78
A. HASIL 1. Analisa Data Partisipan 1
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan 1 Keterangan
Partisipan 1
Nama Sartika
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 24 tahun
Suku Banten
Pendidikan Terakhir SMA
Pekerjaan Service Advisor
Menikah di Usia 22 tahun
2. Data Wawancara Partisipan 1
Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1
No. Partisipan Waktu Wawancara
Lokasi Wawancara
1. Partisipan 1
Hari Minggu, 30 Maret 2014 Pukul : 12.11-13.45 WIB
Rumah Partisipan
2. Partisipan 1
Hari Selasa, 27 Mei 2014 Pukul : 17.55-18.36 WIB
Rumah Partisipan
3. Partisipan 1
Hari Minggu, 15 Juni 2014 Pukul 15.21-16.04 WIB.
Rumah Partisipan
4. Partisipan 1
Hari Senin 10 November 2014 Pukul 20.21-20.51 WIB.
Rumah Partisipan
79
a. Partisipan 1
1 Hasil Observasi pada Wawancara I
- Lokasi dan Waktu Wawancara :
Rumah Partisipan pada hari Minggu, 30 Maret 2014 pukul 12.11-13.45 WIB.
Rumah Sartika terletak di dalam sebuah gang yang memiliki jalan cukup besar dan banyak dilalui oleh kendaraan yaitu kendaran roda dua
dan roda empat yaitu mobil. Jarak rumah partisipan dengan rumah peneliti tidaklah jauh, kurang lebih hanya berjarak kira-kira 500 meter. Rumah
Sartika merupakan sebuah rumah sewa yang memiliki 1 ruang tamu tanpa sekat yang digabungkan dengan ruang TV. Rumah Sartika dilengkapi
dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan sebuah dapur kecil yang terlihat dari ruang tamu. Rumah Sartika terdiri dari 4 bagian, yatu bagian teras
depan, bagian ruang tamu, bagian kamar dan bagian belakang yang sekaligus berfungsi sebagai dapur dan sebuah kamar mandi. Di bagian
teras depan ada dua buah kursi plastik berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya.
Wawancara pertama dilakukan di dalam ruang tamu partisipan yang berukuran ± 4x3 meter. Ruang tamu yang didominasi oleh cat berwarna
putih tersebut, dipenuhi oleh beberapa barang dan perabot di dalamnya. Pada sisi kiri dari pintu masuk ada 2 buah jendela yang cukup tinggi
berukuran kira-kira 1 x 0.5 meter. Kemudian terdapat lemari 2 pintu dengan rak tv di tengahnya di sisi sebelah Selatan arah mata angin. Lemari
80 yang cukup besar tersebut berukuran kira-kira 4x3 meter, dimana pada
lemari itu terdapat sebuah televisi, DVD, kemudian ada beberapa buku pada sisi kiri dan kanan lemari yang tersusun rapi. Di dalam ruang tamu
juga ada sebuah kursi goyang yang cukup besar yang terbuat dari rotan sehingga hampir memenuhi ruang tamu. Di dalam ruang tamu juga
terdapat sebuah meja kecil di antara 2 buah kursi tamu dari plastik berwarna biru yang menyandar ke dinding. Disamping kursi tamu tersebut,
ada sebuah lorong kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar tidur. Partisipan kemudian duduk di atas kursi berwarna biru yang terbuat
dari bahan plastik dengan kedua kaki yang disila di atasnya. Jarak duduk antara partisipan dan peneliti memiliki jarak sekitar 30 cm dengan posisi
duduk saling menghadap. Sartika merupakan seorang wanita dewasa awal yang berkulit kuning
langsat dan memiliki rambut hitam ikal sebahu. Sartika memiliki bentuk wajah yang bulat dan memiliki hidung yang mancung. Secara fisik, Sartika
memiliki berat badan sekitar 70 kg dan tinggi sekitar 155 cm sehingga bentuk tubuhnya kelihatan sedikit gemuk.
Saat wawancara dilakukan, partisipan terlihat mengenakan baju daster tanpa lengan yang terbuat dari satin berwarna biru muda sepanjang lutut
dengan rambut diikat satu ke belakang membentuk sanggul. Awal wawancara, partisipan terlihat duduk tanpa bersandar di kursi
yang didudukinya. Partisipan terlihat bersemangat menjawab beberapa pertanyaan umum seperti nama, usia, pada usia berapa menikah dan
81 sebagainya yang diajukan peneliti di awal wawancara. Partisipan juga
terlihat beberapa kali tersenyum ketika ditanya tentang usia pacarannya bersama suaminya, Bang AN. Ketika membahas tentang asal mula
perkenalannya dengan suami, partisipan terlihat beberapa kali tertawa dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Ketika ditanya
mengenai topik seputar status ibu tiri dan keputusannya menikah dengan seorang duda, partisipan telihat sedikit kurang nyaman. Hal tersebut
terlihat dari perilaku partisipan yang terlihat menggaruk-garuk kepalanya. Partisipan juga terkesan bosan dan sempat bertanya kepada peneliti
tentang banyaknya pertanyaan yang akan diajukan. Seiring berjalannya waktu, partisipan terlihat semakin terbuka ketika bercerita mengenai
keadaannya kepada peneliti. Partisipan juga terlihat beberapa kali tersenyum ketika membahas
tentang anak tirinya, terutama ketika membahas mengenai kemampuan anak tirinya yang suka menulis dan menggambar. Partisipan sesekali
menjawab pertanyaan dengan nada meninggi yang terdengar tegas ketika membahas mengenai respon anak tiri ketika pertama kali bertemu
dengannya. Partisipan juga terlihat tertawa terbahak-bahak ketika menjawab beberapa pertanyaan tentang hubungannya dengan suami.
Sesekali partisipan juga terlihat diam dan menjawab pertanyaan dengan terbata-bata sambil melayangkan pandangannya ke atas langit-langit ruang
tamu. Pada menit keempat puluh, partisipan terlihat sedikit gelisah dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan posisi
82 duduk partisipan yang merasa tidak nyaman, dan bolak-balik memainkan
ujung kukunya serta sesekali memandang jam dinding diatas pintu masuk. Proses wawancara terhenti ketika ada tamu partisipan yang datang
kerumahnya.
2 Hasil Observasi pada Wawancara II
- Lokasi dan waktu wawancara :
Rumah Partisipan pada hari Selasa, 27 Mei 2014 pukul 17.55-18.36 WIB. Sore itu, partisipan terlihat sedang mengucir rambut anak tirinya dalam
keadaan berdiri di depan pintu masuk. Ketika melihat peneliti datang menghampirinya, partisipan tersenyum dan menyuruh peneliti untuk
masuk dan menunggunya di dalam ruang tamu. Saat itu, terlihat suami partisipan sedang membersihkan sepeda motornya didepan teras
rumahnya. Setelah selesai mengucir rambut anak tirinya, partisipan memperbolehkan anak tirinya untuk membeli makanan ringan di warung
dekat rumahnya. Partisipan kemudian langsung menyuruh peneliti untuk duduk di kursi, namun peneliti menolaknya karena saat itu partisipan
mengambil posisi duduk di lantai. Akhirnya, peneliti dan partisipan duduk di lantai dan saling berhadapan. Jarak duduk antara peneliti dan kira-kira
45 cm dengan posisi saling berhadapan. Pada saat itu, partisipan memiliki posisi duduk yang tidak menyandar ke dinding dengan kaki kiri ditekuk ke
atas dan kaki kanan dilipat ke dalam.
83 Sore itu partisipan kelihatan selesai mandi, dimana rambut partisipan
yang terurai sebahu terlihat basah dan memakai polesan bedak yang sedikit tebal memenuhi wajahnya. Partisipan terlihat hanya menggunakan
bedak di sore itu dan tidak terlihat penggunaan make-up yang mencolok pada wajahnya. Partisipan tampak menggunakan kaos berlengan pendek
berwarna biru yang bergambar kucing. Partisipan mengenakan celana pendek selutut yang bermotif bunga dengan corak warna-warni. Partisipan
tidak mengenakan perhiasan sehingga penampilannya tidak kelihatan mencolok saat itu.
Saat sebelum wawancara, partisipan sempat bertanya kepada peneliti beberapa hal seputar perkuliahan peneliti. Kemudian, partisipan
mempersilahkan peneliti untuk mewawancarainya. Di awal wawancara, partisipan menjawab dengan lancar dan semangat pertanyaan yang
diajukan kepadanya. Partisipan terlihat sedikit tertawa ketika menjelaskan urutan saudara kandungnya. Ketika ditanya mengenai status ibu tiri,
partisipan terlihat mulai menjawab dengan nada yang rendah dan mata menatap ke atas langit-langit tanpa melihat peneliti. Kemudian partisipan
juga terlihat tertawa ketika menjelaskan pendapatnya mengenai status ibu tiri. Sesekali partisipan juga terlihat menyisir rambutnya yang basah
dengan menggunakan jemari kanannya. Partisipan juga memberikan penekanan pada kata-kata yang berhubungan dengan penilaian lingkungan
tentang status ibu tiri.
84 Pada wawancara kedua ini, terlihat kehadiran suami partisipan yang
mondar-mandir memasuki ruang tamu. Hal ini sedikit mengganggu proses wawancara, karena partisipan sesekali menggoda suaminya di depan
peneliti dan meminta pendapat suaminya mengenai topik wawancara yang diberikan oleh peneliti. Partisipan juga terlihat sesekali tertawa ketika
menjawab pertanyaan mengenai adaptasi dalam menghadapi keluarga barunya. Partisipan juga terlihat beberapa kali tersenyum dan sangat
bersemangat ketika menjawab pertanyaan mengenai penampilan dirinya dan kelebihan dirinya. Pada menit kelima puluhan, partisipan terlihat
bingung ketika menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Partisipan terlihat menggaruk-garuk kepala, memandangi langit-langit
ruang tamu dan mengambil posisi menyandar ke dinding sehingga sedikit menjauhi peneliti. Akhirnya, proses wawancara berakhir ketika adzan
maghrib berkumandang.
3 Hasil Observasi pada Wawancara III
- Lokasi dan waktu wawancara :
Rumah Partisipan pada hari Minggu, 15 Juni 2014 pukul 15.21-16.04 WIB.
Wawancara ketiga dilakukan di tempat yang sama yaitu di rumah partisipan. Wawancara berlangsung di teras depan rumah partisipan yang
berukuran kira-kira 4 x 2 meter. Di teras depan rumah partisipan, terdapat 2 buah kursi plastik berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya.
85 Ketika wawancara, peneliti dan partisipan duduk di atas pagar semen yang
didominasi cat bewarna orange. Jarak duduk antara peneliti dan partisipan kira-kira 45 cm dengan posisi saling menghadap. Partisipan menaikkan
kaki kirinya di atas pagar semen dan mengambil posisi duduk tidak menyandar pada tiang kayu sambil condong ke depan mendekati peneliti.
Saat wawancara ketiga, partisipan tampak menggunakan baju seragam bola berlengan pendek yang berwarna biru laut dengan kombinasi celana
pendek di atas lutut. Rambutnya dikucir satu kebelakang membentuk sanggulan. Pada saat itu, partisipan kelihatan baru bangun tidur, dimana
matanya kelihatan masih sembab. Partisipan tidak terlihat menggunakan make-up ataupun perhiasan pada saat itu.
Menit-menit di awal wawancara, partisipan menatap peneliti sambil mengusap-usap hidungnya dengan gerakan memutar ke bawah.
Wawancara sempat berhenti ketika partisipan mengeluarkan handphone dari saku celananya dan membalas sms di tengah sesi wawancara.
Partisipan kemudian mempertahankan kontak mata ketika bercerita mengenai kondisi anak tirinya yang tunarungu. Partisipan sesekali tampak
tersenyum dan menyentuh pundak peneliti ketika mendengar pertanyaan dari peneliti. Saat wawancara ketiga, partisipan terlihat bersemangat dalam
menjawab pertanyaan yang diberikan. Partisipan sempat menundukkan pandangannya ketika bercerita mengenai dirinya yang tidak bisa
menceritakan masalahnya kepada orang lain. Namun, setelah itu partisipan kelihatan terbuka kepada peneliti ketika menjelaskan perasaannya ketika
86 memendam masalah yang dihadapinya. Partisipan tampak merasa nyaman
dengan peneliti. Hal tersebut ditunjukkan dengan kontak mata yang dipertahankan oleh partisipan dan juga sesekali menyentuh pundak peneliti
ketika bercerita. Partisipan juga sempat terlihat merasa bosan ketika wawancara, hal tersebut terlihat dari gerak-geriknya yang menggaruk-
garuk kepala, membenarkan posisi duduknya yang kelihatan tidak nyaman dan menjawab pertanyaan sambil menatap sembarang arah.
Saat wawancara, beberapa hal yang mengganggu proses wawancara yaitu suara kendaraan yang lalu-lalang melewati gang rumah partisipan.
Selain itu suara anak-anak yang bermain di depan rumah partisipan, membuat proses wawancara menjadi tidak kondusif. Namun, wawancara
dapat berjalan dengan lancar sampai selesai.
4 Hasil Observasi pada Wawancara IV
- Lokasi dan waktu wawancara :
Rumah Partisipan pada hari Senin, 10 November 2014 pukul 20.21-20.51 WIB.
Wawancara keempat dilakukan di tempat yang sama dengan wawancara sebelumnya yaitu di rumah partisipan. Wawancara
berlangsung di teras depan rumah partisipan yang berukuran kira-kira 4 x 2 meter. Di teras depan rumah partisipan, terdapat 2 buah kursi plastik
berwarna biru dengan meja bulat kecil di tengahnya.Saat itu, sepeda motor suami partisipan menutupi kursi tersebut, sehingga mengharuskan peneliti
87 dan partisipan duduk di atas pagar semen yang didominasi cat berwarna
orange. Jarak duduk antara peneliti dan partisipan kira-kira 30 cm dengan posisi saling menghadap.
Partisipan tampak mengenakan kaos lengan pendek bercorak loreng ala kulit macan dengan celana pendek di atas lutut. Rambutnya diikat satu
ke belakang sehingga jerawat yang di dahinya kelihatan jelas. Pada awal wawancara, partisipan menanyakan beberapa hal tentang proses
wawancara yang dilakukan sebelumnya. Pada wawancara keempat ini, partisipan terlihat beberapa kali tertawa terhadap jawaban yang diberikan.
Partisipan sangat menikmati proses wawancara kali ini, hal ini terlihat dari perilaku partisipan yang memukul pundak peneliti ketika menjawab
pertanyaan yang diberikan. Proses wawancara sempat terhenti ketika partisipan kedatangan tamu
suaminya. Selama proses wawancara, partisipan terlihat mengsusap-usap dahinya yang berjerawat. Partisipan juga terlihat mempertahankan kontak
mata yang cukup lama dengan peneliti ketika menjawab semua pertanyaan yang diberikan.
Hal-hal yang mengganggu proses wawancara yaitu suara kendaraan yang lalu-lalang di depan rumah partisipan. Selain itu, suara teriakan anak-
anak yang sedang bermain gundu di halaman depan rumahnya. Di pertengahan wawancara, anak tirinya juga sempat hadir dan mencolek-
colek partisipan untuk mengetahui apa yang dilakukan partisipan dengan
88 peneliti. Kemudian, partisipan juga sempat kedatangan tamu sehingga
memotong jawaban yang diberikannya. Secara keseluruhan, keempat proses wawancara dapat berjalan dengan
baik. Pada wawancara pertama sampai wawancara keempat, partisipan terlihat mengalami peningkatan untuk membuka diri dengan peneliti.
Partisipan pada awalnya cukup sulit untuk membuka dirinya dengan peneliti, sehingga peneliti harus membangun rapport sebelum wawancara
dimulai. Setiap akan mewawancarai partisipan, peneliti berusaha untuk membangun rapport dengan partisipan dalam waktu yang cukup lama.
Rapport yang dibangun dengan partisipan, dimulai dengan bercerita mengenai pembicaraan umum seperti pekerjaan, kegiatan di hari libur dan
sebagainya.
b. Rangkuman Hasil Wawancara Partisipan 1 1 Latar Belakang Kehidupan Ibu Tiri
Sartika adalah seorang wanita dewasa awal yang berusia 24 tahun. Sartika adalah anak kelima dari 7 bersaudara. Saat ini, keenam saudara
kandung Sartika telah menikah. Ayahnya seorang pegawai di salah satu instansi swasta sedangkan ibunya adalah mantan seorang pengusaha
warung makan. Ibunya pernah membuka warung makan di daerah Krakatau, Medan. Namun, ketika tempatnya berjualan direnovasi menjadi
Ruko, ibu Sartika berhenti berjualan dan lebih memilih untuk mengurus cucu pertamanya, Azmi. Saat ini, Sartika berdomisili di Mabar kecamatan
Medan Deli, Medan bersama dengan suami dan anak tunggal dari
89 suaminya. Rumah Sartika berdekatan dengan rumah orang tuanya yang
berjarak kira-kira 500 meter.
Pendidikan terakhir Sartika adalah SMA. Sartika mengambil Sekolah Menengah Kejuruan SMK bagian Sekretaris di SMK Al-Fatah, Medan.
Sartika lulus SMK pada tahun 2008. Setelah lulus SMA, Sartika menganggur selama 2 tahun dan membantu ibunya berjualan di warung
makan milik ibunya. Sartika tidak berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan
tinggi karena dia merasa lelah untuk bersekolah. Untuk itu, Sartika lebih memilih membantu ibunya berjualan di warung makan sampai ia
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Ketika membantu ibunya berjualan di warung makan, Sartika bertemu dengan
salah satu langganan tetap ibunya, bang AN. Pertemuan antara Sartika dan Bang AN berawal ketika Bang AN sering makan siang di warung makan
ibunya Sartika. Jarak antara warung makan ibunya Sartika dan kantor Bang AN yang dekat, membuat mereka sering bertemu dan berkenalan
satu sama lain. Berikut penuturan partisipan: “Enggak. Mamak kakak jualannya di Krakatau, dia kan kerjanya di
Krakatau dekat jualan mamak kakak. Dari situ.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b158-160h8
Perkenalan Sartika dengan Bang AN menjadi semakin dekat, ketika bang AN meminta tolong kepada temannya untuk mendapatkan nomor
telepon Sartika. Setelah mendapatkan nomor telepon Sartika, Bang AN
90 pun mulai menjalin komunikasi dengan Sartika melalui telepon dan pesan
singkat. Berikut penuturan partisipan: “Dari temen sih sebenernya. Kemaren kakak kan bantu-bantu mamak
gitu kan, jualan. Pas disitu deket-deket sama kerjaan dia gitu kan
.
Itu bukan dia yang mau minta nomor telfon gitu kan? Kawannya
tertawa. Hem..dari situlah telfon-telfonan, gitu kan. Itulah ngajak
ketemuan, langsung ketemuannya di rumah. Itulah, dari situlah perkenalannya sampek seterus-
seterusnya.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb57-66h4
Setelah kurang lebih sebulan merasa cukup kenal satu sama lain, Sartika kemudian dikenalkan dengan adiknya bang AN. Dari perkenalan
tersebut, Sartika kemudian ditawari pekerjaan oleh adiknya bang AN. Akhirnya sampai saat ini, Sartika bekerja di salah satu bengkel mobil
terbesar di kota Medan selama tiga tahun. “Tamat SMA, kemaren nganggur kan,
2 tahun kan? Hem..terus ada adeknya suami kakak ngajak inilah..ngajak kerja. Yaudah, disitulah
kerjanya gitu loo. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA2b23-26h2
Perbedaan usia antara Sartika dan Bang AN yaitu 9 tahun. Menurut Sartika, usia tidak menentukan pemikiran seseorang. Sartika tidak
mempermasalahkan perbedaan usia antara dirinya dan Bang AN. Sartika menjelaskan, terkadang usia yang lebih tua dari dirinya masih memiliki
pemikiran seperti anak-anak dan sebaliknya terkadang usia yang lebih muda dari dirinya, memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Namun, Sartika
menjelaskan bahwa dirinya lebih suka dituntun atau diarahkan oleh seorang lelaki yang memiliki usia lebih tua darinya. Oleh karena itu,
91 perbedaan usia antara dirinya dan bang AN, bukan menjadi penghalang
untuk berkenalan. “Sembilan tahun. Dia tahun ’81, sekarang udah tiga puluh...tiga lima,
apa tiga empat ya. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb280-282h14 “Kakak kan istilahnya kan lebih muda dari dia gitu kan? Kakak lebih
seneng dikasih pengarahan gitu loh. Dikasih pengarahan sama orang yang
lebih tua..istilahnya..pacaran
kami ya..istilahnya..gimana
ya..nyaman dalam arti…nyambunglah istilahnya gitu ya.” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b389-396h19
Perkenalan yang
dimulai dari
media komunikasi
telepon, mengantarkan Sartika dan Bang AN bertemu di rumah Sartika untuk
hubungan yang lebih lanjut. Ketika di rumah Sartika, Bang AN langsung menyatakan isi hatinya kepada Sartika. Sartika menyatakan bahwa
perkenalannya dengan Bang AN terbilang cukup singkat. Mereka hanya menjalani masa perkenalan selama sebulan dan kemudian memutuskan
untuk menjalin hubungan pacaran. Singkatnya masa perkenalan tersebut, dikarenakan status duda yang dimiliki oleh bang AN. Sebelumnya, bang
AN sudah pernah menikah, namun istrinya meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Oleh karena itu, bang AN memiliki alasan untuk
menjalin hubungan dekat dengan Sartika. “Yes..sebelumnya sih sudah tau. Diutarakan dialah, bahwasanya dia
udah gak lajang lagi.. gitu.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb93-95h5
92 “Oo..”pedekatenya”? sebenernya sih cepat. Telfon-telfonan, ngajak
ketemuannya di rumah. Ya..disitulah dia langsung ngatakan gimana gitu..tertawa ke kakak. Tertawa dari situ sih. Pedekatenya ya gak
lama sih. Namanya kan dia sudah pernah..istilahnya kan sudah pernah
“menikah” gitu kan? Hem..jadi ya langsung gitu.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb71-78h4-5
Sartika menyatakan bahwa dari awal perkenalan, dirinya sudah mengetahui bahwa Bang AN adalah seorang duda. Pada awalnya, ketika
mendengar pengakuan dari Bang AN mengenai status duda yang dimilikinya, Sartika tidak merasa terkejut dengan pengakuan tersebut.
Perasaan nyaman yang dimiliki Sartika ketika berkomunikasi dengan Bang AN, membuat Sartika tidak mempermasalahkan status duda yang dimiliki
oleh Bang AN. Sartika menyatakan bahwa status sebagai duda atau lajang, tidak mempengaruhi dirinya dalam memilih pasangan hidup. Menurut
Sartika seorang duda atau lajang hanya ditentukan dari sifat yang dimilikinya, bukan dari statusnya sebagai duda atau lajang. Berikut
penuturan partisipan: “Kalok masalah terkejut sih, istilahnya yaa..eem..enggak sih. Karena
kan kalok seandainya perkenalan itu,hem..Istilahnya ada kenyamanan sama kita atau dia, kalok misalnya masalah status sih gak masalah.
Istilahnya “kenyamanan” seseorang itulah.. Tertawa banyak lagi?” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3cb110-116h6
“
Kalok seandainya mau dia duda ataupun lajang, istilahnya bagi kakak sama aja. Yang penting sayang sama kita, dan kita pun ngerasa
nyaman sama dia gitu. Walaupun status dia duda atau lajang pun gak masalah gitu menurut kakak seperti itu. Karena kan setiap orang kan
berbeda-beda sifatnya jadi menurut kakak sih seperti itu. Diam. Kalok menurut kakak sih, duda ya..istilahnya sama aja sih sebenarnya,
cuma beda status istilahnya sama lajang, sama duda gitu lo.” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb258-272h13
93 Pada masa SMA, Sartika tidak pernah menjalin hubungan pacaran
dengan seorang pria yang berstatus duda. Sartika mengaku, bahwa dia tidak pernah memiliki pandangan yang negatif terhadap status duda.
Setelah tamat SMA, Sartika sempat menjalin hubungan pacaran dengan pria yang masih lajang. Namun, hubungan asmaranya tersebut tidak
bertahan lama. Sartika menjelaskan berakhirnya hubungan asmara tersebut, dikarenakan ketidaknyamanan Sartika dengan sifat pria lajang
tersebut. Oleh karena itu dalam memilih pasangan hidup, Sartika lebih mementingkan kenyamanan di dalam hubungan pacaran yang dijalaninya.
Menurutnya, status duda bukan menjadi masalah apabila seorang duda tersebut sudah membuatnya merasa nyaman dan menyayangi dirinya.
“Kalok pas masih SMA sih, gak ada. Karena kan waktu pacaran kakak gak pernah sama..sama yang duda. Itulah pas waktu tamat sekolah,
kakak pernah juga sih pacaran..gak sih gak sama duda, sama anak lajang juga, ya..gak bertahan lama gitu kan? Dia yang lebih tua, tapi
kok merasa dia kok bukan jodoh aku ya? Itulah mungkin, karena kakak milihnya kok udah seneng sama orang, dan nyaman sama seseorang
walaupun dia status dia itu duda atau apa, kalok untuk pikiran duda sama orang-orang sekitar kita gitu kan, kita sih..kakak kan gak
pernah..gak pernah..gak pernah apa..istilahnya.mendengarlah istilah duda itu seperti apa. Yang penting kakak kan kalok misalnya pacaran,
nyaman, sama istilahnya seneng. Kalok seandainya mau dia duda ataupun lajang, istilahnya bagi kakak sama aja. Yang penting sayang
sama kita, dan kita pun ngerasa nyaman sama dia gitu. Walaupun status dia duda atau lajang pun gak masalah gitu menurut kakak seperti
itu. Karena kan setiap orang kan berbeda-beda sifatnya jadi menurut
kakak sih seperti itu. Diam” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb238-267h12-13
Sartika menyatakan bahwa pada awal perkenalan, bang AN telah memberitahu bahwa dirinya telah memiliki seorang anak perempuan yang
94 berumur 6 tahun. Bang AN memberitahukan anaknya kepada Sartika
melalui foto di ponselnya. Namun pada saat itu, Sartika tidak mengetahui bahwa anak suaminya memiliki gangguan pendengaran dan tidak bisa
bicara. “Kan terkadang kan duda ada yang belom punya anak, ada yang udah
punya anak gitu kan? Tapi kalok dia waktu pas perkenalan sama kakak, dia udah nunjukin foto Cindy gitu kan? Ini anak saya, katanya.
Pas waktu pertama kali itu. Tapi, pas waktu apa..kakak belom tau kalok dia itu gak bisa ngomong gitu, pas awalnya. Jadi kan gak
mungkin kakak tolak kan gitu kan?” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb272-282h13-14
Sartika sempat merasa terkejut ketika dirinya sedang berteleponan dengan bang AN, dia mendengar suara yang tidak jelas dari seorang anak
perempuan. Kemudian Sartika bertanya kepada bang AN mengenai suara tersebut. Bang AN kemudian langsung menjelaskan asal suara tersebut
adalah suara anaknya yang mengalami tunarungu sehingga tidak bisa bicara dengan jelas.
“Pas waktu dia..dia gak bisa ngomong, itulah pas..kakak sama suami teleponan gitu kan, hem.. ada denger suara “haa..hoo..he..hee..”, jadi
kakak bilang, bang itu siapa? Itu anak abang. Oo..gitu ya bang, oo..yaudahlah ya kan?”
W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LAcb304-310h15
Seminggu setelah melihat foto Cindy, Sartika kemudian diajak bang AN untuk menemui kedua orang tuanya. Genap berpacaran setengah
bulan, Sartika dikenalkan kepada orang tua bang AN. Dengan ajakan bang AN tersebut, Sartika merasa bahwa bang AN tidak ingin bermain-main
95 lagi dalam menjalani hubungan pacaran, karena status duda yang
dimilikinya. “Setengah bulan lah. Setengah bulan baru inilah.. ke rumah mamaknya
kan. Kenal-kenalan tertawa. Mungkin karena status dia..mungkin ya..udah gak, istilahnya udah gak lajang lagi gitu kan? Jadi mungkin
dia mau serius, gak mau neko-
neko lagi.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb168-173h8-9
Saat dibawa ke rumah orang tua bang AN, Sartika juga dikenalkan dengan anak perempuannya yang tunarungu. Nama panggilan anak bang
AN adalah Cindy yang saat itu berusia sekitar enam jalan tujuh tahun. “Cindy Ramadhani Diam.
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb135h7 “Iyalah..eh..iyalah..eh..enam tah tujuh tahun gitu lah. Hem.”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014L2Bb185-186h9
Awal berkenalan dengan Cindy, Sartika mengaku bahwa ia tidak mendapat respon apapun dari Cindy. Menurut Sartika, respon biasa saja
yang diberikan oleh Cindy, dikarenakan Cindy sebelumnya tidak terlalu mengenal sosok seorang ibu. Ibu kandung Cindy telah meninggal sejak ia
berusia 2 tahun, sehingga Cindy tidak memberikan reaksi apapun ketika ayahnya mengenalkan Sartika sebagai calon ibu tirinya. Setelah ibunya
meninggal, Cindy diasuh oleh nenek dari ayahnya. Oleh karena itu, Cindy hanya mengenal sosok seorang nenek sebagai pengasuhnya.
“Kalok respon sih, ya dia..ya biasa-biasa aja gitu kan. Karena dia mungkin pas waktu mamaknya meninggal 2 tahun kan, dia belum
96 kenal mamaknya kali kan? Mungkin pas yaudah pacaran itu kan, kami
samaa..bapaknya. Ya..istilahnya ya..biasa aja sih nada meninggi, gak ada bilang apa-apa, karena kan dia kan..istilahnya gak bisa bicara gitu
kan? dengan nada melemah ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb189-197h9-10 “Iyalah. Masih tinggal sama neneknya dia.”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b179h9
Sartika juga menyatakan bahwa respon Cindy yang biasa tersebut dikarenakan kondisi Cindy yang mengalami tunarungu sejak berumur dua
tahun, sehingga tidak banyak informasi yang didapatkannya tentang sosok seorang ibu. Sartika menjelaskan, ketika berumur setahun Cindy
mengalami panas yang tinggi, sehingga dirinya mengalami kejang step yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada indera pendengarannya.
“Dia katanya sih, kata bapaknya kenak step, step dari bayi. Tah umur setahun, tah dua tahun mungkin panasnya tinggi kan? Bisa juga kayak
gitu. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b200-203h10
Menurut Sartika, Cindy mengalami keterbatasan pendengaran hard of hearing. Hal tersebut dibuktikan ketika Sartika melihat respon terkejut
dari Cindy ketika ia mendengar ledakan ban yang cukup besar dari truk di tengah jalan. Namun ketika seseorang berbicara padanya, Cindy tidak
mampu mendengar pembicaraan lawan bicaranya. Oleh karena itu, Sartika menyimpulkan bahwa Cindy memiliki keterbatasan pendengaran, yang
samar dan jauh. “Kalok..kalok kita ngomong-ngomong sama dia itu, kalok dipanggil-
panggil tu, dia gak denger, tapi kalok kekuatannya tinggi kayak ban pecah yang kemaren pecah ban apa itu, truk itu dia denger. Terkejut.
97 Kedengarannya ini..istilahnya ada volumenya..kedengara suaranya
apa..haa..keterbatasannya. Kalok suara-suara kita gini, dia gak bisa, karena pelan.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LBb206-214h10-11
Setelah dikenalkan kepada orang tua bang AN, kemudian giliran Sartika mengenalkan bang AN kepada kedua orang tuanya. Ketika Sartika
mengenalkan bang AN kepada kedua orang tuanya, respon yang diberikan oleh orang tua Sartika cukup baik. Hal tersebut dikarenakan Sartika pada
awalnya juga sudah menceritakan kepada kedua orang tuanya mengenai kondisi bang AN sebagai seorang duda yang memiliki anak. Selain itu,
orang tua Sartika juga memberikan respon yang positif ketika Sartika mengenalkan Cindy kepada mereka. Berikut penuturan partisipan:
“Responnya sih ya welcome aja sih yakan. Karena kan dari pertama kali kan kakak jugak udah bilang jugak sama mamak kakak, dia tuh
udah gak lajang lagi, udah punya anak satu. Terus dibilang sama mamak kakak, yaudah, tunjukkanlah cowokmu itu..gini..ginilah..gitu.
Yakan dari pertama harus ngomong dululah bahwasanya anak ini istilahnya gak ini lagi..gak lajang lagi gitu kan? Kalok dari pertama
hem..awak jujur kan, seterusnya kan enak. Gak ada yang ditutup-tutupi tertawa.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3cb257-269h13
“Welcome, welcome aja..iya. Toh Cindy bisa diaturlah istilahnya gitu kan.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LDb355-356h17
Setelah menjalin hubungan pacaran selama dua tahun, akhirnya Sartika dan bang AN memutuskan untuk bertunangan. Kemudian, setelah
bertunangan selama setahun, keduanya memutuskan untuk menikah pada tahun 2012.
98 “Dua tahunlah. Dua tahun inikan pacaran, setahun tunangan. Ya
gitulah. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014LA3bb48-50h3
2 Kehidupan Ibu Tiri Setelah Menikah
Sartika menjalani perannya sebagai ibu tiri dari Cindy setelah menikah dengan bang AN. Dalam menjalani perannya sebagai ibu tiri dari Cindy
yang mengalami tunarungu dan menghadapi keluarga barunya, dirinya mengaku membutuhkan adaptasi khusus. Adapun adaptasi tersebut
misalnya dapat menyesuaikan diri dengan mengasuh anak tirinya yang tunarungu, serta dapat mengatur waktu antara jam kerja dan mengurus
rumah tangganya. Dikarenakan Sartika belum pernah mengasuh seorang anak, maka Sartika mengaku membutuhkan adaptasi untuk mengurus
anak. Terlebih dengan kondisi Cindy yang tunarungu. Terkadang Sartika juga bertanya kepada saudara ataupun ibunya mengenai cara pengasuhan
anak. “He’eh. Kalok untuk kakak sendiri kaaan..biasanya kakak liat dari
orang-orang dulu lah kan, orang-orang gimana cara ngurus anak, ya tanya-tanya juga sih cara ngurus anak itu gimana. Masih tanya-tanya
juga sih cara ngurus anak itu gimana makanya tanya sama saudara, sama tetangga, gitu.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b91-99h5-6
Sejak awal berkenalan dengan Cindy, apabila Sartika tidak memahami keinginan ataupun maksud pembicaraan Cindy, maka Sartika akan
menanyakan hal tersebut kepada suaminya. Namun, apabila suaminya juga
99 tidak mengetahui maksud pembicaraan Cindy, maka suaminya hanya
meng-iya-kan pembicaraannya agar Cindy merasa tenang. Selain itu, dengan adanya keterbatasan komunikasi dengan Cindy, membuat Sartika
membutuhkan waktu untuk dapat memahami segala bahasa isyarat dan permintaan Cindy. Apabila meminta sesuatu hal, Cindy akan
menyampaikan keinginannya melalui bahasa isyarat yang diperagakannya. Sartika juga mengatakan bahwa pada umur 3 tahun, Cindy telah diajarkan
oleh ayahnya bahasa isyarat dengan tujuan agar orang lain dapat memahami keinginannya. Bahasa isyarat yang diajarkan oleh ayahnya
adalah bahasa sehari-hari yang mudah dipahami orang lain yang diperagakan dengan gerakan tertentu.
“He’eh. Iya qi, karena kan sebelumnya jugak udah diajarin sama ayahnya, ngomong ini seperti apa, ngomong yang kayak gini seperti
apa, gitu lo. Jadi kan kita pahamnya ya gak lama gitu lo. Karena kan diajarin jugak gitu lo sama ayahnya makanya cepat adaptasinya ke
Cindy.
” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014b236-243h14
“Kalok untuk supaya paham, ya..kakak ya..nanyak sama ayahnya lah dulu..gitu kan? Dia minta apa, lama-kelamaan kan kita sendiri kan
ngerti, tapi kalok seandainya kita gak mengerti sama sekali apa yang diomongi dia, ya..kita bilang, iya..iya aja. Biar dia..udah selesai gitulah
istilahnya. Hem.. gak nuntut lagi..gitu.Ya..ya..kalok seandainya untuk bahasa dia, ya..lama-kelamaan ya sedikit tau lah. Terkadang pun
ayahnya sendiri, apa yang dia mau, dia jugak gak tau. Ha..kita iya-iya kan aja. Biar dia seneng.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b356-370h17
Selama menjalani perannya sebagai ibu tiri Cindy, Sartika mengaku bahwa ia dan suaminya belum pernah melakukan pemeriksaan medis
100 terkait dengan ketunarunguan yang diderita oleh Cindy. Namun melihat
kondisi Cindy yang tunarungu, Sartika dan suaminya memiliki keinginan untuk memeriksakan ketunarunguan Cindy dan ingin membelikannya alat
bantu dengar hearing of aids. Menurut Sartika, jika Cindy sudah memiliki alat bantu pendengaran, maka akan memudahkan dan membantu
Cindy dalam mendengar informasi di lingkungannya. “Iya. Ya..sebenernya sih kami, ini juga sih ada..mau belik alat
pendengarnya dia. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b217-218h11 Saat ini, Cindy tidak bersekolah di Sekolah Luar Biasa SLB layaknya
anak berkebutuhan khusus lainnya. Alasan Sartika untuk tidak menyekolahkan Cindy di SLB, karena jarak sekolah yang jauh dari
rumahnya. Selain itu, Sartika juga memiliki kekhawatiran apabila Cindy disekolahkan di SLB, maka ia tidak bisa memantau Cindy karena jarak
SLB yang jauh dari rumah. Dikarenakan kekhawatirannya tersebut, maka Sartika dan suaminya saat ini menunda untuk menyekolahkan Cindy di
SLB. Namun sampai saat ini, Sartika mengaku tetap memilki keinginan untuk menyekolahkan Cindy agar Cindy bisa mendapatkan pendidikan
layaknya anak berkebutuhan khusus lainnya. Sartika juga memiliki niat untuk membelikan alat bantu dengar hearing of aids sebelum Cindy
memasuki dunia sekolah. “Ya..ya..pengen kali pun. Ya, karena itulah..kakak kan kerja, siapa
yang ngurus dia. Mamak kakak kan, jaga Azmi keponakan Partisipan gitu lah istilahnya kan. Sebenernya mau juga disekolahkan, ya
tapi..disekolahkan SLB itu kan jauh tempatnya gitu kan. Yaudahlah
101 nantik-nantik ajalah kan gitu. Kalok untuk pengen disekolahkan, ya
pengen…pengen kali gitulah kan. Apalagi dia punya potensi gitu kan. Tapi nantilah, tunggu ada mau belik alat pendengaran dia. Manatau dia
ada alat pendengarnya dia bisa ngomong kan, ya Alhamdulillah kan gitu.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b429-442h21
Sartika juga pernah diceritakan oleh suaminya ketika masa pacaran, bahwa Cindy pernah disekolahkan di salah satu Sekolah Dasar formal
yang ada di daerah Polonia, Medan. Dikarenakan neneknya adalah penjaga Sekolah Dasar tersebut, maka neneknya mencoba mendaftarkan Cindy
untuk memasuki dunia sekolah. Sekolah tersebut berada tepat di depan rumah neneknya, sehingga memudahan neneknya untuk memantau
kegiatan Cindy ketika di sekolah. Namun setelah didaftarkan, Cindy hanya terdaftar sebagai siswa selama dua hari. Hal tersebut dikarenakan, Cindy
selalu membuat alasan sakit ketika dibangunkan untuk pergi ke sekolah. Akhirnya karena perilaku Cindy tersebut, neneknya memutuskan untuk
tidak menyekolahkan Cindy lagi dan membiarkannya tumbuh di lingkungan rumah saja. Akhirnya, sampai saat ini, Cindy hanya
menghabiskan waktunya di rumah saja. “Kemaren, pernahlah sekolah disana dua hari, sekolah-sekolah biasa di
Polonia gitu kan. Alesan dia kalok misalkan dibangunkan pagi neneknya, alesannya dia sakit gitu. Dia pande..keesokan harinya gitu
juga. Terakher neneknya mungkin males yakan, udahlah gak usah sekolah lagi.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b443-449h21-22
“SD. Depan rumah neneknya kan sekolah, gitu kan. Neneknya yang jaga sekolah. Maksudnya, yaudahlah sekolahkan aja, gitu. Dicoba
dulu, cuman dua ari doang. Iya, dua hari doang Itu purak-purak saket tertawa. Udahlah..neneknya anggapannya mungkin saket kan,
102 eh..keesokan harinya gitu juga, yaudahlah gak usah disekolahkan lagi.
Padahal udah dibelikkan bajunya, dua pasang-dua pasang itu qi sama bapaknya. Pas waktu masih pacaranlah kami. Itulah. Bapaknya yang
nyeritain. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b452-463h22
Selama kurang lebih 2 tahun mengasuh Cindy, Sartika merasa bahwa anak tirinya bukanlah anak yang rewel dan sulit diatur, sehingga ia mudah
mengasuh Cindy yang tunarungu tersebut. Menurut Sartika, meskipun Cindy adalah seorang anak yang mengalami tunarungu, Cindy tetap
mudah untuk dinasehati apabila ada perilakunya yang tidak baik. Cindy akan memahami maksud dari bahasa isyarat Sartika yang ditujukan
kepadanya. Meskipun mengalami hambatan dalam berkomunikasi, Sartika mengaku bahwa ia akan tetap berusaha untuk memahami maksud Cindy
dengan bahasa isyarat yang diperagakannya. “Enggak, dia gak rewel”
W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b104h6 “Enggak. Enak gitu ngurusnya.”
W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014b287h14 “Gak ada yang gimana-gimana. Ya..paling kalok mainannya
beserakan, itu paling disuruh kumpul-kumpulin itu kan, ya..dia mau. Istilahnya ya..gak inilah dianya..enggak bandel lah kayak gitu. Tapi ya
kalok bandel ya dinasehatin juga sih. Hem..bisa, bisa dinasehatinlah gitu.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b134-142h7
Walaupun Cindy bukan anak yang rewel, tetapi Cindy akan merajuk ketika ada permintaannya yang tidak dipenuhi. Namun menurut Sartika,
103 sebenarnya Cindy bukanlah anak yang banyak meminta suatu hal kepada
orang tuanya. Hanya saja, apabila ia menginginkan sesuatu, maka orang tuanya harus memenuhi keinginannya itu. Ketika orang tuanya
memperagakan bahasa isyarat “tunggu”, maka Cindy akan tetap menagih keinginannya tersebut. Namun, ketika orang tuanya langsung berkata
“tidak”, maka Cindy tidak akan menagih keinginannya tersebut. “Kalok untuk rewel sih enggak. Tapi kalok seandainya dia minta
sesuatu, Sampai besok-besoknya gak dikasih, dia nagih sama kita gitu kan. Kalok gak dikasih, pada hari itu juga, atau besoknya, dia merajok
gitu lo. Kalok merajok, ya..kita harus inilah bujuk-bujuk dia biar supaya itulah..terakhir dibelik jugak mainannya gitu. Kalok udah
dibelik, yaudah, gak rajok lagi. Kalok sampek rewel-rewel gimana gitu enggak. Enak ngurusnya. Kalok ada keinginan sesuatu dia yang mau
itu, terus gak dibelik gitu, itulah dia merajok. Ya harus dibelik. Kalok udah dibelik, yaudah gitu. Gak ini lagi dia, gak rewel lagi. Termasuk
ini jugaklah anaknya..bagus juga kan.
” W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014b408-423h20
“Iya. Kalok gak, tiap hari selalu mintak itu qi. Entah dia mintak entah kaset, entah apa segala macem, pasti harus. Kalok seandainya kita
udah pulang kerja gitu kan, ya kemauannya itu ya harus diturutin, dibelik gitu kan? Kalok seandainya gak dibelik, tunggu, tunggu pakek
bahasa isyarat kami bilang gitu kan, besoknya dia mintak itu jugak. Kalok seandainya gak dibelik, ya harus dibelik. Tapi, ya kalok udah
dibelik, yaudah gak mintak lagi, gitu.
” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LaCb511-522h28-29
“Iyalah qi. Kalok kita bilang tanda tunggu, pasti dimintak dia lagi tuh, tapi kalok kita bilang enggak, ya gak dimintaknya. Tapi, bapaknya
sering bilang tunggu, yaudah dimintaknyalah. ”
W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LaCb525-529h29
Adaptasi lainnya yang dilakukan Sartika terhadap keluarga barunya yaitu, dapat membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah
tangganya. Selama menjadi ibu tiri, Sartika merasa bahwa ia tidak
104 memiliki banyak waktu untuk mengasuh Cindy. Hal tersebut dikarenakan
dirinya menghabiskan waktu di tempat kerja dan hanya memiliki waktu bersama dengan keluarganya ketika malam hari dan hari libur. Namun,
Sartika berusaha membagi waktunya sebaik mungkin untuk mengurus Cindy dan segala urusan rumah tangganya. Salah satu cara Sartika untuk
menghabiskan waktu dengan keluarganya, yaitu dengan mengajak Cindy pergi berenang, ataupun pergi ke supermarket untuk belanja bulanan serta
membelikan sesuatu yang diinginkan oleh Cindy. Hal tersebut dilakukannya agar dirinya tetap memiliki waktu bersama keluarga dan
membuat anaknya agar tidak jenuh ketika selama seminggu ditinggal di rumah. Jika kondisi keuangan tidak memadai untuk mengajak anaknya
liburan, maka Sartika akan mengajak anaknya pergi kerumah kakak iparnya untuk berkumpul dengan keluarga suaminya di daerah Polonia,
Medan. “Kalok untuk liburan sih..ya kadang ke kolam berenang gitu kan.
Kadang..itulah ke supermarket. Ya belik kebutuhan sehari-hari sekalian ngajak anak kan? Tah dia tah belik apa-apa gitu kan? Kadang
ya kerumah kakaknya bang AN, ngumpul-ngumpul sekeluarga, kan gitu kan enak juga kan. Yang penting bareng anak. Jadi, anak pun gak
jenuh di rumaaah..aja yakan?
” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014b391-399h19
Menurutnya, pekerjaan bukanlah halangan untuk tetap mengasuh Cindy di rumah. Ketika meninggalkan Cindy pergi bekerja, Sartika
menitipkan Cindy kepada ibunya yang sekarang tinggal di dekat rumahnya. Sebenarnya, Sartika tidak percaya ketika meninggalkan Cindy
di rumah. Sartika mengaku akan merasa was-was dan cemas ketika
105 meninggalkan Cindy yang akan beranjak menjadi gadis remaja di rumah
sendirian. Selain itu, Sartika juga meragukan lingkungan tempat tinggalnya yang merupakan daerah yang masih rawan terhadap perilaku
kriminal. Namun, rasa cemasnya dapat teratasi karena Sartika akan menelepon ibunya untuk mengetahui keadaan Cindy ketika ditinggal di
rumah. Meskipun Sartika bekerja seharian, Sartika tetap mengontrol keadaan Cindy di rumah agar dapat mengetahui segala tingkah laku Cindy
di rumah. Walaupun bukan anak kandung yang lahir dari rahimnya sendiri, sebagai orang tua yang mengasuh Cindy, Sartika juga mengaku bahwa ia
akan merasa was-was dan cemas ketika meninggalkan Cindy pergi bekerja.
“Kalok untuk di rumah sih, kakak sebenernya gak percaya gitu. Karena kan istilahnya dia udah..udah agak gadis gitu kan? Tapi kan ada orang
tua kakak yang jaganya, agak lumayan reda lah gitu kan pikirannya. Kan ada yang ngawasin, jadi enggak..gak begitu apa..was-was gitulah
istilahnya. Ya..tapi kalok untuk kecemasan pasti ada,karena orang tua kan? Ya..walaupun bukan dari rahim kita gitu kan? Udah anggap anak
sendirilah gitu. Kalok untuk..ya.. was-was pasti ada namanya jugak orang tua kan? Dia lagi cewek, karena udah..udah..istilahnya udah
gadis gitu kan? Apalagi lingkungan sini agak rawan, tapi kan udah ada yang jagain. Tapi kalok gak ada yang jaga, ya dikunci rumahnya.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b212-232h11-12
“Oh..hem nelpon mamak kakak dan nanyakin keadaan Cindy gitulah. Udah makan belom, udah mandi belom, jadi walaupun kerja kakak
t etap ngontrol dialah gitu…”.
W4.R1.ST.P.MDN.10Nov2014b56-59h4
Semenjak menjadi ibu tiri Cindy, Sartika mengaku belum pernah mendapat pandangan ataupun penilaian negatif dari orang-orang terdekat
106 dan tetangga sekitarnya mengenai statusnya sebagai ibu tiri. Namun, pada
suatu hari ketika suami dan Cindy menjemputnya sepulang kerja, teman- teman sekantornya bertanya mengenai anak perempuan yang dibawa oleh
suaminya. Mereka merasa heran dengan kehadiran anak perempuan yang diperkirakan berusia tujuh tahun tersebut. Teman-temannya berkata bahwa
usia pernikahan Sartika belum lama, namun sudah memiliki seorang anak perempuan. Lalu, Sartika ditanyai oleh teman-temannya mengenai suami,
statusnya sebagai ibu tiri dan keberadaan anak perempuan tersebut. Kemudian, Sartika langsung menjelaskan kepada teman-temannya
mengenai statusnya sebagai ibu tiri, keberadaan Cindy dan penyebab kepergian istri pertama suaminya. Sartika sempat mengira bahwa teman-
temannya akan memberikan respon yang negatif terkait dengan penjelasan yang diberikannya. Namun setelah mendengar penjelasan Sartika, teman-
temannya hanya memberikan respon yang biasa saja terhadap penjelasan tersebut dan memberikan sedikit nasehat untuk menjaga Cindy.
Mendengar tanggapan dari teman-temannya, Sartika merasa cukup senang dan tidak mempermasalahkan pertanyaan yang diajukan oleh teman-
temannya. “Gak ada. Gak ada, gak ada. Memang sama sekali gak pernah gitu
kan? Syukurnya ya…” W3.R1.ST.P.MDN.15Juni2014LA4b158-160h10
“Kalok untuk masyarakat setempat sih, ya..belom pernah ya…enjoy aja sih...
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b38-40h3
107 “Kalok untuk teman sih, pernah juga dia nanyak, dia nanyak kan?
Hem.. kamu belom punya anak? Gitu. Itu siapa kamu? Anak saya. Hem.. anak saya. Kakak bilang gitu kan. Oh..kamu dapat duda yah?
Iyah. Jadi, ibunya kemana? Kata temen-temen kakak gitu. Udah meninggal, saya..kakak bilang gitu kan? Yaudah sih, pendapat temen-
temennya ya seperti itu aja sih biasa aja sih. Gak ada bilang, kau gak ini, sama..sama anak tirimu itu? Enggak sih.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b38-40h3
Sartika juga mengatakan seandainya ada penilaian negatif yang muncul terkait statusnya sebagai ibu tiri, maka Sartika tidak terlalu
mempermasalahkan penilaian negatif tersebut. Sampai saat ini Sartika mengaku belum pernah menerima secara langsung penilaian negatif
mengenai statusnya sebagai ibu tiri. Meskipun Sartika belum pernah mendapatkan penilaian secara langsung mengenai statusnya sebagai ibu
tiri, penilaian umum masyarakat tentang ibu tiri yang kejam, secara tidak langsung juga pernah mempengaruhi pemikiran Sartika. Untuk mengatasi
penilaian negatif masyarakat mengenai status ibu tiri yang kejam, Sartika berusaha memiliki pandangan yang positif mengenai status ibu tiri. Sartika
juga mengaku bahwa dia tidak akan memperdulikan perkataan orang lain mengenai status ibu tiri yang dimilikinya.
“Iya..iya..biasa aja. Kalok misalkan ada penilaian orang yang gak baik, yang negatif ya enjoy-enjoy aja gitu kan biar aja. Gak open kali lah..
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b65-68h4
“Belomlah dengan penekanan. Kalok gak langsung, ya itulah karena penilaian orang-orang sama ibu tiri yang kejam ya awalnya pengaruh
jugak sama pikiran kakaklah..” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b72-75h4
“Positif. Iya, positif.” W1.R1.ST.P.MDN.30Mar2014347h17
108 Menurut Sartika, ibu tiri bukanlah seorang ibu yang kejam terhadap
anak dari suaminya. Sartika menjelaskan bahwa kejamnya seorang ibu, baik itu ibu tiri ataupun ibu kandung, tergantung dari sifat dan perilaku
anaknya. Selain itu, menurutnya perilaku kejam seorang ibu tergantung dari individualnya ketika menghadapi anak yang diasuhnya. Sartika juga
menambahkan bahwa menurutnya ada juga orang tua kandung yang lebih kejam mengasuh anaknya daripada ibu tiri. Berikut penuturan partisipan :
“Sebenernya kalok menurut ibu tiri itu..sih gak kejam-kejam kali. Tergantung ininya ya..tergantung orang tuanya sebenernya Tertawa.
Kalok seandainya anaknya bisa diatur, gitu kan ya..hem..katanya sih ibu tiri itu lebih kejam daripada ini yakan..enggak..enggak sih
sebenarnya. Enggaklah yang dimaksud orang-orang itu ibu tiri, ibu kejam itu, enggaklah sebenarnya. Tergantung anaknyalah, kalok
anaknya bandel, ya dipukul juga, kan gitu kan? Ada juga orang tua kandung
Lebih..lebih parah dari ibu tiri. ”
W1.R1.ST.P.MDN.30Maret2014L6b332-334h16-17 “Kalok mengenai ibu tiri, yaa..itu tadi, tergantung individualnya
sendiri ya kan? Ya gitu tertawa ya..ya..ya..itulah. Ya mengenai ibu tiri itu tergantung individualnya sendiri, kalok seandainyalah kalok
anak kita bandel, ya kan pasti dipukul juga gitu kan? Ya seperti ibu kandung sendirilah gimana, tapi kan hem..orang menganggap kan
kalok ibu tiri itu kan kejam kan? Ya menurut kakak sendiri sih seperti itu gitu. Tergantung individulah sendiri.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LA4b16-28h2
3 Aspek-Aspek Penerimaan Diri 1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan diri
Sartika menyatakan bahwa sebelum ia dapat menerima dirinya sebagai ibu tiri, ia harus dapat menerima keadaan dirinya terlebih dahulu. Oleh
karena itu ia memiliki persepsi positif mengenai keadaan maupun
109 penampilan dirinya. Menurutnya, penampilan diri adalah faktor utama
untuk menjadi percaya diri. Penampilan diri merupakan penilaian utama yang dilihat oleh orang lain. Menurutnya, penampilan seseorang adalah
penentu bahwa seseorang dapat menerima dirinya dengan apa adanya dihadapan orang lain. Sartika juga mengaku bahwa orang yang sudah
memiliki penilaian yang baik terhadap penampilan dirinya, maka ia juga akan mudah dalam menerima keadaan dirinya dalam kondisi apapun.
“Kalok untuk penampilan ya yang paling utamalah istilahnya pasti. Yang paling utama untuk kita bisa percaya diri gitu loh.
Hem..penampilan suatu faktor yang paling utama nada meninggi. Karena kan kalok untuk penampilan kan langsung ditengok sama
orang, yakan? Nanti kalok penampilan kita seandainya kurang bagus, ah..ni anak ini apalah gitu..pokoknya penampilan fasktor utamalah
gitu.
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b606-617h29
Berpenampilan menarik adalah salah satu tuntutan pekerjaan Sartika sebagai service advisor di sebuah bengkel mobil. Oleh karena itu, Sartika
berusaha untuk selalu memperbaiki penampilannya agar dapat terlihat menarik. Sartika mengaku apabila di lingkungannya ada yang memiliki
penampilan yang lebih baik dari dirinya, maka ia akan mencoba memperbaiki penampilan dirinya untuk menjadi lebih baik lagi. Saat ini,
Sartika merasa bahwa ia memiliki penampilan diri yang sempurna sebagai seorang wanita. Ia juga sudah percaya diri dengan penampilannya saat ini.
“Apalagi kakak kerja melayani customer. Menurut kakak kan penampilan kakak kan udah bagus nih, gitu kan? Hem..tapi kalok
menurut orang, ya biasa-biasa aja gitu kan? ”
W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b617-622h29
110 “Enggak..isitlahnya penampilan, untuk percaya sih..kakak sebenernya
sih..udah..udah..kakak udah baguslah..udah sempurna gitu kan? Tapi di lingkungan kakak ada yang lebih rapi, atau lebih apa...gitu. Jadi
kakak istilahnya kalok untuk percaya diri sendiri sih udah ya. Tapi, kalok seandainya kakak merasa gak lebih cantik dari dia, kakak bisa
perbaiki diri sendiri lagi gitu. Penampilannya gitu..biar supaya sempurna gitu. Apalagi wanita gitu kan?
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b641-653h30-31
Mengenai penampilannya, Sartika pernah diberi penilaian oleh teman- teman kerjanya. Menurut Sartika, persepsi masing-masing orang berbeda
terhadap penampilan yang sempurna. Ketika ia merasa penampilan dirinya sudah bagus, belum tentu dimata orang lain sudah bagus. Walaupun
dirinya mendapat penilaian dari teman-temannya mengenai penampilan dirinya, Sartika mengaku bahwa ia tidak terpaku terhadap penilaian
tersebut. Hal tersebut dikarenakan Sartika sudah menerima penampilan dirinya saat ini dan dimata orang lain. Sartika tidak terlalu memperdulikan
penilaian orang lain terhadap penampilan dirinya saat ini. “Ada sih temen..tertawa. Kawan-kawan kerja. Ya kalok untuk temen-
temen, ya..pasti ya banyak aja sih. Karena kan istilahnya kalok seandainya kalok dari temen-temen ya pasti ada gitu kan? Karena kan
istilahnya kita kalok seandainya udah bagus, dari orang sendiri kan menurut dia kurang bagus, kasih masukan lah istilahnya gitu. Tapi
menurut kita udah sempurna ini kan? Apa yang kita lakukan itu kan udah sempurna, tapi menurut orang lain kan belum sempurna gitu kan?
Ya..kalok untuk temen-temen ya banyak qi. Hem..
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b664-678h32
“Kalok untuk terpaku sendiri sih enggak gitu kan. Karena kan menurut kakak sendiri penampilan kakak itulah yang lebih bagus gitu
loh. Tertawa. ”
W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b681-685h32
111 “Iya. Kalok orang mau nganggap seperti apa, kau gantilah
apanya..segala macemlah..istilahnya..ha..kau bagusinlah rambut kau itu gitu kan? Ah.. kapok situ gitu kan?
” W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014LE1b702-706h33
“Ya..lebih percaya aja sama diri sendiri gitu kan. Apapun dibilang orang..iihh..kau Tika rambut kau diapainlah itu..ah biar ajalah…suka-
sukak akulah..kan gitu kan? Tertawa ”
W2.R1.ST.P.MDN.27Mei2014b695-700h33
2. Sikap terhadap Kelemahan dan Kelebihan diri sendiri