Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

114 mengalami perpisahan dari awal. Dalam merespon penilaian di masyarakat mengenai status ibu tiri, Sartika juga mengaku bahwa rasa sabar juga dibutuhkan. Jika suatu saat ia mendengar secara langsung penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka Sartika akan berusaha sabar dalam menghadapi penilaian tersebut dan tidak terlalu memperdulikan penilaian yang muncul tersebut. “Iya. He’eh. Kalok gak sabar-sabar aja qi, hem..yaudah gak bersama lagi kan ngejalani rumah tangga ini…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b119-121h7-8

3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Awalnya ketika menyandang status sebagai ibu tiri dari Cindy, Sartika tidak merasa terkejut dan merasa bersalah dengan statusnya tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketika dari awal berkenalan dengan bang AN, Sartika sudah mengetahui posisinya akan menjadi ibu tiri dari Cindy jika menikah dengan bang AN. Selain itu dari awal masa perkenalan, bang AN juga sudah memberitahukan keadaan dirinya yang memiliki seorang anak perempuan yang tunarungu. Sartika tidak merasa malu ataupun rendah diri dengan status duda bang AN dan kondisi Cindy yang tunarungu. “Ketika menyandang ya? Hem..kalok untuk perasaannya sih ya..mungkin ya biasa aja gitu kan? Karena kan pas waktu berkenalan gitu kan, yang pertama kali dikenalin dia itu, ya anaknya gitu. Ha..ha’ah gitu. Jadi kan, dari pertama itu kan kita udah tau perkenalan dari awal. Jadi kalok seandainya udah jadi ibu tiri, punya anak yang seperti ini, jadi ya..menurut kakak ya biasa aja gitu. Gak shock atau 115 gimana-gimana gitu, karena kan dari pertama kakak udah tau gitu. Gitu aja sih, biasa aja. Gak ada shock , kaget tuh gak ada…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b70-84h5-6 Sartika mengaku dapat menerima segala kondisi bang AN sebagai duda yang memiliki anak tunarungu dan tidak merasa malu dengan hal tersebut. Ia juga mengaku bahwa dirinya merasa sangat menikmati perannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Sartika tetap merasa percaya diri di depan orang lain meskipun dia seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya penilaian negatif mengenai kekejaman ibu tiri di masyarakat tidak sepenuhnya benar, karena kekejaman ibu tiri tersebut tergantung dari individunya. “Kalok untuk..perasaannya sih..gimana ya kalok dibilang, hem..apa yah kalok mau dibilang qi? Diam Hem..kalok untuk malu sih enggak ya. Ngerasa enjoy, iyah biasa aja gitu…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b95-99h6 “Kalok rendah diri enggak lah ya. Biasa ajalah qi. Tetep PD ajalah di depan orang..kan gapapa gitu loh jadi ibu tiri? Masalah kejam itu kan balik lagi ke individunya..biasa ajalah…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b161-165h10 Meskipun sampai saat ini Sartika belum pernah mendapat penilaian negatif mengenai statusnya sebagai ibu tiri, tetapi Sartika pernah mendapatkan penilaian mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Pada awalnya ketika Sartika mengajak Cindy bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, Sartika mengaku pernah mendapatkan penilaian mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Adanya penilaian tersebut, membuat rasa malu Sartika muncul. Rasa malu yang awalnya tidak dirasakan oleh 116 Sartika sebagai ibu tiri Cindy, tiba-tiba menyelimuti perasaannya ketika tetangganya memberikan penilaian terhadap kondisi Cindy yang tunarungu. Secara fisik, Cindy tidak terlihat memiliki keterbatasan pada dirinya. Namun ketika Cindy diajak berbicara, orang-orang disekitarnya akan menyadari bahwa Cindy adalah seorang anak tunarungu. Ketunarunguan Cindy itulah yang membuat Cindy mendapatkan penilaian dari lingkungan sekitarnya. Orang-orang di sekitar lingkungannya pada awalnya, memandang Cindy memiliki perbedaan dengan anak normal pada umumnya. Namun rasa malu Sartika yang sempat muncul terhadap kondisi Cindy yang tunarungu, tidak membuat Sartika merasa rendah diri dan merasa tidak berharga inferiority dihadapan orang lain. Sartika tetap mampu mengatasi rasa malu yang muncul tersebut dengan mengajak Cindy pada setiap acara dan mengenalkan Cindy sebagai anaknya. Adanya dukungan dari suaminya, membuat Sartika mampu mengatasi pemikiran negatif yang muncul dari dirinya. Oleh karena itu, Sartika mampu mengatasi rasa malu tersebut dan dapat menerima segala penilaian tetangganya mengenai kondisi Cindy yang tunarungu. Setelah mampu menerima kondisi Cindy yang tunarungu, saat ini Sartika juga mengaku telah mampu menanggapi penilaian yang muncul mengenai kondisi Cindy dengan santai dan biasa saja. “Hem..kalok untuk bersosialisasi kadang sih agak ngerasa malu jugak ya kan. Tertawa kadang kan orang-orang mungkin bilangin, ih..anaknya. Karena kalok Cindy diajak ngomong baru ketauan bahwasanya dia itu tunarungu ya kan? Istilahnya ya ada sedikit malu 117 lah ya, tapi ya..biasa aja nanggapinnya gitu lah. Hem..iyalah, biasa aja sih. Memang keadaan dia kayak gitu ya..terima ajalah…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b107-116h7 “Ya..dari suami kakak lah yakan, ya..berdualah gitu kami sharing, kalok dari keluarga kakak sih gak ada…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b132-134h8 “Ya..dukungan dari suami ada sih. Jadi itulah yang memperkuat diri kakak dari pikiran-pikiran negatif kakak. Karena kakak gak ada berpikiran negatif gitu. Jadi kalok seandainya jodoh, ya…jodoh. Kalok dari awalnya berpikiran negatif, mungkin dari awal sampek sekarang ya..gak jalan gitu kan…” W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014E3b176-182h11 Sartika tidak mempermasalahkan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Menurutnya jika ia merasa malu dan mempermasalahkan penilaian lingkungan mengenai statusnya, maka hal tersebut akan menjadi beban dalam kehidupan rumah tangganya. “Bisa lah qi. Anggap aja kakak itu bukan ibu tiri dah…gitu aja sih qi. Kalok dipikir-pikir malah makin beban pulak nantik jadinya. ” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014E3b124-127h8

4. Respon yang baik atas penolakan dan kritikan