Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, fenomena seorang duda yang menikah lagi remarriage, bukan menjadi hal yang baru. Status duda disebabkan oleh berakhirnya suatu pernikahan yang terjadi karena istri meninggal dunia, sakit atau bercerai Glick, dalam Dariyo, 2004. Dikarenakan berakhirnya pernikahan ini, tidak jarang seorang duda memutuskan menikah lagi untuk mencari peran pengganti istri ataupun ibu untuk mengurus kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya Agnes, 2010. Survei yang dilakukan Rizka Moeslichan 2010 terhadap 100 janda dan duda di Indonesia tentang perilaku mereka setelah menghadapi perceraian, membuktikan sebanyak 35 duda memiliki keinginan untuk menikah kembali dibandingkan dengan janda Syafrina dalam Kompas, 2013. Hal ini juga sesuai dengan survei di Inggris yang melibatkan 2000 pria dewasa, yang membuktikan sebanyak 47 pria yang telah bercerai lebih “berani” untuk menjalin hubungan sakral menikah lagi dibandingkan dengan mantan istri mereka Landscappist, 2012. Adanya ikatan pernikahan yang baru ini, maka akan memunculkan peran ibu pengganti yaitu ibu tiri Arnee, 2013. Ibu tiri adalah seorang wanita yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung, baik karena perpisahan maupun kematian Beer dalam Zanden, 1997. Munculnya ibu tiri di dalam suatu keluarga, tentu akan 17 membutuhkan proses adaptasi baru bagi keluarga maupun ibu tiri tersebut Wiwik, 2010. Adaptasi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri baik secara internal maupun fisik terhadap keadaan sekitar yang berubah Hinchliff, S, 1999. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut : “…Keputusan saya untuk menikah dengan laki-laki berstatus duda, bukan paksaan dari pihak manapun, tapi yah… tentunya butuh adaptasi dengan lingkungan baru, kayak mana menghadapi keluarga baru saya, karena kan saya punya peran baru untuk menjalani hidup sebagai seorang istri sekaligus sebagai ibu tiri…” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 Dibandingkan pernikahan antara gadis dan jejaka, pernikahan dengan duda atau janda tentu memerlukan lebih banyak pertimbangan, apalagi bila telah mempunyai anak. Seperti yang diungkapkan Farli Erla Zuhanna, P.Si dalam Ivvaty, 2007 sebagai konsultan di Pusat Konsultasi Psikologi Terapan PKTP Consulting yang berada di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta Selatan: “...perlu disadari bahwa pernikahan ini tidak menyelaraskan dua perasaan saja tapi juga perlu mempertimbangkan anak, orang tua, mertua dan lingkungan sosial. Apalagi, stereotype orang tua tiri lebih kejam dari orang tua kandung masih sangat melekat dalam masyarakat, sehingga muncul persepsi bahwa perlakuan dan pengasuhan orang tua kepada anak biologis anak kandung akan berbeda bila dibandingkan dengan anak Non- Biologis anak tiri ...” Fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan dari suaminya, memang sudah sejak jaman dahulu berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan negatif pada ibu 18 tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat Swari, 2012. Gambaran tentang ibu tiri yang kejam, juga masih melekat pada pandangan sebagian masyarakat jaman sekarang. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Aina yaitu sebagai berikut: “…Ibu tiri itukan biasanya digambarin orang-orang hem… punya sifat yang jelek, kayak kejam, jahat, identik dengan penyiksaan sama si anak dari suaminya. Mau jaman dulu atau sekarang, ibu tiri itu tetap punya gambaran kayak gitu kan istilahnya…” Komunikasi personal, 15 Desember 2013 “…Sebaik-baiknya ibu tiri, tetap aja bedalah kasih sayangnya sama anak dari suaminya, hem…rasa tulusnya pun beda karena kan itu bukan anak dari rahimnya sendiri, momok yang nakutin deh pokonya kalok bahas ibu tiri itu…” Komunikasi personal, 15 Desember 2013 Pada kenyataannya tidak semua ibu tiri memiliki karakteristik negatif yang berkembang sesuai dengan cerita di dalam masyarakat. Pada sebagian masyarakat, ada juga yang memiliki pandangan positif mengenai status ibu tiri Swari, 2012. Hal ini juga sesuai dengan hasil temuan lapangan yang ditemukan oleh peneliti, dimana pada jaman sekarang ini ada sebagian masyarakat yang tidak begitu mempermasalahkan status ibu tiri dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudara Dini yaitu sebagai berikut: “…Kalok dibilang kejam, itu bukan patokan juga sih. Menurut saya, gak semua ibu tiri tuh kejam, toh ada juga ibu kandung yang kejamnya melebihi ibu tiri, nyiksa anak kandung juga kan?…” Komunikasi personal, 15 Desember 2013 19 “…Kejamnya seorang ibu, bukan karena dia itu ibu tiri aja, tapi karena sifat dan tingkah laku si ibu itu sendiri gimana, terus gimana juga cara dia ngasuh anaknya, kandung ataupun tiri…” Komunikasi personal, 15 Desember 2013 Pada awalnya, kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Keberadaan orang tua tiri dapat memberikan tambahan waktu, tenaga, dan bahkan uang yang mungkin saja sangat dibutuhkan oleh keluarga yang dimasuki Bonkowski, dalam Papalia 2001. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut : “…Saya kan juga kerja, jadi hasilnya itu biasanya buat nambah-nambah kebutuhan pendidikan, seperti hem..SPP anak dari suami saya, gitulah... ” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut Agnes, 2010. Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut Jersild, dalam Hurlock 1978. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya Jersild, 1963. Jadi ibu tiri dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik, ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri 20 bukanlah hal yang negatif, serta ia tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut. Pada dasarnya, penerimaan diri adalah sebuah proses Jersild, 1963. Hal ini dijelaskan oleh Jersild 1963, melalui beberapa aspek penerimaan diri yaitu, persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri. Begitu juga dengan status sebagai ibu tiri yang dimiliki oleh seorang wanita, membutuhkan waktu dalam menjalani proses penerimaan diri agar akhirnya ia bisa menerima dirinya dengan status tersebut. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut: “…Kalok ditanya tentang proses, pasti butuh proseslah untuk ngejalani hidup sebagai ibu tiri. Memang awalnya agak dikit susah gitulah, tapi lama-kelamaan, berjalannya waktu..terbiasa aja gitu jadi ibu tiri, yaah..udah bisa nerima gitulah walaupun agak lama gitu. Ngadepin penilaian orang, ngasuh anak tiri sendiri,ya..semua proses itu udah bisa kakak terima.…” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 “….Ada persepsi negatif kan sama sebutan ibu tiri. Denger penilaian negatif dari orang-orang, ngebuat saya harus bisa nerima diri saya dulu sebagai ibu tiri, baru saya bisa nerima penilaian yang muncul itu. Kan kalok udah punya pandangan positif sama diri sendiri, ntar pasti bisa ngadepin persepsi negatiftentang ibu tiri yang muncul di masyarakat…” Komunikasi personal, 2 November 2013 21 Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, umumnya akan berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain Jersild, 1963. Pandangan realistik ini berupa persepsi positif yang dimiliki ibu tiri, dengan meyakini bahwa pandangan negatif yang muncul di masyarakat merupakan hal yang tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pandangan realistik yang dimiliki oleh ibu tiri merupakan suatu proses untuk mengevaluasi respon ataupun penilaian yang muncul tentang dirinya dihadapan orang lain. Peran ibu tiri selain menjadi seorang istri, ia juga memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran ibu kandung dalam mengasuh anak-anak dari suaminya Agnes, 2010. Dalam menjalani perannya, ibu tiri juga harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang menjadi karakteristik dari keluarga barunya tersebut. Selain harus menerima kondisi sang suami sebagai duda, ibu tiri juga harus menerima segala kondisi keluarga, seperti keadaan rumah tangga, kondisi ekonomi, kondisi anak dari suaminya dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Erna yaitu sebagai berikut : “...Setiap keluarga kan pasti udah punya aturan, kebiasaan, hem..karakteristik yang beda-beda antar anggota keluarganya, jadi..sebagai orang baru, sebagai ibu tiri juga, saya harus menerima segalakondisi apapun yang terjadi di dalam keluarga baru saya, nerima Bapaknya, anak-anaknya..karena itu semua adalah kehidupan saya, kehidupan baru saya sebagai istri dan ibu tiri.... ” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 22 Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika menghadapi kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, tentu ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah Safaria, 2005. Begitu juga yang dialami oleh ibu tiri ketika ia menghadapi dan menerima kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus, maka ibu tiri akan merespon serta memiliki persepsi yang berbeda-beda pula. Hal ini berkaitan dengan penerimaan dan kesiapan pola asuh yang memiliki tantangan yang lebih berat Mahabbati, 2009. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Hanum dan ibu Muna, yaitu sebagai berikut : “...Awalnya, kakak ngerasa “aneh” gitu waktu ngadepin anak luar biasa ini, shock jugak pasti kan? Bingung harus gimana, sempat ngerasa malu jugak sih waktu itu ...” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 “...Karena kakak belum pernah punya anak, dan gak pernah jugak kan ngurus anak luar biasa, jadi waktu pertama ngerawatnya sempat bingung, terus kesal juga...karena kan gak ngerti apa mau dia...” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 Kondisi anak yang berkebutuhan khusus, tentu membutuhkan perhatian, dukungan serta pelayanan yang khusus dari keluarganya Heward, 1996. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan anak tersebut dari anak-anak normal pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya Soemantri, 2006. Selain itu menurut 23 Heward 1996, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Anak berkebutuhan khusus, umumnya dianggap “aneh” oleh sebagian besar orang. Hal ini disebabkan, karena anak berkebutuhan khusus dianggap berbeda dari anak normal lainnya. Perbedaan ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan pada dirinya karena kemungkinan adanya masalah pada perkembangan fungsi indera, kemampuan belajar, perilaku dan emosi, serta kesulitan berinteraksi sosial dengan orang lain pada umumnya Soemantri, 2006. Seorang anak berkebutuhan khusus, bisa saja memiliki satu ataupun beberapa keterbatasan tunaganda pada dirinya, yang dikhawatirkan akan dapat memperparah kondisi penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari Hallahan and Kauffman, 1988. Berdasarkan data Pusdatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Sosial, jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia, dengan perincian 3.474.035 adalah tunanetra; 3.010.830 adalah tunadaksa; 2.547.626 adalah tunarungu; 1.389.614 adalah tunagrahita; dan 1.158.012 adalah penyandang disabilitas kronis BKKBN, 2013. Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera adalah tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya, sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali Hallahan dan Kauffman, 1988. Tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli 24 deaf dan kurang dengar hard of hearing. Tuli deaf adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi meskipun menggunakan alat bantu dengar hearing of aids. Sedangkan, kurang dengar hard of hearing adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar Hallahan dan Kauffman, 1988. Adapun penyebab kelainan pendengaran atau tunarungu dapat terjadi sebelum anak dilahirkan pre-natal, seperti keturunan, kelainan organ pendengaran sejak dalam kandungan, ataupun sesudah anak dilahirkan post-natal, seperti infeksi, meningitis, otitis media, serta trauma fisik Heward, 1996. Bahasa memiliki peranan penting dalam komunikasi. Anak tunarungu memiliki kekhasan tersendiri dalam berkomunikasi jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Anak tunarungu akan menggunakan bahasa isyarat cued speech ketika berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa isyarat yang dilakukan oleh anak tunarungu, membutuhkan pemahaman khusus agar dapat mengerti maksud pembicaraan anak tersebut. Adanya keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, maka anak tunarungu akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya Mangunsong, 2009. Jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak tunanetra, yang masih mampu berkomunikasi untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak 25 normal pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima dengan alat bantu mendengar Soemantri, 2006. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Namun, pada saat berkomunikasi baru diketahui bahwa anak tersebut mengalami ketunarunguan. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, ketunarunguan dapat mengakibatkan terjadinya suatu kendala atau hambatan dalam berbagai aspek kehidupan seseorang Meadow, dalam Hallahan dan Kauffman, 1988. Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara berbeda atau salah, sehingga menyebabkan tekanan emosi pada dirinya. Respon emosi yang ditampilkan umumnya seperti frustasi, temper, keras kepala, dan bisa juga menjadi menarik diri. Bila tidak ditangani sejak dini, maka tekanan emosi tersebut pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kepribadiannya. Kondisi inilah yang kemudian dapat mengganggu interaksi ataupun proses sosial dalam lingkungan kehidupannya sehari-hari Soemantri, 2006. Mengingat berbagai hambatan yang dialami anak tunarungu, maka dibutuhkan pelayanan khusus berupa perhatian dan pengawasan yang lebih. Pengawasan dan perhatian yang diberikan kepada anak tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Hanya saja dengan kondisi ketunarunguan anak tersebut, dibutuhkan pemahaman lebih mengenai kondisi anak agar penanganannya tepat serta memiliki kesabaran dalam menghadapi 26 perilaku anak agar dukungan dalam proses belajar dapat berjalan dengan lebih baik. Selain itu, orang tua juga tetap harus meningkatkan kehangatan agar terciptanya kepercayaan dalam membina hubungan serta berusaha menerima segala kekurangan yang dimiliki anak Rye, 2007. Umumnya, hambatan yang paling sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut Heward, 1996. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut: “…Gak ngerti sih awalnya ngurusin anak tunarungu ini, bingung gitu kan komunikasi sama dia kayak gimana, terus belom lagi waktu dia rewel minta ini-itu..susahlah mahaminya gimana ditambah saya gak bisa bahasa isyarat ke dia supaya dianya ngerti. Sempat kesel juga sih ngadepin maunya dia apa, karena gak jelas itu kan?…” Komunikasi Personal, 2 November 2013 “…Kalok kurang sabar, sih iya. Karena ini kan sebenernya pengalaman pertama kakak juga ngurus anak tunarungu kan? Kurang sabarnya yaah itulah waktu keinginan kita sama keinginan dia itu gak sesuai..yaudah jadinya ngerasa gak sabar aja ngadepin dia kadang…” Komunikasi Personal, 2 November 2013 Berkaitan dengan kompleksitas dalam upaya penanganan dan pengasuhan anak tunarungu tersebut, maka proses penerimaan diri ibu tiri tentu akan menjadi lebih sulit. Menerima status sebagai ibu tiri saja sudah membutuhkan proses, apalagi ketika ia harus dihadapkan pada kondisi pengasuhan anak tiri yang mengalami tunarungu. Dengan adanya berbagai tantangan dan hambatan yang 27 harus dijalani dan dihadapi untuk menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ibu tiri harus berusaha menerima dirinya untuk menjalani kehidupan dengan status tersebut serta mengasuh anak tirinya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan saudari Nurul, yaitu sebagai berikut : “…Penilaian dari orang-orang sekitar itu memang paling berdampak sih ke saya. Hem..intinya saya harus bisa sih nerima penilaian- penilaian orang tentang status ibu tiri itu. Terus nambah lagi kan status saya, jadinya ibu tiri yang punya anak tunarungu…hehehe…hem…berupaya sabar, nerima aja sih intinya ngadepin penilaian negatif dari orang- orang, walaupun sempat juga marah ke diri sendiri, kesel gitu …” Komunikasi Personal, 2 November 2013 “…Saya coba sih untuk paham apa maunya anak saya tiri, walaupun agak terkendala waktu sih, tapi saya coba cari tahu ‘googling’ nyari gimana cara ngasuh anak tunarungu, cara beajar bahasa isyarat, kayak gitu sih…” Komunikasi Personal, 2 November 2013 Mengingat proses penerimaan diri yang membutuhkan waktu, dengan adanya respon positif maupun negatif yang muncul dari penilaian masyarakat, tentu dapat mempengaruhi pandangan realistik ibu tiri itu sendiri. Menurut Jersild 1963, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, akan menerima respon maupun kritikan yang muncul sebagai hikmah untuk mengevaluasi diri menjadi lebih baik. Jadi apabila ibu tiri memiliki penerimaan diri yang baik, maka ibu tiri akan menerima respon maupun kritikan yang muncul sebagai hikmah untuk mengevaluasi diri menjadi lebih baik. Namun, apabila ibu tiri tidak memiliki penerimaan diri yang baik, maka ia akan menganggap respon serta kritikan yang muncul sebagai penolakan terhadap dirinya. Hal inilah yang pada akhirnya dapat 28 memunculkan perasaan inferior atau merasa tidak berdaya di dalam dirinya Jersild, 1963. Sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild 1963 tentang keseimbangan real self dan ideal self, menyatakan bahwa setiap orang memiliki real self dan ideal self, namun tidak semua individu dapat menerima dirinya, karena ideal self dan real self yang ada di dalam dirinya. Begitu juga halnya dengan diri ibu tiri. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya Hurlock, 1978. Apabila ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan menyebabkan rasa kecewa, menyesal, dan frustrasi Hurlock, 1978. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan ibu Nurul, yaitu sebagai berikut : “…Kalok ditanya pengennya apa..ya..dapet suami lajang, punya keluarga sendiri, nata keluarga sama-sama, punya anak dari rahim sendiri, tapi kan keadaannya sekarang beda..tapi yaudah jalanin aja yang penting udah hidup sama- sama suami, anaknya, tenanglah…” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 “…Ya..sebagai orang tua pasti pengen punya anak yang baik- baik..normal gitu kan. Gak kurang apa-apa didirinya. Hem..tapi kakak kan kenyataannya sekarang dapet duda, terus punya anak yang luar biasa pulak. Ya..mau gimana udah jodoh kakak dapet suami yang seperti itukan? Tapi kakak sama sekali gak ngerasa nyesal kok punya hidup yang sekarang ini, gak seburuk pikiran orang-orang. Masa depan kakak sekarang ya sama mereka…” Komunikasi personal, 20 Oktober 2013 Jadi berdasarkan penjelasan diatas, agar ibu tiri bisa menyesuaikan ideal self dengan real self-nya, ibu tiri harus memiliki harapan-harapan realistis yang 29 memungkinkan untuk dicapainya, serta berupaya untuk dapat menerima dirinya sendiri dengan status tersebut. Selain itu, Jersild 1963 juga menjelaskan aspek penerimaan diri tentang penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Menurut Jersild 1963, setelah individu dapat menerima dirinya sendiri, dan keadaan dirinya telah diterima oleh orang lain, maka individu tersebut memiliki keleluasaan untuk menikmati segala hal dalam hidupnya. Jadi, agar status ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dapat diterima oleh orang lain, maka terlebih dahulu ibu tiri harus berupaya menerima dan menyesuaikan dirinya dengan status tersebut. Berdasarkan uraian diatas, proses penerimaan diri akan dapat berjalan lebih baik, ketika individu memiliki harapan dan pandangan yang realistis terhadap keadaannya. Ia juga memiliki keyakinan akan standar-standar yang dimilikinya tanpa terlalu terpaku pada pendapat orang lain, serta dapat menerima kekurangan dan kelebihan di dalam dirinya Jersild, 1963. Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menerima dirinya. Hal ini juga terjadi pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Penerimaan diri tidak akan dapat ibu tiri peroleh begitu saja tanpa dapat melalui hambatan dan permasalahan terhadap status dan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Melalui penelitian ini, peneliti juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses penerimaan diri ibu tiri yang dihadapkan dengan kondisi anak tunarungu. 30

B. Rumusan Masalah Penelitian