakan bahwa perkenalannya dengan Bang AN terbilang cukup singkat. Mereka hanya menjalani masa perkenalan selama sebulan dan kemudian memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran. Singkatnya masa perkenalan tersebut, dikarenakan status duda yang dimiliki oleh bang AN. Sebelumnya, bang AN sudah pernah menikah, namun istrinya meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Oleh karena itu, bang AN memiliki alasan untuk menjalin hubungan dekat dengan Sartika. “Yes..sebelumnya sih sudah tau. Diutarakan dialah, bahwasanya dia udah gak lajang lagi.. gitu.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb93-95h5 92 “Oo..”pedekatenya”? sebenernya sih cepat. Telfon-telfonan, ngajak ketemuannya di rumah. Ya..disitulah dia langsung ngatakan gimana gitu..tertawa ke kakak. Tertawa dari situ sih. Pedekatenya ya gak lama sih. Namanya kan dia sudah pernah..istilahnya kan sudah pernah “menikah” gitu kan? Hem..jadi ya langsung gitu.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb71-78h4-5 Sartika menyatakan bahwa dari awal perkenalan, dirinya sudah mengetahui bahwa Bang AN adalah seorang duda. Pada awalnya, ketika mendengar pengakuan dari Bang AN mengenai status duda yang dimilikinya, Sartika tidak merasa terkejut dengan pengakuan tersebut. Perasaan nyaman yang dimiliki Sartika ketika berkomunikasi dengan Bang AN, membuat Sartika tidak mempermasalahkan status duda yang dimiliki oleh Bang AN. Sartika menyatakan bahwa status sebagai duda atau lajang, tidak mempengaruhi dirinya dalam memilih pasangan hidup. Menurut Sartika seorang duda atau lajang hanya ditentukan dari sifat yang dimilikinya, bukan dari statusnya sebagai duda atau lajang. Berikut penuturan partisipan: “Kalok masalah terkejut sih, istilahnya yaa..eem..enggak sih. Karena kan kalok seandainya perkenalan itu,hem..Istilahnya ada kenyamanan sama kita atau dia, kalok misalnya masalah status sih gak masalah. Istilahnya “kenyamanan” seseorang itulah.. Tertawa banyak lagi?” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3cb110-116h6 “ Kalok seandainya mau dia duda ataupun lajang, istilahnya bagi kakak sama aja. Yang penting sayang sama kita, dan kita pun ngerasa nyaman sama dia gitu. Walaupun status dia duda atau lajang pun gak masalah gitu menurut kakak seperti itu. Karena kan setiap orang kan berbeda-beda sifatnya jadi menurut kakak sih seperti itu. Diam. Kalok menurut kakak sih, duda ya..istilahnya sama aja sih sebenarnya, cuma beda status istilahnya sama lajang, sama duda gitu lo.” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb258-272h13 93 Pada masa SMA, Sartika tidak pernah menjalin hubungan pacaran dengan seorang pria yang berstatus duda. Sartika mengaku, bahwa dia tidak pernah memiliki pandangan yang negatif terhadap status duda. Setelah tamat SMA, Sartika sempat menjalin hubungan pacaran dengan pria yang masih lajang. Namun, hubungan asmaranya tersebut tidak bertahan lama. Sartika menjelaskan berakhirnya hubungan asmara tersebut, dikarenakan ketidaknyamanan Sartika dengan sifat pria lajang tersebut. Oleh karena itu dalam memilih pasangan hidup, Sartika lebih mementingkan kenyamanan di dalam hubungan pacaran yang dijalaninya. Menurutnya, status duda bukan menjadi masalah apabila seorang duda tersebut sudah membuatnya merasa nyaman dan menyayangi dirinya. “Kalok pas masih SMA sih, gak ada. Karena kan waktu pacaran kakak gak pernah sama..sama yang duda. Itulah pas waktu tamat sekolah, kakak pernah juga sih pacaran..gak sih gak sama duda, sama anak lajang juga, ya..gak bertahan lama gitu kan? Dia yang lebih tua, tapi kok merasa dia kok bukan jodoh aku ya? Itulah mungkin, karena kakak milihnya kok udah seneng sama orang, dan nyaman sama seseorang walaupun dia status dia itu duda atau apa, kalok untuk pikiran duda sama orang-orang sekitar kita gitu kan, kita sih..kakak kan gak pernah..gak pernah..gak pernah apa..istilahnya.mendengarlah istilah duda itu seperti apa. Yang penting kakak kan kalok misalnya pacaran, nyaman, sama istilahnya seneng. Kalok seandainya mau dia duda ataupun lajang, istilahnya bagi kakak sama aja. Yang penting sayang sama kita, dan kita pun ngerasa nyaman sama dia gitu. Walaupun status dia duda atau lajang pun gak masalah gitu menurut kakak seperti itu. Karena kan setiap orang kan berbeda-beda sifatnya jadi menurut kakak sih seperti itu. Diam” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb238-267h12-13 Sartika menyatakan bahwa pada awal perkenalan, bang AN telah memberitahu bahwa dirinya telah memiliki seorang anak perempuan yang 94 berumur 6 tahun. Bang AN memberitahukan anaknya kepada Sartika melalui foto di ponselnya. Namun pada saat itu, Sartika tidak mengetahui bahwa anak suaminya memiliki gangguan pendengaran dan tidak bisa bicara. “Kan terkadang kan duda ada yang belom punya anak, ada yang udah punya anak gitu kan? Tapi kalok dia waktu pas perkenalan sama kakak, dia udah nunjukin foto Cindy gitu kan? Ini anak saya, katanya. Pas waktu pertama kali itu. Tapi, pas waktu apa..kakak belom tau kalok dia itu gak bisa ngomong gitu, pas awalnya. Jadi kan gak mungkin kakak tolak kan gitu kan?” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb272-282h13-14 Sartika sempat merasa terkejut ketika dirinya sedang berteleponan dengan bang AN, dia mendengar suara yang tidak jelas dari seorang anak perempuan. Kemudian Sartika bertanya kepada bang AN mengenai suara tersebut. Bang AN kemudian langsung menjelaskan asal suara tersebut adalah suara anaknya yang mengalami tunarungu sehingga tidak bisa bicara dengan jelas. “Pas waktu dia..dia gak bisa ngomong, itulah pas..kakak sama suami teleponan gitu kan, hem.. ada denger suara “haa..hoo..he..hee..”, jadi kakak bilang, bang itu siapa? Itu anak abang. Oo..gitu ya bang, oo..yaudahlah ya kan?” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb304-310h15 Seminggu setelah melihat foto Cindy, Sartika kemudian diajak bang AN untuk menemui kedua orang tuanya. Genap berpacaran setengah bulan, Sartika dikenalkan kepada orang tua bang AN. Dengan ajakan bang AN tersebut, Sartika merasa bahwa bang AN tidak ingin bermain-main 95 lagi dalam menjalani hubungan pacaran, karena status duda yang dimilikinya. “Setengah bulan lah. Setengah bulan baru inilah.. ke rumah mamaknya kan. Kenal-kenalan tertawa. Mungkin karena status dia..mungkin ya..udah gak, istilahnya udah gak lajang lagi gitu kan? Jadi mungkin dia mau serius, gak mau neko- neko lagi.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb168-173h8-9 Saat dibawa ke rumah orang tua bang AN, Sartika juga dikenalkan dengan anak perempuannya yang tunarungu. Nama panggilan anak bang AN adalah Cindy yang saat itu berusia sekitar enam jalan tujuh tahun. “Cindy Ramadhani Diam. W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb135h7 “Iyalah..eh..iyalah..eh..enam tah tujuh tahun gitu lah. Hem.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014L2Bb185-186h9 Awal berkenalan dengan Cindy, Sartika mengaku bahwa ia tidak mendapat respon apapun dari Cindy. Menurut Sartika, respon biasa saja yang diberikan oleh Cindy, dikarenakan Cindy sebelumnya tidak terlalu mengenal sosok seorang ibu. Ibu kandung Cindy telah meninggal sejak ia berusia 2 tahun, sehingga Cindy tidak memberikan reaksi apapun ketika ayahnya mengenalkan Sartika sebagai calon ibu tirinya. Setelah ibunya meninggal, Cindy diasuh oleh nenek dari ayahnya. Oleh karena itu, Cindy hanya mengenal sosok seorang nenek sebagai pengasuhnya. “Kalok respon sih, ya dia..ya biasa-biasa aja gitu kan. Karena dia mungkin pas waktu mamaknya meninggal 2 tahun kan, dia belum 96 kenal mamaknya kali kan? Mungkin pas yaudah pacaran itu kan, kami samaa..bapaknya. Ya..istilahnya ya..biasa aja sih nada meninggi, gak ada bilang apa-apa, karena kan dia kan..istilahnya gak bisa bicara gitu kan? dengan nada melemah ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb189-197h9-10 “Iyalah. Masih tinggal sama neneknya dia.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b179h9 Sartika juga menyatakan bahwa respon Cindy yang biasa tersebut dikarenakan kondisi Cindy yang mengalami tunarungu sejak berumur dua tahun, sehingga tidak banyak informasi yang didapatkannya tentang sosok seorang ibu. Sartika menjelaskan, ketika berumur setahun Cindy mengalami panas yang tinggi, sehingga dirinya mengalami kejang step yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada indera pendengarannya. “Dia katanya sih, kata bapaknya kenak step, step dari bayi. Tah umur setahun, tah dua tahun mungkin panasnya tinggi kan? Bisa juga kayak gitu. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b200-203h10 Menurut Sartika, Cindy mengalami keterbatasan pendengaran hard of hearing. Hal tersebut dibuktikan ketika Sartika melihat respon terkejut dari Cindy ketika ia mendengar ledakan ban yang cukup besar dari truk di tengah jalan. Namun ketika seseorang berbicara padanya, Cindy tidak mampu mendengar pembicaraan lawan bicaranya. Oleh karena itu, Sartika menyimpulkan bahwa Cindy memiliki keterbatasan pendengaran, yang samar dan jauh. “Kalok..kalok kita ngomong-ngomong sama dia itu, kalok dipanggil- panggil tu, dia gak denger, tapi kalok kekuatannya tinggi kayak ban pecah yang kemaren pecah ban apa itu, truk itu dia denger. Terkejut. 97 Kedengarannya ini..istilahnya ada volumenya..kedengara suaranya apa..haa..keterbatasannya. Kalok suara-suara kita gini, dia gak bisa, karena pelan. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb206-214h10-11 Setelah dikenalkan kepada orang tua bang AN, kemudian giliran Sartika mengenalkan bang AN kepada kedua orang tuanya. Ketika Sartika mengenalkan bang AN kepada kedua orang tuanya, respon yang diberikan oleh orang tua Sartika cukup baik. Hal tersebut dikarenakan Sartika pada awalnya juga sudah menceritakan kepada kedua orang tuanya mengenai kondisi bang AN sebagai seorang duda yang memiliki anak. Selain itu, orang tua Sartika juga memberikan respon yang positif ketika Sartika mengenalkan Cindy kepada mereka. Berikut penuturan partisipan: “Responnya sih ya welcome aja sih yakan. Karena kan dari pertama kali kan kakak jugak udah bilang jugak sama mamak kakak, dia tuh udah gak lajang lagi, udah punya anak satu. Terus dibilang sama mamak kakak, yaudah, tunjukkanlah cowokmu itu..gini..ginilah..gitu. Yakan dari pertama harus ngomong dululah bahwasanya anak ini istilahnya gak ini lagi..gak lajang lagi gitu kan? Kalok dari pertama hem..awak jujur kan, seterusnya kan enak. Gak ada yang ditutup-tutupi tertawa. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3cb257-269h13 “Welcome, welcome aja..iya. Toh Cindy bisa diaturlah istilahnya gitu kan. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LDb355-356h17 Setelah menjalin hubungan pacaran selama dua tahun, akhirnya Sartika dan bang AN memutuskan untuk bertunangan. Kemudian, setelah bertunangan selama setahun, keduanya memutuskan untuk menikah pada tahun 2012. 98 “Dua tahunlah. Dua tahun inikan pacaran, setahun tunangan. Ya gitulah. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb48-50h3 2 Kehidupan Ibu Tiri Setelah Menikah Sartika menjalani perannya sebagai ibu tiri dari Cindy setelah menikah dengan bang AN. Dalam menjalani perannya sebagai ibu tiri dari Cindy yang mengalami tunarungu dan menghadapi keluarga barunya, dirinya mengaku membutuhkan adaptasi khusus. Adapun adaptasi tersebut misalnya dapat menyesuaikan diri dengan mengasuh anak tirinya yang tunarungu, serta dapat mengatur waktu antara jam kerja dan mengurus rumah tangganya. Dikarenakan Sartika belum pernah mengasuh seorang anak, maka Sartika mengaku membutuhkan adaptasi untuk mengurus anak. Terlebih dengan kondisi Cindy yang tunarungu. Terkadang Sartika juga bertanya kepada saudara ataupun ibunya mengenai cara pengasuhan anak. “He’eh. Kalok untuk kakak sendiri kaaan..biasanya kakak liat dari orang-orang dulu lah kan, orang-orang gimana cara ngurus anak, ya tanya-tanya juga sih cara ngurus anak itu gimana. Masih tanya-tanya juga sih cara ngurus anak itu gimana makanya tanya sama saudara, sama tetangga, gitu. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b91-99h5-6 Sejak awal berkenalan dengan Cindy, apabila Sartika tidak memahami keinginan ataupun maksud pembicaraan Cindy, maka Sartika akan menanyakan hal tersebut kepada suaminya. Namun, apabila suaminya juga 99 tidak mengetahui maksud pembicaraan Cindy, maka suaminya hanya meng-iya-kan pembicaraannya agar Cindy merasa tenang. Selain itu, dengan adanya keterbatasan komunikasi dengan Cindy, membuat Sartika membutuhkan waktu untuk dapat memahami segala bahasa isyarat dan permintaan Cindy. Apabila meminta sesuatu hal, Cindy akan menyampaikan keinginannya melalui bahasa isyarat yang diperagakannya. Sartika juga mengatakan bahwa pada umur 3 tahun, Cindy telah diajarkan oleh ayahnya bahasa isyarat dengan tujuan agar orang lain dapat memahami keinginannya. Bahasa isyarat yang diajarkan oleh ayahnya adalah bahasa sehari-hari yang mudah dipahami orang lain yang diperagakan dengan gerakan tertentu. “He’eh. Iya qi, karena kan sebelumnya jugak udah diajarin sama ayahnya, ngomong ini seperti apa, ngomong yang kayak gini seperti apa, gitu lo. Jadi kan kita pahamnya ya gak lama gitu lo. Karena kan diajarin jugak gitu lo sama ayahnya makanya cepat adaptasinya ke Cindy. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b236-243h14 “Kalok untuk supaya paham, ya..kakak ya..nanyak sama ayahnya lah dulu..gitu kan? Dia minta apa, lama-kelamaan kan kita sendiri kan ngerti, tapi kalok seandainya kita gak mengerti sama sekali apa yang diomongi dia, ya..kita bilang, iya..iya aja. Biar dia..udah selesai gitulah istilahnya. Hem.. gak nuntut lagi..gitu.Ya..ya..kalok seandainya untuk bahasa dia, ya..lama-kelamaan ya sedikit tau lah. Terkadang pun ayahnya sendiri, apa yang dia mau, dia jugak gak tau. Ha..kita iya-iya kan aja. Biar dia seneng. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b356-370h17 Selama menjalani perannya sebagai ibu tiri Cindy, Sartika mengaku bahwa ia dan suaminya belum pernah melakukan pemeriksaan medis 100 terkait dengan ketunarunguan yang diderita oleh Cindy. Namun melihat kondisi Cindy yang tunarungu, Sartika dan suaminya memiliki keinginan untuk memeriksakan ketunarunguan Cindy dan ingin membelikannya alat bantu dengar hearing of aids. Menurut Sartika, jika Cindy sudah memiliki alat bantu pendengaran, maka akan memudahkan dan membantu Cindy dalam mendengar informasi di lingkungannya. “Iya. Ya..sebenernya sih kami, ini juga sih ada..mau belik alat pendengarnya dia. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b217-218h11 Saat ini, Cindy tidak bersekolah di Sekolah Luar Biasa SLB layaknya anak berkebutuhan khusus lainnya. Alasan Sartika untuk tidak menyekolahkan Cindy di SLB, karena jarak sekolah yang jauh dari rumahnya. Selain itu, Sartika juga memiliki kekhawatiran apabila Cindy disekolahkan di SLB, maka ia tidak bisa memantau Cindy karena jarak SLB yang jauh dari rumah. Dikarenakan kekhawatirannya tersebut, maka Sartika dan suaminya saat ini menunda untuk menyekolahkan Cindy di SLB. Namun sampai saat ini, Sartika mengaku tetap memilki keinginan untuk menyekolahkan Cindy agar Cindy bisa mendapatkan pendidikan layaknya anak berkebutuhan khusus lainnya. Sartika juga memiliki niat untuk membelikan alat bantu dengar hearing of aids sebelum Cindy memasuki dunia sekolah. “Ya..ya..pengen kali pun. Ya, karena itulah..kakak kan kerja, siapa yang ngurus dia. Mamak kakak kan, jaga Azmi keponakan Partisipan gitu lah istilahnya kan. Sebenernya mau juga disekolahkan, ya tapi..disekolahkan SLB itu kan jauh tempatnya gitu kan. Yaudahlah 101 nantik-nantik ajalah kan gitu. Kalok untuk pengen disekolahkan, ya pengen…pengen kali gitulah kan. Apalagi dia punya potensi gitu kan. Tapi nantilah, tunggu ada mau belik alat pendengaran dia. Manatau dia ada alat pendengarnya dia bisa ngomong kan, ya Alhamdulillah kan gitu. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b429-442h21 Sartika juga pernah diceritakan oleh suaminya ketika masa pacaran, bahwa Cindy pernah disekolahkan di salah satu Sekolah Dasar formal yang ada di daerah Polonia, Medan. Dikarenakan neneknya adalah penjaga Sekolah Dasar tersebut, maka neneknya mencoba mendaftarkan Cindy untuk memasuki dunia sekolah. Sekolah tersebut berada tepat di depan rumah neneknya, sehingga memudahan neneknya untuk memantau kegiatan Cindy ketika di sekolah. Namun setelah didaftarkan, Cindy hanya terdaftar sebagai siswa selama dua hari. Hal tersebut dikarenakan, Cindy selalu membuat alasan sakit ketika dibangunkan untuk pergi ke sekolah. Akhirnya karena perilaku Cindy tersebut, neneknya memutuskan untuk tidak menyekolahkan Cindy lagi dan membiarkannya tumbuh di lingkungan rumah saja. Akhirnya, sampai saat ini, Cindy hanya menghabiskan waktunya di rumah saja. “Kemaren, pernahlah sekolah disana dua hari, sekolah-sekolah biasa di Polonia gitu kan. Alesan dia kalok misalkan dibangunkan pagi neneknya, alesannya dia sakit gitu. Dia pande..keesokan harinya gitu juga. Terakher neneknya mungkin males yakan, udahlah gak usah sekolah lagi. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b443-449h21-22 “SD. Depan rumah neneknya kan sekolah, gitu kan. Neneknya yang jaga sekolah. Maksudnya, yaudahlah sekolahkan aja, gitu. Dicoba dulu, cuman dua ari doang. Iya, dua hari doang Itu purak-purak saket tertawa. Udahlah..neneknya anggapannya mungkin saket kan, 102 eh..keesokan harinya gitu juga, yaudahlah gak usah disekolahkan lagi. Padahal udah dibelikkan bajunya, dua pasang-dua pasang itu qi sama bapaknya. Pas waktu masih pacaranlah kami. Itulah. Bapaknya yang nyeritain. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b452-463h22 Selama kurang lebih 2 tahun mengasuh Cindy, Sartika merasa bahwa anak tirinya bukanlah anak yang rewel dan sulit diatur, sehingga ia mudah mengasuh Cindy yang tunarungu tersebut. Menurut Sartika, meskipun Cindy adalah seorang anak yang mengalami tunarungu, Cindy tetap mudah untuk dinasehati apabila ada perilakunya yang tidak baik. Cindy akan memahami maksud dari bahasa isyarat Sartika yang ditujukan kepadanya. Meskipun mengalami hambatan dalam berkomunikasi, Sartika mengaku bahwa ia akan tetap berusaha untuk memahami maksud Cindy dengan bahasa isyarat yang diperagakannya. “Enggak, dia gak rewel” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b104h6 “Enggak. Enak gitu ngurusnya.” W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014b287h14 “Gak ada yang gimana-gimana. Ya..paling kalok mainannya beserakan, itu paling disuruh kumpul-kumpulin itu kan, ya..dia mau. Istilahnya ya..gak inilah dianya..enggak bandel lah kayak gitu. Tapi ya kalok bandel ya dinasehatin juga sih. Hem..bisa, bisa dinasehatinlah gitu. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b134-142h7 Walaupun Cindy bukan anak yang rewel, tetapi Cindy akan merajuk ketika ada permintaannya yang tidak dipenuhi. Namun menurut Sartika, 103 sebenarnya Cindy bukanlah anak yang banyak meminta suatu hal kepada orang tuanya. Hanya saja, apabila ia menginginkan sesuatu, maka orang tuanya harus memenuhi keinginannya itu. Ketika orang tuanya memperagakan bahasa isyarat “tunggu”, maka Cindy akan tetap menagih keinginannya tersebut. Namun, ketika orang tuanya langsung berkata “tidak”, maka Cindy tidak akan menagih keinginannya tersebut. “Kalok untuk rewel sih enggak. Tapi kalok seandainya dia minta sesuatu, Sampai besok-besoknya gak dikasih, dia nagih sama kita gitu kan. Kalok gak dikasih, pada hari itu juga, atau besoknya, dia merajok gitu lo. Kalok merajok, ya..kita harus inilah bujuk-bujuk dia biar supaya itulah..terakhir dibelik jugak mainannya gitu. Kalok udah dibelik, yaudah, gak rajok lagi. Kalok sampek rewel-rewel gimana gitu enggak. Enak ngurusnya. Kalok ada keinginan sesuatu dia yang mau itu, terus gak dibelik gitu, itulah dia merajok. Ya harus dibelik. Kalok udah dibelik, yaudah gitu. Gak ini lagi dia, gak rewel lagi. Termasuk ini jugaklah anaknya..bagus juga kan. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014b408-423h20 “Iya. Kalok gak, tiap hari selalu mintak itu qi. Entah dia mintak entah kaset, entah apa segala macem, pasti harus. Kalok seandainya kita udah pulang kerja gitu kan, ya kemauannya itu ya harus diturutin, dibelik gitu kan? Kalok seandainya gak dibelik, tunggu, tunggu pakek bahasa isyarat kami bilang gitu kan, besoknya dia mintak itu jugak. Kalok seandainya gak dibelik, ya harus dibelik. Tapi, ya kalok udah dibelik, yaudah gak mintak lagi, gitu. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LaCb511-522h28-29 “Iyalah qi. Kalok kita bilang tanda tunggu, pasti dimintak dia lagi tuh, tapi kalok kita bilang enggak, ya gak dimintaknya. Tapi, bapaknya sering bilang tunggu, yaudah dimintaknyalah. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LaCb525-529h29 Adaptasi lainnya yang dilakukan Sartika terhadap keluarga barunya yaitu, dapat membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangganya. Selama menjadi ibu tiri, Sartika merasa bahwa ia tidak 104 memiliki banyak waktu untuk mengasuh Cindy. Hal tersebut dikarenakan dirinya menghabiskan waktu di tempat kerja dan hanya memiliki waktu bersama dengan keluarganya ketika malam hari dan hari libur. Namun, Sartika berusaha membagi waktunya sebaik mungkin untuk mengurus Cindy dan segala urusan rumah tangganya. Salah satu cara Sartika untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya, yaitu dengan mengajak Cindy pergi berenang, ataupun pergi ke supermarket untuk belanja bulanan serta membelikan sesuatu yang diinginkan oleh Cindy. Hal tersebut dilakukannya agar dirinya tetap memiliki waktu bersama keluarga dan membuat anaknya agar tidak jenuh ketika selama seminggu ditinggal di rumah. Jika kondisi keuangan tidak memadai untuk mengajak anaknya liburan, maka Sartika akan mengajak anaknya pergi kerumah kakak iparnya untuk berkumpul dengan keluarga suaminya di daerah Polonia, Medan. “Kalok untuk liburan sih..ya kadang ke kolam berenang gitu kan. Kadang..itulah ke supermarket. Ya belik kebutuhan sehari-hari sekalian ngajak anak kan? Tah dia tah belik apa-apa gitu kan? Kadang ya kerumah kakaknya bang AN, ngumpul-ngumpul sekeluarga, kan gitu kan enak juga kan. Yang penting bareng anak. Jadi, anak pun gak jenuh di rumaaah..aja yakan? ” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b391-399h19 Menurutnya, pekerjaan bukanlah halangan untuk tetap mengasuh Cindy di rumah. Ketika meninggalkan Cindy pergi bekerja, Sartika menitipkan Cindy kepada ibunya yang sekarang tinggal di dekat rumahnya. Sebenarnya, Sartika tidak percaya ketika meninggalkan Cindy di rumah. Sartika mengaku akan merasa was-was dan cemas ketika 105 meninggalkan Cindy yang akan beranjak menjadi gadis remaja di rumah sendirian. Selain itu, Sartika juga meragukan lingkungan tempat tinggalnya yang merupakan daerah yang masih rawan terhadap perilaku kriminal. Namun, rasa cemasnya dapat teratasi karena Sartika akan menelepon ibunya untuk mengetahui keadaan Cindy ketika ditinggal di rumah. Meskipun Sartika bekerja seharian, Sartika tetap mengontrol keadaan Cindy di rumah agar dapat mengetahui segala tingkah laku Cindy di rumah. Walaupun bukan anak kandung yang lahir dari rahimnya sendiri, sebagai orang tua yang mengasuh Cindy, Sartika juga mengaku bahwa ia akan merasa was-was dan cemas ketika meninggalkan Cindy pergi bekerja. “Kalok untuk di rumah sih, kakak sebenernya gak percaya gitu. Karena kan istilahnya dia udah..udah agak gadis gitu kan? Tapi kan ada orang tua kakak yang jaganya, agak lumayan reda lah gitu kan pikirannya. Kan ada yang ngawasin, jadi enggak..gak begitu apa..was-was gitulah istilahnya. Ya..tapi kalok untuk kecemasan pasti ada,karena orang tua kan? Ya..walaupun bukan dari rahim kita gitu kan? Udah anggap anak sendirilah gitu. Kalok untuk..ya.. was-was pasti ada namanya jugak orang tua kan? Dia lagi cewek, karena udah..udah..istilahnya udah gadis gitu kan? Apalagi lingkungan sini agak rawan, tapi kan udah ada yang jagain. Tapi kalok gak ada yang jaga, ya dikunci rumahnya. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b212-232h11-12 “Oh..hem nelpon mamak kakak dan nanyakin keadaan Cindy gitulah. Udah makan belom, udah mandi belom, jadi walaupun kerja kakak t etap ngontrol dialah gitu…”. W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b56-59h4 Semenjak menjadi ibu tiri Cindy, Sartika mengaku belum pernah mendapat pandangan ataupun penilaian negatif dari orang-orang terdekat 106 dan tetangga sekitarnya mengenai statusnya sebagai ibu tiri. Namun, pada suatu hari ketika suami dan Cindy menjemputnya sepulang kerja, teman- teman sekantornya bertanya mengenai anak perempuan yang dibawa oleh suaminya. Mereka merasa heran dengan kehadiran anak perempuan yang diperkirakan berusia tujuh tahun tersebut. Teman-temannya berkata bahwa usia pernikahan Sartika belum lama, namun sudah memiliki seorang anak perempuan. Lalu, Sartika ditanyai oleh teman-temannya mengenai suami, statusnya sebagai ibu tiri dan keberadaan anak perempuan tersebut. Kemudian, Sartika langsung menjelaskan kepada teman-temannya mengenai statusnya sebagai ibu tiri, keberadaan Cindy dan penyebab kepergian istri pertama suaminya. Sartika sempat mengira bahwa teman- temannya akan memberikan respon yang negatif terkait dengan penjelasan yang diberikannya. Namun setelah mendengar penjelasan Sartika, teman- temannya hanya memberikan respon yang biasa saja terhadap penjelasan tersebut dan memberikan sedikit nasehat untuk menjaga Cindy. Mendengar tanggapan dari teman-temannya, Sartika merasa cukup senang dan tidak mempermasalahkan pertanyaan yang diajukan oleh teman- temannya. “Gak ada. Gak ada, gak ada. Memang sama sekali gak pernah gitu kan? Syukurnya ya…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LA4b158-160h10 “Kalok untuk masyarakat setempat sih, ya..belom pernah ya…enjoy aja sih... ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b38-40h3 107 “Kalok untuk teman sih, pernah juga dia nanyak, dia nanyak kan? Hem.. kamu belom punya anak? Gitu. Itu siapa kamu? Anak saya. Hem.. anak saya. Kakak bilang gitu kan. Oh..kamu dapat duda yah? Iyah. Jadi, ibunya kemana? Kata temen-temen kakak gitu. Udah meninggal, saya..kakak bilang gitu kan? Yaudah sih, pendapat temen- temennya ya seperti itu aja sih biasa aja sih. Gak ada bilang, kau gak ini, sama..sama anak tirimu itu? Enggak sih. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b38-40h3 Sartika juga mengatakan seandainya ada penilaian negatif yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri, maka Sartika tidak terlalu mempermasalahkan penilaian negatif tersebut. Sampai saat ini Sartika mengaku belum pernah menerima secara langsung penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri. Meskipun Sartika belum pernah mendapatkan penilaian secara langsung mengenai statusnya sebagai ibu tiri, penilaian umum masyarakat tentang ibu tiri yang kejam, secara tidak langsung juga pernah mempengaruhi pemikiran Sartika. Untuk mengatasi penilaian negatif masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, Sartika berusaha memiliki pandangan yang positif mengenai status ibu tiri. Sartika juga mengaku bahwa dia tidak akan memperdulikan perkataan orang lain mengenai status ibu tiri yang dimilikinya. “Iya..iya..biasa aja. Kalok misalkan ada penilaian orang yang gak baik, yang negatif ya enjoy-enjoy aja gitu kan biar aja. Gak open kali lah.. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b65-68h4 “Belomlah dengan penekanan. Kalok gak langsung, ya itulah karena penilaian orang-orang sama ibu tiri yang kejam ya awalnya pengaruh jugak sama pikiran kakaklah..” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b72-75h4 “Positif. Iya, positif.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014347h17 108 Menurut Sartika, ibu tiri bukanlah seorang ibu yang kejam terhadap anak dari suaminya. Sartika menjelaskan bahwa kejamnya seorang ibu, baik itu ibu tiri ataupun ibu kandung, tergantung dari sifat dan perilaku anaknya. Selain itu, menurutnya perilaku kejam seorang ibu tergantung dari individualnya ketika menghadapi anak yang diasuhnya. Sartika juga menambahkan bahwa menurutnya ada juga orang tua kandung yang lebih kejam mengasuh anaknya daripada ibu tiri. Berikut penuturan partisipan : “Sebenernya kalok menurut ibu tiri itu..sih gak kejam-kejam kali. Tergantung ininya ya..tergantung orang tuanya sebenernya Tertawa. Kalok seandainya anaknya bisa diatur, gitu kan ya..hem..katanya sih ibu tiri itu lebih kejam daripada ini yakan..enggak..enggak sih sebenarnya. Enggaklah yang dimaksud orang-orang itu ibu tiri, ibu kejam itu, enggaklah sebenarnya. Tergantung anaknyalah, kalok anaknya bandel, ya dipukul juga, kan gitu kan? Ada juga orang tua kandung Lebih..lebih parah dari ibu tiri. ” W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014L6b332-334h16-17 “Kalok mengenai ibu tiri, yaa..itu tadi, tergantung individualnya sendiri ya kan? Ya gitu tertawa ya..ya..ya..itulah. Ya mengenai ibu tiri itu tergantung individualnya sendiri, kalok seandainyalah kalok anak kita bandel, ya kan pasti dipukul juga gitu kan? Ya seperti ibu kandung sendirilah gimana, tapi kan hem..orang menganggap kan kalok ibu tiri itu kan kejam kan? Ya menurut kakak sendiri sih seperti itu gitu. Tergantung individulah sendiri. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b16-28h2 3 Aspek-Aspek Penerimaan Diri 1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan diri Sartika menyatakan bahwa sebelum ia dapat menerima dirinya sebagai ibu tiri, ia harus dapat menerima keadaan dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu ia memiliki persepsi positif mengenai keadaan maupun 109 penampilan dirinya. Menurutnya, penampilan diri adalah faktor utama untuk menjadi percaya diri. Penampilan diri merupakan penilaian utama yang dilihat oleh orang lain. Menurutnya, penampilan seseorang adalah penentu bahwa seseorang dapat menerima dirinya dengan apa adanya dihadapan orang lain. Sartika juga mengaku bahwa orang yang sudah memiliki penilaian yang baik terhadap penampilan dirinya, maka ia juga akan mudah dalam menerima keadaan dirinya dalam kondisi apapun. “Kalok untuk penampilan ya yang paling utamalah istilahnya pasti. Yang paling utama untuk kita bisa percaya diri gitu loh. Hem..penampilan suatu faktor yang paling utama nada meninggi. Karena kan kalok untuk penampilan kan langsung ditengok sama orang, yakan? Nanti kalok penampilan kita seandainya kurang bagus, ah..ni anak ini apalah gitu..pokoknya penampilan fasktor utamalah gitu. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b606-617h29 Berpenampilan menarik adalah salah satu tuntutan pekerjaan Sartika sebagai service advisor di sebuah bengkel mobil. Oleh karena itu, Sartika berusaha untuk selalu memperbaiki penampilannya agar dapat terlihat menarik. Sartika mengaku apabila di lingkungannya ada yang memiliki penampilan yang lebih baik dari dirinya, maka ia akan mencoba memperbaiki penampilan dirinya untuk menjadi lebih baik lagi. Saat ini, Sartika merasa bahwa ia memiliki penampilan diri yang sempurna sebagai seorang wanita. Ia juga sudah percaya diri dengan penampilannya saat ini. “Apalagi kakak kerja melayani customer. Menurut kakak kan penampilan kakak kan udah bagus nih, gitu kan? Hem..tapi kalok menurut orang, ya biasa-biasa aja gitu kan? ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b617-622h29 110 “Enggak..isitlahnya penampilan, untuk percaya sih..kakak sebenernya sih..udah..udah..kakak udah baguslah..udah sempurna gitu kan? Tapi di lingkungan kakak ada yang lebih rapi, atau lebih apa...gitu. Jadi kakak istilahnya kalok untuk percaya diri sendiri sih udah ya. Tapi, kalok seandainya kakak merasa gak lebih cantik dari dia, kakak bisa perbaiki diri sendiri lagi gitu. Penampilannya gitu..biar supaya sempurna gitu. Apalagi wanita gitu kan? ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b641-653h30-31 Mengenai penampilannya, Sartika pernah diberi penilaian oleh teman- teman kerjanya. Menurut Sartika, persepsi masing-masing orang berbeda terhadap penampilan yang sempurna. Ketika ia merasa penampilan dirinya sudah bagus, belum tentu dimata orang lain sudah bagus. Walaupun dirinya mendapat penilaian dari teman-temannya mengenai penampilan dirinya, Sartika mengaku bahwa ia tidak terpaku terhadap penilaian tersebut. Hal tersebut dikarenakan Sartika sudah menerima penampilan dirinya saat ini dan dimata orang lain. Sartika tidak terlalu memperdulikan penilaian orang lain terhadap penampilan dirinya saat ini. “Ada sih temen..tertawa. Kawan-kawan kerja. Ya kalok untuk temen- temen, ya..pasti ya banyak aja sih. Karena kan istilahnya kalok seandainya kalok dari temen-temen ya pasti ada gitu kan? Karena kan istilahnya kita kalok seandainya udah bagus, dari orang sendiri kan menurut dia kurang bagus, kasih masukan lah istilahnya gitu. Tapi menurut kita udah sempurna ini kan? Apa yang kita lakukan itu kan udah sempurna, tapi menurut orang lain kan belum sempurna gitu kan? Ya..kalok untuk temen-temen ya banyak qi. Hem.. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b664-678h32 “Kalok untuk terpaku sendiri sih enggak gitu kan. Karena kan menurut kakak sendiri penampilan kakak itulah yang lebih bagus gitu loh. Tertawa. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b681-685h32 111 “Iya. Kalok orang mau nganggap seperti apa, kau gantilah apanya..segala macemlah..istilahnya..ha..kau bagusinlah rambut kau itu gitu kan? Ah.. kapok situ gitu kan? ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b702-706h33 “Ya..lebih percaya aja sama diri sendiri gitu kan. Apapun dibilang orang..iihh..kau Tika rambut kau diapainlah itu..ah biar ajalah…suka- sukak akulah..kan gitu kan? Tertawa ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b695-700h33

2. Sikap terhadap Kelemahan dan Kelebihan diri sendiri

Sartika mengaku bahwa ia memiliki kelebihan menyanyi dan menata rias. Namun, kelebihannya tersebut tidak dikembangkannya terlalu dalam dan hanya dijadikan sebagai kegemaran saja. “Kalok untuk kelebihan sih..ya..kakak ya.. kakak kan sukak nyanyi gitu kan? tertawa. Kalok untuk kelebihan sih..ya..lebih sukak kadang temen-temen kakak sukak itu sukak..iih..kucirinlah kayak gini..kayak gitulah..ya kakak maksudnya..istilahnya kayak salon lah gitu yakan qi. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b715-723h34 Sedangkan kekurangan yang ada pada dirinya, yaitu mudah merasa down jatuh, sedih saat ada masalah pada dirinya. Salah satu contoh kecil yang membuatnya merasa down yaitu ketika atasannya di tempat kerja memarahinya. Sartika mengaku bahwa ia adalah orang yang tidak bisa dimarahi oleh orang lain apalagi ketika dimarahi oleh orang tua dan suaminya. Apabila ia dimarahi terus-terusan oleh orang lain, maka ia akan menangis. 112 “Kakak kekurangannya….istilahnya..hem..enggak..enggak apa ya..langsung down-lah istilahnya. Ada..istilahnya kalok ada seandainya bos tu marahin kakak gitu-gitu kakak langsung down gitulah. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b741-746h35 Jika dikaitkan dengan statusnya sebagai ibu tiri, maka Sartika menganggap kelebihan dirinya yaitu memiliki rasa sabar dalam menghadapi kondisi keluarganya saat ini. Menurutnya, kesabaran adalah kunci utama untuk mempertahankan sebuah rumah tangga. Sartika juga mengatakan, jika dirinya tidak sabar dalam menghadapi kondisi anaknya yang tunarungu, maka dia tidak akan mampu menjalani kehidupan rumah tangga selama dua tahun terakhir ini. Menurutnya menjadi ibu tiri dari anak yang tunarungu, membuatnya dapat melatih kesabaran dalam mengasuh Cindy dan menjadi ibu tiri. “Tertawa Kelebihannya apa yah? Hem..kalok untuk kelebihan kakaknya ya..lebih sabar aja sih. Ya.. lebih sabar aja sih. Kalok gak sabar, sabar ya…emosi terus jadinya tiap hari ya emosi gitu lo jadi ibu tiri. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E2b10-15h2 “He’eh. Iya..sekalian ngelatih kesabaranlah ya kan? Ngurus Cindy itu..” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b65-66h5 Sartika menyatakan bahwa kekurangan dirinya jika dikaitkan dengan status ibu tiri yang dimilikinya, yaitu merasa mudah emosi sesaat yang terkadang sulit untuk dikendalikan. Jika sudah mulai merasa marah dengan Cindy dan suaminya, maka Sartika akan diam dalam menghadapi suaminya dan Cindy. Selain memilih untuk diam, Sartika juga akan membanting gelas ataupun piring sebagai tanda bahwa ia sedang marah. Ia 113 tidak akan menjerit-jerit ketika sedang bertengkar dengan suaminya. Sartika tidak ingin pertengkaran yang terjadi didalam rumah tangganya terdengar oleh orang lain. Namun, Sartika dapat mengontrol rasa marah sesaatnya dengan rasa sabar yang dimilikinya. Oleh karena itu, Sartika mengaku bahwa ia tidak akan merasa marah ketika ditanya orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Sartika akan menjawab dengan santai ketika ada orang yang ingin mengetahui tentang statusnya sebagai ibu tiri Cindy. “Hem..kelebihannya..kalok sabar bisalah ya kelebihannya. Ya lah gitu ajalah..Kalok kekurangannya ya itu tadi, emosi sesaat yang sukak ketahan. Kakak memang kayak gitu loh orangnya qi. Kan gak pernah sih kalok kakak berantem itu kedengaran. Gak pernah kan nada meninggi mau sama sekali gimana pun, gak pernah gitu lo qi. Kalok kakak udah emosi gitu kan, kakak gak mau sama dia suaminya, kakak bantingin aja tah apa yang mau kakak bantingin, ya kakak bantingin. Hem..mungkin dia ya ngerti karena kakak marah itu, mungkin dia ngerti. Kalok kakak itu marah, gitu. Tapi kakak kalok marah-marah berkoak-koak itu gak pernah, tapi ya gitu tah gelas tah piring kakak pecahin gitu lo nada meninggi. Gitu aja tertawa... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b4563h4 “Hem..apa ya? Kalok kekurangannya ya..kadang emosian gitu kan, tapi karena sabar-sabar itulah jadi ketutupi. Hem..kelemahannya apa ya? Hem..kakak pun kurang tau qi kelemahannya…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E2b19-25h2 Sartika mengaku, bahwa ia memandang kelebihan maupun kekurangannya dengan positif dan baik. Ia mengaku dapat menyeimbangkan rasa emosi sesaat yang ada pada dirinya dengan rasa sabar yang ia miliki. Menurutnya jika ia tidak memiliki rasa sabar dalam menjalani rumah tangga, maka rumah tangga yang ia jalani akan 114 mengalami perpisahan dari awal. Dalam merespon penilaian di masyarakat mengenai status ibu tiri, Sartika juga mengaku bahwa rasa sabar juga dibutuhkan. Jika suatu saat ia mendengar secara langsung penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka Sartika akan berusaha sabar dalam menghadapi penilaian tersebut dan tidak terlalu memperdulikan penilaian yang muncul tersebut. “Iya. He’eh. Kalok gak sabar-sabar aja qi, hem..yaudah gak bersama lagi kan ngejalani rumah tangga ini…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b119-121h7-8

3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Awalnya ketika menyandang status sebagai ibu tiri dari Cindy, Sartika tidak merasa terkejut dan merasa bersalah dengan statusnya tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketika dari awal berkenalan dengan bang AN, Sartika sudah mengetahui posisinya akan menjadi ibu tiri dari Cindy jika menikah dengan bang AN. Selain itu dari awal masa perkenalan, bang AN juga sudah memberitahukan keadaan dirinya yang memiliki seorang anak perempuan yang tunarungu. Sartika tidak merasa malu ataupun rendah diri dengan status duda bang AN dan kondisi Cindy yang tunarungu. “Ketika menyandang ya? Hem..kalok untuk perasaannya sih ya..mungkin ya biasa aja gitu kan? Karena kan pas waktu berkenalan gitu kan, yang pertama kali dikenalin dia itu, ya anaknya gitu. Ha..ha’ah gitu. Jadi kan, dari pertama itu kan kita udah tau perkenalan dari awal. Jadi kalok seandainya udah jadi ibu tiri, punya anak yang seperti ini, jadi ya..menurut kakak ya biasa aja gitu. Gak shock atau 115 gimana-gimana gitu, karena kan dari pertama kakak udah tau gitu. Gitu aja sih, biasa aja. Gak ada shock , kaget tuh gak ada…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b70-84h5-6 Sartika mengaku dapat menerima segala kondisi bang AN sebagai duda yang memiliki anak tunarungu dan tidak merasa malu dengan hal tersebut. Ia juga mengaku bahwa dirinya merasa sangat menikmati perannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Sartika tetap merasa percaya diri di depan orang lain meskipun dia seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya penilaian negatif mengenai kekejaman ibu tiri di masyarakat tidak sepenuhnya benar, karena kekejaman ibu tiri tersebut tergantung dari individunya. “Kalok untuk..perasaannya sih..gimana ya kalok dibilang, hem..apa yah kalok mau dibilang qi? Diam Hem..kalok untuk malu sih enggak ya. Ngerasa enjoy, iyah biasa aja gitu…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b95-99h6 “Kalok rendah diri enggak lah ya. Biasa ajalah qi. Tetep PD ajalah di depan orang..kan gapapa gitu loh jadi ibu tiri? Masalah kejam itu kan balik lagi ke individunya..biasa ajalah…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b161-165h10 Meskipun sampai saat ini Sartika belum pernah mendapat penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri, tetapi Sartika pernah mendapatkan penilaian mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Pada awalnya ketika Sartika mengajak Cindy bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, Sartika mengaku pernah mendapatkan penilaian mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Adanya penilaian tersebut, membuat rasa malu Sartika muncul. Rasa malu yang awalnya tidak dirasakan oleh 116 Sartika sebagai ibu tiri Cindy, tiba-tiba menyelimuti perasaannya ketika tetangganya memberikan penilaian terhadap kondisi Cindy yang tunarungu. Secara fisik, Cindy tidak terlihat memiliki keterbatasan pada dirinya. Namun ketika Cindy diajak berbicara, orang-orang disekitarnya akan menyadari bahwa Cindy adalah seorang anak tunarungu. Ketunarunguan Cindy itulah yang membuat Cindy mendapatkan penilaian dari lingkungan sekitarnya. Orang-orang di sekitar lingkungannya pada awalnya, memandang Cindy memiliki perbedaan dengan anak normal pada umumnya. Namun rasa malu Sartika yang sempat muncul terhadap kondisi Cindy yang tunarungu, tidak membuat Sartika merasa rendah diri dan merasa tidak berharga inferiority dihadapan orang lain. Sartika tetap mampu mengatasi rasa malu yang muncul tersebut dengan mengajak Cindy pada setiap acara dan mengenalkan Cindy sebagai anaknya. Adanya dukungan dari suaminya, membuat Sartika mampu mengatasi pemikiran negatif yang muncul dari dirinya. Oleh karena itu, Sartika mampu mengatasi rasa malu tersebut dan dapat menerima segala penilaian tetangganya mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Setelah mampu menerima kondisi Cindy yang tunarungu, saat ini Sartika juga mengaku telah mampu menanggapi penilaian yang muncul mengenai kondisi Cindy dengan santai dan biasa saja. “Hem..kalok untuk bersosialisasi kadang sih agak ngerasa malu jugak ya kan. Tertawa kadang kan orang-orang mungkin bilangin, ih..anaknya. Karena kalok Cindy diajak ngomong baru ketauan bahwasanya dia itu tunarungu ya kan? Istilahnya ya ada sedikit malu 117 lah ya, tapi ya..biasa aja nanggapinnya gitu lah. Hem..iyalah, biasa aja sih. Memang keadaan dia kayak gitu ya..terima ajalah…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b107-116h7 “Ya..dari suami kakak lah yakan, ya..berdualah gitu kami sharing, kalok dari keluarga kakak sih gak ada…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b132-134h8 “Ya..dukungan dari suami ada sih. Jadi itulah yang memperkuat diri kakak dari pikiran-pikiran negatif kakak. Karena kakak gak ada berpikiran negatif gitu. Jadi kalok seandainya jodoh, ya…jodoh. Kalok dari awalnya berpikiran negatif, mungkin dari awal sampek sekarang ya..gak jalan gitu kan…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E3b176-182h11 Sartika tidak mempermasalahkan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya jika ia merasa malu dan mempermasalahkan penilaian lingkungan mengenai statusnya, maka hal tersebut akan menjadi beban dalam kehidupan rumah tangganya. “Bisa lah qi. Anggap aja kakak itu bukan ibu tiri dah…gitu aja sih qi. Kalok dipikir-pikir malah makin beban pulak nantik jadinya. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b124-127h8

4. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan

Penilaian lingkungan yang muncul terkait statusnya, bukanlah salah satu faktor yang membuat Sartika merasa rendah diri dan tidak berharga dihadapan orang lain inferiority. Menurutnya, orang lain memiliki hak untuk menilai dan berpendapat. Apabila ia mendapatkan kritikan, Sartika akan mengambil nilai positif dari penilaian tersebut sebagai hikmah bagi kehidupannya. Kritikan yang muncul tersebut akan dijadikannya sebagai evaluasi bagi dirinya agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya. 118 Namun, apabila penilaian tersebut memiliki nilai yang negatif, maka Sartika akan menjadikannya sebagai suatu pendapat saja. Sartika tidak akan memperdulikan penilaian negatif yang muncul tersebut. ”Enggak sih, enggak. Karena kakak kan lebih cuek gitu. Gak open lah istilahnya. Kakak orangnya gak openan, mau orang bilang apa-apa, kakak gak open. Karena kakak pun gak sukak ngurusin urusan orang lain juga kan? Ambil positifnya ajalah kalok ada penilaian kayak mana- mana gitu..jadiin pendapat ajalah…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b140-147h9 Jika dikaitkan dengan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika akan menganggap kritikan atau pendapat orang lain mengenai statusnya tersebut sebagai masukan dan dukungan untuk dirinya. Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika mengaku akan semakin terpacu untuk bisa merasa sabar dalam mengasuh Cindy yang mengalami tunarungu. “Kalok mengenai ibu tiri itu ya? Menanggapi seandainya pemikiran- pemikiran tetangga yang negatif ya…contohnya..contohnya apa cobak qi? Kau gak takut sama..sama..Hem..pendapat kakak apa ya? Ini agak bingung..apa yah? Menurut kakak apa yah? Hem..menurut kakak ya kita anggap sebagai masukan lah ya. Masukan lah ya? Ya gitu lah qi..kakak pun gak ngerti. ” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b814-824h38-39 “Ya..semakin terpaculah gitu kan, karena kan istilahnya ooh..dengan adanya anak ini, mungkin bisa lebih sabar gitulah ya ngadepinnya. Melatih kesabaran jugak lah ya kan? Banyak jugak ya tertawa….” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E4b186-190h10-11 Sartika tidak merasa takut terhadap celaan ataupun penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri Cindy. Apabila ada penilaian yang muncul terhadap dirinya, maka Sartika akan membiarkan penilaian 119 yang muncul tersebut. Namun sampai saat ini menjadi ibu tiri, Sartika mengaku belum pernah mendapat penilaian negatif terkait statusnya sebagai ibu tiri. Meskipun dirinya pernah menerima penilaian mengenai kondisi Cindy, Sartika tetap menerima Cindy sebagai anaknya dan menjadikan penilaian tersebut sebagai pendapat untuk dirinya. Oleh karena itu, Sartika tidak terlalu mempermasalahkan status yang dimilikinya. “Kalok untuk takut sih, enggak sih qi. Gimana ya, kalok misalnya mereka mencela kakak, ya..kakak gak takutlah. Karena kan dari awal, ya..dari awal itu tadi gitu loh, karena udah menerima apa adanya gitu. Kalok seandainyalah ada celaan, ya kakak biarin ajalah. Kakak ya orangnya memang cuek, jadi ya mau gimalah. Kalok penialaian negatif ngapain diambil pusing kali kan gitu? ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E4b224-232h13-14 “Gak perduli sih. Tidak perduli lah kalok ada penilaian tentang ibu tiri, gak open nada meninggi. Kalok penilaian tentang Cindy, ya..anggep aja itu pendapatlah...” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E4b152-155h9-10 Menurut Sartika, jika dibandingkan dengan pekerjaannya ia akan lebih mementingkan kritikan dari atasannya daripada mendengarkan kritikan dari orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Hal tersebut dikarenakan Sartika menganggap bahwa pekerjaannya adalah sumber utama untuk mencari uang. Jadi, segala kritikan dari atasannya di tempat kerja adalah kepentingan yang harus diutamakan. Oleh karena itu, Sartika akan merasa down jatuh, sedih ketika mendapatkan kritikan dari atasannya dan tidak akan merasa down 120 apabila ada penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. “Kalok untuk kerjaan, pasti dapet kritikan dari atasan pasti down ya kan? Tapi kalok untuk kritikan karena jadi ibu tiri yang punya anak tunarungu kakak sih biasa aja, karena maksudnya gak ngerasa begitu penting. ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E4b398-402h23 “Karena menurut kakak, kerjaan itu ya…penting lah ya qi ya, tapi kalok untuk kritikan..penilaian orang-orang ya gak penting gitu loh qi. Jadi, gak buat kakak down lah istilahnya. Karena kan memang keadaan kakak saat ini kan ibu tiri, jadi mereka mau bicarain apa yasudahlah, gitu tertawa. ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b409-416h23

5. Keseimbangan Real self dan Ideal self Gambaran diri sebenarnya dan Keinginan diri

Awalnya ketika menjadi seorang ibu tiri, Sartika mengaku tidak mengalami kesulitan untuk menerima status tersebut. Hal tersebut ditegaskan oleh Sartika bahwa dirinya sudah mengetahui posisinya dari awal ketika menjalin hubungan dengan bang AN. Sebagai seorang wanita pada umumnya, Sartika tidak pernah memiliki keinginan menjadi seorang ibu tiri. Namun saat ini dengan segala harapan yang ia miliki terhadap dirinya dan keluarganya, Sartika mampu menerima segala keadaan dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tiri Cindy yang tunarungu real self. Meskipun membutuhkan waktu untuk dapat menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri, saat ini Sartika mengaku telah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan 121 keinginan dirinya menjadi ibu kandung ideal self yang belum tercapai. Keinginan Sartika untuk menjadi ibu kandung, saat ini belum dapat tercapai karena Sartika belum dikaruniai seorang anak dari pernikahannya dengan bang AN. “Gak ada sih, enggak. Gak ada, biasa aja. Gak sulit gimana-gimana karena itulah tadi udah tau dari awal kan bakal jadi ibu tiri…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E5b213-216h13 “Maksudnya? Tertawa Kalok butuh waktu sih, ya pasti ada. Karena kan untuk nerima status tadi itulah butuh adaptasi kalok disebut-sebut ibu tirinya si ini..gitu..…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E5b221-225h13 “Bisa sih, bisa diseimbangi gitu kan? Karena kan keadaan diri kakak saat ini sebagai ibu tiri, ya..walaupun sebagai perempuan dulukan gak pengen jadi ibu tiri. Tapi kakak udah nerima kondisi kakak ini lah qi. Jadi ya enjoy aja jadinya, gitu lo qi…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E5b249-255h15 “Bisa sih qi. Karena kan kakak punya harapan-harapan besar sama keluarga ini, sama hidup kakak ini, jadi kalok terpuruk gara-gara status ya..gak mungkin kakak bertahan sampek saat ini kan jalani rumah tangga. Ya..bisalah menyeimbangkan diri kakak, karena kakak gak pernah punya pandangan yang negatif jadi ya enjoy aja gitu kan?..” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E5b382-390h22 Awalnya dengan adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, membuat Sartika tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri. Menurutnya status sebagai ibu tiri di masyarakat memang ada, namun kekejaman seorang ibu tiri ditentukan oleh masing- masing karakteristik individulnya. Ibu tiri dan ibu kandung, menurutnya memiliki peran yang sama sebagai seorang ibu, yaitu merawat dan mengasuh anak. Namun, yang membedakan kedua istilah tersebut ketika 122 ibu tersebut mengasuh anak kandung yang lahir dari rahimnya atau mengasuh anak bawaan dari suaminya. Disamping itu setelah menjalani peran sebagai ibu tiri Cindy, Sartika saat ini juga merasa bangga dan menikmati perannya menjadi ibu tiri Cindy. Munculnya rasa bangga Sartika tersebut dikarenakan Sartika percaya bahwa Tuhan sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk merawat anak dari suaminya. Selain itu ketika mengasuh Cindy, Sartika juga mengaku bahwa dirinya bisa sekaligus belajar mengasuh anak. Agar nantinya jika telah memiliki anak kandung, dirinya mampu mengasuh dan merawat anak kandungnya sendiri. “Kalok mengenai ibu tiri, yaa..itu tadi, tergantung individualnya sendiri ya kan? Ya gitu tertawa ya..ya..ya..itulah. Ya mengenai ibu tiri itu tergantung individualnya sendiri, kalok seandainyalah kalok anak kita bandel, ya kan pasti dipukul juga gitu kan? Ya seperti ibu kandung sendirilah gimana, tapi kan hem..orang menganggap kan kalok ibu tiri itu kan kejam kan? Ya menurut kakak sendiri sih seperti itu gitu. Tergantung individul ah sendiri…” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b16-28h2 “Kalok untuk kakak sih sebenarnya ya..gak senang kali, ya..gak bahagia kali gitu kan? Karena istilahnya menurut kakak ya kan, kalok istilah ibu tiri itu menurut kakak gak ada gitu lo. Karena kan gimana ya? Karena kan kita berumah tangga itu, pada awalnya udah dikasih tau gitu lo. Bahwasanya anak itu seperti apa gitu kan? Jadi, menurut kakak istilahnya ya..ibu tiri itu ya ada memang status ibu tiri, ya kan? Tapi, menurut kakak peran ibu tiri itu ya gak ada gitu lo. Ibu tiri ya ibuk jugak gitu lo…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E5b194-206h12 “Kayak ibuk kandung aja gitu. Samalah perannya…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b208-209h12 “Kalok bangga untuk jadi seorang ibu, ya..pasti bangga lah tertawa. Walaupun kakak saat ini belom melahirkan anak, ya..tapi banggalah jadi seorang ibu dari Cindy. Bangganya itu bisa menjadi ibu dari anak 123 orang lain, berarti kan kita dipercaya Tuhan buat merawat..ngasuh anak tiri itu..ya..walaupun..bukan anak kita kan? Sekalian belajarlah merawat seorang anaklah kalok nantik kakak punya anak kan? Kan gitu? tertawa..ya..serulah jadi ibu itu..banyak belajar gitulah sama hal- hal baru tentang ngasuh anak…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b202-214h12-13

6. Memiliki Penerimaan Diri dan Penerimaan orang lain dengan baik

Saat ini, Sartika menyadari bahwa ia masih perlu memperbaiki dirinya untuk bisa menerima dan menyayangi keadaan dirinya. Salah satu hal yang perlu diperbaiki pada dirinya yaitu mencoba membuka diri untuk berbagi cerita dengan orang terdekat ketika mengalami suatu masalah. Sartika mengaku bahwa ia adalah orang yang tidak bisa berbagi cerita meskipun dengan orang terdekatnya mengenai masalah yang dihadapinya. Sartika merasa takut jika harus berbagi cerita dengan orang tua ataupun dengan suaminya, karena ia merasa tidak ada yang memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya. Sartika juga menyadari bahwa ia merasa memiliki beban ketika memendam masalahnya sendiri. Sartika merasa bingung untuk berbagi cerita kepada siapa ketika ia mengalami suatu masalah. Oleh karena itu, ia rela menyimpan sendiri masalah yang ia hadapi tanpa harus berbagi dengan orang lain. “Kalok untuk masalah diperbaikin sih..apa yah? Kakak itu orangnya bangsa yang gak mau curhat sama orang gitu lo... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E6b289-292h17 “Iya, jadi kalok misalnya entah ada apa-apa gitu kan, kakak simpan sendiri gitu lo…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b296-298h17 124 “Suami pun enggak jugak. Hem..iya..karena dia ini selalu beda pendapat gitu lo qi. Jadi kalok seandainya kakak ada apa gitu, mau cerita pun takutnya nantik sama dia gak boleh, atau gimana gitu. Hem..jadi kakak apa sendirilah gitu lo qi... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b300-306h17-18 “Iya sih, iya. Tapi ya mau gimana lagi kalok cerita ke orang tua itu takutnya dibilang orang tua itu gini, yaudahlah. Ya memang gak enak sih kalok mendam- mendam sendiri…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b318-322h18 “Kalok untuk kawan deket, semua deketlah. Tapi, kalok untuk cerita masalah pribadi sih enggaklah... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b328-330h19 Secara keseluruhan meskipun dirinya mengaku ingin memperbaiki dirinya untuk menjadi lebih baik, Sartika mengakui bahwa saat ini ia sudah sangat menerima dan menyayangi dirinya dengan apa adanya. Selain itu, Sartika juga mengaku bahwa ia mudah untuk menerima kehadiran Cindy sebagai anak tirinya. Terlebih dengan kondisi Cindy yang tunarungu. Meskipun Cindy mengalami hambatan pendengaran dan komunikasi, hal tersebut tidak membuat Sartika merasa kesulitan untuk menerima dan mengasuh Cindy seperti anak kandungnya sendiri. Mudahnya Sartika menerima kehadiran Cindy, dikarenakan pada masa pacaran bang AN sudah menceritakan Cindy. Selain itu, Cindy juga sering ikut serta dalam kegiatan mereka. Oleh karena itu, intensitas pertemuan diantara keduanya memunculkan ikatan emosional. Ikatan emosional yang terjalin diantara keduanya, membuat Cindy dan Sartika menjadi dekat satu sama lain. 125 “Ya, untuk nerima Cindy kakak ya..mudah-mudah aja sih qi…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E6b335-336h19 “Iya, bener itu. Ya..lagian karena pertama kali suami kakak ngomong. Ya kalok pertama kali dia sampek nikah dia baru ngomong, ya kakak pun gak bisa terima jugak gitu kan, karena pas waktu pacaran itu, udah langs ung dikenalin gitu kan?...” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E6b352-358h20 “Kalok untuk pas waktu pacaran sih, ya..sering jugaklah. Ya..tiap minggulah diajak jalan-jalan. Ya..dari situlah qi bisa mengenal dia, gitu kan? Bisa nerima Cindy, gitu kan? Ya..karena sering ketemu, terus dibawak jalan, ya..itulah makanya kakak gampang nerima dia…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E6b319-325h18-19 Sartika mengaku tidak merasa malu ketika harus melibatkan Cindy dalam segala aktivitasnya. Sartika juga sering melibatkan dan mengikutsertakan Cindy dalam acara-acara di luar rumah, misalnya mengajak Cindy berbelanja, renang, serta mengajaknya menghadiri acara pesta. Apabila Cindy menolak untuk ikut menghadiri suatu acara, Sartika tidak akan memaksanya. Sartika menjelaskan, apabila Cindy dipaksa untuk ikut bersamanya menghadiri suatu acara, maka Cindy akan merajuk. Untuk itu, Sartika akan meninggalkan Cindy di rumah ibunya ketika ia pergi. “Pernah, gak malulah..ya..kalok ada pesta-pesta kawan ya pernahlah diajak Cindynya. Kalok diajak undangan, kadang dia mau, kadang jugak enggak…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E6b305-308h18 “Iya, seringlah namanya udah jadi anak kakak, ya..diajak ajalah. Tapi kalok dia gak mau ya jangan dipaksalah merajok nantik dia. Paling dia nantik dir umah, maen sama Azmi…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E6b256-260h16 126

7. Penerimaan diri, menuruti kehendak, menonjolkan diri

Sartika merasa tidak terlalu dekat ketika berinteraksi dengan tetangga di lingkungannya, Interaksi yang dilakukannya hanya sekedar bertegur sapa saja. Sartika mengaku bahwa ia bukan membatasi diri ketika berinteraksi dengan tetangganya. Namun, sedikitnya interaksi yang dilakukannya dikarenakan keterbatasan waktu yang dimilikinya. Sartika lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja. Ia hanya memiliki waktu luang pada hari Minggu. Pada hari Minggu, Sartika dan keluarga kecilnya lebih sering menghabiskan waktu akhir pekan diluar rumah. Oleh karena itu, hal tersebut adalah salah satu penghambat dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggalnya. “Kalok interaksi di lingkungan, gimana ya..karena kan kakak istilahnya dari pagi sampek sore kan kakak kerja gitu. Jadi kalok seandainya udah pulang kerja, kakak di rumah aja. Kalok berinteraksi sama..tetangga, ya paling biasa-biasa aja. Ya..paling ngomongnya sekedar aja gitu. Gak ada ngomong yang lain-lain gitu. Jadi maksud kakak ya biasa aja gitu kan?... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b370-379h21-22 Sartika menyatakan apabila ketika dirinya sedang seharian di rumah, kemudian jika seandainya ia mendengar tetangganya membicarakan mengenai statusnya sebagai ibu tiri Cindy, maka ia tidak perduli dan tidak menghiraukan penilaian tersebut. Meskipun dirinya jarang di rumah dan memiliki kesempatan yang sedikit untuk berinteraksi di lingkungan tempat tinggalnya, tidak menghalangi Sartika untuk berusaha berkumpul dengan tetangga sekitarnya ketika memiliki waktu senggang. Sartika mengaku 127 tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangganya dan berusaha untuk dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. Menurutnya, bukanlah hal yang baik apabila harus mengurung diri di rumah serta membatasi interaksi dengan tetangga sekitarnya hanya karena memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. “Hem..tapi kalok kakak seharian di rumah, kalok misalnya ada tetangga yang ngomongin tentang kakak gitu, istilahnya kakak ya gak open gitu, biarin ajalah orang mau ngomong apa, kan gitu kan? Kan orangnya kakak gak openan gitu…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b380-385h22 “Gak sih qi, enggak. Tetep percaya diri ajalah gabung sama orang- orang sekitar sini, gak enak jugak kan ngurung diri dirumah karena status? tertawa…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b389-392h22 Sampai saat ini, Sartika belum ada mengikuti salah satu perkumpulan di lingkungan rumahnya. Sartika mengaku ketidakikutsertaannya dalam perkumpulan di lingkungannya, dikarenakan dirinya belum bisa membagi waktu serta belum mendapat ajakan dari ibu kepala lingkungannya. Selama enam hari penuh, Sartika menghabiskan waktunya di tempat kerja. Oleh karena itu, ia masih bingung untuk membagi waktunya untuk mengikuti suatu perkumpulan di lingkungannya. Sartika juga mengaku, apabila ia sudah mendapat ajakan dari ibu kepala lingkungannya untuk ikut dalam suatu perkumpulan, ia akan ikut serta dan berusaha membagi waktunya. 128 “Tidak ada tertawa. Kayak perwiritan kan? Gak ada sih qi, belom bisa untuk saat ini…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b396-398h22-23 “Iyalah, akan mengikuti gitu kan?...” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b401h23 “Membagi waktunya masih sulit qi untuk saat ini, karena istilahnya dari pagi sampek sore istilahnya udah capek gitu qi. Kalok mau keluar- keluar pun uda malas, gitu lah. Nantik-nantik ajalah itu kan gitu kan…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E7b407-412h23 “Kalok untuk alasan kerja, pastinya nomor satu kan? Karena disitukan sumber makan kita..sumber uang kita ya..di kerjaan gitu kan? Dah gitu kan, pastinya karena di lingkungan kita kan belom ada perkumpulan wirit, paling arisan ibu-ibu lingkungan aja kan? Itu pun jarang kan? Jadi itu sih alasannya kenapa kakak belom ikut perkumpulan disini terus belom ada ajakan dari ibu kepling jugak kan untuk ngikut arisan...…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E7b288-298h17 Sartika terlihat lebih percaya diri dan menonjolkan dirinya ketika di tempat kerja. Hal tersebut dikarenakan posisi Sartika sebagai serice advisor yang dituntut untuk bersikap ramah, ceria, berwawasan terbuka terhadap klien. Meskipun Sartika berstatus sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, tidak membuat Sartika merasa rendah diri di lingkungan kantornya. Respon yang biasa saja dari teman-teman kantornya juga membuat Sartika tidak memperdulikan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Dirinya tetap dapat mengekspresikan dirinya dengan apa adanya di tempat kerjanya. Istilah ibu tiri, menurutnya tidak terlalu berpengaruh terhadap interaksinya di tempat kerja. Menurutnya, 129 status ibu tiri yang dimilikinya bukanlah hambatan untuk dapat bekerja semaksiml mungkin. “Iyalah..orang itu biasa aja tanggepannya..mau kakak itu ibu tiri, istilahnya pun gak ngaruh-ngaruh kali ke orang itu, terus interaksi ke orang itu…lagian kan itu urusan kerja, ya..gak dibawak-bawaklah istilah ibu tiri itu ke tempat kerja..terus pun karena jadi service advisor itu, jadi gak mungkinlah malu atau gak PD pas ditempat kerja ya..ramah, terbuka ajalah kita dikerjaan..apalagi di depan klien kan? tertawa gak mungkinlah karena jadi ibu tiri, dikerjaan awak pun jugak gak maksimal..profesional ajalah…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E7b422-434h24

8. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

Adapun salah satu cara Sartika untuk menikmati hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu yaitu, memiliki pandangan yang positif terhadap status ibu tiri dan anak tunarungu yang diasuhnya. Di dalam dirinya, ia menghapus istilah ibu tiri dan anak tunarungu. Menurutnya kondisi Cindy yang tunarungu, tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Karena Cindy masih mampu untuk diajarkan, maka Sartika tidak menganggap Cindy sebagai anak yang membutuhkan pelayanan khusus. Yang terpenting bagi dirinya, adalah dirinya merasa menikmati segala aspek kehidupannya sebagai ibu tiri Cindy. Sartika juga mengaku bahwa selama 2 tahun terakhir, ia menikmati dalam mengasuh dan merawat Cindy yang tunarungu. Selain itu, Sartika juga tidak membedakan status antara ibu tiri dan ibu kandung. Karena peran seorang ibu tiri maupun ibu kandung adalah sama, yaitu menjadi seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. 130 “Menurut kakak biasa aja. Istilahnya..istilahnya hem..dalam istilahnya dalam pikiran kakak anak yang seperti itu, itu gak ada gitu lo. Anggap aja dia itu biasa aja, kalok ngomongnya itu jugak biasa, kayak anak biasa, anak normal lainnya istilah untuk anak yang tunarungu itu dalam pikiran kakak itu gak ada, udahlah gitu aja yang penting kakak enjoy ajalah ngerawat d ia gitu…” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E8b416-426h24 Sartika juga merasa bebas melakukan hal-hal yang disukainya. Dengan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika merasa bahwa statusnya bukanlah sebagai hambatan untuk bisa menikmati segala aspek di dalam hidupnya. Ia juga menambahkan bahwa status sebagai ibu tiri, bukanlah sebagai penghambat untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya. Ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya, apabila dirinya diminta untuk melakukan suatu hal yang tidak disukai olehnya, maka Sartika akan tetap melakukan hal tersebut. Meskipun ia merasa terpaksa untuk melakukannya. “Ya,,istilahnya bebas-bebas ajalah..status itu kan bukan salah hambatan buat kita nikmati hidup. Karena dengan status kakak ini, status sebagai ibu tiri, bukan sebagai penghambat untuk bersosialisasi jugak sama lingkungan sekitar kan... ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E8b275-280h16 “Yang pastinya kalok untuk rasa menolak itu, ya gak adalah ya qi, karena kan kita istilahnya kalok misalnya ada orang lain nyuruh untuk ngerjain yang gak kakak gak mau, ya..terpaksa ya mau ajalah gitu kan? walaupun agak ngedumel dalam hati ya kan? tertawa agak sedikit gitu kan? ” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E8b435-442h25 131

9. Kejujuran dalam menerima diri

Setelah menjadi ibu tiri Cindy, Sartika merasa biasa saja. Dia tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Perannya sebagai ibu tiri Cindy, menurutnya tidak ada bedanya dengan ibu kandung pada umumnya. Sartika melakukan perannya sesuai dengan tugas seorang ibu, yaitu mengasuh dan merawat Cindy yang mengalami tunarungu. Selain itu, Sartika sudah menganggap Cindy sebagai anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. Saat ini, Sartika telah mampu menerima dirinya dengan apa adanya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. “Kalok untuk status kakak sebagai ibu tiri sih, ya menurut kakak gimana ya? Ya..biasa aja gitu lo. Gak ada istilah atau kata-kata ibu tiri, dan gak ada istilah anak yang tunarungu gitu. Anggap aja, kakak ngeluarin anak gitu kan tertawa yang menghasilkan dan ngasuh dia gitu. Istilahnya kayak gimana tugas ibu kandunglah gitu. Kejujurannya ya seperti itu tadi, jadi kakak menerima diri kakak apa adanya dengan status yang kakak milikin inilah... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E9b448-459h25-26 Awalnya, Sartika sempat mengalami rasa cemas terhadap penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Dikarenakan dirinya belum pernah menikah, rasa cemas untuk menjadai seorang ibu tiri sempat muncul pada dirinya. Untuk mengatasi rasa cemas yang muncul pada dirinya, Sartika berusaha untuk berperilaku baik kepada anak tirinya. Sehingga, penilaian lingkungan pada umumnya terhadap karakteristik ibu tiri yang kejam, dapat diabaikan oleh Sartika. Dengan perilaku baiknya serta pikiran positif yang muncul pada dirinya, 132 membuat Sartika mampu secara perlahan menghilangkan perasaan cemas yang ada pada dirinya. Saat ini, Sartika mengaku sudah mampu menghilangkan rasa cemas tersebut karena sudah terbiasa menjalani perannya sebagai ibu tiri Cindy. Saat ini, Sartika mengaku bahwa ia tidak pernah merasa ragu, cemas dan bimbang lagi. Menurutnya, apabila dirinya terlalu memikirkan statusnya sebagai ibu tiri Cindy, maka dalam menjalani hidupnya Sartika tidak akan merasa tenang. “Ngatasin rasa cemas…ya kakak berusaha berperilaku selayaknya ibu kandung ajalah, jadi kan kakak gak ngerasa jadi ibu tiri..berbuat baek sama anak tiri kakak..terus kan kakak jadinya ngerasa kalok ibu tiri itu gak seperti yang dibilang orang-orang itu, kejam..jahat..ya gak gitulah karena kitanya udah berbuat baek itu kan sama anak tiri kita. Itu aja sih. Jadi..ya cemasnya itu pelan-pelan bisa ilanglah..karena kan balek lagi ke pikiran kita..kita positif ya kita gak cemaslah..gitulah intinya. Positif aja sih intinya pikiran kita..gak usah mikir yang macem- macemlah..jalani aja gitu..... ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E9b1145-158h9-10 “Gak ada sih ngerasa ragu-ragu, cemas gitu. Anggap aja ya seperti itu tadi, gak ada yang namanya ibu tiri bagi kakak lo qi. Jadi ngejalaninnya tenang gitu. Kalok seandainya gak tenang, kalok seandainya apa..ya..pasti sampai detik ini kita udah pisah perkara nerima status ibu tiri yang punya anak tunarungu itu kan? Ya..karena itu tadi gitu lo qi, karena kata-kata sabar itulah makanya bisa nerima semua itu... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E9b448-459h25-26 Selama berupaya menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika mengaku bahwa dirinya tidak pernah merasa bersalah dengan status tersebut. Kunci dari penerimaan dirinya itu adalah keterbukaan diri bang AN pada awal perkenalan. Jika bang AN tidak pernah memberitahukan statusnya dari awal sebagai seorang duda yang 133 memiliki anak tunarungu, maka Sartika akan sulit untuk menerima kondisi tersebut ketika sudah menikah. Oleh karena keterbukaan diri bang AN tersebut, Sartika mudah untuk menerima posisinya sebagai ibu tiri Cindy yang mengalami tunarungu. Ia juga menambahkan bahwa ia sudah merasa ikhlas dari awal jika harus menjadi ibu tiri dari Cindy. “Enggaklah dengan penekanan. Gak pernah menyalahkan diri sendirilah. Gimana ya, karena dari awalnya udah..hem..istilahnya udah nerima, udah bakalan tau posisi kakak kalok nikah sama bang AN seperti apa, gitu... ” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E9b113-118h7-8 “Enggak. Gak ada. Udah ikhlas dari awal…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E9b122h8

10. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

Sampai saat ini, Sartika telah mampu menerima dirinya menjalani hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu Cindy. Ia mengaku, bahwa apabila ada penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ia akan menerima segala penilaian yang muncul tersebut. Namun, ia tidak akan terpaku pada penilaian tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari cara Sartika dalam menikmati hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Ia merasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus merasa malu dengan statusnya sebagai ibu tiri Cindy. Sartika menganggap bahwa dirinya adalah seorang ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu layaknya kelurga normal pada umumnya. 134 “Ya..sikap kakak selama ini ya biasa aja, enjoy aja nikmatin hidup ini. Anggap ajalah yang kakak bilang tadi, gak ada istilah ibu tiri. Mungkin pertanyaannya dibalek-balek aja ini ya?... ” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E10b482-486h27 “Ya..biasa aja, ya enjoy aja gitu loh. Anggapnya gak ada apa-apa gitu loh, anggap aja keluarga ini keluarga harmonis tanpa adanya istilah ibu tiri dan anak tunarungu…” W3.R1.ST.P.MDN.15Jun2014E10b488-492h27-28 Tabel 3. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan I Sartika No. Aspek Penerimaan Diri Jersild, 1963 Gambaran Penerimaan Diri 1. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan - Sartika memiliki persepsi positif mengenai keadaan maupun penampilan dirinya - Sartika sudah merasa percaya diri dengan penampilan dirinya saat ini. - Saat ini, Sartika merasa sudah memiliki penampilan yang sempurna sebagai seorang wanita - Sartika tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai penampilan dirinya saat ini. - Sartika sudah menerima keadaan dan penampilan dirinya saat ini dengan apa adanya. 2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain - Sartika memiliki kelemahan yaitu mudah merasa down jatuh, sedih ketika memiliki masalah pada dirinya - Sebagai ibu tiri, Sartika memiliki kelebihan rasa sabar pada dirinya dan kekurangannya yaitu mudah merasa emosi sesaat - Rasa sabar yang dimilikinya membuat Sartika mampu menghadapi keluarga dan mengasuh Cindy yang tunarungu - Sartika tidak mudah merasa marah 135 ketika ada orang yang ingin mengetahui statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Mampu memandang kekurangan dan kelebihannya dengan baik, yaitu dapat menyeimbangkan rasa emosi sesaat yang ada pada dirinya dengan rasa sabar. 3. Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri - Sartika dapat menerima segala kondisi bang AN yang memiliki anak tunarungu dan tidak merasa malu dengan hal itu - Pernah merasa malu ketika ada penilaian dari tetangganya mengenai kondisi Cindy yang tunarungu internal - Awalnya merasa malu ketika mengajak Cindy bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya ekxternal - Rasa malu yang muncul tersebut dapat diatasi karena adanya dukungan dari suami dan pemikiran positif Sartika - Adanya dukungan dari suami, membuat Sartika mulai mau mengajak dan mengenalkan Cindy untuk bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya - Saat ini, Sartika telah mampu untuk menerima kondisi Cindy yang tunarungu dan tidak merasa malu ketika mengenalkan Cindy sebagai anaknya - Sartika telah mampu menanggapi penilaian yang muncul mengenai kondisi Cindy dengan biasa saja. - Sartika tidak mempermasalahkan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Jika ia mempermaslahkan statusnya tersebut, maka akan menambah beban dalam kehidupan rumah tangganya 4. Respon atas penolakan dan kritikan - Apabila Sartika mendapat kritikan, maka ia akan mengambil nilai positif dari kritikan tersebut 136 - Kritikan yang muncul tersebut, akan dijadikannya sebagai evaluasi bagi dirinya agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya - Apabila penialaian tersebut memiliki nilai yang negatif, maka akan dijadikan Sartika sebagai pendapat saja. - Sartika tidak akan memperdulikan penilaian negatif yang muncul mengenai keadaan dan status dirinya - Selama menjadi ibu tiri Cindy, Sartika akan menganggap kritikan atau pendapat orang lain mengenai kondisi Cindy tersebut sebagai masukan dan dukungan untuk dirinya. - Sartika tidak merasa takut terhadap celaan ataupun penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika juga akan lebih menerima apabila ada penilaian yang muncul karena statusnya tersebut, karena penilaian tersebut sesuai dengan keadaan dirinya saat ini 5. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self ” - Adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri, membuat Sartika awalnya tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri - Ketika sudah menjalani peran sebagai ibu tiri, Sartika mengaku tidak mengalami kesulitan untuk menerima status tersebut. - Sartika sudah mengetahui posisinya dari awal ketika menjalin hubungan dengan bang AN. - Sartika membutuhkan waktu untuk dapat menyeimbangkan dan menerima keadaan dirinya sebagai ibu tiri - Saat ini Sartika mengaku telah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung ideal self yang belum 137 tercapai. - Dengan segala harapan yang ia miliki terhadap dirinya dan keluarganya, Sartika mampu menerima segala keadaan dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tiri Cindy yang tunarungu real self. 6. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain - Sartika menyadari bahwa ia masih perlu memperbaiki dirinya untuk bisa menerima dan menyayangi keadaan dirinya. - Sartika mencoba membuka diri untuk bisa berbagi cerita dengan orang terdekat ketika mengalami suatu masalah. - Sartika merasa takut jika berbagi cerita dengan orang tua ataupun dengan suaminya, karena ia merasa tidak ada yang memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya. - Sartika juga menyadari bahwa ia merasa memiliki beban ketika tidak ingin berbagi masalahnya dengan orang lain. - Sartika rela menyimpan sendiri masalah yang ia hadapi tanpa harus berbagi dengan orang lain. - Saa ini, secara keseluruhan Sartika mengakui bahwa ia sudah dapat menerima dan menyayangi dirinya dengan apa adanya. - Sartika juga mengaku bahwa ia mudah untuk menerima kehadiran Cindy sebagai anak tirinya. Terlebih dengan kondisi Cindy yang tunarungu. - Mudahnya Sartika menerima kehadiran Cindy, karena pada masa pacaran dengan bang AN, Cindy juga sering ikut serta dalam kegiatan mereka. - Intensitas pertemuan diantara keduanya memunculkan ikatan emosional. Ikatan emosional yang terjalin diantara keduanya, membuat Cindy dan Sartika menjadi dekat satu 138 sama lain. - Sartika merasa bangga ketika bisa mengasuh Cindy dan bisa bersabar dalam menghadapi kondisi Cindy yang tunarungu. - Sartika mengaku tidak merasa malu ketika harus melibatkan Cindy dalam segala aktivitasnya. 7. Menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri - Sartika merasa jarang berinteraksi dengan tetangga di lingkungannya - Sedikitnya interaksi yang dilakukannya dikarenakan keterbatasan waktu yang dimilikinya. - Meskipun dirinya jarang di rumah dan memiliki kesempatan yang sedikit untuk berinteraksi di lingkungan tempat tinggalnya, tidak menghalangi Sartika untuk berusaha berkumpul dengan tetangga sekitarnya. - Sartika mengaku tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangganya dan berusaha untuk dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. - Bukanlah hal yang baik apabila harus mengurung diri di rumah serta membatasi interaksi dengan tetangga sekitarnya hanya karena memiliki status sebagai ibu tiri. - Sampai saat ini, Sartika belum ada mengikuti salah satu perkumpulan di rumahnya. - Sartika mengaku ketidakikutsertaannya dalam perkumpulan di lingkungannya, dikarenakan dirinya belum bisa membagi waktu serta belum mendapat ajakan dari ibu kepala lingkungannya. - Di tempat kerjanya, Sartika lebih terlihat percaya diri - Sartika tidak memperdulikan statusnya sebagai ibu tiri ketika di tempat kerja. 8. Menerima diri, - Adapun salah satu cara Sartika untuk 139 spontanitas, menikmati hidup menikmati hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu yaitu, memiliki pandangan yang positif terhadap status ibu tiri dan anak tunarungu yang diasuhnya. - Di dalam dirinya, ia menghapus istilah ibu tiri dan anak tunarungu. - Menurutnya kondisi Cindy yang tunarungu, tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. - Sartika merasa menikmati segala aspek kehidupannya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika mengaku bahwa selama 2 tahun terakhir, ia menikmati dalam mengasuh dan merawat Cindy yang tunarungu. - Sartika juga merasa bebas melakukan hal-hal yang disukainya. - Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah sebagai hambatan untuk bisa menikmati berbagai aspek di dalam hidupnya. - Statusnya bukan sebagai penghambat untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya. 9. Kejujuran dalam penerimaan diri - Setelah menjadi ibu tiri Cindy, Sartika merasa mampu menerima statusnya sebagai ibu tiri Cindy - Dia tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. - Perannya sebagai ibu tiri Cindy, menurutnya tidak ada bedanya dengan ibu kandung pada umumnya. - Sartika melakukan perannya sesuai dengan tugas seorang ibu pada umumnya, yaitu mengasuh dan merawat Cindy yang mengalami tunarungu. - Sartika sudah menganggap Cindy sebagai anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. - Saat ini, Sartika mengaku bahwa ia 140 tidak pernah merasa ragu, cemas dan bimbang dengan statusnya. - Apabila dirinya terlalu memikirkan statusnya sebagai ibu tiri Cindy, maka dalam menjalani hidupnya Sartika tidak akan merasa tenang. - Selama berupaya menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika tidak pernah merasa bersalah dengan status tersebut. - Kunci dari penerimaan dirinya itu adalah keterbukaan diri bang AN mengenai status dudanya pada awal perkenalan. - Karena keterbukaan diri bang AN tersebut, Sartika mudah untuk menerima posisinya sebagai ibu tiri Cindy yang mengalami tunarungu. - Sartika juga sudah merasa ikhlas dari awal jika harus menjadi ibu tiri dari Cindy. 10. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri - Saat ini, Sartika telah mampu menerima dirinya menjalami hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu Cindy. - Jika ada penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ia akan menerima segala penilaian yang muncul tersebut. Namun, ia tidak akan terpaku pada penilaian tersebut. - Hal tersebut dapat dilihat dari cara Sartika dalam menikmati hidupnya - Ia merasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus merasa malu dengan statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika memposisikan dirinya sebagai seorang ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu layaknya kelurga normal pada eumumnya. 141 Gambar I. Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Partisipan I Sartika Aspek-Aspek Penerimaan Diri Ibu Tiri Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan - Memiliki persepsi positif mengenai keadaan penampilan dirinya - Sudah merasa percaya diri dan merasa memiliki penampilan yg sempurna sbg wanita - Tidak terpaku dgn penilaian org lain mengenai penampilan dirinya saat ini Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri orang lain Kelemahan : mudah merasa down mudah merasa emosi sesaat Kelebihan : memiliki rasa sabar yang membuatnya mampu menghadapi keluarga mengasuh anak tirinya yg tunarungu Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri Awalnya merasa malu ketika mengajak Cindy bersosialisasi di tempat tinggalnya. Namun, dapat diatasi karena ada dukungan dari suami pemikiran positif. Sartika telah mampu menerima kondisi Cindy dan tidak merasa malu lagi ketika mengenalkannya sebagai anaknya. Tidak mempermasalahkan statusnya sebagai ibu tiri. Respon atas penolakan kritikan - Mengambil nilai positif dari kritikan org lain - Kritikan yg muncul akan dijadikannya sbg evaluasi diri - Tidak memperdulikan penilaian negatif yg muncul mengenai keadaan status dirinya - Sartika akan menganggap kritikan org lain mengenai kondisi Cindy sbg masukan dukungan - Tidak merasa takut trhdap celaan yg muncul terkait statusnya Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self ” - Saat ini Sartika mengaku telah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sbg ibu tiri real self dgn keinginan dirinya menjadi ibu kandung ideal self yg belum tercapai. - Dgn segala harapan yg ia miliki trhdp dirinya keluarganya, ia mampu menerima segala keadaan dirinya dlm menjalani kehidupan sbg ibu tiri Cindy yg tunarungu real self Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain - Menyadari bahwa masih perlu utk memperbaiki dirinya - Mencoba membuka diri utk bisa berbagi crta dgn org trdkat - Mudah menerima kehadiran Cindy sbg anak tirinya kondisi tunarungunya - Merasa bangga ketika bisa mengasuh Cindy bisa bersabar dlm mghdapi kondisi Cindy yg tunarungu - Mengaku tdk merasa malu ketika harus melibatkan Cindy dlm segala aktivitasnya Menerima diri, menuruti kehendak menonjolkan diri - Merasa jarang berinteraksi dgn tetangganya karena bekerja - Ia tetap berusaha utk berusaha brkumpul dgn tetangganya - Mengaku tetap percaya diri ktika berinteraksi dgn tetangganya - Ketidakikutsertaannya dlm prkmpulan di lgkungannya krn blm bisa mmbagi waktu blm mndpt ajakan dari ibu kepala lingkungan - Sartika lebih terlihat percaya diri di tmpat kerjanya - Tidak memperdulikan statusnya sbg ibu tiri ketika di tmpat kerja Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup - Memiliki pandangan positif trhdp status ibu tiri anak tunarungu agar bisa menikmati hidupnya - Menghapus istilah ibu tiri anak tunarungu - Kondisi Cindy yg tunarungu tidak berbeda dgn anak normal lainnya - Menikmati segala aspek kehidupannya sbg ibu tiri Cindy - Merasa bebas melakukan hal- hal yg disukainya - Statusnya bukan hambatan utk bersosialisasi Kejujuran dalam penerimaan diri Sikap yang baik terhadap penerimaan diri - Setelah menjadi ibu tiri Cindy, Sartika merasa mampu menerima statusnya sbg ibu tiri Cindy - Perannya sebagai ibu tiri, menurutnya tidak ada bedanya dgn ibu kandung pd umumnya - Sudah menganggap Cindy sbg anak yg ia lahirkan dari rahimnya sendiri - Saat ini, Sartika telah mampu menerima dirinya sbg ibu tiri yg memiliki anak tunarungu - Jika ada penilaian yg muncul terkait statusnya, maka ia akan menerima penialain tsb namun tdk terpaku pd penilaian tsb. - Memposisikan dirinya sbg seorang ibu kandung yg mengasuh anak tunarungu spt keluarga normal lainnya 142

B. HASIL 1. Analisa Data Partisipan 2

Tabel 4. Gambaran Umum Partisipan 2 Keterangan Partisipan 2 Nama NB Jenis Kelamin Perempuan Usia 32 tahun Suku Cina Pendidikan Terakhir Diploma 3 Pekerjaan Ibu rumah tangga Ibu Kepala Lingkungan Menikah di Usia 26 tahun

2. Data Wawancara Partisipan 2

Tabel 5. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 2 No. Partisipan Waktu Wawancara Lokasi Wawancara 1. Partisipan 2 Hari Jum’at 13 Juni 2014 Pukul : 14.16-14.52 WIB Rumah Partisipan 2. Partisipan 2 Hari Sabtu 14 Juni 2014 Pukul : 12.16-12.45 WIB Rumah Partisipan 3. Partisipan 2 Hari Senin 16 Juni 2014 Pukul : 13.41-14.15 WIB Rumah Partisipan 4. Partisipan 2 Hari Kamis 13 November 2014 Pukul : 11.13-12.12 WIB Rumah Partisipan 143

a. Partisipan 2

1 Hasil Observasi pada Wawancara I - Lokasi dan waktu wawancara : Rumah partisipan pada hari Jum’at 13 Juni 2014, pukul 14.16-14.52 WIB. NB merupakan seorang wanita dewasa awal yang berkulit putih dan memiliki rambut hitam ikal yang cukup panjang sepinggang. Wanita berdarah Cina-Aceh ini, memiliki mata yang kecil khas keturunan Tionghoa. NB memiliki bentuk wajah yang bulat dengan bentuk dagu sedikit tajam ke bawah dan memiliki hidung yang sedikit mancung. NB memiliki tinggi kira-kira160 cm dengan berat badan sekitar 85 kg sehingga bentuk tubuhnya terlihat sedikit gemuk. Saat membuka pintu masuk, partisipan terlihat mengenakan kaos polos lengan pendek berwarna biru laut dan celana pendek selutut berwarna coklat dengan rambut ikalnya yang diikat satu kebelakang. NB terlihat tidak mengenakan make-up sama sekali. NB juga terlihat tidak menggunakan perhiasan, sehingga penampilannya tidak terlihat mencolok saat itu. Penampilan NB yang sederhana dan casual, menunjukkan dengan jelas bahwa dirinya memiliki perawakan tomboy. Wawancara dilakukan di rumah NB di Kecamatan Tembung, Medan Tembung. Rumah NB terletak di dalam sebuah gang yang cukup lebar, sehingga kendaraan roda 3 dan roda 4, seperti becak dan mobil dapat masuk ke dalam gang tersebut. NB saat ini tinggal di rumah yang masih terlihat dalam tahap pembangunan, sehingga beberapa sudut bagian rumah masih 144 terlihat hanya dibalut dengan batu bata dan belum di amplas. NB tinggal bersebelahan dengan rumah ibunya yang hanya dipisahkan oleh dinding semen. Terdapat teras yang berukuran sekitar 3x5 meter dan masih beralaskan semen di depan rumah NB. Sebelah sisi kiri pintu masuk, terdapat kursi kayu yang berukuran cukup panjang dengan sebuah meja kayu persegi yang berukuran lebih kecil dari ukuran kursinya yang terletak persis di depan kursi. Ketika masuk ke dalam rumah NB, terlihat sebuah ruang tamu yang berukuran 4x7 meter dengan material dinding yang terbuat dari batu bata dan berlantai keramik putih. Terdapat sebuah meja tamu berbentuk bulat yang berdiameter sekitar 75 cm dengan beberapa surat kabar diatasnya pada sisi kanan ruang tamu. Sudut kanan ruang tamu, terdapat sebuah meja kerja beserta kursi dengan beberapa alat tulis diatas mejanya. Di dalam ruang tamu yang masih dalam tahap pembangunan tersebut, terlihat ada beberapa susunan foto NB dan keluarganya berjumlah enam buah yang tersusun rapih di dinding menyerupai anak tangga. Di samping meja kerja, ada sebuah lemari yang terdiri dari sebuah televisi berukuran 21 inch dan beberapa vas bunga tersusun diatasnya. Wawancara dilakukan di ruang tamu NB. Saat wawancara, NB duduk di lantai dan menarik sebuah meja bulat ke arah dinding. Posisi duduk NB menyandar ke dinding dengan posisi kaki disila. Posisi duduk antara NB dan peneliti berjarak sekitar 45 cm dimana peneliti duduk di depan NB. Pada awal wawancara, NB memegang sebuah botol minuman isotonik sambil bolak-balik memutar-mutar tutup botolnya. Pada saat pertanyaan seputar identitasnya, NB meletakkan botol minuman 145 tersebut dan mulai fokus dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Selama wawancara, partisipan terlihat sesekali tersenyum dan tertawa ketika berbicara. Selama proses wawancara, NB juga terlihat menggulung-gulung sobekan surat kabar yang diambilnya dari surat kabar di depannya. Ketika menjawab pertanyaan tentang pekerjaannya, NB terlihat menunduk dan menjawab pertanyaan tersebut dengan suara yang pelan. NB hanya sesekali menatap peneliti saat berbicara, yang menunjukkan bahwa NB merasa belum nyaman dengan suasana wawancara. Namun ketika di pertengahan wawancara, NB sempat menjaga kontak mata dengan peneliti sampai ia selesai menjawab pertanyaan mengenai awal pertemuannya dengan suami. Ketika menjawab pertanyaan mengenai masa pacaran dengan suaminya, NB terlihat sedikit kesal, dimana hal ini ditunjukkan dengan nafas panjang yang disertai dengan senyum mengernyit pada raut wajah NB. Ketika menjawab pertanyaan mengenai duda, NB terlihat menggulung-gulung sobekan surat kabar yang ditangannya sambil memandang ke bawah dan membenarkan posisi duduknya mendekati meja. NB juga mengulang kalimat yang sama ketika menjelaskan mengenai status duda. Ketika NB menjelaskan tentang kondisi rumah tangganya yang dicampuri oleh mertuanya, NB sempat menitikkan air mata dengan pandangan ke bawah. Meskipun NB sempat menitikkan air mat, NB tetap melanjutkan pembicaraannya. Proses wawancara sempat terhenti karena ada tamu yang datang mencari suami NB. Setelah tamu tersebut pulang, NB langsung melanjutkan jawabannya yang sempat terhenti. Proses wawancara sempat terhenti karena 146 NB mulai menangis ketika menceritakan tentang peran mertuanya di dalam rumah tangganya. Ketika NB hendak melanjutkan ceritanya, tiba-tiba ibu NB datang ke rumahnya dan proses wawancara terhenti. 2 Hasil Observasi pada Wawancara II - Lokasi dan Waktu Wawancara Rumah Partisipan hari Sabtu, 14 Juni 2014 pukul 12.16-12.45 WIB Wawancara kedua dilakukan di tempat yang sama, yaitu di rumah NB. Wawancara berlangsung di dalam ruang tamu NB. Pada saat itu, NB mempersilahkan peneliti untuk duduk dan kemudian tersenyum kepada peneliti karena keadaan rumahnya yang berantakan dengan beberapa boneka dan mainan yang berserakan di lantai. Setelah membereskan boneka dan mainan yang dilantai, NB ke dapur dan kembali memasuki ruang tamu dengan membawa dua buah botol minuman isotonik di tangannya. NB te rlihat mengenakan kaos merah lengan pendek yang bertuliskan “Sehatkan Dirimu Mulai Sekarang” dengan celana hitam pendek selutut. Saat itu, NB terlihat tidak menggunakan make-up dan perhiasan di tubuhnya. NB sempat terlihat membenarkan ikatan rambutnya saat wawancara dimulai. Pada saat wawancara, NB dan peneliti duduk di sebuah kursi tamu khas jepara bercorak batik yang terbuat dari kayu. Kursi tersebut memiliki panjang kira-kira 1,5 meter dan kursi khas jepara tersebut tampak kilat dan kokoh. Posisi duduk NB menyandar ke kursi dengan posisi serong kekiri dari posisi duduk peneliti. Posisi duduk peneliti dan NB sedikit menghadap satu 147 sama lain yang berjarak hanya sekitar 30 cm. Setelah mempersilahkan peneliti minum, kemudian NB langsung ingin melakukan wawancara. Di awal wawancara, NB langsung menyambung jawabannya mengenai rumah tangganya yang dicampuri oleh mertuanya. Wawancara sempat terhenti ketika Aurum anak tiri NB terlihat masuk ke dapur dan mengambil sebuah sendok dan piring. Kemudian NB sempat mengejarnya, namun Aurum langsung lari keluar rumah. NB akhirnya membiarkan Aurum dan NB langsung kembali duduk di samping peneliti. NB mengambil posisi duduk yang menyandar ke kursi dan tidak menatap peneliti ketika menjelaskan tentang ketidaksetujuan mertuanya terhadap dirinya. Sesekali NB menunjukkan rasa geram dengan mertuanya yang menuduhnya memukul anak tirinya. Hal tersebut ditunjukkan dengan raut wajah NB yang merapatkan giginya sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu masuk dengan menyebutkan mertuanya. Mata NB terlihat berkaca-kaca ketika membahas tentang pernikahannya yang tidak disetujui oleh mertuanya. Sesekali NB terlihat menjaga kontak mata dengan peneliti dan kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk. Saat membahas tentang anak tirinya, NB terlihat membenarkan posisi duduknya dan kemudian ia meneguk minuman dari botol yang terletak diatas meja, sambil memutar-mutar tutup botol minuman tersebut. NB terlihat tersenyum ketika menjelaskan tentang anak tirinya yang suka menari-nari ketika NB memutarkan video lagu anak-anak. 148 3 Hasil Observasi pada Wawancara III - Lokasi dan Waktu Wawancara Rumah Partisipan pada hari Selasa 16 Juni 2014 pukul13.41-14.15 WIB Wawancara ketiga dilakukan di tempat yang sama yaitu di rumah NB. Namun pada wawancara kali ini, NB terlihat sedang duduk di depan pintu rumahnya sambil mengawasi anak tirinya bermain dengan kucing di depan teras. NB kemudian mempersilahkan peneliti untuk masuk dan duduk di dalam ruang tamu. Namun, karena NB terlihat tidak bergerak dari tempat duduk semula, membuat peneliti mendatangi NB dan langsung duduk tepat di sebelah kirinya. Kemudian peneliti berkata untuk melaksanakan proses wawancara di depan pintu rumah NB saja, dengan tujuan agar NB tetap dapat mengawasi anak tirinya yang sedang bermain dengan kucing. Pada saat wawancara, peneliti dan NB duduk di depan pintu masuk. Pintu masuk tersebut memiliki panjang dan tinggi sekitar 2x3 meter dengan model 2 pintu. Kedua pintu tersebut dibuka oleh NB ketika peneliti duduk disampingnya. Jarak duduk antara peneliti dan NB kira-kira 50 cm dengan posisi saling berhadapan dan menyandar ke pintu. Posisi kaki NB yaitu kedua kakinya ditekuk keatas dengan kedua tangan melingkar diatasnya. Saat wawancara ketiga, NB terlihat mengenakan baju kaos berlengan pendek berwarna merah dengan kombinasi celana pendek hitam selutut. Rambutnya diikat satu kebelakang dan sisanya dibiarkan jatuh kebelakang. Pada saat proses wawancara, NB terlihat bersemangat dan membuka diri 149 ketika ditanya mengenai asal mula perkenalannya dengan suami. NB juga terlihat sesekali tertawa ketika menceritakan kenangan masa perkenalan dengan suaminya. NB sempat terlihat menunduk kebawah ketika bercerita mengenai alasan dirinya berhenti bekerja. NB juga terlihat kesal yang ditunjukkan dengan merapatkan giginya ketika bercerita mengenai anak tirinya yang selalu mengikuti suaminya. Saat wawancara sedang berlangsung, NB sempat menawarkan peneliti minum. Namun peneliti menolak tawaran tersebut dan ingin melanjutkan proses wawancara. Selama proses wawancara, NB juga terlihat menepuk- nepuk dadanya secara perlahan ketika bercerita mengenai keluarga suaminya. Kemudian, NB terlihat kembali tertawa lepas ketika membahas mengenai penampilan dirinya yang terlihat gemuk. Saat wawancara, adapun beberapa hal yang mengganggu proses wawancara yaitu suara anak-anak yang berteriak-teriak di depan rumah NB dan suarua kendaraan bermotor yang lalu lalang di depan jalan rumahnya. Namun, wawancara dapat berjalan dengan lancar sampai selesai. Proses wawancara terhenti ketika suami NB pulang karena ingin makan siang. 4 Hasil Observasi pada Wawancara IV - Lokasi dan Waktu Wawancara Rumah partisipan pada hari Kamis, 13 November 2014 pukul 11.13-12.12 WIB 150 Wawancara keempat dilakukan di tempat yang sama seperti wawancara- wawancara sebelumnya, yaitu di rumah NB. Proses wawancara berlangsung di dalam ruang tamu yang berukuran berukuran 4x7 meter dengan material dinding yang terbuat dari batu bata dan berlantai keramik putih. Peneliti dan partisipan duduk di atas selembar tikar dengan corak hijau dan biru. Seperti wawancara sebelumnya, sebelum wawancara dimulai partisipan menarik sebuah meja bulat kearah dinding. Sebelum wawancara dimulai, NB bercerita mengenai keadaan suaminya yang sempat masuk rumah sakit beberapa minggu terakhir karena penyakit jantung ringan yang dialaminya. Ketika bercerita mengenai keadaan suaminya, NB sempat menitikkan air matanya kemudian NB mengusap air matanya dengan lengan bajunya sebelah kanan. Peneliti kemudian menanyakan kepada NB apakah dirinya ingin melanjutkan wawancara atau tidak. Menyadari kehadiran peneliti, kemudian NB berkata kepada peneliti untuk memulai proses wawancara agar dirinya tidak terlarut dalam kesedihan. Pada sesi wawancara keempat, NB terlihat mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam yang dikombinasi dengan celana panjang coklat. Kaos tersebut terlihat longgar pada tubuh NB yang gemuk. Seperti biasanya, dengan perawakan dirinya yang tomboy, NB terlihat tidak menggunakan perhiasan maupun make-up. Selama wawancara berlangsung, NB tampak duduk dengan meluruskan kakinya sambil bersandar ke dinding. Meskipun tubuhnya bersandar ke dinding, tubuh NB sesekali terlihat cenderung maju mengarah kepada peneliti yang duduk di depannya. Jarak antara peneliti dengan NB 151 sangat dekat hanya sekitar 30 cm dan duduk saling berhadapan. NB terlihat menjawab pertanyaan dengan posisi duduk yang santai dengan tubuh menyandar ke dinding. NB sesekali juga mempertahankan kontak matanya dengan peneliti, meskipun terkadang NB terlihat membuang pandangannya ke arah foto yang terletak di dinding. Wawancara sempat terhenti ketika ibu NB datang ke rumah NB dan menanyakan tentang masakan NB. Kemudian NB beranjak dari tempat duduknya dan menemui ibunya di dapur. Tidak lama kemudian NB dan ibunya keluar dari dapur dan ibunya membawa sebuah mangkok di tangan kanannya dan meminta maaf kepada peneliti karena mengganggu proses wawancara. NB kemudian kembali duduk ke posisi semula dan langsung melanjutkan jawabannya. NB juga terlihat meletakkan tangan kanannya diatas meja sambil menopang kepalanya sambil menjawab pertanyaan yang diberikan. Secara keseluruhan, keempat proses wawancara berjalan dengan baik. Selama proses wawancara, NB juga terlihat terbuka dengan peneliti untuk membicarakan mengenai issue seputar penelitian. Setiap akan mewawanacarai partisipan, peneliti tidak membutuhkan waktu yang lama dalam membangun rapport dengan partisipan. Rapport yang dibangun dengan partisipan, dimulai dengan bercerita mengenai pembicaraan umum seperti pekerjaan, kegiatan di hari libur dan sebagainya. Meskipun awalnya NB sempat menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian, namun di akhir wawancara NB mengucapkan 152 banyak terima kasih karena dirinya merasa nyaman ketika berbagi cerita dengan peneliti.

b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 2

1 Latar Belakang Kehidupan Ibu Tiri NB adalah seorang wanita dewasa awal yang berusia 32 tahun. Ia dilahirkan dan dibesarkan di kota Medan. Wanita berdarah Cina-Aceh ini, adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pensiunan dari salah satu perusahaan swasta di Medan. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai juru masak di sebuah acara. Pendidikan terakhir NB adalah Diploma 3 jurusan Pariwisata dari salah satu universitas swasta di kota Medan. Saat ini, NB tinggal bersama suami dan anak perempuan tunggal dari suaminya di kecamatan Tembung, Medan Tembung. Setelah tamat kuliah, NB mendapatkan modal dari abangnya dan menggerakkan sebuah home industry kecil-kecilan dibidang makanan di dekat rumah lama ibunya. Namun, NB hanya bekerja selama setahun di home industry tersebut. Hal tersebut dikarenakan, NB diminta berhenti bekerja oleh pacarnya, bang AD. Dengan alasan untuk menjaga anaknya. Pacar NB adalah seorang duda yang memiliki satu anak perempuan. NB dan pacarnya bang AD sudah mengenal satu sama lain karena tinggal di lingkungan yang sama. Pada tahun 2005, hubungan NB dan pacarnya hanya sebatas warga dan kepala lingkungan saja. Pada saat itu, bang AD sering 153 mengunjungi rumah NB karena adik laki-laki NB adalah teman dekatnya bang AD. Perkenalan NB dan bang AD menjadi semakin dekat, ketika adik NB memberitahukan bahwa ada seseorang yang ingin berkenalan dengan NB. Bertepatan dengan acara resepsi pernikahan kakaknya pada hari Jum’at, NB dan adik laki-laki pertamanya ditugaskan untuk mengantarkan punjungan makanan yang dibagikan ke tetangga karena ada suatu hajatan ke tetangga- tetangga sekitar rumahnya. NB dan adiknya mengantar punjungan dengan menaiki sepeda motor. Ketika sedang di jalan mengantar punjungan, adik NB menawarkan NB untuk berkenalan dengan seorang pria yaitu bang AD yang tidak lain adalah kepala lingkungan di tempat tinggal NB. Setelah NB mempertimbangkan tawaran adiknya tersebut, kemudian NB pun menerima tawaran tersebut. Mendengar tawaran adiknnya tersebut, NB tidak merasa terkejut ketika tahu bahwa yang ingin berkenalan dengannya adalah bang AD. Pada saat itu, NB juga sudah mengetahui status bang AD sebagai duda yang memiliki seorang anak perempuan. NB sudah mengetahui sejak lama mengenai kehidupan bang AD karena tinggal di lingkungan yang sama. “Enggak..gak..gak ada ketemu sih, cuman kan karena memang satu kampung kalok dibilang kan? Dulu awalnya waktu pesta kakaknya kakaklah hem..munjunglah sama adek kakak, boncengan sama adek kakak kan sambil ngantar punjungan tadi. Dia cerita jugak, ‘kak, ada yang mau sama kakak, kakak mau gak?’ kata dia kan? Jadi, kakak bilang sekarang gini, kalok memang dia memang betul-betul serius mau, istilahnya nerima aku kayak gini, keadaan aku kayak gini dia mau nerima, yaudah kita jalani dululah macem mana. Teros, sempet juga ku tanya, ‘siapa rupanya?’ ‘itu ada kepling’ kata dia gitu. Apa mau dia samaku? Kakak bilang gitu kan?” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b87-105h5-6 154 “Adek kakak yang ke..kalok dibilang adek kakak yang pertamalah..anak keempat. Anak keempat inilah adek kakak kan? Adek kakak kan tiga, inilah adek kakak yang pertama laki-laki. Dulu dia RM..remaja mesjidlah..remaja mesjid. Dia akrab dengan keplingnya, sementara posisi itu pas waktu itu kepling itu duda. Jadi dia cerita jugak, kak ada yang mau sama kau. Siapa? Aku bilang gitu. Kepling kak. Kapan rupanya dia ngomong? Tadi malam, gitu yakan? Tadi malam dia ngomong. Mau kakak sama dia? Dibilang dia pas posisi ngantar punjungan. Yaudah..kalok memang dia mau, yaudah gak papa. Tapi, apa mau dia samaku? Terus katanya, kalok kakak mau, dia mau, katanya gitu kan? Dah gitu pas dijalan masih mau antar punjungan, kami ngomo ng.” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb10-31h2-3 “Udah tau dari lamalah qi. Dari aku gadis..dari dia nikah sama istri pertamanya itu, sampek cerai pun tau akulah qi..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LA3bb137-140h7 Pada hari yang sama yaitu Jum’at malam Sabtu, bang AD datang kerumah NB untuk membantu tetangga-tetangga yang lain mempersiapkan resepsi pesta kakaknya NB. Malam itu, NB melihat perilaku bang AD yang membuat NB merasa tidak suka dengannya. Hal tersebut dikarenakan perilaku bang AD yang meminum-minuman keras bersama teman-temannya ketika berkumpul di rumah NB. Dikarenakan perilaku bang AD yang meminum-minuman keras bersama teman-temannya, membuat NB berpikir ulang untuk menjalin hubungan dekat dengan bang AD. Perasaan suka yang pada awalnya muncul pada diri NB, seketika perasaan tersebut berubah menjadi perasaan tidak suka. NB mengaku bahwa dirinya tidak menyukai pria yang suka mabuk karena pengaruh minuman keras. “Dah gitu, jadilah cerita punya cerita malamlah…Tibanya malam, kumpullah dia istilahn ya acara kalok sebelom pesta ada malem ‘lek-lek’. Tapi sebelomnya sempet berpikir jugak untuk dapetkan dia itu. Dia, sekali ku tengok kok kayaknya mau dia ini..ya memang kan istilahnya orang kan 155 bergaul,bergaul ini..kok mau mabok-mabok dia. Keknya..keknya rasa sukak sama dia itu kayak hilang. Dari sukak, jadi timbul benci…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b106-118h6 “Pas posisi malam Sabtu kan acara ‘lek-lekan’, jadi munjung kan hari Jum’at. Pas malam Sabtu, acara ‘lek-lekan’ lah. Disitulah dia ngumpul dirumah kakak bang AD tadi tu. Ngumpul sama kawan- kawan..sama…orang situ jugaklah. Sambil pakek ada acara mabok-mabok. Dari situ terus dibilang..ditawari..sama adek kakak, mau sama dia kepling? Tapi posisinya kutengok waktu itu, dia mabok-mabok sama kawannya. Gak sukak pulak aku sama laki-laki mabok..jadi timbul rasa gak sukaklah. Sempat ngerasa, gak jadilah..gak maulah aku sama dia…kek gitu rupanya tingkah laku dia..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b31-49h3 Ketika berlangsungnya acara resepsi pernikahan kakaknya NB hari Sabtu, pagi harinya NB ditelepon dan disuruh bang AD untuk datang menemui bang AD di rumahnya. Namun, karena NB sedang berada di resepsi kakaknya, NB memutuskan untuk tidak bisa memenuhi ajakan bang AD tersebut. NB berpikir bahwa ia tidak bisa meninggalkan acara tersebut. Kemudian pada malam harinya, bang AD datang menghadiri acara pernikahan kakaknya NB. Ketika bang AD datang, NB sempat melihat ke arah bang AD. Namun, ketika itu NB mengaku bahwa dirinya tidak menyukai bang AD seperti sebelumnya. Yang membuat NB menjadi lebih tidak menyukai bang AD, yaitu ketika malam ‘lek-lek-an’ berkumpulnya warga sekitar selama semalam penuh untuk membantu warga yang sedang mengadakan hajatan, bang AD mabuk- mabukkan dengan warga yang lain sampai jam 3 pagi. “Setelah itu, malam berlalu. Menjelanglah pagi…dia nelpon...nelpon ke hp. Di telpon dibilang dia Adi..Adi kawanku katanya. Trus kubilang, kawanku gak ada yang namanya Adi. Rasaku gak pernah aku ngasih nomor hp ini ke orang..aku pun gak punya kawan yang namanya Adi. Trus ngakulah dia siapa..disuruhnya aku datang ke rumah dia. Posisi disitu lagi 156 pesta..gak bisa jadinya aku tinggalkan pesta ini. Ku bilang, aku gak bisa..aku lagi repot, lagi...sibuk. Udah gitu pas malam dia datang undangan. Ku tengok jugak dia. Istilahnya disitu rasa sukak itu udah gak ada gitu..karena ku tengok dia itu mabok. Maboknya berat, sampek posisi malam Sabtu itu pas lek-lekan dia sampek jam 3 itu belom bubar. Sampek jam 3 pagi. Disitu udah ngerasa gak bisalah...walaupun kami belom kenalan secara deket, paginya dia nelpon, trus kubilang gak ada nama kawanku Adi, gak pernah aku ngasih nomor sama yang namanya Adi. Ku bilang gitu aja karena udah gak sukak itukan sama dia. Pas dia datang un dangan, gak ada reaksi sukak aku ke dia..gak ada lagi…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb49-79h3-4 Berselang seminggu setelah acara resepsi pernikahan kakaknya NB, bang AD datang mengunjungi rumah NB. Adapun tujuan dari kedatangan bang AD yaitu untuk mengungkapkan perasaannya kepada NB. Ketika NB mendengar pengakuan bang AD mengenai isi hatinya, NB teringat kembali akan perilaku mabuk-mabukkan bang AD. NB berpikir bahwa ia tidak ingin memilih seorang imam rumah tangga yang pemabuk. Untuk itu dirinya merasa berat untuk menjawab isi hati bang AD tersebut. Setelah mempertimbangkan jawaban atas perasaan bang AD, tidak berapa lama kemudian NB pun menjawab perasaan bang AD, dengan berkata bahwa ia tidak ingin menjalani hubungan yang tidak serius. NB juga menambahkan, apabila isi hati bang AD tersebut benar-benar ingin menjalani hubungan yang serius dengan NB, maka NB juga ingin menjalani hubungan tersebut dengan serius. Meskipun saat itu ketika NB menjawab isi hati bang AD, hatinya menolak untuk menjalani hubungan serius dengan bang AD. Ingatan mengenai perilaku mabuk bang AD, membuat rasa tidak suka muncul lagi pada diri NB. Namun, NB berpikir tentang keberanian bang AD yang datang 157 ke rumah NB untuk mengutarakan isi hatinya dan bertemu dengan kedua orang tua NB. Hari itu juga, bang AD menghabiskan waktu di rumah NB sambil menonton film India bersama dengan orang tua NB. Kedua orang tua NB juga sudah mengetahui bahwa bang AD adalah seorang duda yang memiliki seorang anak perempuan tunarungu. Keberanian bang AD tersebut membuat NB mempertimbangkan keinginan bang AD untuk menjalin hubungan serius dengan NB. “Setelah selang..itu posisi pesta tanggal 2..tanggal.. tanggal 6. Tanggal 6 datang dia ke rumah. Datang ke rumah, trus dia ngutarakan isi hati dia. Disitu aku masih tepikir jugak aku. Aku tuh gak sukak, istilahnya untuuuk..jadi imamku kalok dia itu pemabok. Posisi malam Rabu..malam Kamis..iya..malam Kamis, datang dia ke rumah...trus dia mengutarakan isi hati dia kalok dia itu sukak samaku. Trus ku bilang, kalok untuk maen- maen..aku gak mau..tapi kalok untuk serius, ya..aku jalanilah gimana bagusnya. Tapi sementara itu, hatiku masih nolak. Nolak tu tadi karena dia mabok itu tadi. Cuman kok dia ini berani datang ke rumah. Memang taulah keluargaku posisi dia itu duda. Aku pun tau jugak status dia itu duda kan? Dah gitu..hem..dia berani datang ke rumah. Jumpa jugak sama orang tuaku, duduklah kami, nonton tivi kami gak ada keluar. Sekitar kalok gak salah itu jam 10. Posisi acara di tv itu film India tertawa terbahak-bah ak. Judulnya Dil To Pagel Hae…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb80-107h5-6 Setelah NB menjawab isi hati bang AD untuk menjalani hubungan pacaran, kemudian NB merasakan keraguan bang AD terhadap jawabannya. Menurut NB, keraguan tersebut muncul karena bang AD menyadari bahwa dirinya adalah seorang duda yang memiliki seorang anak perempuan tunarungu. Kemudian NB menjawab, bahwa dirinya tidak mempermasalahkan status bang AD tersebut. Menurutnya, status duda hanyalah sebuah status dan duda juga seorang manusia biasa. NB juga menambahkan bahwa dirinya lebih memilih seorang pria yang memiliki kejelasan dalam menjalani sebuah 158 hubungan, meskipun pria tersebut adalah seorang duda. Bang AD kemudian bertanya kepada NB apakah NB sedang menjalin hubungan pacaran dengan orang lain atau tidak. NB pun menjawab bahwa sebenarnya ia sedang menjalin hubungan pacaran dengan seorang pria yang masih lajang. Namun, NB mengaku bahwa pacarnya yang masih lajang tersebut tidak memiliki kejelasan untuk menjalani hubungan yang serius. “Makanya ada kenangan jugak. Sampek sekarang, kalok nengok itu, masih teringat tertawa. Dah gitu ceritalah lama, terakher ditembak dialah. Dia sukak samaku, jadi dia nanyak keseriusan aku. Yaudah kita jalani aja dulu. Kita jalani aja dulu ku bilang kan? Trus dia bilang, walaupun aku duda gak papa? Jadi ku jawab, duda kan manusia jugak kan ku bilang. Trus ditanyak dia jugak udah punya pacar? Ku jawab jugak, punya, cuman gak jelas. Gak jelas macem mana? Kata dia gitu. Hem..istilahnya memang status pacaran, tapi dia gak pernah ngapel…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bLA3cb110-125h6-7 “Ya..cuman kan gini tuh, waktu dulu pertama pacaran kan, dia ngomong gini jugak, pernah jugak dia nembak, dibilangnya ‘aku tuh duda, kau mau samaku?’ hem..‘aku tuh duda, kau mau samaku?’ Katanya gitu..katanya gitu. Sementara, aku kan gadis, jadi ku jaw ablah ‘duda kan manusia jugak’ diam hem..‘duda kan manusia jugak kan’ kubilang gitu. Ya memang sih..sebelumnya, sebelom jadian sama dia, ya udah punya cowok, cuman kan cowokku memang lajang nada meninggi, tapi dia gak pasti, untuk apa berharap yang gak pasti, kubilang gitu jugak sama dia. Makanya kalok apa, yaudah kita jalani aja dulu..katanya gitu…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb190-207h10 NB menjelaskan kepada bang AD, bahwa pacarnya yang lajang tersebut hanya mengunjungi rumah NB setiap sebulan sekali. Oleh karena itu, NB tidak ingin melanjutkan hubungan pacaran yang tidak jelas dengan pacarnya yang masih lajang tersebut. Akhirnya, NB memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran dengan bang AD dan meninggalkan pacarnya yang masih lajang. NB ingin menjalani hubungan pacaran yang lebih memiliki kejelasan 159 dikarenakan faktor usia NB yang saat itu sudah mencapai 24 tahun dan ingin segera menikah. Melihat situasi tersebut, akhirnya bang AD mengajak NB untuk menjalani hubungan pacaran dan NB menerima ajakan tersebut. Pendekatan yang dilakukan antara keduanya hanya selama seminggu. Singkatnya pendekatan mereka karena keduanya tinggal di lingkungan yang sama, sehingga sudah mengetahui keadaan masing-masing pihak. “Iya, gak pernah ngapel. Sekali jumpa sih itu pun sebulan sekali baru dateng, itu pun gak ada kejelasan. Jadi kan disini, aku sih mencari yang jelas-jelas ajalah. Memang dia mau nerima aku apa adanya. Ya..dia memang mau yang serius. Dia sempat tanyak jugak, pacarnya duda atau lajang. Lajang ku bilang. Trus dia nanyak, kenapa kalok ada cowoknya yang lajang, kok milihnya yang duda? Ya..ini kan yang dipilih yang bener- bener serius. Kalok duda itu serius kan, bagus itu yang dipilih. Daripada lajang tapi kepastiannya gak ada. Jadi, berjalan jugaklah kami …” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb127-142h7-8 “Istilahnya ini, dibandingkan antara lajang sama duda, ternyata yang lebih serius yang duda, kan tentunya itu yang dipilih, daripada yang lajang. Dia gak serius, cuman mau untuk maen-maen sementara kan, usia nih makin lama kan semakin bertambah..ditambah lagi usia pun udah mau mencapai 25 ke atas kan? Istilahnya kalok untuk perempuan itu udah cukup matang untuk berumah tangga…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3cb249-260h12-13 “Cuman seminggulah PDKT kami itu, ya..karena kan udah tau sama taulah kek mana tingkah laku satu sama laen perkara satu kampong itu tadi kan istilahnya.” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LA3bb130-133h7 Menjalani hubungan pacaran dengan seorang duda yang memiliki seorang anak, tidak membuat NB merasa terkejut. Hal tersebut dikarenakan NB tinggal di lingkungan yang sama dengan bang AD. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah gang. Oleh karena itu, NB sudah mengetahui status dan 160 kehidupan bang AD sejak lama. Karena alasan itu juga, yang membuat NB merasa mudah untuk menerima bang AD sebagai seorang duda yang memiliki anak. Kedua orang tua NB tidak memermasalahkan hubungan NB dan bang AD, seorang duda yang memiliki seorang anak. Orang tua NB menyerahkan semua keputusan ditangan NB. Menurut orang tuanya, jika NB merasa bahagia menjalani hubungan dengan bang AD, maka orang tuanya hanya mendukung keputusan NB tersebut. Ketika usia pacaran genap seminggu, NB diajak untuk menemui kedua orang tua bang AD. “Kan, memang posisi udah tau karena kami kan satu kampong..” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb218-219h11 “Ya..biasa aja saya terima. Istilahnya kan, kayak kalimat yang saya bilang tadi “duda kan manusia juga…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3cb246-248h12 “Ya.. kata orang tua itu, ya..sekarang ya..terserah kau, kalok kau pun sukak, kau pun bahagia, ya..orang tua ya ikut aja, gak ada pertentangan satu sama lain, walaupun dia duda. Diam…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3cb273-278h13-14 “Hem..berapa ya? Alah..seminggu lah itu. Kurang lebih gitulah. Kakak pun lupa, karena kan udah lama kali…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3cb334-336h17 NB mengaku, bahwa dirinya tidak pernah merasa indah pada masa-masa pacaran dengan bang AD. NB merasa terganggu dengan kehadiran anak bang AD yang selalu ikut ketika mereka pergi ke suatu tempat. Ketika NB dan bang AD akan pergi ke suatu tempat, anak bang AD pasti minta ikut pergi dengan mereka. NB merasa bahwa dirinya tidak bisa menghabiskan waktu berdua 161 dengan bang AD ketika mereka pergi karena kehadiran anaknya. Meskipun NB mengaku mengalami masa-masa yang tidak indah, NB juga merasakan kenangan indah selama menjalani hubungan pacaran dengan bang AD. NB menyatakan bahwa Bang AD selalu berusaha mengajak NB untuk menghadiri kegiatan di lingkungan, seperti arisan PKK, acara di kecamatan dan lain sebagainya agar dapat menghabiskan waktu berdua. “Gak..gak pernah…gak pernah indah, karena dia selalu bawak anaknya...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb149-150h8 “Makanya kalok neneknya tau kami mau jalan berdua, sibuk nantik itu anaknya keluar rumah mintak ikut jugak. Ya..masik pacaran aku ya manut- manut ajakan istilahnya sama mamak dia bang AD. Ya..udahlah ikot jugak anaknya sama kami..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b206-212h11 “Iya..he’eh..istilahnya kalok untuk orang pacaran romantis-romantisan itu kan gak ada gitu…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b181-183h9 “Masih pacaran pun kegiatan di lingkungan, dikasih tau dialah istilahnya kayak arisan lingkungan, acara PKK, acara kecamatan, ada rapat-rapat itu selalu datang, selalu hadir sama dia…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb190-195h10 Menurut NB, bang AD selalu mengajaknya untuk menghadiri acara di lingkungan, dikarenakan bang AD ingin mengenalkan NB sebagai calon pendampingnya. Semasa pacaran, NB mengaku bahwa dirinya juga diminta untuk berhenti bekerja oleh bang AD dengan alasan untuk menjaga anaknya yang tunarungu. Bang AD menjanjikan akan membayar NB sesuai dengan pendapatannya ketika bekerja di home industry. Menurut NB, saran bang AD saat itu merupakan hal yang baik. NB mengira bahwa dengan ia merawat anak 162 bang AD, ia juga akan belajar agar kedepannya siap menjalani peran sebagai istri dan ibu tiri dari anak bang AD. “Apa alasan dia setelah berselanglah berapa bulan pacaran, disuruh dialah gak usah kerja lagi. Dengan alasan jaga anaknya lah. Nantik saya bayarlah berapa gajimu dari home industry itu. Memang gak banyak sih. Nantik gajinya ku bayar per minggu. Tergiur jugak. Aku berpikir jugak, iya jugaklah karena nantik kan bakalan jadi anakku jugak. Ku turutin jugaklah. Berhentilah dari home industry itu kami…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb211-222h11-12 Semasa pacaran, NB juga berusaha mendekatkan diri dengan keluarga bang AD. Jarak rumah yang tidak jauh untuk dijangkau, membuat NB sering mengunjungi rumah bang AD. NB juga pernah ikut pergi menginap di rumah saudara bang AD bersama dengan ibu dan anaknya bang AD. Namun, saat itu bang AD tidak ikut menemani NB. Selama menginap di rumah saudara bang AD, NB mengaku bahwa dirinya merawat anak bang AD seperti anaknya sendiri. Disamping itu, NB juga ingin membuktikan kepada calon mertuanya bahwa ibu tiri bukanlah seorang ibu pengganti yang kejam. “Dah gitu sampek seringlah saya datang ke rumahnya pas waktu masih pacaran, kan deket orang satu gang aja depan-depanan. Dah gitu sekali apa, sampek saya disitulah satu harian disitu. Ibaratnya untuk mendekatkan dirinya dengan keluarga bang AD tadi gitulah..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb236-243h12-13 “Berselanglah waktu, pas ada pesta di rumah saudaranya, aku pun ikut jugaklah. Tidor di tempat sodaranya di Binje. Dia posisi itu belom ikot. Aku jadinya pigi sama mamaknya sama anaknya. Tidor samalah kami. Udah ku urusinlah anaknya yang tunarungu itu, ibaratnya kan memang aku ini untuk jadi ibu tirinya. Hem..kata orang ibu tiri itu kejam, jadi mau ku buktikan ke mamaknyalah kalok gak semu a ibu tiri itu kejam…” 163 W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA3bb222-234h12 Setelah menjalani hubungan pacaran selama setahun, kemudian NB dan bang AD bertunangan. Dikarenakan NB merasa bahwa bang AD memiliki keseriusan dalam menjalani hubungan dengannya, akhirnya ketika usia tunangan genap mencapai setahun, NB menerima ajakan bang AD untuk menikah. NB tidak mempermasalahkan jika ia harus menikah dengan seorang duda yang memiliki anak tunarungu. Bertepatan dengan tanggal 29 Februari 2008, resepsi perrnikahan pun digelar di rumah NB. “Ya..karena ada kejelasan itu, memang dia ibaratnya betul-betul maulah istilahnya maulah dia nerima aku kubilang kan, walaupun dia duda, dia pun tau posisi aku tuh kek mana gitu…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb138-142h7-8 “Pacaran. Pacaran jugak setahun. Pacaran setahun, setelah pacaran setahun tunangan kan? Setahun jugak, barulah married. Terakher dua taon.. hitungan dua taon…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb138-142h7-8 “Tahun 2008, tanggal 29 bulan 3. Diam” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3ab73-74h4 “Bulan 2, bulan 2..” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA3bb752h4 2 Kehidupan Ibu Tiri Setelah Menikah Sehari setelah acara resepsi pernikahannya, NB merasa kesal dengan sikap anak tirinya. Kekesalan NB dikarenakan anak tirinya yang tidur bersama 164 dengan dirinya dan suaminya dalam satu kamar. NB juga merasa kesal karena tidak merasakan malam pertama setelah pernikahan dengan suaminya. “Iyalah. Anaknya bisanya tidor sama kami. Apa salahnya neneknya itu bilangin, udah jangan tidor sama ayahmu. Ini enggak, gak ada ngertinya sama kami. Udah gitu, istilahnya adalah malam pertama. Ini gak ada, istilahnya malam pertama sama kami. Gak ada. Malam pertamanya hampa. Hampa tah cemana-cemana. Anaknya pulak yang tidor sama awak. Digabung tidornya sama awak…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b257-268h13-14 Seminggu setelah acara resepsi pernikahannya, NB kemudian diajak oleh bang AD untuk tinggal di rumah orang tuanya. NB pun menjalani hari-harinya di rumah mertuanya. NB menghabiskan waktunya sehari-hari di rumah sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai ibu kepala lingkungan setelah menikah. Pada pagi hari, NB bangun diawal waktu untuk membereskan rumah, memasak nasi serta mengurus kebutuhan suami, anak, adik ipar dan mertuanya. NB melakukan semua pekerjaan rumah tangga serta mengurus kebutuhan adik iparnya yang perempuan dan kebutuhan adik iparnya yang laki-laki. NB mengaku merasa tidak tahan dengan kegiatan rumah tangga yang dilakukan sehari-hari di rumah mertuanya. Menurutnya, kebutuhan adik-adik iparnya bukanlah tanggung jawanb NB. Karena tidak tahan jika harus mengurus kebutuhan adik-adik iparnya, maka NB membujuk suaminya untuk pindah ke rumah sewa mertuanya. Disamping rumah mertuanya, terdapat 2 buah rumah sewa milik mertua NB. Karena NB ingin pindah dari rumah mertuanya, NB berusaha membujuk suaminya untuk berbicara kepada orang tuanya agar tidak menyewakan rumah sewa tersebut kepada orang lain. 165 “Setelah itu, seminggulah...di bawaklah aku ke rumah dia. Hiduplah aku bersama dengan mertua.Bercampurlah hidup bersama orang tua. Pagi aku udah bangun, pagi masak nasi. Udah ku sapu rumahnya, belom ku pel, ku sapu dulu. Nasik udah ku masak, piring udah ku cuci apa segala macem. Jadi udah siap aku ngurus yang di bawah, naek aku ke atas, ngurus semua yang disitu. Yang mau sekolah, yang mau kerja, semuanya aku u rusin...” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA5b268-281h14-15 “Hari tu sempat berpikir mau pindah ke samping rumah mertua itu, cuman 2 rumah itu masih ada orang karena sewanya belom habis. Jadi udah ku bujuk-bujuk suamiku dari jauh-jauh hari. Kita pindah aja ke samping itu geser ke samping bilang sama orang tuamu jangan disewakan lagi, kita yang nempatin. Aku kayaknya kalok untuk campur kayak gini, aku itu udah gak tahan…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA5b288-299h15 NB tinggal bersama dengan mertuanya selama enam bulan. Kemudian NB pindah ke rumah sewa mertuanya bersama dengan keluarga kecilnya. Sampai saat ini, NB tinggal dirumah tersebut dan merenovasi rumah sewa yang saat ini ditempatinya. Sehari-hari selaku ibu kepala lingkungan, NB juga turut membantu suaminya mengurusi urusan warga di lingkungan tempat tinggalnya. NB juga mengaku bahwa semenjak menikah dengan bang AD, dirinya lebih aktif dalam urusan yang berhubungan dengan warga di lingkungannya. “Hem..iya. Enam bulan tah..sekitar gitulah aku pun lupa. Abis tuh bangun rumah sewa inilah walopun deket mertua..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014LA5b287-290h15 “Iya. Udah gak bekerja lagi lah bantu suami...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA2b50-51h3 “Iya. Ngurusin lingkungan, ngurus-ngurusin warga..” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA2b55-56h4 166 NB juga mulai menjalani perannya sebagai ibu tiri Aurum setelah menikah dengan bang AD. NB tidak memiliki reaksi terkejut ketika mengetahui bahwa dirinya akan mengasuh anak tiri yang tunarungu. Perasaan biasa tersebut dapat diterima NB, karena dirinya sudah mengetahui dari awal posisinya sebagai ibu tiri Aurum jika ia menikah dengan bang AD. Menjalani perannya sebagai ibu tiri Aurum yang mengalami tunarungu serta menghadapi keluarga barunya, NB mengaku membutuhkan adaptasi khusus. Adapun adaptasi yang dibutuhkannya yaitu menghadapi dan mengasuh anak tirinya yang tunarungu serta menghadapi keluarga suaminya. Anak tirinya bernama Aurum Angelia Putri dan sering dipanggil dengan nama Aurum. “Reaksi..reaksi..respon? Hem..responnya ya biasa ajalah karena udah tau dari awal bakal ngurus si Aurum kalok nikah sama Bapaknya..Ya..ya..udah siaplah..karena kan kemaren pacaran 2 taun, jadi udah siaplah aku nerima semua keadaan lakikku..orang itu pilihanku..pilihanku kan istilahnya..Biasa ajalah gak yang marah kayak mana gitu..enggaklah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LDb694-702h33 “Ya..awal mulanya butuh adaptasilah..ya…jadi ibu tiri itu…Ya..awal mula..ya…seneng...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA5b311-312h15 “Oh..Aurum Angelia Putri..” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LBb289h15 Aurum mengalami tunarungu sejak lahir. Sebelumnya, kedua orang tua Aurum tidak mengetahui bahwa anaknya mengalami tunarungu. Ketika lahir, Aurum terlihat sehat dan tidak menunjukkan bahwa dirinya mengalami 167 tunarungu. Secara fisik, Aurum terlihat tidak memiliki keterbatasan pada dirinya. Aurum diketahui mengalami tunarungu, ketika berusia 3 bulan, Ketika bapaknya memanggil namanya, Aurum tidak merespon panggilan suara tersebut. Melihat kejadian tersebut, kedua orang tua Aurum kemudian membawanya ke dokter spesialis THT Telinga Hidung Tenggorokan untuk diperiksa lebih lanjut. Setelah dilakukan pemeriksaan terkait dengan kondisi Aurum, kemudian diketahui bahwa Aurum mengalami kesulitan mendengar hard of hearing. Kemudian ketika Aurum berusia 3 tahun, bapak Aurum memasangkan alat bantu dengar hearing of aids kepadanya. Ketika NB mengasuh Aurum berumur 3 tahun, NB mengaku tidak terlalu mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan mengasuh Aurum. Hal tersebut dikarenakan pada umur 3 sampai 4 tahun, Aurum memakai alat bantu dengar hearing of aids. Namun karena Aurum tidak betah memakai alat bantu dengar yang terletak di telinganya, membuat Aurum sering melepas alat bantu dengar tersebut dengan seenaknya. Akhirnya, alat bantu dengar tersebut hilang dan Aurum hanya memakai alat bantu dengar tersebut sampai usianya 4 tahun. “Sejak lahir. Jadi, masih bayi umur 3,4 bulan gitulah kalok dipanggil kata Bapaknya, waktu umur segitu, dia gak nengok..gak nolehlah gitu istilahnya. Jadi bingung jugak kan Bapaknya kenapa bisa seperti itu?” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LBb309-314h16 “Pernah. Dulu kata Bapaknya pernah dibawak ke THT…terus kata Bapaknya dari situ ketahuan kalok dia itu tuli…atau terbatas gitu pendengarannya ya kan? Jadi terkejutlah Bapaknya kan? Lagian dari kecil pun posisinya dia istilahnya sehatlah…lahir utuh gitu kan, gak ada kurang- kurangnya satu apapun. Hem..terus gak lama dari pemeriksaan itu, di pakek alat bantu dengar. Hem..terus dia itu anaknya bosanan..gak betahan gitu anaknya. Jadi, waktu makek alat bantu denger, dia sering lepas-lepas 168 ..yaudahlah..dari situ hilang dan gak makek alat bantu dengar lagi. Udah capek dicariin, entah dimana diletak yaudahlah. Umur-umur 4 tahunan udah gak pakek alatnya lagi dia…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LBb318-337h16-17 “pas umur 3 taunan gak susah kalilah karena alat bantu dengar dia itu kan?..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LCb619-620h29 Awalnya ketika melihat kondisi Aurum yang tunarungu, NB merasa kasihan. Rasa kasihan NB muncul dikarenakan melihat kondisi Aurum yang saat itu berusia 3 tahun sudah tidak bisa mendengar dan berbicara. Melihat kondisi Aurum yang tunarungu, membuat NB berusaha untuk memahami keinginan maupun maksud Aurum. Meskipun NB sudah lama mengetahui kondisi tunarungu Aurum ketika berpacaran dengan bang AD, NB mengaku bahwa dirinya jarang memahami bahasa isyarat maupun keinginan Aurum. Untuk dapat mengerti keiniginan Aurum, NB melihat gerakan isyarat yang dilakukan oleh Aurum, misalnya ketika ia minta balon, maka ia akan memberi isyarat tangan seperti balon. Apabila NB tidak memahami maksud Aurum, maka NB akan menanyakan hal tersebut kepada suaminya. Terkadang suaminya juga tidak mengerti dengan keinginan Aurum. Apabila suaminya tidak memahami keinginan Aurum, maka suaminya akan meng-iyakan dan menuruti keinginan Aurum. Namun, apabila NB dan suaminya sama sekali tidak memahami keinginan Aurum, maka NB akan menuntun Aurum untuk menunjukkan keinginannya tersebut. “Hem..sempat kasian jugak kan awalnya ngeliat dia yang masih kecil 3 taun gitu gak bisa denger..bicara, pasti susah kan?..” 169 W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014b497-500h25 “Ngerti dari cara dia minta sesuatu itu? Ya..liat aja dia ngasih tanda apa, kayak mana gitu. Misalnya kayak dia mintak balon...Hem..itu dia ngasih isyarat kalok dia mau balon..” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb355-361h18 “Terkadang nanyak Bapaknya jugak dia mau apa..kadang ngerti..kadang gak ngerti jugak Bapaknya..” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb363-365h18-19 “Tapi ya itu..Bapaknya gak ambil pusing..orangnya nurutin aja. Kadang pusing jugak, sama bahasa anaknya..orang kan gak ngerti.” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb367-370h19 “Iya. Kadang nantik pun salah ucapan, marah dia..karena gak cocok apa permintaan dia. Ya..terakher dia dituntun dimana yang mau dimintak dia, ya gitu terus ditunjukkannya…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb373-377h19 Salah satu kesulitan yang dihadapi NB ketika mengasuh Aurum yaitu, ketika mengajak Aurum pergi ke tempat umum. Ketika Aurum menginginkan sesuatu, maka keinginannya tersebut harus dipenuhi. Apabila keinginannya tersebut tidak dipenuhi, maka Aurum akan menangis sambil jongkok-jongkok di tempat umum tersebut. Meskipun Aurum bukanlah anak yang rewel, apabila ia menginginkan sesuatu maka orang tuanya harus memenuhi keinginannya tersebut. Terkadang NB juga merasa bingung dan kesal ketika menghadapi Aurum. Walaupun dirinya merasa emosi, NB tidak berani untuk memukul Aurum. “Sulitnya itu..waktu ngajak dia keluar ke tempat-tempat umum, kalok dia ada mau sesuatu, terus gak diturutin maunya, kadang dia mau tuh nangis sampek jongkok-jongkok gitu. Itulah kadang yang buat kesel. Hem..kalok sulit yang lain sih, enggak ya. Penurut sih anaknya, kalok disuruh tidur, ya tidur…disuruh dirumah, kadang dia nurut. Hem..gak rewel sih anaknya…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb383-393h19-20 170 “Iya..susah jugaklah. Ya..kalok posisi dia pas mintak sesuatu kita ngerti, ya bisa diturutin..tapi kalok gak ngerti, ya..bingung jugak. Sempat jugak ya..ada rasa kesel..emosi ya ada jugak. Cuman kan gak mungkin kita emosi, terus kita pukul anak itu..apalagi gak ngerti bahasanya kan?..” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LCb422-432h21-22 Selama menjadi ibu tiri, NB mengaku bahwa dirinya tidak pernah mendengar secara langsung penilaian negatif terkait statusnya sebagai ibu tiri. Status NB sebagai ibu tiri mungkin bermasalah bagi orang lain, namun orang- orang terdekatnya tidak pernah memberikan penilaian negatif kepadanya. Tetangga-tetangganya juga bersikap biasa saja dalam menanggapi status NB sebagai ibu tiri. Penilaian umum masyarakat mengenai ibu tiri yang kejam, memang ada. Namun, tetangga di lingkungan tempat tinggal NB melihat status ibu tiri berdasarkan perilaku individunya. Meskipun NB mengaku bahwa dirinya belum pernah mendapat penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri, namun pada suatu hari NB pernah ditanyai oleh tetangga ibunya mengenai perannya sebagai ibu tiri Aurum yang mengalami tunarungu. Seorang tetangga di rumah lama ibu NB pernah bertanya mengenai peran NB dalam menghadapi kondisi Aurum yang tunarungu. NB kemudian menjelaskan bahwa mengasuh dan merawat anak tirinya yang tunarungu, adalah salah satu tanggung jawab NB ketika memutuskan untuk menikah dengan bang AD. NB mengaku kepada tetangganya tersebut, bahwa dirinya tidak merasa keberatan jika harus menjadi ibu tiri yang mengasuh Aurum. Tetangganya tersebut juga berkata untuk tidak menjadi ibu tiri yang kejam 171 ketika merawat Aurum. Mendengar pernyataan tetangganya tersebut, NB pun menjelaskan bahwa tidak semua ibu tiri memiliki perilaku yang kejam. “Iya. Status kakak mungkin bermasalah bagi orang-orang, tapi kakak gak pernah sih denger langsung penilaian negatiflah dari tetangga-tetangga sini. Makanya kalok kumpul-kumpul sama orang-orang sini, enak aja gitu, gak sukak ngurusin orang..kayak arisan, pengajian..itu pun enak ikutnya awak…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LA4b470-478h24 “Ya tengok jugak posisi ibu tiri ya. Ya..kalok dibilang emang..istilahnya kalok di film-film ibu tiri itu kejam, tapi kan ada jugak yang gak seperti itu gitu yakan? Tapi kan ada jugak pendapat yang gak seperti itu. Rasaku, masyarakat menyimpulkannya ya..tengok-tengok orangnya jugak. Posisi dia itu kejam atau enggak. Ya..kalok enggak ya enggak. Ya..kalok kejam ya..kejam. Gak bisa diapain jugaklah…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b534-545h25-26 “Teros ditanyaknya lagi, enak ngerawat si Aurum itu? Kan susah denger teros gak bisa bicara dia? Ku jawabin ajalah, kalok susah, itu udah resiko aku, udah pilihan aku kawin sama duda yang punya anak kayak gitu. Gak masalah sih wak, orang aku yang jalani kan..ku bilang gitulah. Dijawab dia, iyalah tahan-tahan ajalah kau ya Bet..gitu katanya. Teros dibilang dia, jangan kejam-kejam kau sama anak tirimu. Ku bilang ajalah kan gak semua ibu tiri jahat wak..abes itu ku tinggal masok rumah aja dia..karena memang agak resek uwak itu, males sebetolnya ngeladenin dia, cuman karena dia ke rumah aja hari tu, ya..terpaksalah aku jugak yang ngeladenin dia…ya..penilaian gitu aja sih, gak yang kayak mana kali…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LA4b587-604h28-29 Menurut NB pandangan umum mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam, tidak membuat dirinya menjadi sulit untuk menerima statusnya sebagai ibu tiri. Dikarenakan NB tidak ingin menyetujui pandangan negatif masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri, NB berusaha untuk menjadi ibu tiri yang baik bagi Aurum. NB juga berupaya untuk merawat dan mengasuh Aurum dengan sebaik mungkin. Bagi NB, penilaian umum mengenai karakteristik ibu tiri 172 yang kejam pernah mempengaruhi dirinya pada awal-awal pernikahan. NB sempat memikirkan bagaimana peran menjadi seorang ibu tiri dan bagaimana respon orang-orang sekitar terhadap statusnya. Namun, orang-orang sekitar lingkungan NB menanggapi status ibu tiri NB dengan biasa saja. NB mengaku bahwa dirinya mampu mengatasi pemikiran tersebut setelah menjalani pernikahan selama satu setengah tahun. Setelah menjalani peran sebagai ibu tiri selama satu setengah tahun, NB pun merasa menikmati peran tersebut dan tidak menghiraukan penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. “Kalok penilaian tentang ibu tiri yang kejam..kejam itu, itu gak buat aku susahlah nerima status ibu tiri. Kan memang ada pandangan yang bilang ibu tiri itu kejam, jahat, tapi karena aku gak mau kayak penilaian itu, ya..aku berusahalah, iya..berusaha jugaklah untuk ini..untuk jadi mamak tiri yang baek, meskipun anak tiriku kurang ajar. Penilaian ibu tiri itu ngaruhnya pas di awal-awal nikah aja, ngerasa gini jugak aku yakan, hem..hem..kayak manalah jadi ibuk tiri, kalok aku dibilang kejam, malu jugaklah aku. Setengah taon jugak itu kepikiran setelah nikah. Eh..udah dijalanin, ya..biasa aja. Respon orang-orang ke aku pun dari awal gak kayakmana kali ke aku..aku aja yang perasaan gitu.. ya..biasa aja. Jadi aku pun enjoy- enjoy ajalah nerima statusku jadi ibu tiri itu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LA4b452-472h22 NB juga pernah ditanyai oleh tetangga-tetangga dekat rumahnya mengenai kondisi Aurum yang tunarungu. Awalnya, tetangganya sempat merasa terkejut dengan kondisi Aurum yang tunarungu. Karena saat itu NB sudah menjadi ibu kepala lingkungan, tetangga sekitanrnya juga berani untuk bertanya mengenai kondisi Aurum kepada NB. NB pun menjelaskan kepada mereka mengenai kondisi Aurum yang mengalami tunarungu. Tetangganya juga bertanya bagaimana peran dan hambatan NB dalam mengasuh Aurum yang tunarungu. 173 “Kalok di lingkungan sama tetangga-tetangga sini, ngeliat anak tuli sih, agak terkejut gitu kan awalnya? Kenapa itu anaknya? Karena kan anak kakak baru tinggal disini pas umur 3 tahun, jadi pas kakak tinggal disini, banyak jugak yang sempat tanya-tanya gitu kenapa anak tiri kakak..yaudah kakak jelasinlah bahwasanya dia gak bisa denger…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LDb347-446h22 “Ya..ngomong jugak kek gini..kok mau ngurusin anak tunarungu. Tunarungu itu kan dia susah untuk dirawat gitu kan? Gak bisa ngomong jugak. Ku bilang, ya..gitulah rintangannya ngurus anak tunarungu istilahnya ya..berat gitulah. Kan kita gak ngerti apa yang dimintak dia, gak ngerti kita apa mau dia, kemauan dia kita kan gak paham..ya..disitu kita belajar untuk mahami bahasa dia. Ya..ngomong jugak kek gini..kok mau ngurusin anak tunarungu. Tunarungu itu kan dia susah untuk dirawat gitu kan? Gak bisa ngomong jugak. Ku bilang, ya..gitulah rintangannya ngurus anak tunarungu istilahnya ya..berat gitulah. Kan kita gak ngerti apa yang dimintak dia, gak ngerti kita apa mau dia, kemauan dia kita kan gak paham..ya.. disitu kita belajar untuk mahami bahasa dia...” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b660-670h32 Menurut NB, setelah dirinya menjelaskan kondisi Aurum yang tunarungu kepada tetangga dekat rumahnya, mereka pun memberikan tanggapan yang biasa saja dan dapat memaklumi kondisi Aurum yang tunarungu. Selain itu, tanggapan yang biasa tersebut dikarenakan tetangganya sudah mengetahui bahwa NB menikah dengan seorang duda yang memiliki anak tunarungu. Mereka sebenarnya hanya ingin mengetahui kondisi Aurum yang tunarungu. Oleh karena itu, ketika berkumpul dengan tetangganya NB terkadang juga diberi nasehat untuk tidak berlaku kejam dengan anak tirinya. NB juga tidak terlalu mengambil serius pendapat yang diberikan oleh tetangganya karena mereka berkata sambil tertawa. NB pun menganggap nasehat tentang ibu tiri yang kejam tersebut adalah sebuah candaan saja. 174 “Hem..liat ibu tiri kayak kakak yang punya anak tiri yang tunarungu, gitu? Hem..biasa aja sih kakak tengok. Gak yang gimana-gimana. Lagian orang sini kan udah tau kalok kakak dapet duda yang punya anak kan? Jadi responnya sih ya biasa-biasa aja. Kalok misalnya ngumpul-ngumpul sama orang –orang sini, nantik orang itu yang tanyain becanda-becandaan gitu. Kalok Aurum mintak sesuatu, terus gak dikasih, nantik orang itu bilang, janganlah kejam-kejam ama anak..tapi ya itu..orang itu bilangnya sambil ketawa- ketawa…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LDb454-468h23 Menurut NB meskipun kondisi Aurum tunarungu, Aurum tidak sulit untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Aurum turut melibatkan dirinya dengan anak-anak di sekitar rumahnya untuk bermain bersama. Pada saaat anak-anak sebaya di lingkungannya sedang sekolah, Aurum akan bermain dengan kucing peliharaannya di teras rumah. NB biasanya juga akan mengawasi da menjaga Aurum di rumah ketika tidak ada kerjaan dari kelurahan. Sebenarnya, NB mengaku bahwa dirinya merasa takut jika harus membiarkan Aurum berbaur dengan anak normal lainnya. Biasanya ketika teman-teman sebayanya tidak mengerti pembicaraan Aurum, maka teman- temannya akan mengejek dan menganggu Aurum. Ketika Aurum merasa diganggu, Aurum akan berlari ke rumah dan mengambil sapu dan terkadang Aurum memukul anak yang mengganggunya. Pada saat berusia 5 tahun, Aurum pernah memukul teman sebayanya dengan sapu. Saat itu NB didatangi oleh orang tua dari anak yang dipukul Aurum tersebut, dan diminta tanggung jawab oleh orang tua anak tersebut. “Ya..kalok untuk sulit bergaul, dia gak susah..ya..dia gampang ngebaur gitu sama anak- anak sini…karena dia gak pernah kemana-mana. Jadi temennya ya..sekitaran lingkungan ini aja..eh..sekitar gang lah..kalok 175 dibilang lingkungan kan jauh kali..kalok gang kan dekat dia..jadi mantaunya pun istilahnya gak jauh gitu…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LBb342-351h17-18 “Sosialisasi gak susah dia..keluar rumah jugak dia, maen jugak..gak inilah..gak apa namanya gak di rumah aja..tapi kadang kalok anak-anak sini sekolah, ya..dia gitu maen kucing aja di teras..awak ya nunggu dia ajalah..kalok gak ada kerjaan dari kelurahan..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b672-678h32 “Ini jugak, istilahnya ngerasa takut juga. Yang awak takutin itu nantik manatau tiba-tiba tah dia bekawanlah sama kawannyalah gitu kan, tah tepukul dia anak orang tadi, dah gak nerima mamaknya tah marah gitu yakan? Ya..ada rasa cemas, ada rasa was-was jugak, karena kan orang gak paham apa maksud dia karena dia tunarungu itu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b815-824h40 “Ya..dia maen aja sama anak-anak sini, dia ikot, kalok maen aliep itu dia gak ikot..tapi dia gak maen, nengok- nengok sambil bilang “eeh..eeh..ehh” gitulah karena gak bisa ngomong tadi..kalok apa namanya..kalok dia di ganggu, lari dia itu ke rumah ambel sapu, dipukolnya kadang anak orang, masalah jugak awak sama mamaknya. Ya..gitulah..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LBb634-642h30 “Pernahlah dulu itu masik kecil-kecil umur 5 taunan..kurasa gak ngerti orang itu dia ngomong, diejek-ejeklah mungkin dia..yaudah kakak taunya pun anak orang datang ke rumah..nanges-nanges..ngadu dia katanya dipukol Aurum..eeh..besoknya mamaknya datang.. ya..inilah..tanggung jawab jugak aku..tapi ya ku biar-biarkan ajalah dia mau maen-maen kayak mana..yang penting kalok aku apa namanya..kalok aku dirumah, aku awasin dialah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LCb646-657h30-31 Sampai saat ini, Aurum tidak bersekolah di SLB Sekolah Luar Biasa. Namun, NB berkata bahwa ia juga ingin menyekolahkan Aurum. Sehari-hari, Aurum menghabiskan waktunya dirumah bersama dengan NB. Suami NB pernah menyarankan akan memasangkan kembali alat bantu dengar hearing of aids untuk Aurum. Jadi, meskipun Aurum tidak bersekolah di SLB dirinya 176 tetap mampu untuk mendengar dan berbicara. Sehingga tidak menyulitkan Aurum untuk berinteraksi dengan lingkungannya. “Enggak. Tapi nantik mau jugak disekolahkan jugak di SLB. Istilahnya pun suamiku mau belikkan dia alat bantu dengar lagilah..jadi enggak pun dia sekolah, yang penting dia bisa dengar sama bicaralah. Kan gak susah jadinya dia ke lingkungan.…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LBb300-306h15-16 NB juga mengaku bahwa pada awal pernikahannya, NB merasakan kebahagiaan dengan keluarga kecilnya. Meskipun dengan kondisi bang AD yang duda dan Aurum yang tunarungu, NB merasa bahagia menjalani rumah tangganya. Ketika usia pernikahan 2 tahun, NB merasakan adanya kikisan- kikisan yang mengganggu rumah tangganya. Adapun kikisan-kikisan yang mengganggu rumah tangga NB, yaitu karena mertua NB mulai mencampuri urusan rumah tangganya. “Ya..ibaratnya awal mulanya ya..kalok dibilang, ya..bahagia, ya bahagia jugak. Istilahnya gak ada rintangan apapun, istilahnya gak ada masalah apapun. Tapi, lama-kelamaan lambat laun kok ada istilahnya kikisan- kikisan yang merusak rumah tangga awak tu tadi….” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA5b313-320h15-16 “Iya, setelah dijalani…2 taun..” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b329h16 “Ini kok malah ibaratnya, rumah tangga kami orang tuanya yang mau ngatur…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b344-346h17 NB mengaku bahwa kedua orang tua bang AD ikut campur terhadap semua urusan rumah tangga NB. Selain itu adik ipar NB yang perempuan, juga turut mencampuri urusan rumah tangga NB. Menanggapi campur tangan 177 kedua orang tuanya, suami NB hanya dapat berdiam diri. Suami NB bersikap diam dikarenakan dirinya menghargai kedua orang tuanya, sehingga dirinya memilih untuk tidak menggubris perlakuan kedua orang tuanya. Berbeda dengan suaminya, NB tidak menerima perlakuan dari keluarga suaminya tersebut dan merasa tidak tahan menghadapi perlakuan keluarga suaminya tersebut. “Ha..ada ikut campur tangan orang tua, dari adek ipar pun ikut campur tangan juga. Sementara, dia posisi pun belom berkeluarga. Istilahnya si abang tadi ni, ya..kemungkinan dia pun dia menghargai orang tuanya, males ributlah. Males ribut, dia bukan karena apa..mungkin dia takut, tapi kok lama-kelamaan, kakak gak tahan jugak. Ibaratnya suruh ikut aturan orang itu semua gitu…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b349-359h17 “Iya. Dulunya kayak gitu. Istilahnya anaknya harus ikut apa kata orang tuanya. Ya..kami ya gak bisa nerima gitulah…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b371-374h18 Mulai dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar yang ada di dalam rumah tangga NB, mertuanya ikut mencampuri urusan tersebut. Menurut NB, salah satu hal yang dicampuri oleh mertuanya yaitu jadwal mengasuh anak tiri NB, Aurum. Semenjak awal pernikahan, NB hanya diperbolehkan mengasuh Aurum mulai dari hari Senin sampai Jum’at saja. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu, mertua NB meminta Aurum untuk menginap di rumahnya. Dengan adanya jadwal mengasuh yang ditentukan oleh mertuanya, NB juga menjadi memiliki waktu berdua dengan suaminya ketika hari Sabtu dan Minggu. Setelah menikah, NB mengaku baru dapat menghabiskan waktu berdua dengan suaminya. Semasa pacaran, dirinya jarang menghabiskan 178 waktu berdua dengan bang AD. Hal tersebut dikarenakan anak bang AD yang selalu ikut pergi dengan NB dan bang AD. NB mengaku bahwa dirinya malas untuk mengajak Aurum dikarenakan, ketika Aurum meminta sesuatu dan NB maupun suaminya tidak memahaminya, maka Aurum akan menangis sambil memukul NB. Aurum tidak berani untuk memukul ataupun menangis di depan Bapaknya karena takut dimarahi dan dibentak. “Oh..kalok masa berduaan sama bang AD itu, ya..ya ini pas udah nikahlah qi. Pas udah nikah itu baru bisa ada waktu berduaan sama lakikku. Karena dari awal nikah, neneknya itu, mamaknya bang AD lah yakan, mintak kalok setiap Sabtu sampek Minggu nginep di rumah neneknya. Ya..dari situlah ada waktu berdua sama lakikku..walaupun cuman dua hari istilahnya, tapi ngerasa bebas aja gitu istilahnya bisa ngabisin waktu berdua ama lakikku sendiri, sekali-kali ngerasa gak diikutin sama anak tiri kan enak jugak rasanya…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b178-191h9-10 “Iya..cuman 5 hari aja dia di rumah..samakulah dia.. selebihnya tempat neneknya pas Sabtu- Minggu itulah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b229-232h12 “Malesnya bawak dia ini kan, kalok permintaannya gak diturutin, mau dia itu mukul-mukul aku, gak berani dia sama bapaknya takot dibentak...dipelototin. Dari kecil itu sukak kali dia mukul aku kalok apa..kalok gak dipenuhin maunya. Ya..memanglah pukulan anak umur 3 tahun ya gak kerasa sih, tapi pas umur 3 tahun aja, dia samaku itu kayaknya gak mau. Baek-baek aja aku ngadepin si Aurum itu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b191-202h10 Semenjak menikah, NB dan suaminya akan menjemput Aurum pada Minggu sore dirumah mertua NB. Ketika menjemput Aurum di rumah mertuanya, suami NB tidak mengizinkan NB terlalu lama berada di rumah orang tuanya karena suaminya juga sudah mengetahui perlakuan dingin ibunya kepada NB. Menurut NB ketika Aurum pulang dari rumah neneknya, 179 perilaku Aurum mengalami perubahan. NB merasa bahwa tingkah laku Aurum tidak seperti biasanya. Aurum akan bertingkah seenaknya seperti menyerak-nyerakkan mainannya, membawa anak kucing masuk ke kamarnya dan mengurung anak kucing tersebut sampai mati di lemari pakaiannya. Selain itu menurut NB, Aurum tidak mengerti untuk membereskan rumah. Ketika NB memberikan contoh untuk membereskan barang-barang yang berserakkan dilantai, Aurum hanya diam dan tidak memperdulikan NB. Menurut NB, Aurum hanya mengetahui kesehariannya saja, seperti makan, bermain dan mandi. Meskipun Aurum berperilaku kurang menyenangkan bagi NB, NB mengaku bahwa dirinya tetap berusaha merawat Aurum dengan baik. “Minggu sore kami jemput lagi Aurum kan dari rumah mertuaku. Ya..di rumah mertuaku pun, lakikku ya..ngajak pulangnya cepat jugak, rumah deket pun tapi gak akur gak enak jugak kayak gitu sebenarnya..lakikku kurasa tau jugaklah dia kayak mana perlakuan mamaknya ke aku, jadi ya udah, Minggu sore itu, kami cuman jemput Aurum aja, gak ada istilahnya dudok lama- lama disitu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b214-224h11 “Apalagi kalok dia baru pulang dari rumah neneknya, udahlah laen aja itu tingkahnya, semua diserak-serak, bawak masok anak kucing sampek mati..iya mati anak kucing itu di dalam lemari pakaiannya, terpaksa bongkar jugaklah aku. Kerjaan aku jugak. Anaknya gak ngertilah kalok untuk dibina…diajarin beresin rumah itu agak susah memang dia...disuruh kutip barang aja, gak mau dia…aku contohkanlah ngutip barang-barang yang beserak itu..ya..gak ngerti jugak…diem aja. Yang tau dia itu ya..makan, mandi..keseharianlah yang dia bisa.. karena kan dulu ngerawat dia pelan-pelan jugak aku..istilahnya walau gak sabar pun, terawat jugak gitu anak lakikku…usaha supaya gak jeleklah aku dimata neneknya…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b264-283h13-14 Pada usia 6 tahun, Aurum pernah meludahi NB. Ketika siang itu, NB sedang sibuk mengurus urusan warga di lingkungannya, sehingga NB 180 terlambat mengambilkan makan siang untuk Aurum. Karena Aurum merasa lapar, Aurum pun pergi ke dapur dan berusaha untuk mengambil nasi sendiri. Ketika Aurum tidak bisa mengambil nasi yang berada di atas meja, Aurum pun menangis. Mendengar tangisan Aurum tersebut, NB pun langsung bergegas ke dapur dan menghampiri Aurum. Saat NB mengambil piring yang ada di tangan Aurum, seketika itu juga Aurum langsung meludahi NB karena merasa kesal. NB merasa terkejut dengan perlakuan anak tirinya tersebut. Merasa kesal dengan perlakuan Aurum, NB pun meninggalkan Aurum di dapur dan tidak memperdulikan keadaan Aurum yang saat itu lapar. NB pun mencuci mukanya dan kembali mengurus urusan warga di lingkungannya. NB merasa sakit hati dengan perlakuan kasar Aurum kepadanya. NB mengaku bahwa dirinya tidak pernah diludahi oleh orang tuanya, namun anak tirinya berani melakukan hal tersebut kepadanya. NB juga mengaku, jika Aurum marah karena permintaannya tidak dipenuhi, maka Aurum akan melempar NB dengan sisir dan botol minuman. NB juga mengaku bahwa dirinya tidak berani untuk memukul ataupun memarahi Aurum ketika Aurum berbuat tidak baik kepadanya. NB takut bahwa segala perbuatannya akan diceritakan mertuanya kepada orang lain dan akan dianggap kejam dan salah oleh mertuanya. “Waktu hari tu kan, siang-siang…dia mintak makan..teros aku agak lama ngambelnya karena nguros file-file warga..semua orang ini mau cepat..jadi aku prioritaskan file orang ini yang datang ke rumah itulah..rupaknya nanges dia karena gak sampek ambil nasiknya di meja, jadi pigi ke dapur, ku ambil piring di tangan dia itu, tros diludahin dia aku..terkejut jugak disitu..yaudah ku tinggal aja nasik dia di atas meja, ku cucilah mukakku, teros balek aja situ aku ke ruang tamu..gak perduli lagi aku disitu sama dia..iss gak pernah aku diludahin orang..mamakku aja gak pernah..ini bisa 181 dia ngeludahin aku kayak gitu..anak tiriku yang gituin aku..entah siapa yang dicontohnya...” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b814-831h38-39 “Ya..itulah gara-gara dia ngeludahin aku waktu itu. Saket kali hati aku disitu. Bukan diludahin dia ajalah, dilempar barang pun pernah ke badan aku, kalok permintaan dia kita gak ngerti, mau jugak dia itu ngelempar barang di deket dia, kayak sisir, botol aqua..iiiss..kalok aku udah cukop- cukoplah ngadepin dia yang kayak gitu. Itu pun di depan Bapaknya gak berani dia. Karena Bapaknya kan maen bentak, mukul jugak..kalok aku enggak, g ak berani aku mukul anak orang…udah marah..ngelempar- ngelempar barang pun, ku bujoklah dia kusuruh aja dia dudok deketku, itupun gak mau..dipukolnya jugak…yaudahlah kadang ku kasih duet ajalah dia…seribu..dua ribu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b311-3281h15-16 “Makanya..kalok apa..Bapaknya bentak dia, ku biarkan aja situ, orang anaknya kan, kalok aku baru gak mau…karena nantik salah lagi aku..ditunjok-tunjoknya aku nantik pas di rumah neneknya, dah..dikira neneknya aku mukol dia, padahal enggak. Makin gak sukak ajalah mertuaku kalok gitu ceritanya ya kan? Diam” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b331-339h16-17 “Awak udah cukup-cukup ngapain orang itu, salah juga nada meninggi, cerita sama orang katanya dipukulinlah cucunya. Padahal gak pernah sedikitpun mukulin cucunya. Kalok anaknya gadoh, ku panggillah Bapaknya, ‘tuh anaknya, anaknya berantem’. Yaudah, Bapaknya yang mukul, dituduhnya aku...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b434-442h21 Menjelang lima tahun usia pernikahan pada tahun 2013, NB mendengar cerita bahwa mertua dan adik-adik iparnya tidak menyetujui pernikahan NB dan bang AD. NB mendengar cerita tersebut dari suaminya sendiri, bang AD. Bang AD bercerita kepada NB, bahwa adik perempuan dan keluarganya tidak menyetujui pernikahannya. Menurut NB jika bang AD menyayanginya, maka bang AD tidak akan menyampaikan cerita tersebut kepada NB. NB sangat menyesali cerita bang AD tersebut. Menurutnya mengapa setelah lima tahun 182 menjalani rumah tangga, mertuanya baru menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan NB. Ketika mendengar ketidaksetujuan ibu mertuanya, NB merasa siap dan tidak merasa keberatan jika harus berpisah dengan bang AD. NB mendengar ketidaksetujuan ibu mertuanya tersebut, setelah Bapak mertuanya sudah meninggal. Ibu mertua NB tidak berani berkata bahwa ia tidak menyetujui pernikahannya dengan bang AD pada awal pernikahan. “Dah gitukan, hem..semua adeknya yang ngatur terus menjelang lima tahun di 2013, bulan 12, hem.. cerita adeknya sama abangnya tadi, ‘sebetulnya bang, kami gak setuju abang kawin sama kak Bety.’ Disahutin mamaknya, ‘yang dibilang Dian itu betol Di, mamak pun gak setuju’. Kenapa setelah lima tahun bilang kayak gitu? Itupun kakak taunya dari bang AD jugak dia cerita sama kakak. Ibaratnya kalok memang dia gak mau ngomong kayak gitu kan, kalok memang istilahnya dia sayang samaku, kan gak mungkin ucapan mamaknya itu disampekkan samaku, ucapan adeknya itu disampekkan samaku kayak gitu. Jadi kubilang… jadi kubilang, kalok memang mamakmu gak setuju pun gak papa, kubilang. Kalok aku terserah aja kubilang, aku pun gak susah,..” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b382-404h18-19 “Iya. Ya..gitulah. Tapi, setelah meninggal orang tua laki-lakinya, barulah mamak dia tadi ngomongnya kayak gitu. Dulu waktu ada orang tuanya yang laki- laki gak ada dia ngomong gitu. Gak berani dia ngomong...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b415-421h20 “Iya. Dulunya kayak gitu. Istilahnya anaknya harus ikut apa kata orang tuanya. Ya..kami ya gak bisa nerima gitulah.” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b371-374h18 Semenjak saat itu, NB merasa bahwa setiap perbuatan yang dilakukannya selalu salah dimata mertuanya. NB dinilai sebagai ibu tiri yang kejam untuk Aurum. Ibu mertuanya pernah menuduh NB memukul Aurum dan menceritakan hal tersebut kepada tetangga-tetangganya. Mendengar hal 183 tersebut, NB merasa sakit hati dan tidak terima atas tuduhan ibu mertuanya tersebut. Meskipun keluarga suaminya menuduh NB memukul anak tirinya, tidak membuat keluarga NB percaya dengan cerita tersebut. Keluarga NB turut memberikan dukungan kepada NB agar NB tidak mendengarkan keluarga suaminya. Meskipun NB mendapatkan penilaian buruk dari keluarga suaminya, NB tidak merasa menyesal menjadi seorang ibu tiri karena dirinya merasa tidak berbuat kejam dengan anak tirinya. “Istilahnya aku sendirilah, sebagai ibu tiri kan memang orang itu nampak sendiri kalok aku sama anak tiriku sayang. Tapi tuduhan orang itu keluarga lelaki, aku yang kejam. Malah terbalek lah. Mereka pun tau aku ya..biasa aja. Orang aku memang gak seperti yang diadukan sama keluarga dia gitu keluarga lelaki. Keluargaku kan bisa nilai mana baik, buruknya...” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b553-564h26-27 “Cuman kan kalok ini…untuk pribadi saya sendiri lah ya..istilahnya kan saya sebagai orang yang punya status ibu tiri, ya..mereka keluarga partisipan lebih membenarkan saya, daripada keluarga dari suami saya. Istilahnya memang gak sekejam itulah perlakuan saya sama anak tiri saya…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014LA4b575-583h27-28 “Itulah susah ibu tiri tadi tu kalok dimata orang ini..Tapi aku gak ini kok..istilahnya gak nyesal jadi ibu tiri. Orang memang aku gak berbuat jahat…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014b187-191h9-10 Adapun adaptasi NB dalam menghadapi keluarga suaminya yaitu berusaha untuk berbuat baik dan berusaha untuk tetap menghadapi perlakuan dari keluarga suaminya. Awalnya, NB tidak berani melawan perkataan mertuanya. Namun saat ini ketika NB mengetahui bahwa ibu mertuanya tidak menyetujui NB sebagai menantunya, NB pun merasa berani untuk melawan mertuanya. 184 NB mengaku, terkadang ibu mertuanya juga berkata kasar kepada NB. Menghadapi perlakuan dari ibu mertuanya tersebut, NB merasaa sakit hati. Namun, dirinya harus tetap bertahan dan beradaptasi menghadapi situasi tersebut. Menurutnya, jika dirinya tidak bisa menghadapi perlakuan dari ibu mertuanya, maka dia tidak akan mampu untuk menjalani rumah tangganya sampai saat ini dan nantinya. Selain itu, NB memiliki prinsip untuk menikah sekali seumur hidup. Oleh karena itu, NB akan tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya sampai saat ini. “Adaptasi..ya..gitulah. Aku hadep-hadepin ajalah qi..dijalanin ajalah. Kalok gak, gak mungkin kan aku bertahan sampek 6 tahun ini ngadepin rumah tanggaku yang seperti ini. Dah gitu kan..aku memang punya prinsip untuk nikah itu..ya..cuman sekalilah seumur hidup. Makanya aku bertahan ya..dihadepin gitulah qi..berusaha ajalah buat yang terbaek, meskipun salah teros dimata mertuaku, depan keluarga lakikkulah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b427-437h21 “Iya..kadang mamaknya itu kalok ngomong gak dipiker dulu..saketlah denger mamaknya ngomong itu..kasar..adaptasi,,ya gitulah cakap baek..sopan ajalah sama dia..kalok aku gak salah, teros disalahkan, baru aku berani ngelawan…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014b480-486h23 Menanggapi penilaian negatif dari keluarga suaminya, NB juga mendapatkan dukungan dari suaminya. Suaminya berkata untuk tidak terlalu mendengarkan penilaian-penilaian negatif keluarganya mengenai NB. Suaminya menganggap bahwa NB bukanlah seorang ibu tiri dan istri keduanya. Suaminya mengatakan bahwa NB adalah istri pertamanya yang sangat disayanginya. Menurut suaminya, yang terpenting adalah hubungan dan rumah tangga yang mereka jalani. Suaminya juga berkata bahwa dirinya 185 hanya mendengar penilaian yang baik saja dari keluarganya serta tidak memperdulikan penilaian negatif dari ibu dan adik-adiknya. Meskipun pernikahannya tidak disetujui oleh mertua dan adik-adik iparnya, NB merasa harus tetap menjalani rumah tangganya hingga ke depan nantinya. “Kalok mengenai status, dari dia..ya..gak dianggapnya aku ini ibu tiri. Ya..istilahnya dianggapnya akulah istri dia yang pertama, walaupun pada kenyataannya aku ini istri dia yang kedua…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LA6b213-218h11-12 “Maksudnya? Hem..ooh dia..ya..ngomong jugak dia..yaudahlah gak usah didengerin kali ucapan keluargaku. Yang pentingkan aku sukak sama kau. Hem..istilahnya pun apapun yang dibilang orang itu, gak pernah aku denger. Ku denger pun, yang baeknya..yang bagusnya. Kalok gak menurut aku, pandangan aku kalok memang gak baik, itu gak ku terima…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014LA6b223-233h11-12 “Kadang dia cuman bilang, yaudahlah..aku males ribut…yang penting kita. Rumah tangga kita. Biar aja..gak usah lagi..dengar apa kata orang itu. Saudara-saudara dia, gak usah didengerin. Yang penting kan rumah tangga kita…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014b259-266h13 “Ya..ibaratnya untuk kedepannya ya..kakak istilahnya untuk menganalisa jugaklah hem..walaupun istilahnya keluarga kakak ditentang ama mertua, ya..kakak jalani ajalah mana baiknya…” W2.R2.NB.P.MDN.14Juni2014b273-278h14 Melihat perlakuan anak tirinya yang kasar serta perlakuan dari mertua dan adik-adik iparnya, membuat NB merasa sulit untuk menerima Aurum menjadi anak tirinya. Selain pernah diludahi dan dilempar benda-benda oleh Aurum, NB juga merasa bahwa semenjak dari pacaran, anak tirinya tidak pernah menerima NB sebagai calon ibu tirinya. NB juga merasa bahwa Aurum telah mendapat hasutan dari keluarga suaminya, sehingga Aurum berani untuk berlaku kasar dan tidak sopan kepada NB. 186 “Iya qi..iiss..entahlah. Makanya karena sikap dia itulah yang buat aku susah gitu nerima dia jadi kayak anakku sendiri..istilahnya..kek mana ya..udah dulu waktu pacaran pun dia istilahnya gak welcome ke aku, eh..sampek sekarang pun dia jugak masik kayak gitu, makin parah pun…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b347-354h17 “Kayak udah dapet doktrin, hasutan..dihasut-hasut kurasa dari keluarga lakik suamiku, dijelek- jelekin aku kurasa di depan anak tiriku sendiri…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b202-205h10 Sampai saat ini, NB tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam mengasuh Aurum. Meskipun dirinya sulit untuk menerima Aurum menjadi anaknya, NB berusaha untuk tetap sabar dalam merawat dan mengasuh Aurum. Sampai saat ini ketika usia Aurum 8 tahun, NB masih memandikan Aurum. Suami NB tidak mengizinkan Aurum untuk mandi sendiri. Bukan karena keterbatasan mendengarnya, namun dikarenakan ketika umur 5 tahun Aurum pernah mencoba menelan pasta gigi. Namun, usahanya tersebut berhasil diketahui oleh NB. Semenjak saat itu, suami NB menyarankan untuk tidak mengizinkan Aurum mandi sendiri. Biasanya setelah selesai mandi, NB akan menyisir dan mengucir rambut Aurum yang sebahu dan mengambilkan nasi untuknya. Meskipun Aurum tunarungu, dirinya sudah mampu untuk memilih dan memakai baju sendiri. “Mandi..ya dimandiin jugaklah sampek sekarang..belom ini aku..belom bisa kayaknya ngelepas dia mandi..soalnya pernah , pas 5 taun, dia mau mandi, mau dimakan dia odol itu, ketauan samaku, ku aduin Bapaknya, malah dimarahin Bapaknya aku.. tertawa salah lagi..yaudah dari situ dibilang Bapaknya mandiin aja dia..gitulah. Siap mandi ku sisirin rambutnya..ngucir..ambilin nasik dia..yang mileh baju..sama makek baju, dia itu..udah bisa dia makek baju sendiri.” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b984-959h44-45 187 3 Aspek-Aspek Penerimaan Diri

1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan diri

Secara fisik, NB merasa kurang percaya diri dengan keadaan tubuhnya saat ini yang terlihat gemuk. Memiliki berat badan sekitar 80 kg, terkadang NB merasa tidak percaya diri dihadapan orang lain. Meskipun NB memiliki tubuh yang gemuk, NB juga mengaku bahwa dirinya tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain. NB menyatakan bahwa untuk menaikkan berat badan adalah sesuatu yang mudah, namun untuk menurunkan berat adalah sesuatu yang sulit. “Ya..kalok dibilang, ya.. PD-nya ya gak seratus persen. Istilahnya, kok kayak gini keadaan aku sekarang, kalok dulu kan timbangan sekarang ini kan..kalok dulu kan 55 kilo, kalok sekarang kan 70-an mencapai 80-an lah. Istilahnya ada jugak gitu rasa gak PD. Hem..karena faktor kegemukan itu tadi. Cuman caranya untuk menurunkan berat badan lagi itu kayaknya susah, tapi kemungkinan untuk nambah berat badan lagi mungkin bisa.…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b368-400h19 “Tapi dengan postur tubuhku yang sekarang ini, ada jugak rasa PD, ada jugak rasa gak PD gitu. Berarti kan hem..PD-nya tadi itu sekitar 25 atau 50-an gitulah. Banyak gak PD- nya…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b406-411h20 NB mengaku, bahwa dirinya tidak terlalu terpaku terhadap penilaian orang lain mengenai kondisi badannya yang gemuk. Menurutnya penilaian yang diberikan oleh orang-orang tersebut sesuai dengan kondisi badannya saat ini sehingga, NB tidak memperdulikan dan tidak terpaku pada penilaian orang lain mengenai kondisi badannya yang gemuk. Ketika di jalan, NB mengaku pernah menjumpai seseorang yang memiliki berat badan di atasnya. NB pun menceritakan kondisi orang tersebut kepada temannya. Namun temannya 188 memberikan tanggapan bahwa NB seharusnya tidak menerima kondisi badannya yang gemuk, melainkan harus memotivasi dirinya untuk menurunkan berat badannya. Meskipun mendapatkan tanggapan dari temannya untuk menurunkan berat badannya, saat ini NB sudah merasa bersyukur dengan kondisi berat badannya. NB juga merasa percaya diri dengan kondisi badannya yang saat ini gemuk. “Kayaknya biasa aja, gak perduli kalilah sama tanggepan orang kalok aku itu gemuk..gak terlalu terpakulah..karena kan memang aku ini gemuk. Kadang kan berpikir ngomong sendirilah.. ih..gemuk kali aku ya, gimanalah ini ngurusinnya. Rupanya pas di jalan gitu kan, ada lagi yang lebih gemuk dari aku. Aku ngerasa, aku udah gemuk, ternyata masih ada lagi yang lebih gemuk dari aku..syukur kali yakan? Ada jugak tanggapan dari teman, dia bilang gini, kau itu seharusnya gak boleh punya tanggapan seperti itu. Itu namanyah bukan memotivasi diri kita sendiri, tapi tu harusnya kek mana supaya kita itu gak gemuk kayak orang itu jugak. Sering jugak kawan ngomong kayak gitu. Tapi, cara untuk mengurusinya ini yang gak bisa. Mungkin kalok untuk nambah gemuk lagi ya..bisa langsung ketawa dia…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E1434-456h21-22 “Ya..karena gemuk gitu? Ya..aku gak ada minderlah. Apa yang dibilang orang, ya..udah percaya diri ajalah karena kan badannya memang gemuk...” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E1461-465h22 Menghabiskan waktunya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, membuat NB tidak terlalu memperdulikan penampilannya. Namun ketika ada acara yang berhubungan dengan lingkungan dan kelurahan, NB akan berdandan dan memperhatikan penampilannya. Menurutnya, penampilan adalah faktor utama bagi seorang wanita. Namun dengan penampilan dirinya saat ini, NB sudah bisa menerima dirinya dengan apa adanya. 189 “Gak adalah..penampilan ya biasa aja...namanya ibu rumah tangga yang ngurus anak..rumah..kalok ada acara kelurahan ajalah baru dandan..itupun gak menor kali. Ya..memang sih penampilan faktor utama untuk perempuan, tapi ya..aku gini adanya dan aku udah bisa neri malah…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E1478-485h23 “Iya..udahlah..udah bisa ku terima aku apa adanya..begini adanya..gitulah…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E1488-489h23 2. Sikap terhadap Kelemahan dan Kekuatan diri sendiri dan orang lain NB mengaku bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan ataupun bakat di suatu bidang tertentu. Namun ketika ditanya mengenai kekurangan dirinya, NB langsung menjawab bahwa dirinya memiliki sifat keras kepala, mudah marah terbawa emosi dan tidak mau mengalah. Meskipun dirinya merasa cepat marah, NB lebih memilih untuk menahan rasa marah yang mucul pada dirinya tersebut. “Apa ya? Aku bingung. Memang kalok nyanyi ya sukak jugak, cuman kalok untuk hobi ya..enggak jugak gitu. Ditengok-tengok orang ya...enggak berani. Kalok masak memang kuranglah…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E2505-510h24-25 “Emosian, keras kepala, dah gitu gak mau ngalah. Gak mau kalah ni modelnya, gak mau kalah gitu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E2b513-515h25 “Keras kepala. Emosi gitu. Cepat kali itu marah..ya itu..ditahan marahnya…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b517-518h25 Jika dikaitkan dengan statusnya sebagai ibu tiri, NB mengaku bahwa dirinya memiliki kelebihan rasa sabar pada dirinya. Menurutnya, jika dirinya tidak sabar ketika menjalani peran sebagai ibu tiri, dirinya pasti sudah 190 berpisah dengan bang AD. NB mengaku, bahwa dirinya harus bisa bersikap sabar dalam menghadapi kondisi anak tirinya yang tunarungu serta menghadapi perlakuan ibu mertuanya. Selain memiliki rasa sabar, NB mengaku bahwa dirinya masih memikirkan keadaan suaminya jika NB harus menyerah dengan kondisi keluarganya saat ini. Meskipun dirinya mendapat perlakuan kasar dari anak tiri dan ibu mertuanya, NB tetap merasa harus sabar dan berusaha berbuat baik dalam menghadapinya. “Hem..kelebihannya sabarlah qi..cobak mikirlah kalok gak sabar-sabar aku jadi ibu tiri, apa gak nyerah aja aku dai kemaren-kemaren. Tengok ajalah, kayak mana mertuaku, kayak mana keluarga lakikku, teros anak tiriku sikapnya itu kayak mana? Hem..entahlah qi..iya kalok gak sabar-sabar aku ngadepin mereka 6 taun ini, entah jadi apalah aku kurasa sekarang..karena masih ada yang ku pikirkan jugaklah..suamiku. Ya..dianya kan gak papa samaku, yang masalah ini kan mertua sama anak tirikunya..gitulah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1021-1033h48 “Iya qi sabarlah kelebihan aku..ngadepin hidupku ini..sama berbuat baek ajalah sama orang-orang yang jahat samaku. Nantik kan orang itu merasakan jugak apa yang kurasakan..ya kan?..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1035-1039h48 NB mengaku bahwa statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah suatu kekurangan pada dirinya. Suaminya mengaku, bahwa NB bukanlah seorang ibu tiri. Pengakuan dari suaminya tersebut, membuat NB memandang status ibu tiri yang memiliki anak tunarungu bukanlah sebagai kekurangan pada dirinya. NB juga mengaku, meskipun dirinya memiliki kekurangan dalam hal emosi yang mudah marah dan keras kepala, dia tidak akan memukul dan memarahi Aurum ketika marah. NB lebih memilih untuk mendiamkan Aurum atau pergi meninggalkannya. Apabila 191 Aurum masih bisa untuk diarahkan secara baik-baik, maka NB akan berusaha untuk membujuk Aurum untuk berlaku baik. Ketika Aurum berlaku kasar kepada NB, maka NB akan memilih untuk tidak mengambilkan Aurum makan dan tidak menghiraukannya. “Kekurangan? Ya..enggaklah. Ngapain nganggepnya kurang? Orang suamiku lagian gak dianggepnya aku ini ibu tiri, jadi pengakuan itulah yang buat aku ngerasa kalok statusku ini bukan kekurangan bagi aku..gitu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1043-1048h49 “Iya..aku emosian memang orangnya..tapi kalok ngadepin Aurum itu, gak mau aku ini..gak mau aku itu mukol dia apalagi marahin dia..aku lebih milih diemin dia kalok gak ku tinggal aja dia kalok misalnya aku udah kesel kali..tapi kalok masih bisa dia istilahnya diarahkan untuk yang baek, ya ku bujok pelan-pelanlah dia..maunya kek mana? Gitu. Ya..gitulah sabar aja ngadepin dia itu..tapi kalok dia kurang ajar samaku, barulah aku males ngeladenin d ia, ngambilin makan dia pun males…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1053-1065h49-50 NB juga berusaha untuk berperilaku baik ketika menghadapi ibu mertuanya. Ketika ibu mertuanya menyalahkannya melakukan suatu hal, maka NB akan membela dirinya dengan menjawab tuduhan ibu mertuanya. Begitu juga halnya ketika ibu mertuanya menuduh NB memukul Aurum, maka NB akan berusaha untuk menjelaskannya secara baik-baik. Meskipun NB merasa kesal dengan tuduhan dan perlakuan dari ibu mertuanya, NB memilih untuk menahan rasa marah tersebut. Menurut NB dirinya harus mampu mengontrol emosi yang ada pada dirinya, agar tidak menambah masalah baru. “Sama mertua? Ya itu tadilah..walaupun aku ini emosian, tapi kalok sama dia, aku males banyak tingkah..kalok dia salah-salahin aku, barulah aku agak ngejawab sikit..bela diri, karena kan aku gak salah..kalok aku gak salah, keras kepalaku keluar itu, karena aku kan gak salah gitu..tapi kalok 192 istilahnya dia pun nuduh aku mukol cucunya, ya aku jelasin baek- baeklah..walaupun di kepala ini rasanya udah mau meledak aja gitu. Hem..kakak ini qi, emosian, tapi..emosinya ditahan dalam hati..gak mau ngelampiaskan ke yang buruk-buruk..itulah tadi kurasa yang buat gak sehat badan ya kan? Ya gitulah aku ngontrol emosi tadi..ditahan..bisalah aku ngontrolnya biar gak muncul lagi masalah baru ya kan?..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1067-1085h50 Menanggapi kelebihan dan kekurangannya, NB mengaku bahwa saat ini dirinya telah mampu menyeimbangkan rasa sabar dan rasa emosinya dalam mengahadapi anak tiri yang tunarungu dan ibu mertuanya. NB mengaku telah mampu memandang kelebihan dan kekurangan dirinya dengan baik. Menurutnya, jika dirinya tidak mampu mengontrol emosinya yang tertahan, maka dirinya tidak akan bisa menjalani rumah tangganya sampai saat ini. Jika suatu hari dirinya mendengar mengenai penilaian tentang ibu tiri dan anak tunarungu, NB mengaku akan biasa saja menanggapinya. NB tidak akan terpengaruh dengan penilaian tersebut. “Bisalah qi..kalok bawaanku emosi aja ngadepin orang itu, pasti gak sampek sekarang kan rumah tanggaku kan? Trus kalok ada penilaian negatif tentang ibu tiri..tiri itu, anak tunarungu itu, ya..biasa ajalah aku..gak ngaruh jugak samaku. Karena yang ngaruh itu kan, mertuaku…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E2b1093-1099h51

3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Awalnya ketika menyandang status sebagai ibu tiri Aurum, NB merasa belum bisa menerimanya. Namun, ketika NB mulai menyadari posisi dan kondisinya sebagai ibu tiri, NB mengaku perlahan mulai bisa menerimanya. Meskipun pada awalnya secara tidak langsung, NB merasa terpengaruh 193 dengan penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. NB merasa malu ketika menyandang status sebagai ibu tiri pada awal pernikahannya. Mendengar penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam, membuat NB merasa malu ketika berinteraksi dengan tetangga sekitarnya. Meskipun pernah merasa malu dengan statusnya, NB mengaku pada akhirnya dia mampu menghilangkan rasa malu tersebut ketika usia pernikahan setengah tahun. Saat ini, NB mengaku sudah merasa ikhlas menjalani hidupnya sebagai ibu tiri. Selain itu, NB juga mengaku bahwa dirinya pernah merasa malu ketika menjad ibu tiri Aurum yang tunarungu. Munculnya rasa malu tersebut dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu. Secara fisik, Aurum tidak terlihat berbeda dengan anak normal lainnya. Namun ketika orang lain berbicara kepadanya, baru diketahui bahwa Aurum mengalami tunarungu. Sehingga pada awalnya ketika mengajak Aurum bersosialisasi, NB merasa malu dengan penilaian orang lain mengenai kondisi Aurum yang tunarungu. “Ya..dari awalnya..ya.. sebetulnya belum bisa diterima gitu. Istilahnya gak..gak bisa nerima gitu. Cuman, posisi nengok situasi dan kondisi sama keadaan, itu terjadi sama aku. Karena kan dinilai orang itu kan, ibu tiri itu selalu kejam. Kejam kan? Jadinya kakak selalu mikir jugak…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E3b523-530h25 “Malu jadi ibuk tiri..hem..malu ya..pasti sempatlah, dulu itu awal-awal nikahlah. Orang bilang ibuk tiri kejam, ibuk tiri kejam gitu kan? Malu jugaklah..itulah ku bilang tadi, setengah taon nikah, baru biasa aja aku jalanin hidop jadi ibu tiri itu. Kalok masalah sekarang ya aku udah ikhlas gitulah nerimanya lo..Anak tunarungu itu, malunya ya dulu jugak itu pas awal-awal nikah, pas pacaran jugak ngerasa malulah kalok ngajak dia itu..keluar. ..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E3b517-531h25 194 “Malu atau rendah diri sih enggak. Enggaklah. Kayaknya status sebagai ibu tiri itu kok aku gak merasa pulak ya aku jadi ibu tiri…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E3b592-595h29 Di tempat tinggal NB, tidak ada seorang pun yang memiliki status sebagai ibu tiri. Oleh karena itu, terkadang NB juga mengaku pada awalnya dirinya merasa sulit ketika berkumpul dan berinteraksi dengan tetangganya. NB merasa bahwa dirinya berbeda dengan ibu-ibu di lingkungannya karena statusnya sebagai ibu tiri. Namun akhirnya NB dapat mengatasi perasaan berbeda tersebut, karena tetangga disekitarnya tidak memberikan penilaian negatif terkait statusnya sebagai ibu tiri. Selain itu dengan adanya pemikiran positif yang dimilikinya, NB mampu mengatasi rasa malu yang ada pada dirinya. “Sulitnya paling kalok ada ngumpul sama tetangga-tetangga sini, paling ngerasa laen sendiri..gitu aja. Eh..tapi orang sini pun gak miker gimana- gimana, yaudah ilang sendiri jadinya perasaan yang itu..ngerasa beda karena ibu tiri itu…kan disini gak ada yang ibu tiri. Yaudahlah..teros pun punya pikiran jugak kan, orang itu aja gak anggep gimana-gimana, berarti perasaan aku aja yang kayak gitu..intinya pikiran positif ajalah yakan? Itulah..pikiran-pikiran itu yang buat aku bisa terima jadi ini..jadi ibu tiri ini..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E3b541-554h26 NB mengaku pernah mendapatkan penilaian dari tetangga ibunya mengenai keputusan NB untuk menikah dengan seorang duda yang memiliki anak tunarungu pada awal pernikahannya. Ketika mendapatkan penilaian tersebut, NB mengaku tidak merasa malu dengan penilaian tersebut. Menurutnya, kedua orang tuanya saja tidak merasa malu ketika NB 195 memutuskan untuk menikah dengan seorang duda yang memiliki anak tunarungu. Jadi, NB tidak merasa malu ketika mendapatkan penilaian tersebut dari tetangga ibunya. “Ya..malu enggaklah. Mamakku aja gak malu kok nengok aku kawin sama..sama duda, kok mesti malu sama uwak itu pulak? Enggaklah…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E3b607-610h29 NB mengaku, jika saat ini ada penilaian mengenai statusnya sebagai ibu tiri, maka dirinya tidak akan merasa malu atau rendah diri dihapan orang lain. Begitu juga ketika menghadapi penilaian yang muncul terkait dengan kondisi Aurum yang tunarungu. Menurutnya, statusnya sebagai ibu tiri bukanlah hambatan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, NB mengaku bahwa dirinya dirinya sudah cukup memiliki kepercayaan diri ketika berinteraksi dengan lingkungannya. “Enggak sih..aku pun orangnya memang terlampau PD jadi orang..orang mau bilang apa, ya gak ku pikirkan kalilah..rendah diri enggaklah..biasa aja..kalok gak berani PD, mana mungkin aku bisa bergaul sama orang sini, sama orang kelurahan, kecamatan, ibuk-ibuk PKK itu..enggaklah..gak rendah diri aku, karena kan keadaan diriku yang sebenernya seperti itu..gitu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E3b876-885h41 “Gak..gak ada. Tetep enjoy aja gitu nikmatin hidup, status inikan..ibu tiri inikan bukan hambatanlah untuk bersosialisasi kan?...” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E3b629-632h30 196

4. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan

NB mengaku bahwa penilaian umum mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam bukan salah satu faktor yang membuat dirinya merasa rendah diri. Meskipun dirinya pernah terpengaruh dengan penilaian tersebut, tidak membuat NB merasa malu dengan statusnya sebagai ibu tiri. Jika dirinya mendapatkan kritikan terkait statusnya sebagai ibu tiri, maka NB akan menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan bagi dirinya. Menurutnya apapun kritikan yang diberikan orang lain mengenai statusnya, adalah kritikan berdasarkan keadaannya saat ini. Sehingga, NB menjadikan kritikan maupun pendapat yang diberikan oleh orang lain sebagai masukan bagi dirinya. Jika kritikan yang diberikan bersifat positif, maka NB akan menerima kritikan tersebut. Apabila kritikan tersebut bersifat negatif, maka NB akan berusaha menjelaskannya sehingga dapat bernilai positif. “Iya..hem..penilaian umum tentang ibu tiri ya memang ada, ya....bukan faktor buat aku rendah dirilah..karena kan aku gak kayak gitu..gak kejam..gak sesuai jadinya penilain itu..gitu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E4b641-646h31 Yaudah aku terimalah apa kritikan dari orang-orang itu. Selagi orang itu ngeritik yang baik, tetap aku terima, tapi kalok orang itu ngasih kritiknya gak baik, ku jelaskan apa maksud kritikan orang itu tadi…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E4b683-688h34 NB mengaku, bahwa dirinya pernah mendapatkan kritikan mengenai kondisi anak tirinya yang tunarungu. Pada saat itu, ketika ada acara dari kelurahan, NB ditanyai oleh ibu kepala lingkungan 6 mengenai kondisi 197 Aurum yang tunarungu. NB dimintai pendapatnya mengenai pengasuhan terhadap anak tirinya yang tunarungu. Kemudian NB pun menjelaskan bahwa ketika mengasuh anak tiri yang tunarungu, NB membutuhkan banyak pembelajaran agar dapat memahami maksud dari komunikasi yang dilakukan. Menurut NB, munculnya kritikan ataupun penilaian mengenai statusnya sebagai ibu tiri Aurum, bukanlah sebagai penolakan atas dirinya. “Pernah..hem..sekitar empat tahunan yang lalulah. Dari ini sih..ibu Kritikan kepling lingkungan 6..wktu ada acara di kelurahan hari tu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E4b654-657h31-32 “Iya..tentang anak tunarungulah..ngomong jugak kek gini..enak ngurus anak tunarungu? Kan dia susah untuk dirawat gitu kan? Gak bisa ngomong jugak. Ku bilang, ya..gitulah rintangannya ngurus anak tunarungu istilahnya ya...gak ngerti apa yang dimintak dia, gak ngerti kita apa mau dia, kemauan dia kita kan gak paham..ya..disitu kita belajar untuk mahami bahasa dia…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b660-670h32 Sampai saat ini, NB mengaku bahwa dirinya belum pernah menerima kritikan ataupun pendapat dari orang lain yang membuat dirinya merasa sakit hati. Namun, NB mengaku bahwa kritikan yang membuat dirinya merasa sakit hati, adalah krtikan dri ibu mertuanya sendiri. NB mengaku ketika berbicara dengan NB, ibu mertuanya akan menggunakan kata-kata kasar kepadanya. Ibu mertuanya juga memberikan kritikan mengenai peran NB sebagai ibu tiri yang kejam. Kritikan dari mertuanya, menurut NB adalah penolakan atas dirinya dan statusnya sebagai istri dan ibu tiri Aurum. NB merasa dirinya tidak mendapatkan dukungan dari ibu mertuanya sebagai istri bang AD dan ibu tiri 198 Aurum. Menghadapi kritikan dari ibu mertuanya, NB tetap merasa harus tetap sabar dalam menjalani rumah tangganya sampai saat ini. “Dari mertualah. Ya..seperti tadilah, terkadang kalok ngomong, mamaknya itu kasar kali ke aku.. kata-kata dia mertua. Katanya ibu tiri kejamlah..gak mau nurutin anak lakikku lah..iis..entah kapan dia liat aku nyentuh cucunya…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E4b692-698h34-35 “Alah kan udah nampak, memang dia nolak aku jadi menantunya. Mau kek mana lagi. Kritikan dari dia, itu berarti sama aja dia nolak aku untuk jadi istri dari anaknya..terus jadi ibu tiri dari cucunya..ya..ku anggap itu sebagai penolak anlah…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E4b703-709h35

5. Keseimbangan Real self dan Ideal self Gambaran diri sebenarnya dan

Keinginan diri Awalnya NB merasa kecewa ketika memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Timbulnya rasa kecewa tersebut dikarenakan, sebagai wanita normal pada umumnya NB tidak memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu tiri. Namun, NB dapat mengatasi rasa kecewanya tersebut ketika menyadari bahwa semua itu adalah pilihan dan keputusan NB untuk menikah dengan duda yang memiliki seorang anak. Meskipun NB memiliki keinginan untuk menjadi ibu kandung ideal self, namun saat ini NB sudah merasa ikhlas menerima dan menjalani peran sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu real self. Meskipun dirinya seorang ibu tiri, NB juga memiliki harapan bagi keluarganya saat ini. Dikarenakan harapan- harapan tersebut, membuat NB berupaya untuk menerima statusnya tersebut. 199 “Pernah jugak sih, istilahnya timbul rasa kecewa itu, ada jugak pernah. Cuman ya..gak..gak keseringan, istilahnya hem..kalok dibawakkan kali kecewa itu, susah jugak ngejalani rumah tangga ya kan? Ya..memang kan gak ada rencana jugak untuk jadi ibu tiri..ya..gak pingin jugaklah ya kan? Kalok ditanya, siapa sih yang mau jadi ibu tiri? kan gak ada..wanita normal umumnya..tapi karena udah pilihan ya udahlah..pasti semua wanita kan pinignnjadi ibu kandung? Tapi aku udah nerima kok status itu karena kan aku ngerasa keluarga ini harapanku. Jadi ya aku harus bisa nerima status itu ya kan?... “ W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E5b734-750h36-37 Awalnya dengan adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, membuat NB tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri. Menurutnya status sebagai ibu tiri di masyarakat memang ada, namun kekejaman seorang ibu tiri ditentukan oleh masing-masing karakteristik individulnya. NB mengaku, bahwa dirinya membutuhkan waktu setengah tahun untuk dapat menerima statusnya sebagai ibu tiri. Saat ini, NB mengaku telah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan keinginannya sebagai ibu kandung ideal self yang tidak tercapai. Pada usia NB saat ini, NB menyadari bahwa dirinya tidak bisa lagi untuk melahirkan seorang anak. Oleh karena itu, NB berupaya agar dapat menyeimbangkan keinginannya dengan keadaannya saat ini sebagai ibu tiri. Meskipun saat ini NB telah mampu untuk menyeimbangkan keinginan ideal self dan keadaan dirinya real self, namun NB sampai saat ini masih merasa sulit untuk bisa menerima Aurum sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar Aurum kepada NB, dan perlakuan ibu mertuanya yang tidak memberikan dukungan kepada NB sebagai menantu dan ibu tiri cucunya. 200 “Berapa ya? Hem..setengah taunlah itu..baru bisa terima status itu. Ya..sekarang ya udah terimalah..ikhlas..karena aku anggep aku ini jugak harapan keluargaku, suamiku, gitulah. Jadi..istilahnya karena merasa ada harapan itulah aku bisa terrima status itu dan tahan ngejalani rumah tanggaku ini…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b761-769h38 “Ya..gini loh qi, kalok nerima statusku sebagai ibu tiri, aku bilang sampek saat ini, aku itu udah ikhlas karena kan memang keadaanku seperti itu, gitu ya kan? Ya..kalok ditanyak ya siapa sih gitu kan yang mau jadi ibu tiri? Tapi aku udah nerima kok..karena kayaknya harapanku buat jadi ibu kandung itu udah gak bisa kayaknya..karena usia..Tapi kalok untuk jadi mamak dia Aurum, gak mau aku qi. Nengok perlakuan dia, perlakuan neneknya ke aku kayak gitu, jadi sulit qi…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E5b368-379h18

6. Memiliki Penerimaan Diri dan Penerimaan orang lain dengan baik

Saat ini, NB mengaku dapat menerima keadaan dirinya dengan apa adanya tanpa terpaku dengan penilaian orang lain mengenai penampilan dan keadaan dirinya. Begitu juga dengan statusnya sebagai ibu tiri. NB sudah menerima statusnya tersebut dengan ikhlas. Meskipun NB sudah menerima keadaan dirinya sebagai ibu tiri, NB mengaku bahwa dirinya masih merasa sulit untuk menerima kehadiran Aurum sebagai anaknya sendiri. NB mengaku, walaupun dirinya telah merawat dan mengasuh Aurum seperti anaknya sendiri, tetapi dirinya merasa sulit untuk menerima Aurum sebagai anaknya sendiri. “Ya..agak berat jugak sih..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E6b780h38 201 NB mengaku, bahwa sebenarnya dari masa pacaran dengan bang AD, NB merasa terganggu dengan kehadiran Aurum. Hal tersebut dikarenakan selama masa pacaran, Aurum selalu ikut dengan NB dan bang AD ketika mereka pergi. Hal tersebut membuat NB merasa kesal karena tidak bisa memiliki waktu berdua dengan bang AD. Namun setelah menikah, NB baru bisa merasakan waktu berdua dengan bang AD. NB merasa bebas untuk menghabiskan waktu berdua dengan suaminya ketika Aurum menginap dirumah ibu mertuanya setiap hari Sabtu dan Minggu. NB tidak akan merasa terganggu dengan ketidakhadiran Aurum dirumah. “Hah, iya kesel kali aku itu kan qi…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b170h9 “Ya..dari situlah ada waktu berdua sama lakikku..walaupun cuman dua hari istilahnya, tapi ngerasa bebas aja gitu istilahnya bisa ngabisin waktu berdua ama lakikku sendiri, sekali-kali ngerasa gak diikutin sama anak tiri kan enak jugak rasanya…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b185-191h10 Semasa pacaran dengan bang AD, NB juga merasa bahwa Aurum tidak bisa menerimanya sebagai calon ibu tirinya. Perilaku Aurum ketika berusia 3 tahun yang berani memukul-mukul dan selalu mengikuti kemanapun NB dan bang AD pergi saat itu, membuat NB menyimpulkan bahwa Aurum tidak menerimanya sebagai calon ibu tirinya. Menurut NB, karena Aurum tidak pernah ditegur oleh neneknya, membuat Aurum berani berlaku kasar kepada NB. NB merasa kehadirannya tidak dihargai oleh Aurum sebagai ibu tirinya. 202 Dikarenakan perilaku kasar Aurum sampai saat ini, membuat NB merasa sulit untuk menerima Aurum sebagai anaknya sendiri. “Iya qi..iiss..entahlah. Makanya karena sikap dia itulah yang buat aku susah gitu nerima dia jadi kayak anakku sendiri..istilahnya..kek mana ya..udah dulu waktu pacaran pun dia istilahnya gak welcome ke aku, eh..sampek sekarang pun dia jugak masik kayak gitu, makin parah pun.” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b347-354h17 “Tapi kalok untuk jadi mamak dia Aurum, gak mau aku qi. Nengok perlakuan dia, perlakuan neneknya ke aku kayak gitu, jadi sulit qi…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b376-379h18 NB mengaku bahwa sulitnya ia menerima Aurum bukan dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu. Sulitnya NB menerima Aurum sebagai anaknya, dikarenakan perilaku kasar Aurum kepadanya. Salah satu perilaku kasar Aurum kepada NB yaitu, meludahi NB ketika NB terlambat mengambilkan makan siang Aurum. NB mengaku, sebenarnya Aurum sering berperilaku kasar kepadanya. Apabila permintaan Aurum tidak dipenuhi maka Aurum akan menangis, memukul dan melempar barang-barang disekitarnya kepada NB. NB mengaku bahwa dirinya pernah dilempar dengan sisir dan botol minuman oleh Aurum. Namun dari semua perilaku Aurum tersebut, yang membuat NB merasa sakit hati yaitu meludahi NB. Rasa sakit hati NB belum bisa disembuhhkan sampai saat ini. Menurutnya, kedua orang tuanya belum pernah meludai NB apabila dirinya melakukan kesalahan. Namun Aurum, selaku anak tiri NB berani melakukan hal tersebut kepada NB. 203 Adanya rasa kesal tersebut, membuat NB terkadang merasa malu memiliki anak tiri yang tunarungu seperti Aurum. “Cuman, ya..itu tadi..udah bagusnya aku pun, sempat jugak aku diludahin sama anak tiriku itu, itulah yang buat susah nerima dia jadi anakku….” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014E6b508-512h24 “Ya..itulah gara-gara dia ngeludahin aku waktu itu. Saket kali hati aku disitu. Bukan diludahin dia ajalah, dilempar barang pun pernah ke badan aku, kalok permintaan dia kita gak ngerti, mau jugak dia itu ngelempar barang di deket dia, kayak sisir, botol aqua..iiiss..kalok aku udah cukop- cukoplah ngadepin dia yang kayak gitu. Itu pun di depan Bapaknya gak berani dia…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b311-320h15-16 “Kalok perkara tunarungu, ya enggaklah..cuman karena kesel itulah buat aku malu punya anak kayak dia..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b395-398h19 “Gak bisa nerima aku. Gak bisa terima…jadi ibu tiri Aurum itu. Meskipun udah gak malu, tapi aku gakbisa nerima Aurumlah qi…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b576-579h28 Sejak Aurum berusia 3 tahun hingga sampai saat ini, NB mengaku tetap sabar ketika merawat dan mengasuh Aurum yang tunarungu. Meskipun Aurum berperilaku kasar kepadanya, tidak membuat NB mengabaikan tanggung jawabnya sebagai ibu tiri Aurum. Meskipun sampai saat ini NB tetap mengasuh Aurum seperti anaknya sendiri, tidak membuat NB membuka diri untuk memaafkan perilaku Aurum kepadanya. Selain itu, dikarenakan NB merasa tidak mendapatkan dukungan dari ibu mertuanya, membuat NB sulit untuk menerima Aurum. NB mengaku bahwa segala hal yang dilakukan oleh NB selalu salah dimata ibu mertuanya. Selain itu, kabar mengejutkan juga 204 datang dari ibu mertua dan adik iparnya, yang menyatakan bahwa mereka tidak menyetujui pernikahan NB dengan bang AD setelah lima tahun terakhir ini. Mendengar kabar dan pengakuan dari ibu mertuanya tersebut, membuat NB merasa terkejut. NB merasa menyesal dengan pengakuan ibu mertuanya tersebut. Selain itu NB mengaku bahwa dari awal menikah, ibu mertuanya tidak pernah berbuat baik kepadanya. NB merasa terabaikan sebagai menantu dari ibu mertuanya. “Tapi, ya..dari umur 3 taon pun ku rawat jugaknya dia, ku jaga jugaknya dia. Karena tingkah laku gak sopan dia dari kecil sampek sekarang itu gak berubah, makanya gak ku anggap dia kayak anakku gitu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b390-395h19 “Udah ku anggap dia kayak anakku sendirilah. Orang memang udah..aku pun yang jaganya yakan? Yang ngerawat dia jugak kan? Walaupun memang kan bukan keluar dari rahimku sendiri…” W1.R2.NB.P.MDN.13Juni2014E6b503-507h24 “Ya..itulah neneknya jugak yang buat aku jadi males nerima cucunya. Apa-apa yang aku lakukan soalnya selalu salah qi..palak kali aku sekarang. Dulunya gak berani ngelawan, jadi berani ngelawan aku sekarang semenjak tau kalok mertuaku gak setuju sama pernikahan aku sama anaknya…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b409-416h20 NB terkadang memikirkan perilaku Aurum kepadanya. Menurutnya, sampai saat ini Aurum belum bisa menerimanya menjadi ibu tirinya. Selain iu, NB menyesali perilaku kasar Aurum, anak yang dirawatnya selama enam tahun terakhir ini. Sampai saat ini, NB tidak habis piker dengan perilaku Aurum tersebut. Kondisi Aurum yang tunarungu, tidak menghambatnya untuk melaukan perilaku kasar kepada orang lain, terutama NB. NB merasa bahwa 205 dirinya tidak pernah memberikan contoh buruk kepada Aurum, namun Aurum berani melakukan perilaku kasar kepada NB. NB juga mengaku, jika Aurum tidak berlaku kasar kepadanya, NB juga tetap tidak menerimanya sebagai anaknya. Hal tersebut dikarenakan NB memiliki keinginan untuk memiliki anak sendiri dan menjadi ibu kandung. Selain itu, NB juga merasa bahwa ibu mertuanya tidak menerima kehadirannya sebagai menantunya. NB mengaku, jika ibu mertuanya memperlakukannya dengan baik, maka NB akan menerima cucunya seperti anaknya sendiri meskipun Aurum mengalami tunarungu. “Aku kadang miker jugak, kok ginilah anak yang aku asuh, aku rawat..di didiklah istilahnya. Sampek umur 8 taon ini kok dia kayaknya gak bisa nerima aku jugak gitu. Padahal kan istilahnya dari dia belom tau pakek celana, udah aku yang ngurusin dia. Entah siapa yang ngasih contoh buruk ke dia..padahal dia tunarungu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b354-362h17-18 “Ya..enggak jugaklah qi. Beda jugak rasanya bukan anak sendiri. Gak tau, karena dari pacaran itu dia selalu ganggu, jadi males aku..teros neneknya pun gak welcome ..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b488-492h23 “Iyalah…cobak aja dia baek-baek samaku, kayak gitu pun cucunya, ku anggaplah kayak anakku dia. Mertua itu yang susah dimengerti gitu kan..karena dia gak sukak samaku itu kayaknya…makanya salah aja aku dimata dia gitu…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014LA6b443-448h21 NB juga mengaku meskipun dirinya tidak menerima Aurum sebagai anaknya, NB tidak merasa malu ketika melibatkan Aurum dalam kegiatannya. Terkadang NB mengajak Aurum untuk ikut dengannya ketika ada acara dari lingkungan maupun kelurahan. Jika ibu NB tidak berada dirumah, maka NB 206 akan mengajak Aurum untuk menghadiri acara lingkungan maupun kelurahan. Namun ketika ibu NB sedang berada dirumah, NB akan menitipkan Aurum kepada ibunya. NB akan memilih untuk meninggalkan Aurum dirumah ibunya ketika Aurum sedang tidur. Mengingat kondisi Aurum yang tunarungu, membuat NB tidak mengizinkan Aurum keluar rumah tanpa ada pengawasan dari dirinya maupun ibunya NB. NB akan merasa tenang ketika meninggalkan Aurum dirumah bersama dengan ibunya. NB tidak ingin disalahkan oleh suami maupun ibu mertuanya karena tidak mengawasi Aurum. “Oh..kalok acara itu..PKK itu, kadang ku ajak dia, kalok mamak gak ada di rumahnya, ku ajak si Aurum..tapi kalok entah misalnya…ini..misalnya mamakku di rumah, gak ke tempat kawannya..ku titipkan ajalah dia sama mamakku. Hem..tapi kalok pas dia Aurum lagi tidor gitu, yaudah aku titipkan aja dia ke mamak..gak mau jugak aku dia kemana-mana soalnya..jadi bagus dia tidor aja di rumah..daah..gitulah..lebih tenang pun awak tinggal dia di rumah..kan..kan..kalok nantik dia keluar tah kemana- mana gak ada yang ngawasin, aku jugak yang repot..aku jugak nantik disalahin Bapaknya..disalahin neneknya..udahlah anak kayak gitu, ditinggal- tinggal katanya..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E6b287-305h14-15

7. Penerimaan diri, menuruti kehendak, menonjolkan diri

Semenjak menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, NB merasa ikhlas dalam menjalani kehidupannya dengan peran tersebut. Status NB sebagai ibu kepala lingkungan, menuntutnya untuk bisa bergabung dengan warga di lingkungannya. Meskipun dirinya adalah seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, NB mengaku bahwa dirinya tidak merasa malu ketika berkumpul dengan warga di lingkungannya. NB mengaku merasa percaya diri ketika berinteraksi maupun berkumpul dengan tetangga dan 207 warga di lingkungannya. NB terlihat aktif dan menonjolkan dirinya ketika mengikuti kegiatan di lingkungan maupun di kelurahan di tempat tinggalnya. Memiliki kepribadian yang ceria dan percaya diri, membuat orang lain senang ketika berinteraksi dengan NB. Adapun kegiatan yang diikuti oleh NB seperti arisaan lingkungan, arisan PKK, ibu KB, arisan kelurahan dan kecamatan. Menurutnya, dengan mengikuti berbagai kegiatan di lingkungannya, membuat NB merasa dapat menikmati hidupnya. Menurut NB, selain menambah pergaulan, kegiatan di luar rumah membuatnya dapat menghilangkan tekanan yang dialaminya. “Ya..jalani ajalah. Mau apa lagi dibuat, ibaratnya nasi udah jadi bubur kan? Paling ngilang-ngilangin stress, ngikutin acara-acara lingkungan lah. Ngambil kegiat an di luar rumah gitu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E7b861-865h42 “Setiap sebulan sekali. Tapi kalok memang ini kan apa namanya, sebulan kami arisan tiga kali itu. Arisan PKK, Kelurahan, Kecamatan, Sama arisan itu, ibu KB…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E7b840-844h41 Sampai saat ini, NB mengaku akan menuruti kehendaknya untuk menghabiskan waktunya diluar rumah ketika mengalami tekanan pada dirinya. NB tidak menghiraukan pandangan orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya, statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah hambatan untuk bersosialisasi dengan orang lain. “Ya..enggaklah gak ku hiraukan kali kalok pun misalnya ada penilaian terkait statusku..jadi.statusku ini bukan hambatanlah buat aku sosialisasi sama orang- orang..orang sini..ya..udah ku nikmatin ajalah sekarang ini..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b951-957h47 208

8. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup

Selama 6 tahun terakhir, NB sudah merasa mudah menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Meskipun NB tidak ingin menerima Aurum seperti anaknya, tetapi kenyataannya keadaan NB saat ini adalah ibu tiri Aurum. Perlahan NB mulai menyadari hal itu dan sudah merasa ikhlas menjalani hidupnya. Mudahnya NB menerima keadaannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, dikarenakan NB sudah merasa ikhlas dalam menjalani kehidupannya saat ini. Adapun cara NB untuk dapat menikmati hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, yaitu dengan memiliki pandangan positif terhadap statusnya. NB merasa bahwa jika dirinya terus menerus memikirkan statusnya sebagai ibu tiri Aurum, maka akan menambah pikirannya. Meskipun ibu mertuanya tidak menyetujui pernikahannya, NB merasa bahwa dirinya harus tetap menikmati berbagai aspek dalam hidupnya. “Iya..udahlah..udah 6 taon jugak….” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b961h47 “Iyalah qi..ngapain miker yang gak perlu dipikerin kan istilahnya..masalah aku jugak ada, masak mau miker itu gak abes-abes...rugilah. Mau jadi apalah rumah tangga ini kalok aku gak mau nerima status ibu tiri itu. Tapi bukan ibu tiri dari anak rungu..tunarungu itu ya. Betolan gak bisalah qi…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014b559-567h26-27 “Ya..itulah ya..udah ikhlas jugak aku..teros ya..mikir positif ajalah..yang Kuasa mungkin udah ngasih ini jalanku..jalan hidupku..ya..biar bisa nikmatin hidup jugak kan? Mau kondisi aku ini ibu tiri, mau kondisi 209 lakikku duda, si Aurum tunarungu, ya..udah nikmatin ajalah udah. Positif ajalah ya..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b966-974h47-48 NB merasa bahwa dirinya bebas melakukan hal-hal yang diinginkannya tanpa harus terpaku dengan statusnya sebagai ibu tiri. NB tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri. NB juga mengaku, apabila diminta melakukan suatu hal yang tidak disukainya, maka NB akan menolak perintah tersebut. Saat ini, NB mengaku sudah dapat menikmati hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. “Bebas-bebas ajalah qi..bebas kali pun. Aku mau ngapain aja, gak ada yang ngelarang lah..suamiku jugak gak larang-larang dia..gak ter..inilah..gak terpakulah sama statusku itu..biasa aja…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b978-983h48 “Sering jugak itu..disuruh yang gak kusukakan..ya..aku bilang ajalah.. tapi kalok kayak gitu, ya aku bilang aku maleslah. Kenapa mesti aku? Aku tolak ajalah kenapa mesti aku? Kan banyak orang…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b876-881h43

9. Kejujuran dalam menerima diri

Setelah menjadi ibu tiri Aurum, NB merasa bahwa dirinya harus mengikhlaskan apa yang terjadi. NB menganggap bahwa hidupnya saat ini harus mengikuti alur cerita hingga kedepannya. Agar dirinya merasa tenang dan mudah mengikhlaskan apa yang terjadi terhadap dirinya dan rumah tangganya. NB memilih untuk menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan statusnya maupun penolakan dirinya oleh ibu mertuanya. Selain itu, NB tetap merasa bahwa dirinya harus tetap menikmati hidupnya tanpa harus 210 memikirkan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. “Perasaannya, kek mana ya? Ya..jalani ajalah kalok dibilang kayak mana. Kalok dibilang ikhlas, yaudah di iklhlasin aja. Dijalani, ibaratnya seperti air mengalir itu kan, tenang. Yaudah jalani ajalah kek mana untuk ke depannya…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014b890-896h43 “Kalok masalah sekarang ya aku udah ikhlas gitulah nerimanya lo..” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E9b523-524h25 NB pernah merasa cemas dan bimbang ketika memikirkan pengasuhan Aurum untuk kedepannya. NB memikirkan bagaimana untuk bisa mengasuh Aurum dengan baik dan benar, sehingga Aurum bisa merubah peilaku kasarnya kepada NB. Selain itu, NB juga memikirkan apakah suatu saat dirinya akan menerima Aurum seperti anaknya sendiri atau tidak. Rasa cemas dan bimbangnya tersebut, saat ini sudah dapat diatasinya karena NB memiliki pemikiran positif dalam setiap hal yang terjadi kepadanya. Selain itu, NB mengaku bahwa selama 6 tahun menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, dirinya sudah dapat menjalani penerimaan diri maupun statusnya dengan baik dan merasa ikhlas lahir batin meskipun NB belum bisa menerima Aurum sampai saat ini. NB berpikir bahwa dirinya akan tetap menjadi ibu tiri selama masih menjadi istri dari suaminya. NB sudah dapat mengabaikan segala penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. “Ada jugak rasa bimbangnya, rasa cemasnya ada jugak. Ya..mikirin Aurum ajalah..nantik kedepannya untuk mendidik dia itu kek 211 mana..samaku aja kayak gitu..bisa gak aku nerima dia suatu saat? karena dengan keadaan dia yang seperti itu, tunarungu..terus perilaku dia yang kayak gitu..sanggup gak aku? Gitu…” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E9b901-909h44-45 “gak ngaruh kalilah penilaian yang kejam itu…yang penting sekarang aku udah jalanin proses untuk nerima statusku jadi ibu tiri..daah..gitu aja…” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E9b910-913h42-43 “Perasaan, perasaan..ya..jujur ajalah kalok masalah perasaan..aku udah ikhlas lahir batin jadi hidup..jadi..ibu tiri, karena aku mikirnya selama apapun itu, hidupku jugak bakalan teros jadi ibuk tiri kalok masik jadi istri lakikku..hem..nikmatin ajalah nasib yang udah dikasih Tuhan samaku, gitu kan ya? Tapi..kalok untuk jadi ibuk tiri Aurum, aku belom bisa nerima dah gitulah..udah taulah alesan aku apa kan? …” W4.R2.NB.P.MDN.13Nov2014E9b964-974h45

10. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

Sampai saat ini, NB telah mampu menerima dirinya sebagai ibu tiri. Bukan sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Dirinya menyadari bahwa sikapnya untuk tidak menerima Aurum adalah hal yang salah. Namun, NB mengaku bahwa sampai saat ini masih merasa sakit hati dengan perlakuan kasar Aurum dan perlakuan ibu mertuanya. NB mengaku bahwa saat ini dirinya tidak memperdulikan penilaian masyarakat mengenai statusnya sebagai ibu tiri Aurum. Namun, yang menjadi pusat perhatian NB saat ini adalah bagaimana Aurum dapat merubah perilakunya dan bagaimana ibu mertuanya dapat menerimanya sebagai menantunya. “Udahlah..udah nerima aku..tapi bukan jadi ibu tiri Aurum ya? Ya..aku taulah aku salah karena gak anggep dia anakku, tapi aku masih sakit hati smpek sekarang sama dia, neneknya. Ya..terus pun yang jadi perhatianku saat ini itu kayakmanalah caranya aku bisa memaafkan sama nerima 212 Aurum itu, kayakmana dia bisa ngerubah perilakunya, terus kayakmana mertuaku itu nganggep akulah..itu aja..penilaian ibu tiri kejam itu, udah gak ngaruh lagilah..” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E10b986-998h48-49 NB juga mengaku, meskipun dirinya tidak mengakui bahwa dirinya adalah seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, tetapi masyarakat menganggap NB memiliki status tersebut. Jadi, NB merasa bahwa dirinya harus tetap menjalani dan menikmati hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Meski di dalam hati NB, dirinya tidak menganggap Aurum sebagai anaknya sendiri. Selain itu sampai saat ini, NB juga merasa bahwa dirinya seperti ibu pada umumnya yang menjalani perannya seperti ibu pada umumnya, yaitu merawat dan mengasuh Aurum dengan baik. Walaupun sebenarnya NB merasakan kepahitan dalam menjalani hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya, Tuhan sudah memberikan jalan terbaik bagi dirinya untuk menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. “Memang ya..posisi aku disini ya memang ibu tiri yang punya anak tunarungu, istilahnya gak aku akuin tapi memang harus dijalani kan gitu? Tapi aku tuh nganggepnya bukan sebagai ibu tiri yang punya anak tunarungu, tapi ya aku nganggepnya ya bisa aja sebagai ibu tiri aja. Ibaratnya kayak ibu-ibu laennya yang punya anak normal ajalah gitu, karena udah ngerawat sama ngasuh si Aurum. Walaupun sebetolnya kepahitan yang ada samaku. Tetap kujalani aja. Ibaratnya hem..mungkin inilah jalan hidupku kedepannya. Ibaratnya posisiku yang sekarang ini, mungkin yang Kuasa ada jalan lagi yang laen untukku, di jalan kebenaran. Itu aja. Ada lagi?...” W3.R2.NB.P.MDN.16Juni2014E10b928-946h45-46 213 Tabel 6. Rekapitulasi Analisa Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki anak Tunarungu Partisipan II NB No. Aspek Penerimaan Diri Jersild, 1963 Gambaran Penerimaan Diri 1. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan - Secara fisik, NB kurang merasa percaya diri dengan tubuh gemuknya saat ini - Meski gemuk, NB tetap memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain. - Tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai tubuhnya yang gemuk - Menerima penilaian tersebut karena sesuai dengan kondisi tubuhnya saat ini - Saat ini sudah menerima kondisi tubuhnya yang gemuk dengan apa adanya - Meski jarang berdandan, NB sudah merasa percaya diri dan menerima keadaan maupun penampilannya dengan apa adanya 2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain - Tidak memiliki kelebihan ataupun bakat di bidang tertentu - Memiliki kelemahan seperti sifat keras kepala, mudah terbawa emosi dan tidak mau mengalah - Meski mudah marah, NB memilih untuk menahan rasa marah tersebut - Tidak ingin menunjukkan rasa marahnya kepada orang lain - Sebagai ibu tiri, NB memiliki kelebihan rasa sabar - Rasa sabar yang dimilikinya, membuat NB mampu menghadapi anak tirinya yang tunarungu serta perlakuan ibu mertuanya - Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu bukan kekurangan bagi dirinya - Tidak berani marah dan memukul Aurum meskipun marah - Mampu mengontrol dirinya dari rasa marah yang dimiliki - Sampai saat ini, NB mampu menyeimbangkan rasa marah yang tertahan dengan rasa sabar pada dirinya 3. Perasaan inferior - Awalnya belum bisa menerima statusnya 214 sebagai gejala penolakan diri sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu - Awalnya merasa malu ketika memiliki status sebagai ibu tiri - Secara tidak langsung pernah terpengaruh dengan penilaian umum karakteristik ibu tiri di masyarakat - Awalnya merasa malu ketika berinteraksi dengan tetangga - Awalnya merasa malu ketika menjadi ibu tiri Aurum karena kondisi Aurum yang tunarungu - Merasa berbeda dengan tetangga-tetangga disekitarnya karena menjadi ibu tiri - Akhirnya mampu mengatasi perasaan tersebut karena tetangganya tidak memberikan penilaian negative kepadanya - Mampu mengatasi rasa malu pada dirinya karena memiliki pemikiran positif - Jika saat ini NB mendapatkan penilaian negative terkait statusnya, NB tidak akan merasa malu - Statusnya sebagai ibu tiri bukan hambatan untuk bersosialisasi - Sudah memiliki rasa percaya diri untuk bersosialisasi 4. Respon atas penolakan dan kritikan - Jika NB mendapat kritikan dari orang lain, maka NB akan menjadikannya sebagai masukan - Jika kritikan bersifat positif, akan menerima kritikan tersebut - Jika kritikan bersifat negatif, NB akan menjelaskan kritikan tersebut agar bersifat positif - Kritikan atau penilaian yang muncul terkait statusnya bukanlah sebagai penolakan atas dirinya - Mengenai statusnya, kritikan yang membuatnya sakit hati bukan dari orang lain melainkan dari ibu mertuanya sendiri - Ibu mertua menuduh NB sebagai ibu tiri yang kejam - Kritikan dari mertuanya menurutnya adalah penolakan atas dirinya - NB merasa sabar dalam menghadapi kritikan yang muncul dari ibu mertuanya 215 5. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self ” - Awalnya merasa kecewa ketika memiliki status sebagai ibu tiri Aurum - Awalnya tidak merasa bangga menjadi Ibu tiri karena penilaian umum masyarakat tentang karakteristik ibu tiri yang kejam - Awalnya tidak memiliki keinginan untuk menjadi ibu tiri - Setelah menjalani sebagai ibu tiri, NB dapat mengatasi rasa kecewanya karena menyadari bahwa itu semua adalah keputusannya. - NB membutuhkan waktu setengah tahun untuk bisa menerima statusnya tersebut - NB menyadari bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak kandung, karena usianya saat ini. - Karena keadaannya tersebut, NB berupaya untuk menyeimbangkan keadaannya saat ini dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung - Saat ini, NB sudah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung yang tidak tercapai 6. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain - Awalnya, NB merasa terganggu dengan kehadiran Aurum yang selalu mengikuti NB dan bang AD pergi - NB merasa kesal karena tidak memiliki waktu berdua dengan bang AD - Aurum pernah meludahi NB dan NB merasa sakit hati dengan hal itu - Saat ini, NB sudah menerima statusnya sebagai ibu tiri dengan ikhlas - Namun sampai saat ini NB belum bisa menerima Aurum seperti anaknya sendiri - Bukan dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu, melainkan karena perilaku kasarnya kepada NB - Saat ini NB sudah menerima keadaan dirinya dengan apa adanya - NB tidak terpaku pada penilaian orang lain mengenai keadaan dirinya - Meskipun NB mengasuh dan merawat Aurum seperti anaknya sendiri, namun NB merasa sulit karena perilaku kasarnya - Meskipun sudah tidak merasa malu lagi 216 dengan keadaan Aurum, NB masih merasa sulit untuk menerima Aurum yang dikarenakan perlakuan dari ibu mertuanya - Jika ibu mertuanya dapat berlaku baik pada NB, maka ia akan berusaha menerima Aurum dengan kondisinya yang tunarungu - Meski tidak menerima Aurum, NB tidak merasa malu untuk melibatkan Aurum dalam kegiatannya 7. Menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri - Sebagai ibu kepala lingkungan menuntutnya untuk bisa bergabung dengan warga di lingkungannya - Saat ini NB tidak merasa malu ketika berkumpul dengan warga di lingkungannya - NB saat ini sudah merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangga warga di lingkungannya - NB terlihat aktif dan menonjolkan diri ketika mengikuti kegiatan di lingkungan kelurahan - NB merasa dapat menikmati hidupnya ketika mengikuti kegiatan di luar rumah - NB akan menuruti kehendaknya untuk mengikuti kegiatan diluar rumah - Statusnya bukanlah hambatan untuk bersosialissi dengan orang lain 8. Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup - Selama 6 tahun terakhir, NB sudah merasa mudah menerima statusnya - Meskipun tidak mengakui Aurum sebagai anak tirinya, namun kenyataannya NB adalah ibu tiri Aurum - Mudahnya NB menerima keadaannya sebagai ibu tiri karena memiliki pemikiran positif pada dirinya - Menurutnya jika dirinya terus-menerus memikirkan keadaannya sebagai ibu tiri Aurum, maka akan menambah beban pikirannya - Meskipun mertuanya tidak menyetujui pernikahannya, NB merasa harus tetap dapat menikmati berbagai aspek dalam hidupnya - NB merasa bebas melakukan hal-hal yang diinginkannya tanpa harus terpaku dengan keadaannya sebagai ibu tiri - Apabila NB diminta melakukan suatu hal yang tidak disukainya, maka NB akan 217 menolaknya 9. Kejujuran dalam penerimaan diri - Saat ini NB sudah tidak merasa malu, kecewa dalam menerima statusnya - NB merasa bahwa dirinya sudah ikhlas lahir batin menghadapi Aurum yang tunarungu dan ibu mertuanya - NB memilih menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan statusnya dan penolakan dari ibu mertuanya - Meski NB pernah merasa bimbang dan cemas tentang pengasuhan Aurum, namun NB sudah dapat mengatasi rasa tersebut - Saat ini NB telah mampu mengabaikan segala penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam 10. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri - NB telah mampu menerima dirinya sebagai ibu tiri - NB tidak menganggap Aurum sebagai anaknya sendiri - NB menyadari bahwa sikapnya untuk tidak menerima Aurum adalah hal yang salah - Namun, NB mengaku bahwa dirinnya sampai saat ini masih merasa sakit hati dengan perlakuan Aurum dan penolakan ibu mertuanya - Meski begitu, pandangan masyarakat mengenai status NB yaitu sebagai ibu tiri Aurum. - Oleh karena itu, NB merasa harus tetap mengakui keadaannya tersebut dan menjalani perannya sebagai ibu tiri Aurum - NB sudah merasa ikhlas kepada Tuhan dengan apa yang terjadi pada hidupnya 218 Gambar I. Skema Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu Partisipan II NB B Aspek-Aspek Penerimaan Diri Ibu Tiri Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan - Merasa kurang percaya diri dgn tubuhnya yg gemuk - Tetap memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dgn org lain - Sudah mulai menerima kondisi tubuhnya dgn apa adanya - Meski jarang berdandan, NB sudah merasa percaya diri menerima keadaan maupun penampilannya Kelemahan : keras kepala, mudah terbawa emosi tidak mau mengalah Kelebihan : - memiliki rasa sabar dgn keadaan anak tunarungu - Tidak menunjukkan rasa marah pd org lain - Mampu menghadapi permasalahan anak tiri ibu mertua Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri Awalnya NB belum bisa menerima status ibu tiri, namun seiring dgn berjalannya waktu, ia mampu menerima statusnya memiliki rasa percaya diri serta tdk memiliki hambatan bersosialisasi dgn masyarakat sekitar. Respon atas penolakan kritikan - NB akan enerima kritikan yg bersifat positif - NB akan menjelaskan kritikan yg bersifat negatif agar dapat bernilai positif - Kritikan dari mertuanya menurut NB adalah penolakan atas dirinya - NB merasa sabar dalam menghadapi kritikan yg muncul dari ibu mertuanya Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self ” - Awalnya merasa kecewa sbg ibu tiri Aurum - Tidak memiliki keinginan untuk menjadi ibu tiri ideal self - Saat ini, NB sudah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sbg ibu tiri real self dgn keinginan dirinya menjadi ibu kandung yg tidak tercapai. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain - Saat ini, NB sudah menerima statusnya sbg ibu tiri dgn ikhlas - Namun sampai saat ini, NB belum bisa menerima Aurum spt anaknya sendiri - NB tdk terpaku pd penilaian org lain mengenai keadaan dirinya - Meskipun merawat mengasuh Aurum spt anaknya sendiri, namun NB merasa sulit menerima Aurum karena perilaku kasarnya - Ia akan berusaha menerima Aurum jika ibu mertuanya berlaku baik - Meski tdk menerima Aurum, NB tdk merasa malu utk mengajak Aurum dlm kegiatannya Menerima diri, menuruti kehendak menonjolkan diri - Sbg ibu kepala lingkungan, NB dituntut utk bergabung dgn warga di lingkungannya - Saat ini NB tdk merasa malu ketika berkumpul dgn warga di lingkungannya - NB terlihat aktif menonjolkan diri ketika mengikuti kegiatan di lingkungan kelurahan - NB merasa bebas melakukan hal-hal yg diinginkannya tanpa harus terpaku dgn keadaannya sbg ibu tiri - Statusnya bukanlah hambatan untuk bersosialisasi Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup - Selama 6 tahun terakhir, NB sudah merasa mudah menerima statusnya - Meskipun tdk mengakui Aurum sbg anak tirinya, namun kenyataannya NB adalah ibu tiri Aurum - Jika dirinya terus-menerus memikirkan keadaannya sbg ibu tiri Aurum, maka akan menambah beban pikirannya - Meskipun mertuanya tdk menyetujuinya, NB merasa harus tetap menikmati berbagai aspek dlm hidupnya - Merasa dpt menikmati hidupnya ketika mengikuti kegiatan diluar rumah Kejujuran dalam penerimaan diri Sikap yang baik terhadap penerimaan diri - NB merasa bahwa dirinya sudah ikhlas laahir batin menghadapi Aurum yg tunarungu ibu mertuanya - Saat ini, NB telah mampu mengabaikan segala penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yg kejam - NB merasa harus tetap mengakui keadaannya sebagai ibu tiri menjalani perannya sebagai ibu tiri Aurum - NB sudah merasa ikhlas kepada Tuhan dgn apa yg terjadi pada hidupnya - NB menyadari bahwa sikapnya tidak menerima Aurum bukanlah sikap yg baik Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri orang lain Tabel 7. Analisa Banding antar Partisipan I dan Partisipan II Aspek-Aspek Penerimaan Diri Partisipan I Sartika Partisipan II NB Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan - Memiliki persepsi positif mengenai keadaan maupun penampilan dirinya - Sudah merasa percaya diri dengan penampilan dirinya saat ini. - Sartika tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai penampilan dirinya saat ini. - Saat ini, sudah merasa memiliki penampilan yang baik sebagai seorang wanita - Sartika sudah menerima keadaan dan penampilan dirinya saat ini dengan apa adanya. - NB kurang merasa percaya diri dengan tubuhnya yang gemuk saat ini - Meski gemuk, NB tetap memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain. - Tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai tubuhnya yang gemuk - Menerima penilaian tersebut karena sesuai dengan kondisi tubuhnya saat ini - Saat ini sudah menerima kondisi tubuhnya yang gemuk dengan apa adanya - Meski jarang berdandan, NB sudah merasa percaya diri dan menerima keadaan maupun penampilannya dengan apa adanya Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain - Sartika memiliki kelemahan yaitu mudah merasa down jatuh, sedih ketika mengalami suatu masalah - Sebagai ibu tiri, Sartika memiliki kelebihan rasa sabar pada dirinya dan kekurangannya yaitu mudah merasa emosi sesaat - Rasa sabar yang dimilikinya membuat Sartika mampu menghadapi keluarga dan mengasuh Cindy yang tunarungu - Sartika tidak mudah merasa marah ketika ada orang yang ingin mengetahui statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Statusnya sebagai ibu tiri Cindy, bukanlah kekurangan pada dirinya - Mampu memandang kekurangan dan kelebihannya dengan baik, yaitu - Memiliki kelemahan seperti sifat keras kepala, mudah terbawa emosi dan tidak mau mengalah - Meski mudah marah, NB memilih untuk menahan rasa marah pada dirinya dan mampu mengontrol dirinya dari rasa marah - Tidak ingin menunjukkan rasa marahnya kepada orang lain - Sebagai ibu tiri, NB memiliki kelebihan rasa sabar pada dirinya - Rasa sabar yang dimilikinya, membuat NB mampu menghadapi anak tirinya yang tunarungu serta 220 dapat menyeimbangkan rasa emosi sesaat yang ada pada dirinya dengan rasa sabar. perlakuan ibu mertuanya - Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu bukan kekurangan bagi dirinya - Tidak berani marah dan memukul Aurum meskipun marah - Mampu mengontrol dirinya dari rasa marah yang dimiliki - Sampai saat ini, NB mampu menyeimbangkan rasa marah yang tertahan dengan rasa sabar pada dirinya Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri - Sartika dapat menerima segala kondisi bang Anto yang memiliki anak tunarungu dan tidak merasa malu dengan hal itu - Pernah merasa malu ketika ada penilaian dari tetangganya mengenai kondisi Cindy yang tunarungu internal - Awalnya merasa malu ketika mengajak Cindy bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya ekxternal - Rasa malu yang muncul tersebut dapat diatasi karena adanya dukungan dari suami dan pemikiran positif Sartika - Adanya dukungan dari suami, membuat Sartika mulai mau mengajak dan mengenalkan Cindy untuk bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya - Saat ini, Sartika telah mampu untuk menerima kondisi Cindy yang tunarungu dan tidak merasa malu ketika mengenalkan Cindy sebagai anaknya - Sartika telah mampu menanggapi penilaian yang muncul mengenai kondisi Cindy dengan biasa saja. - Sartika tidak mempermasalahkan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Jika ia - Awalnya belum bisa menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu - Awalnya merasa malu ketika memiliki status sebagai ibu tiri internal - Secara tidak langsung pernah terpengaruh dengan penilaian umum ibu tiri di masyarakat - Awalnya merasa malu ketika berinteraksi dengan tetangga dan menjadi ibu tiri Aurum karena kondisi ketunarunguannya - Awalnya merasa malu ketika menjadi ibu tiri Aurum karena kondisi Aurum yang tunarungu internal - Merasa berbeda dengan tetangga-tetangga disekitarnya karena menjadi ibu tiri internal - Akhirnya mampu mengatasi perasaan tersebut karena tetangganya tidak memberikan penilaian negatif terkait statusnya - Mampu mengatasi rasa malu pada dirinya karena memiliki pemikiran positif - Jika saat ini NB mendapatkan 221 mempermaslahkan statusnya tersebut, maka akan menambah beban dalam kehidupan rumah tangganya penilaian negatif terkait statusnya, NB tidak akan merasa malu - Statusnya sebagai ibu tiri bukan hambatan untuk bersosialisasi - Sudah memiliki rasa percaya diri untuk bersosialisasi Respon atas penolakan dan kritikan - Apabila Sartika mendapat kritikan, maka ia akan mengambil nilai positif dari kritikan tersebut - Kritikan yang muncul tersebut, akan dijadikannya sebagai evaluasi bagi dirinya agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya - Apabila penilaian tersebut memiliki nilai yang negatif, maka akan dijadikan Sartika sebagai pendapat saja. - Sartika tidak akan memperdulikan penilaian negatif yang muncul mengenai keadaan dan status dirinya - Selama menjadi ibu tiri Cindy, Sartika akan menganggap kritikan atau pendapat orang lain mengenai kondisi Cindy tersebut sebagai masukan dan dukungan untuk dirinya. - Sartika tidak merasa takut terhadap celaan ataupun penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika juga akan lebih menerima apabila ada penilaian yang muncul karena statusnya tersebut, karena penilaian tersebut sesuai dengan keadaan dirinya saat ini - Jika NB mendapat kritikan dari orang lain, maka NB akan menjadikannya sebagai masukan - Jika kritikan bersifat positif, NB akan menerima kritikan tersebut - Jika kritikan bersifat negatif, NB akan menjelaskan kritikan yang muncul tersebut agar menjadi positif untuk dirinya - Kritikan atau penilaian yang muncul terkait statusnya bukanlah sebagai penolakan atas dirinya - Mengenai statusnya, kritikan yang membuatnya sakit hati bukan dari orang lain melainkan dari ibu mertuanya sendiri - Ibu mertuanya menuduh NB sebagai ibu tiri yang kejam - Kritikan dari mertuanya menurutnya adalah penolakan atas dirinya - NB cukup mampu bersabar dalam menghadapi kritikan yang muncul dari ibu mertuanya Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self” - Adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri, membuat Sartika awalnya tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri - Ketika sudah menjalani peran sebagai ibu tiri, Sartika mengaku tidak mengalami kesulitan untuk menerima status tersebut. - Awalnya NB merasa kecewa ketika memiliki status sebagai ibu tiri Aurum - Awalnya tidak merasa bangga menjadi Ibu tiri karena penilaian umum masyarakat tentang karakteristik ibu tiri yang kejam - Awalnya tidak memiliki 222 - Sartika sudah mengetahui posisinya dari awal ketika menjalin hubungan dengan bang Anto. - Sartika membutuhkan waktu untuk dapat menyeimbangkan dan menerima keadaan dirinya sebagai ibu tiri - Saat ini Sartika mengaku telah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung ideal self yang belum tercapai. - Dengan segala harapan yang ia miliki terhadap dirinya dan keluarganya, Sartika mampu menerima segala keadaan dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tiri Cindy yang tunarungu real self. keinginan untuk menjadi ibu tiri - Setelah menjalani sebagai ibu tiri, NB dapat mengatasi rasa kecewanya karena menyadari bahwa itu semua adalah keputusannya. - NB membutuhkan waktu setengah tahun untuk bisa menerima statusnya tersebut - NB menyadari bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak kandung, karena usianya saat ini. - Karena keadaannya tersebut, NB berupaya untuk menyeimbangkan keadaannya saat ini dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung yaitu berusaha untuk mengasuh Aurum sebaik mungkin - Saat ini, NB sudah mampu menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self dengan keinginan dirinya menjadi ibu kandung ideal self yang tidak tercapai Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain - Saat ini, secara keseluruhan Sartika mengakui bahwa ia sudah dapat menerima dan menyayangi dirinya dengan apa adanya. - Sartika juga mengaku bahwa ia mudah untuk menerima kehadiran Cindy sebagai anak tirinya. Walaupun dengan kondisi Cindy yang tunarungu. - Mudahnya Sartika menerima kehadiran Cindy, karena pada masa pacaran dengan bang Anto, Cindy juga sering ikut serta dalam kegiatan mereka. - Intensitas pertemuan diantara keduanya memunculkan ikatan emosional. Ikatan emosional yang terjalin diantara keduanya, membuat - Awalnya, NB merasa terganggu dengan kehadiran Aurum yang selalu mengikuti NB dan bang AD pergi - NB merasa kesal karena tidak memiliki waktu berdua dengan bang AD - Aurum pernah meludahi NB dan NB merasa sakit hati dengan hal itu - Saat ini, NB sudah menerima statusnya sebagai ibu tiri dengan ikhlas - Namun sampai saat ini NB belum bisa menerima Aurum seperti anaknya sendiri - Bukan dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu, 223 Cindy dan Sartika menjadi dekat satu sama lain. - Sartika merasa bangga ketika bisa mengasuh Cindy dan bisa bersabar dalam menghadapi kondisi Cindy yang tunarungu. - Sartika mengaku tidak merasa malu ketika harus melibatkan Cindy dalam segala aktivitasnya. melainkan karena perilaku kasarnya kepada NB - Saat ini NB sudah menerima keadaan dirinya dengan apa adanya - NB tidak terpaku pada penilaian orang lain mengenai keadaan dirinya - Meskipun NB mengasuh dan merawat Aurum seperti anaknya sendiri, namun NB merasa sulit karena perilaku kasarnya - Meskipun sudah tidak merasa malu lagi dengan keadaan Aurum, NB masih merasa sulit untuk menerima Aurum karena perlakuan dari ibu mertuanya - Jika ibu mertuanya dapat berlaku baik pada NB, maka ia akan berusaha menerima Aurum dengan kondisinya yang tunarungu - Meski tidak menerima Aurum, NB tidak merasa malu untuk melibatkan Aurum dalam kegiatannya Menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri - Sartika merasa jarang berinteraksi dengan tetangga di lingkungannya karena keterbatasan waktu yang dimilikinya. - Meskipun dirinya jarang di rumah dan memiliki kesempatan yang sedikit untuk berinteraksi di lingkungan tempat tinggalnya, tidak menghalangi Sartika untuk berusaha berkumpul dengan tetangga sekitarnya. - Sartika mengaku tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangganya dan berusaha untuk dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. - Bukanlah hal yang baik apabila harus mengurung diri di rumah serta - Sebagai ibu kepala lingkungan menuntut NB untuk bisa bergabung dengan warga di lingkungannya - Saat ini NB tidak merasa malu ketika berkumpul dengan warga di lingkungannya - NB saat ini sudah merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangga warga di lingkungannya - NB terlihat aktif dan menonjolkan diri ketika mengikuti kegiatan di lingkungan kelurahan - NB merasa dapat menikmati hidupnya ketika mengikuti kegiatan di luar rumah 224 membatasi interaksi dengan tetangga sekitarnya hanya karena memiliki status sebagai ibu tiri. - Sampai saat ini, Sartika belum ada mengikuti salah satu perkumpulan di rumahnya. - Sartika mengaku ketidakikutsertaannya dalam perkumpulan di lingkungannya, dikarenakan dirinya belum bisa membagi waktu serta belum mendapat ajakan dari ibu kepala lingkungannya. - Di tempat kerjanya, Sartika lebih terlihat percaya diri - Sartika tidak memperdulikan statusnya sebagai ibu tiri ketika di tempat kerja. - NB akan menuruti kehendaknya untuk mengikuti kegiatan diluar rumah - Statusnya bukanlah hambatan untuk bersosialisasi dengan orang lain Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup - Adapun salah satu cara Sartika untuk menikmati hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu yaitu, memiliki pandangan yang positif terhadap status ibu tiri dan anak tunarungu yang diasuhnya. - Di dalam dirinya, ia menghapus istilah ibu tiri dan anak tunarungu. - Menurutnya kondisi Cindy yang tunarungu, tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. - Sartika merasa menikmati segala aspek kehidupannya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika mengaku bahwa selama 2 tahun terakhir, ia menikmati dalam mengasuh dan merawat Cindy yang tunarungu. - Sartika juga merasa bebas melakukan hal-hal yang disukainya. - Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah sebagai hambatan untuk bisa menikmati berbagai aspek di dalam hidupnya. - Statusnya bukan sebagai penghambat untuk bisa bersosialisasi dengan - Selama 6 tahun terakhir, NB sudah merasa mudah menerima statusnya sebagai ibu tiri Aurum - Meskipun NB tidak mengakui Aurum sebagai anak tirinya, namun kenyataannya NB adalah ibu tiri Aurum - Mudahnya NB menerima keadaannya sebagai ibu tiri karena memiliki pemikiran positif pada dirinya - Menurutnya jika dirinya terus- menerus memikirkan keadaannya sebagai ibu tiri Aurum, maka akan menambah beban pikirannya - Meskipun mertuanya tidak menyetujui pernikahannya, NB merasa harus tetap dapat menikmati berbagai aspek dalam hidupnya - NB merasa bebas melakukan hal-hal yang diinginkannya tanpa harus terpaku dengan keadaannya sebagai ibu tiri - Apabila NB diminta melakukan suatu hal yang 225 lingkungannya. tidak disukainya, maka NB akan menolaknya karena ia berhak untuk menikmati hidupnya tanpa terpaku dengan perintah orang lain Kejujuran dalam penerimaan diri - Setelah menjadi ibu tiri Cindy, Sartika merasa mampu menerima statusnya sebagai ibu tiri Cindy - Dia tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan penilaian masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. - Perannya sebagai ibu tiri Cindy, menurutnya tidak ada bedanya dengan ibu kandung pada umumnya. - Sartika melakukan perannya sesuai dengan tugas seorang ibu pada umumnya, yaitu mengasuh dan merawat Cindy yang mengalami tunarungu. - Sartika sudah menganggap Cindy sebagai anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. - Saat ini, Sartika mengaku bahwa ia tidak pernah merasa ragu, cemas dan bimbang dengan statusnya. - Apabila dirinya terlalu memikirkan statusnya sebagai ibu tiri Cindy, maka dalam menjalani hidupnya Sartika tidak akan merasa tenang. - Selama berupaya menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika tidak pernah merasa bersalah dengan status tersebut. - Kunci dari penerimaan dirinya itu adalah keterbukaan diri bang Anto mengenai status dudanya pada awal perkenalan. - Sartika juga sudah merasa ikhlas dari awal jika harus menjadi ibu tiri dari Cindy. - Saat ini NB sudah tidak merasa malu, kecewa dalam menerima statusnya sebagai ibu tiri Aurum - NB merasa bahwa dirinya sudah ikhlas lahir batin menghadapi Aurum yang tunarungu, perilakunya dan perlakuan ibu mertuanya - NB memilih menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan statusnya dan penolakan dari ibu mertuanya - Meski NB pernah merasa bimbang dan cemas tentang pengasuhan Aurum, namun NB sudah dapat mengatasi perasaan tersebut - Saat ini NB telah mampu mengabaikan segala penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam Sikap yang baik terhadap penerimaan diri - Saat ini, Sartika telah mampu menerima dirinya menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu Cindy. - NB telah mampu menerima dirinya sebagai ibu tiri - Sampai saat ini, NB tidak menganggap Aurum sebagai 226 - Jika ada penilaian yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ia akan menerima segala penilaian yang muncul tersebut. Namun, ia tidak akan terpaku pada penilaian tersebut. - Hal tersebut dapat dilihat dari cara Sartika dalam menikmati hidupnya - Ia merasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus merasa malu dengan statusnya sebagai ibu tiri Cindy. - Sartika memposisikan dirinya sebagai seorang ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu layaknya kelurga normal pada umumnya. anaknya sendiri - NB menyadari bahwa sikapnya untuk tidak menerima Aurum adalah hal yang salah - NB mengaku bahwa dirinnya sampai saat ini masih merasa sakit hati dengan perlakuan Aurum dan penolakan ibu mertuanya - Meski begitu, pandangan masyarakat mengenai status NB yaitu sebagai ibu tiri Aurum. - Oleh karena itu, NB merasa harus tetap mengakui keadaannya tersebut dan menjalani perannya sebagai ibu tiri Aurum - NB sudah merasa ikhlas kepada Tuhan dengan apa yang terjadi pada hidupnya Tabel Analisis Banding tersebut menunjukkan gambaran sebagai berikut : a. Secara umum terdapat kesamaan di antara kedua partisipan dalam menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Kedua partisipan pernah terpengaruh dengan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. b. Meski terdapat kesaamaan dalam menanggapi penilaian umum masyarakat tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, tetapi kedua partisipan memiliki cara tersendiri dalam menanggapi situasi yang sama. Hal ini menunjukkan, meskipun kedua partisipan pernah terpengaruh dengan penilaian umum masyarakat, tetapi setiap partisipan memiliki caranya sendiri dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. 227

C. PEMBAHASAN 1. Partisipan I Sartika

Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut Jersild, dalam Hurlock 1978. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya Jersild, 1963. Penerimaan diri adalah sebuah proses Jersild, 1963. Hal ini dijelaskan oleh Jersild 1963, melalui beberapa aspek penerimaan diri yaitu, persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri. Bagi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, proses penerimaan diri akan menjadi sulit, karena adanya penilaian negatif di masyarakat tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan dari suaminya Swari, 2012. Adanya penilaian negatif mengenai status ibu tiri, tentu akan mempengaruhi penerimaan diri ibu tiri. Untuk menerima dirinya sebagai ibu tiri sudah membutuhkan proses, ditambah lagi 228 ketika ibu tiri harus menghadapi kondisi anak tiri yang tunarungu. Dalam menghadapi kondisi anak tunarungu, tentunya ibu tiri juga membutuhkan penyesuaian dan upaya untuk dapat menerima kondisi dan keadaan dirinya. Begitu pula dengan Sartika yang memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Statusnya tersebut, menjadi awal mula Sartika berupaya untuk menerima dirinya dengan statusnya sebagai ibu tiri Cindy. Selama proses menenerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika mengaku menjalani proses yang membutuhkan waktu.

a. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan

Sebelum dirinya dapat menerima statusnya sebagai ibu tiri, Sartika harus dapat menerima keadaan dirinya terlebih dahulu. Oleh karena itu ia memiliki persepsi positif mengenai keadaan maupun penampilan terhadap dirinya. Selain itu dalam proses menerima penampilan dan keadaan dirinya, Sartika tidak terpaku pada pendapat maupun penilaian orang lain. Adanya persepsi positif yang dimilikinya, akhirnya Sartika tidak mengalami kesulitan untuk menerima keadaan dan penampilan dirinya saat ini. Meskipun Sartika mengaku masih ingin memperbaiki penampilan dirinya saat ini, namun Sartika sudah merasa percaya diri dengan penampilannya. Hal ini sesuai dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, berarti dia sudah dapat mengenali dirinya sendiri, dapat berpikir lebih realistik tentang penampilannya dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. 229

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain

Proses penerimaan diri Sartika, dalam menghadapi kondisi suaminya yang duda serta kondisi anak tirinya yang tunarungu, Sartika juga memiliki kekurangan yaitu mudah dipengaruhi oleh perasaan emosi sesaat. Jika sudah mulai merasa marah dengan Cindy dan suaminya, maka Sartika akan memilih diam atau sekedar membanting gelas ataupun piring sebagai ungkapan rasa marahnya. Setelah ia membanting piring atau gelas, maka ia akan merasa tenang ketika menghadapi suami dan anak tirinya. Meskipun memiliki kekurangan mudah merasa emosi sesaat, Sartika juga memiliki kelebihan rasa sabar pada dirinya. Kesabaran diakui Sartika adalah kunci utama dalam menghadapi kondisi rumah tangganya. Selain kelebihan rasa sabarnya mampu mengontrol rasa emosi sesaat pada dirinya, rasa sabar Sartika juga mampu menghadapi kondisi Cindy yang tunarungu. Kondisi Cindy yang tunarungu, diakui oleh Sartika membutuhkan kesabaran lebih ketika mengsuh, menghadapi perilaku dan keinginan Cindy. Umumnya, hambatan yang paling sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut Heward, 1996. Namun, adanya keterbatasan pendengaran dan komunikasi yang dialami Cindy, membuat Sartika tetap berusaha sabar dalam mengasuh serta memahami setiap keinginan dan bahasa isyarat Cindy. 230 Kelebihan rasa sabar yang dimilikinya, juga diakui Sartika membuatnya merasa lebih tenang dan sabar ketika menghadapi penilaian umum orang lain mengenai statusnya dan kondisi Cindy yang tunarungu. Dalam merespon penilaian di masyarakat mengenai status ibu tiri, rasa sabar juga dibutuhkan. Jika suatu saat ia mendengar secara langsung penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka Sartika akan berusaha sabar dalam menghadapi penilaian tersebut dan tidak terlalu memperdulikan penilaian yang muncul tersebut. Dengan kekurangan serta kelebihan yang dimilikinya, membuat Sartika saat ini telah mampu menyeimbangkan emosi negatif dengan rasa sabar yang dimilikinya dengan baik. Jersild 1963 menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, adalah individu mempunyai pandangan positif mengenai kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Individu juga dapat menilai kelemahan dan kekuatan orang lain dengan lebih baik pula. Begitu pula dengan Sartika. Statusnya sebagai ibu tiri Cindy yang tunarungu, bukanlah suatu kekurangan pada diri Sartika. Sartika mampu memandang positif mengenai kelebihan ataupun kekurangan pada dirinya dan Cindy. Kondisi Cindy yang tunarungu, diakui Sartika bukanlah menjadi suatu kekurangan pada dirinya.

c. Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri

Jersild 1963 juga mengemukakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, adalah individu yang memiliki penilaian yang 231 realistik terhadap keadaan dirinya. Namun, apabila individu memiliki perasaan inferior rendah diri pada dirinya, maka akan mengganggu penilaian realistik atas dirinya. Pada kasus Sartika, awalnya ketika menyandang status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika tidak merasa terkejut dan merasa bersalah dengan statusnya tersebut. Sartika tidak merasa malu ataupun rendah diri inferior dengan status duda bang Anto dan kondisi Cindy yang tunarungu. Awalnya ketika Sartika mengajak Cindy bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, Sartika mengaku pernah mendapatkan penilaian negatif mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Adanya penilaian tersebut, membuat rasa malu Sartika muncul. Rasa malu yang awalnya tidak dirasakan oleh Sartika sebagai ibu tiri Cindy, tiba-tiba menyelimuti perasaannya ketika tetangganya memberikan penilaian terhadap kondisi Cindy yang tunarungu. Secara fisik, Cindy tidak terlihat memiliki keterbatasan pada dirinya. Namun ketika Cindy diajak berbicara, orang-orang disekitarnya akan menyadari bahwa Cindy adalah seorang anak tunarungu. Ketunarunguan Cindy itulah yang membuat Cindy mendapatkan penilaian negatif dari lingkungan sekitarnya. Penilaian negatif yang muncul terkait kondisi Cindy, misalnya berupa pendapat orang- orang mengenai kondisi Cindy yang tidak bisa mendengar layaknya anak normal pada umumnya serta dianggap berbeda dari anak-anak pada umumnya. Namun rasa malu Sartika yang sempat muncul terhadap kondisi Cindy yang tunarungu, tidak membuat Sartika merasa rendah diri dan merasa tidak berharga inferiority dihadapan orang lain. 232 Sartika tetap mampu mengatasi rasa malu yang muncul tersebut dengan mengajak Cindy pada setiap acara dan mengenalkan Cindy sebagai anaknya. Dengan adanya dukungan dari suaminya, membuat Sartika mampu mengatasi pemikiran negatif yang muncul dari dirinya. Oleh karena itu, Sartika mampu mengatasi rasa malu tersebut dan dapat menerima segala penilaian tetangganya mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Setelah mampu menerima kondisi Cindy yang tunarungu, saat ini Sartika juga telah mampu menanggapi penilaian yang muncul mengenai kondisi Cindy dengan santai dan biasa saja. Sartika tetap merasa percaya diri di depan orang lain meskipun dia seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Jersild 1963 mengemukakan bahwa apabila individu memiliki rasa inferior, akan membuat dirinya menjadi menolak atau menarik diri dari lingkungan sosialnya. Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah hambatan baginya untuk bersosialisasi. Sartika tidak ingin statusnya menyebabkan dirinya menarik diri dari lingkungan sosialnya.

d. Respon atas penolakan dan kritikan

Apabila ia mendapatkan kritikan ataupun penilaian mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka Sartika akan menganggap kritikan atau pendapat orang lain mengenai statusnya tersebut sebagai masukan dan dukungan untuk dirinya. Dengan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika akan semakin terpacu untuk bisa merasa sabar dalam mengasuh Cindy yang mengalami tunarungu. Selain itu, Sartika akan mengambil nilai positif dari penilaian yang muncul tersebut 233 sebagai hikmah bagi kehidupannya dan akan dijadikannya sebagai evaluasi bagi dirinya agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya. Namun, apabila penilaian tersebut memiliki nilai yang negatif, maka Sartika akan menjadikannya sebagai suatu pendapat saja. Sartika tidak akan memperdulikan penilaian negatif yang muncul tersebut. Sartika memiliki sikap yang baik dalam merespon kritikan ataupun pendapat mengenai statusnya. Hal tersebut sesuai dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang keempat mengenai respon yang baik atas penolakan dan kritikan. Jersild 1963 mengemukakan bahwa Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, dimana hal ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan.

e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”

Awalnya dengan adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, membuat Sartika tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri. Sartika sempat terpengaruh dengan penilaian umum tersebut. Namun, Sartika mampu mengatasi pemikiran negatif tersebut dengan pemikiran positif yang dimilikinya. Menurutnya status sebagai ibu tiri di masyarakat memang ada, namun kekejaman seorang ibu tiri ditentukan oleh masing-masing karakteristik individulnya. Sebagai seorang wanita pada 234 umumnya, Sartika tidak pernah memiliki keinginan menjadi seorang ibu tiri real self. Hal ini sesuai dengan penyataan Hurlock 1978, yang mengemukakan bahwa tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena setiap orang memiliki real self dan ideal self di dalam dirinya. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Pada awalnya ketika menjadi ibu tiri, Sartika tidak merasa kesulitan untuk menerima status tersebut. Mudahnya Sartika menerima statusnya sebagai ibu tiri, dikarenakan Sartika sudah menyadari posisinya dari awal ketika menjalin hubungan dengan bang Anto. Jersild 1963, menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang dapat mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik. Dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika juga membutuhkan waktu untuk dapat menyeimbangkan keadaan dirinya sebagai ibu tiri real self. Agar individu dapat menyesuaikan ideal self dan real self-nya, maka individu harus mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan atau real self yang diinginkannya tidak tercapai Jersil, 1963. Meskipun Sartika tidak memiliki keinginan menjadi ibu tiri, namun saat ini dengan segala harapan yang ia miliki terhadap dirinya dan keluarganya, Sartika telah mampu menerima segala keadaan dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tiri Cindy yang tunarungu real self. Keinginan Sartika untuk menjadi ibu kandung ideal self, saat ini belum 235 dapat tercapai karena Sartika belum dikaruniai seorang anak dari pernikahannya dengan bang Anto. Saat ini, Sartika juga merasa bangga bisa menjadi ibu tiri Cindy yang tunarungu. Munculnya rasa bangga Sartika tersebut, dikarenakan Sartika percaya bahwa Tuhan sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk merawat anak dari suaminya. Selain itu ketika mengasuh Cindy, Sartika juga bisa sekaligus belajar mengasuh anak. Agar nantinya jika telah memiliki anak kandung, dirinya mampu mengasuh dan merawat anak kandungnya sendiri. Sartika juga tidak merasa kecewa dan bersalah karena menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

f. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain

Adapun aspek penerimaan diri yang keenam menurut Jersild 1963, yaitu memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain dengan baik. Seorang individu yang menyayangi dirinya, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain. Apabila seorang individu tidak menyukai dirinya, maka akan lebih memungkinkan bagi dirinya untuk tidak menyukai orang lain. Adanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain adalah ciri individu yang memiliki penerimaan diri yang baik. Begitu juga dengan Sartika. Selama dua tahun terakhir menjadi ibu tiri Cindy, Sartika telah mampu menerima dan menyayangi keadaan dirinya dengan apa adanya internal. Sartika juga telah menerima kehadiran Cindy sebagai anaknya sendiri. Terlebih dengan kondisi Cindy yang tunarungu. 236 Meskipun Cindy mengalami hambatan pendengaran dan komunikasi, hal tersebut tidak membuat Sartika merasa kesulitan untuk menerima dan mengasuh Cindy seperti anak kandungnya sendiri. Mudahnya Sartika menerima kehadiran Cindy, dikarenakan pada masa pacaran bang Anto sudah menceritakan Cindy. Selain itu, Cindy juga sering ikut serta dalam kegiatan mereka. Oleh karena itu, intensitas pertemuan diantara keduanya memunculkan ikatan emosional. Ikatan emosional yang terjalin diantara keduanya, membuat Cindy dan Sartika menjadi dekat satu sama lain. Adanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosial Jersild, 1963. Sartika juga sering melibatkan dan mengikutsertakan Cindy dalam acara-acara di luar rumah, misalnya mengajak Cindy berbelanja, renang, serta mengajaknya menghadiri acara pesta. Sartika saat ini sudah merasa percaya diri ketika mengajak Cindy keluar rumah.

g. Menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri

Jersild 1963 mengemukakan bahwa individu yang telah memiliki penerimaan diri, akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, maka individu akan semakin mampu untuk terlihat percaya diri dalam interaksi sosialnya dengan orang lain. Pada kasus Sartika, setelah dapat menerima dirinya dan menerima kehadiran Cindy dengan baik, ia juga dapat melakukan hal-hal yang disukainya secara bebas. Meskipun 237 Sartika memiliki keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan tetangganya karena bekerja, tidak membuat Sartika membatasi diri di lingkungan sekitarnya. Sebenarnya, Sartika banyak menghabiskan waktu di tempat kerja daripada di lingkungan rumahnya. Meski begitu, Sartika tetap berusaha berkumpul dengan tetangga sekitarnya ketika dirinya memiliki waktu senggang. Dengan status yang dimilikinya, Sartika tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangganya dan berusaha untuk dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. Menurutnya, bukanlah hal yang baik apabila harus mengurung diri di rumah serta membatasi interaksi dengan tetangga sekitarnya hanya karena memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Sartika juga terlihat lebih percaya diri dan menonjolkan dirinya ketika di tempat kerja. Hal tersebut dikarenakan posisi Sartika sebagai serice advisor yang dituntut untuk bersikap ramah, ceria dan berwawasan terbuka terhadap klien. Meskipun Sartika berstatus sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, tidak membuat Sartika merasa rendah diri di lingkungan kantornya. Istilah ibu tiri, menurutnya tidak terlalu berpengaruh terhadap interaksinya di tempat kerja. Menurutnya, status ibu tiri yang dimilikinya bukanlah hambatan untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.

h. Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup

Berdasarkan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang kedelapan, disebutkan bahwa, individu dengan penerimaan diri yang baik, mempunyai 238 lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Sejak Sartika dapat menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, Sartika lebih dapat menikmati berbagai aspek dalam hidupnya. Selama 2 tahun terakhir, ia menikmati mengasuh dan merawat Cindy yang tunarungu. Pandangan positif mengenai ibu tiri dan anak tunarungu yang dimilikinya, membuat dirinya mampu menikmati dan menjalani hidupnya dengan baik. Sartika merasa leluasa menikmati hal-hal dalam hidupnya sebagai ibu tiri Cindy. Sartika merasa bahwa statusnya bukanlah sebagai hambatan untuk bisa menikmati segala aspek di dalam hidupnya. Ia juga menambahkan bahwa status sebagai ibu tiri, bukanlah sebagai penghambat untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya. Ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya, apabila dirinya diminta untuk melakukan suatu hal yang tidak disukai olehnya, maka Sartika akan tetap melakukan hal tersebut. Meskipun ia merasa terpaksa untuk melakukannya.

i. Kejujuran dalam penerimaan diri

Jersild 1963 juga mengemukakan, bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik tidak harus selalu berbudi baik, namun memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya. Begitu juga dengan Sartika. Meskipun dirinya pernah merasa cemas terhadap penilaian umum masyarakat terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, saat ini Sartika juga sudah mampu mengatasi rasa cemas yang ada 239 pada dirinya. Untuk mengatasi rasa cemas yang muncul pada dirinya, Sartika berusaha untuk berperilaku baik kepada anak tirinya. Sehingga, penilaian lingkungan pada umumnya terhadap karakteristik ibu tiri yang kejam, dapat diabaikan oleh Sartika. Dengan perilaku baiknya serta pikiran positif yang muncul pada dirinya, membuat Sartika mampu secara perlahan menghilangkan perasaan cemas yang ada pada dirinya. Saat ini, Sartika mengaku sudah mampu menghilangkan rasa cemas tersebut karena sudah terbiasa menjalani perannya sebagai ibu tiri Cindy. Saat ini, Sartika tidak pernah merasa ragu, cemas dan bimbang lagi. Selain itu, Sartika juga sudah merasa ikhlas dari awal dengan posisi dan keadaannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

Sartika juga memiliki sikap yang baik terhadap penerimaan dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarugu. Ia merasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus merasa malu dengan statusnya sebagai ibu tiri Cindy. Sartika menganggap bahwa dirinya adalah seorang ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu layaknya kelurga normal pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan aspek penerimaan diri yang ke sepuluh menurut Jersild 1963, yaitu sikap yang baik terhadap penerimaan diri. Berdasarkan pengalaman Sartika dalam menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, pemikiran yang realistik serta pemikiran positif adalah unsur yang berperan dalam proses penerimaan dirinya. Sartika 240 tidak penah memandang negatif terhadap status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu. Sartika juga dapat menyadari keadaannya saat ini dengan apa adanya dan tidak terpaku pada penilaian orang lain. Dampak dari penerimaan diri pada Sartika adalah Sartika merasa ikhlas dan dapat menikmati hidupnya saat ini tanpa harus terpaku pada statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Sartika menerima dan tidak malu dengan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Ia juga tidak kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya meskipun dirinya adalah seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

2. Partisipan II NB

NB juga merupakan salah satu wanita yang memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Saat ini, NB telah menjalani perannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu selama 6 tahun. Seperti Sartika, NB juga mengalami proses penerimaan diri untuk menerima status dan anak tirinya yang tunarungu. NB juga membutuhkan waktu dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Selain itu, NB juga pernah terpengaruh dengan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Kisah NB dimulai ketika NB memutuskan untuk menikah dengan bang AD, suaminya saat ini. Setelah NB menikah dengan bang AD, NB merasakan perubahan dalam hidupnya. Selain harus menerima dirinya sebagai ibu tiri dan kondisi anak tirinya yang tunarungu, NB juga dihadapkan dengan perilaku 241 kasar dari anak tirinya, Aurum. Sampai saat ini, NB masih merasa sakit hati dengan perlakuan anak tirinya yang meludahi NB. Proses penerimaan diri NB menjadi semakin sulit ketika dihadapkan dengan perlakuan dari ibu mertua dan adik-adik iparnya yang tidak menyetujui pernikahannya ketika usia pernikahannya sudah berjalan 5 tahun. NB merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan dukungan sosial dari ibu mertua dan adik-adik iparnya. Dukungan sosial berperan penting dalam penerimaan diri seseorang, dimana dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya, individu akan merasa yakin dengan ide-ide, perasaan serta harapan-harapan yang dimilikinya Jersild, 1963. Dukungan sosial ini mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diberikan orang lain ataupun kelompok kepada individu Sarafino, 2011.

a. Persepsi mengenali diri dan sikap terhadap penampilan

Proses penerimaan diri NB dimulai dari aspek penerimaan diri menurut Jersild 1963 yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan diri. Secara fisik, NB merasa kurang percaya diri dengan keadaan tubuhnya saat ini yang terlihat gemuk. Meskipun NB memiliki tubuh yang gemuk, NB tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain. NB juga tidak terpaku dengan penilaian orang lain mengenai kondisi badannya yang gemuk. Saat ini NB sudah merasa bersyukur dengan kondisi berat badannya. NB juga merasa percaya diri dengan kondisi badannya yang saat ini gemuk. NB juga memiliki persepsi yang positif mengenai penampilan dan keadaan tubuhnya 242 yang gemuk. NB juga menyadari keadaan dan penampilannya dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain

Sebagai ibu tiri, NB juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menghadapi kondisi keluarga barunya. Adapun kekurangan dirinya ketika menghadapi keluarganya, yaitu memiliki sifat keras kepala, mudah marah terbawa emosi dan tidak mau mengalah. Meskipun dirinya merasa cepat marah, NB lebih memilih untuk menahan rasa marah yang mucul pada dirinya tersebut. Ketika anak tirinya melakukan perbuatan yang membuat NB kesal, NB memilih untuk diam dan tidak memarahi anak tirinya, Aurum. Begitu juga ketika menghadapi perlakuan dari ibu mertua dan adik-adik iparnya, NB lebih memilih menahan rasa marah daripada meluapkan kemarahan dan kekesalannya. Sebagai ibu tiri, NB juga memilliki kelebihan rasa sabar pada dirinya. Jika dirinya tidak sabar ketika menjalani peran sebagai ibu tiri, dirinya pasti sudah berpisah dengan bang AD. NB juga harus bisa bersikap sabar dalam menghadapi kondisi anak tirinya yang tunarungu serta menghadapi perlakuan ibu mertuanya. Selain memiliki rasa sabar, dirinya juga masih memikirkan keadaan suaminya jika NB harus menyerah dengan kondisi keluarganya saat ini. Meskipun dirinya mendapat perlakuan kasar dari anak tiri dan ibu mertuanya, NB tetap merasa harus sabar dan berusaha berbuat baik dalam 243 menghadapinya. NB mengaku bahwa statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah suatu kekurangan pada dirinya. Menanggapi kelebihan dan kekurangannya, NB mengaku bahwa saat ini dirinya telah mampu menyeimbangkan rasa emosi dengan rasa sabar dalam mengahadapi anak tiri yang tunarungu dan ibu mertuanya. Hal tersebut sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang mengemukakan mengenai sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, mempunyai pandangan yang positif mengenai kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya. Menurutnya, merupakan hal yang sia-sia jika energinya hanya dipakai untuk berusaha menjadi sesuatu yang tidak baik, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri di depan orang lain. Meskipun NB memilih unuk menyembunyikan rasa marahnya, namun NB melakukan hal tersebut demi kebaikan dirinya. Ia tidak ingin kemarahan dan kekesalannya akan menambah masalah pada keluarga dan ibu mertuanya.

c. Perasaan inferior sebagai gejala penolakan diri

Sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang ketiga, dinyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, adalah individu yang memiliki penilaian yang realistik terhadap keadaan dirinya. Namun, apabila individu memiliki perasaan inferior rendah diri pada dirinya, maka akan mengganggu penilaian realistik atas dirinya. Pada kasus NB, awalnya ketika menyandang status sebagai ibu tiri Aurum, NB merasa belum bisa menerimanya. Pada awal pernikahannya, NB merasa malu inferior 244 ketika menyandang status sebagai ibu tiri. Mendengar penilaian masyarakat mengenai karakteristik umum ibu tiri yang kejam, membuat NB merasa malu ketika berinteraksi dengan tetangga sekitarnya. NB merasa bahwa dirinya berbeda dengan ibu-ibu di lingkungannya karena statusnya sebagai ibu tiri. Namun akhirnya NB dapat mengatasi perasaan berbeda tersebut, karena adanya dukungan dari suami dan pemikiran positif yang dimilikinya. Selain itu, ketika NB mulai menyadari posisi dan kondisinya sebagai ibu tiri, NB perlahan mulai bisa menerimanya. NB mulai bisa menerima statusnya sebagai ibu tiri Aurum, ketika usia pernikahan setengah tahun. NB juga pernah merasa malu ketika menjadi ibu tiri Aurum yang tunarungu. Munculnya rasa malu tersebut dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu. NB awalnya juga sempat malu inferior ketika mengajak dan mengenalkan Aurum sebagai anak tirinya. Meskipun NB merasa malu dengan keadaan Aurum yang tunarungu, tidak membuat NB merasa rendah diri dan tidak berharga dihadapan orang lain. NB tetap bisa mengatasi rasa malunya tersebut karena tetap berusaha untuk percaya diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Saat ini NB sudah merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

d. Respon atas penolakan dan kritikan

Jika dirinya mendapatkan kritikan terkait statusnya sebagai ibu tiri, maka NB akan menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan bagi dirinya. Menurutnya apapun kritikan yang diberikan orang lain mengenai statusnya, adalah kritikan yang berdasarkan keadaannya saat ini. Sehingga, NB akan 245 menjadikan kritikan maupun pendapat yang diberikan oleh orang lain sebagai masukan bagi dirinya. Jika kritikan yang diberikan bersifat positif, maka NB akan menerima kritikan tersebut. Apabila kritikan tersebut bersifat negatif, maka NB akan berusaha menjelaskannya sehingga dapat bernilai positif. Sampai saat ini, NB mengaku bahwa dirinya belum pernah mendapatkan penilaian negatif terkait status ibu tiri yang dimilikinya. Menurut Jersild 1963, Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, dimana hal ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Menurut NB, munculnya kritikan ataupun penilaian dari orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri Aurum, bukanlah sebagai penolakan atas dirinya. Justru kritikan dari ibu mertuanyalah yang membuat NB merasa mendapatkan penolakan atas dirinya. Meskipun ibu mertuanya menuduh dirinya sebagai ibu tiri yang kejam, NB tetap harus berbuat baik dan berusaha membela dirinya karena tidak melakukan hal tersebut. Menanggapi kritikan dari ibu mertuanya, NB harus tetap merasa sabar dan tenang agar tidak memperbesar masalah diantara ibu mertuanya. 246

e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”

Sebagai wanita normal pada umumnya, NB tidak memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu tiri. Hal ini sesuai dengan penyataan Hurlock 1978, yang mengemukakan bahwa tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena setiap orang memiliki real self dan ideal self di dalam dirinya. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. NB pernah merasa kecewa dengan statusnya tersebut. Selain itu, adanya penilaian negatif yang muncul di masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, membuat NB tidak begitu merasa bangga menjadi ibu tiri. Menurutnya status sebagai ibu tiri di masyarakat memang ada, namun kekejaman seorang ibu tiri ditentukan oleh masing-masing karakteristik individulnya. NB mengaku, bahwa dirinya membutuhkan waktu setengah tahun untuk dapat menerima statusnya sebagai ibu tiri. Agar individu dapat menyesuaikan ideal self dan real self-nya, maka individu harus mempersiapkan atau memiliki harapan-harapan lain yang dapat dicapainya sehingga ia tidak akan kecewa ketika harapan atau real self yang diinginkannya tidak tercapai Jersild, 1963. Adanya harapan-harapan untuk keluarganya, membuat NB mampu menyeimbangkan keinginan ideal self dan keadaan dirinya real self dan menghadapi perilaku kasar Aurum dan perlakuan dan ibu mertuanya. 247 Usia NB yang saat ini 36 tahun, membuatnya sadar bahwa dirinya tidak bisa lagi untuk melahirkan seorang anak. NB sudah merasa ikhlas menerima dan menjalani peran nya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu real self. Meskipun saat ini NB telah mampu untuk menyeimbangkan keinginan ideal self dan keadaan dirinya real self, sampai saat ini NB masih merasa sulit untuk bisa menerima Aurum sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar Aurum kepada NB, rasa sakit hati NB kepada Aurum dan perlakuan ibu mertuanya yang tidak memberikan dukungan kepada NB sebagai menantu dan ibu tiri dari cucunya.

f. Memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain

Seorang individu yang menyayangi dirinya, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain. Apabila seorang individu tidak menyukai dirinya, maka akan lebih memungkinkan bagi dirinya untuk tidak menyukai orang lain Jersild, 1963. Pada kasus NB, NB sudah bisa menerima dan menyayangi dirinya dengan apa adanya dan memiliki persepsi positif dengan keadaan dirinya. NB mengaku bahwa sulitnya ia menerima Aurum bukan dikarenakan kondisi Aurum yang tunarungu. Namun, satu hal yang membuat NB sulit menerima kehadiran Aurum sebagai anaknya sendiri, karena NB merasa sakit hati atas perilaku kasar Aurum yang meludahi NB. Meskipun dirinya telah merawat dan mengasuh Aurum seperti anaknya sendiri, tetapi dirinya masih merasa sulit untuk menerima Aurum sebagai anaknya sendiri. Terlebih dengan penolakan dari ibu mertuanya, membuat NB 248 merasa sulit untuk menerima Aurum menjadi anaknya sendiri. Diakui NB, jika ibu mertuanya memperlakukannya dengan baik, maka NB akan berusha menerima cucunya seperti anaknya sendiri meskipun Aurum mengalami tunarungu. Mengingat sulitnya NB menerima Aurum menjadi anaknya, tidak membuat NB merasa malu ketika melibatkan Aurum dalam kegiatannya. Terkadang NB juga mengajak Aurum untuk ikut dengannya ketika ada acara dari lingkungan maupun kelurahan. NB terlihat percaya diri ketika mengajak Aurum menghadiri kegiatan di lingkungan maupun kegiatan di kelurahan. Statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah hambatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Terlebih NB adalah seorang ibu kepala lingkungan di tempat tinggalnya.

g. Menerima diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri

Jersild 1963 mengemukakan bahwa individu yang telah memiliki penerimaan diri, akan melakukan keinginannya tanpa harus merasa rendah diri dengan lingkungan sekitarnya. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, maka individu akan semakin mampu untuk terlihat percaya diri dalam interaksi sosialnya dengan orang lain. Pada kasus NB, semenjak menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, NB merasa ikhlas dalam menjalani kehidupannya dengan peran dan statusnya tersebut. Selain itu, status NB sebagai ibu kepala lingkungan, menuntutnya untuk bisa bergabung dengan warga di lingkungannya. Dengan status yang dimilikinya, 249 NB tidak merasa malu ketika berkumpul dengan warga di lingkungannya. NB mengaku tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi maupun berkumpul dengan tetangga dan warga di lingkungannya. Sehubungan dengan tugasnya sebagai ibu kepala lingkungan, NB terlihat aktif dan menonjolkan dirinya ketika mengikuti kegiatan di lingkungan keseharian maupun lingkungan kelurahan. NB juga akan menuruti kehendaknya seperti menghabiskan waktunya diluar rumah ketika mengalami tekanan pada dirinya. NB juga tidak akan menghiraukan pandangan orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Selama 6 tahun terakhir, NB sudah merasa mampu untuk menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Meskipun NB tidak ingin menerima Aurum seperti anaknya sendiri, tetapi kenyataannya keadaan NB saat ini adalah ibu tiri Aurum. Oleh karena itu, menyadari keadaannya tersebut NB tetap merasa memiliki tanggung jawab untuk merawat dan mengasuh Aurum dalam kesehariannya. Hal tersebut yang membuat NB perlahan NB mulai mudah dan menyadari pemikiran realistik hal itu dan sudah merasa ikhlas dalam menjalani hidupnya. Mudahnya NB menerima keadaannya sebagai ibu tiri, dikarenakan ia memiliki pandangan positif terhadap statusnya. Bagaimanapun ke depannya, NB merasa ia akan tetap menjadi ibu tiri selama ia masih menjadi istri dari suaminya. Untuk itu, NB harus tetap dapat menikmati berbagai aspek dalam hidupnya tanpa harus terpaku dengan perilaku kasar Aurum dan penolakan dari ibu mertuanya. 250

h. Menerima diri, spontanitas, menikmati hidup

Ketika NB diminta oleh mertua maupun orang lain untuk melakukan suatu hal yang tidak disukainya, maka NB merasa memiliki hak untuk menolak hal tersebut. Hal ini sesuai dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 yang kedelapan yang mengemukakan bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik, mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Namun, terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

i. Kejujuran dalam penerimaan diri

Jersild 1963 juga mengemukakan, bahwa dengan penerimaan diri yang baik tidak harus selalu berbudi baik, namun memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya. Begitu juga dengan NB. Agar dirinya merasa tenang dan mudah mengikhlaskan apa yang terjadi terhadap dirinya dan rumah tangganya, NB memilih untuk menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan statusnya maupun penolakan dirinya oleh ibu mertuanya. Selain itu, NB tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Selama 6 tahun menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, dirinya sudah dapat menjalani penerimaan diri maupun statusnya dengan baik dan merasa ikhlas lahir batin meskipun NB belum bisa menerima Aurum sebagai anaknya sampai saat ini. 251

j. Sikap yang baik terhadap penerimaan diri

Sejalan dengan aspek penerimaan diri menurut Jersild 1963, mengenai sikap yang baik terhadap penerimaan diri, NB sampai saat ini juga menyadari bahwa perbuatannya untuk tidak menerima Aurum sebagai anaknya sendiri adalah perbuatann yang salah. NB juga mengaku bahwa saat ini dirinya tidak memperdulikan penilaian masyarakat mengenai statusnya sebagai ibu tiri Aurum. Namun, yang menjadi perhatian NB saat ini adalah bagaimana Aurum dapat merubah perilakunya dan bagaimana ibu mertuanya dapat menerimanya sebagai menantunya. Selain itu, sampai saat ini NB merasa memiliki sikap yang baik dalam menjalani perannya sebagai ibu tiri. NB juga merasa bahwa dirinya seperti ibu pada umumnya yang menjalani perannya seperti ibu pada umumnya, yaitu merawat dan mengasuh Aurum dengan baik. Menurutnya, Tuhan sudah memberikan jalan terbaik bagi dirinya untuk menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Oleh karena itu, NB sudah menerima dan mengikhlaskan takdir yang diberikan Tuhan kepadanya. 252

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang berhubungan dengan jawaban-jawaban dari permasalahan penelitian, serta saran praktis maupun saran untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan tema penerimaan diri atau ibu tiri dan anak tunarungu.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kedua partisipan, secara umum dapat disimpulkan bahwa : 1. Gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

a. Partisipan 1

Partisipan 1 merasa telah mampu untuk menerima dirinya sebagai ibu tiri, serta mampu menyesuaikan dirinya sebagai ibu tiri. Hal ini berdampak terhadap penerimaan yang baik pula pada berbagai aspek dalam hidupnya seperti, mudah menerima keadaan dan penampilannya. Ia juga mudah menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Ia juga mampu mengatasi rasa inferior yang muncul pada dirinya. Partisipan 1 juga memiliki respon yang baik terhadap kritikan maupun penilaian yang muncul terhadap diri dan statusnya serta mampu menyeimbangkan ideal self dan real self pada dirinya. Partisipan 1 juga telah mampu menyesuaikan dirinya dalam merawat dan mengasuh anak tirinya 253 yang tunarungu. Partisipan 1 merasa mudah untuk menerima kehadiran anak tirinya Cindy yang tunarungu karena sudah mengetahui posisinya dari awal ketika berkenalan dengan suaminya bang AN. Rumah tangga yang dijalani oleh partisipan 1 hanya selama 2 tahun, namun partisipan 1 telah mampu menerima statusnya sebagai ibu tiri dan menerima kondisi anak tirinya yang tunarungu. Partisipan 1 telah mampu menjalani kesepuluh aspek penerimaan diri dengan baik tanpa mengalami kesulitan yang berarti, hingga akhirnya ia mampu menerima diri, status ibu tiri, dan kondisi anak tirinya yang tunarungu dengan sepenuhnya. b. Partisipan 2 Partisipan 2 juga merasa telah mampu untuk menerima dirinya terkait posisinya sebagai ibu tiri dan berbagai aspek penerimaan diri dalam hidupnya, seperti, mudah menerima keadaan dan penampilannya. Ia juga mudah menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Partisipan 2 juga mampu mengatasi rasa inferior yang muncul pada dirinya terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Ia juga memiliki respon yang baik terhadap kritikan maupun penilaian yang muncul terhadap diri dan statusnya serta mampu menyeimbangkan ideal self dan real self pada dirinya. Partisipan 2 juga telah mampu menyesuaikan dirinya dalam merawat dan mengasuh anak tirinya yang tunarungu. Partisipan 2 telah menjalani rumah tangganya 254 selama 6 tahun, namun sampai saat ini partisipan 2 hanya bisa menerima status dirinya sebagai ibu tiri saja, dan belum bisa menerima anak tirinya Aurum yang tunarungu. Pada dasarnya, partisipan 2 tidak mempermasalahkan kondisi anak tirinya yang tunarungu, dan tidak terlalu mengalami kesulitan yang berarti dalam mengasuhnya. Sampai saat ini, partisipan 2 hanya mampu menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dan belum bisa memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan sulitnya partisipan 2 menerima anak tirinya yang tunarungu. Sulitnya partisipan 2 untuk menerima anak tirinya sebagai anaknya sendiri, dikarenakan perilaku kasar yang ditunjukkan anak tiri dan perlakuan dari ibu mertuanya. Ibu mertua partisipan 2 turut campur dalam kehidupan rumah tangganya dan tidak menyetujui pernikahan partisipan 2. 2. Pengaruh pemikiran positif terhadap proses penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. a. Partisipan 1 Pemikiran positif dan pemikiran realistik adalah unsur yang berperan dalam proses penerimaan diri pada partisipan 1. Bagi partisipan 1, hal terpenting saat ini adalah menjalankan perannya sebagai ibu tiri Cindy yaitu merawat dan mengasuh Cindy layaknya ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu seperti keluarga normal pada umumnya. Selain itu, dikarenakan partisipan 255 1 sudah mendapatkan dukungan dari suami dan orang-orang terdekatnya, membuatnya mampu menjalani kesulitan dalam mengasuh anak tirinya yang tunarungu. Partisipan 1 juga mampu menerima dirinya dengan baik dan dapat menikmati hidupnya dengan baik sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan 1 sudah merasa cukup ikhlas dan juga tidak merasa malu dengan statusnya tersebut. Rasa sabar yang dimiliki oleh partisipan 1 juga turut berperan dalam proses penerimaan dirinya. Partisipan 1 menganggap bahwa rasa sabar adalah kunci dalam menjalani rumah tangga maupun menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. b. Partisipan 2 Pada partisipan 2, pemikiran positif dan dukungan sosial sangat berpengaruh terhadap proses penerimaan dirinya. Partisipan 2 telah mampu menerima statusnya sebagai ibu tiri, namun dirinya merasa belum bisa menerima anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya. Saat ini yang menjadi perhatian partisipan 2 adalah bagaimana ia mampu merubah perilaku kasar anak tirinya dan bagaimana agar ibu mertuanya dapat menerimanya sebagai menantunya. Sampai saat ini, partisipan 2 merasa belum mendapatkan dukungan dari ibu mertuanya mengenai pernikahan dan statusnya. Dukungan sosial yang tidak didapatkannya dari ibu mertuanya, tidak membuat partisipan 2 berhenti mengasuh dan 256 merawat anak tirinya. Adanya dukungan dari suaminya, membuat partisipan 2 mampu bertahan dalam menjalani rumah tangganya. Saat ini, partisipan 2 sudah merasa ikhlas lahir batin dalam menjalani hidupnya dan menghadapi perlakuan dari ibu mertuanya. Rasa sabar yang ada pada partisipan 2 juga turut berperan dalam proses penerimaan dirinya. Partisipan 2 juga menganggap bahwa rasa sabar adalah kunci dalam menjalani rumah tangga maupun menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

B. SARAN