Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

53 karena itu, sebaiknya lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon positif terhadap perilaku anak tunarungu Heward, 1996.

D. Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

Orang tua yang mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan tertentu, maka ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah Safaria, 2005. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahabbati 2009 mengenai penerimaan dan kesiapan pola asuh ibu terhadap anak berkebutuhan khusus, menunjukkan hasil bahwa orang tua kandung akan memiliki sikap dan respon yang berbeda-beda dalam menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Fase penerimaan tersebut ditandai dengan perasaan terkejut shock, ketidakpercayaan, denial penolakan atau penyangkalan, bargaining tawar-menawar hingga fase depresi. Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera yaitu tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali Hallahan and Kauffman, 1988. Anak tunarungu umumnya membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya keterbatasan pendengaran yang dialaminya Heward, 1996. Adanya kondisi keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, maka anak tunarungu cenderung akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya Mangunsong, 2009. Jika 54 dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak tunanetra, yang masih mampu berkomunikasi untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak normal pada umumnya Soemantri, 2006. Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika ibu tiri mengasuh anak yang tunarungu. Ibu tiri adalah seorang perempuan yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung yang disebabkan oleh perpisahan maupun kematian Beer dalam Zanden, 1997. Selain itu, ibu tiri adalah wanita pengganti ibu kandung yang dinikahi oleh ayah kandung serta memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti ibu kandung dan hidup bersama dengan ayah kandung Chumar, 2012. Kata ibu tiri, memiliki penilaian tersendiri di masyarakat. Ketika mendengar kata ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang kejam seakan muncul dipikiran kita Rahmayani, 2010. Penilaian tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, sudah berkembang sejak jaman dahulu. Pandangan negatif pada ibu tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat Swari, 2012. Ketika seorang wanita menyandang status sebagai ibu tiri, maka karakteristik ibu tiri yang negatif juga akan melekat pada wanita tersebut Swari, 2012. 55 Munculnya stereotype atau penilaian negatif tentang karakteristik ibu tiri di masyarakat, membuat wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut Agnes, 2010. Adanya fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan suaminya, maka menjadi suatu masalah tersendiri bagi wanita yang menyandang status sebagai ibu tiri. Kondisi akan menjadi sulit ketika ibu tiri memiliki anak tiri yang tunarungu. Menerima status sebagai ibu tiri saja sudah membutuhkan proses, apalagi ketika ia harus dihadapkan pada kondisi pengasuhan anak tiri yang mengalami tunarungu. Berkaitan dengan kompleksitas dalam upaya penanganan dan pengasuhan anak tunarungu tersebut, maka proses penerimaan diri ibu tiri tentu akan menjadi lebih sulit. Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut Jersild, dalam Hurlock 1978. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya Jersild, 1963. Penerimaan diri yang baik pada ibu tiri, yaitu ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri bukanlah hal yang negatif. Ia juga tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut. Jersild 1963 menjelaskan bahwa pada dasarnya penerimaan diri adalah sebuah proses. Hal tersebut dijelaskannya melalui sepuluh aspek penerimaan diri, yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap 56 kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri Jersild, 1963. Menurut Jersild 1963, setelah individu tersebut mampu melalui berbagai aspek penerimaan diri dengan baik, maka ia akan memiliki penerimaan diri yang baik pula. Oleh karena itu, Jersild 1963 mengatakan bahwa individu membutuhkan waktu dalam menerima dirinya. Berdasarkan hasil penelitian Melati 2013, mengenai penerimaan diri ibu yang memiliki anak tunanetra, menyatakan bahwa seorang ibu membutuhkan waktu untuk menerima kondisi anaknya yang tunanetra dan menjalani hidup sebagai seorang ibu yang memiliki anak tunanetra. Kondisi ini juga dialami oleh ibu tiri yang memiliki anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunarungu. Adanya berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, membuat ibu tiri membutuhkan waktu untuk berupaya menerima dirinya dengan status tersebut. Penelitian lain juga dilakukan oleh Ramanda 2008, tentang dinamika penerimaan diri ibu terhadap anak tunagrahita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini, mampu untuk mencapai tahap penyesuaian dan penerimaan terhadap anak tunagrahita. Namun, dalam proses penerimaan diri tersebut tidak mudah untuk dicapai. Setiap subjek pada penelitian ini, memiliki 57 kekhasan masing-masing dalam proses penerimaan diri dan membutuhkan waktu tertentu dalam pencapaian proses penerimaan diri. Ibu tiri juga harus memiliki keyakinan akan standar-standar terhadap dirinya. Agar tidak terpaku pada pada pendapat atau penilaian orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya Jersild, 1963. Proses penerimaan diri pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, merupakan proses yang dijalani untuk menerima dirinya dengan segala kompleksitas dan hambatan yang dihadapinya. Oleh karena itu, ibu tiri memiliki caranya tersendiri untuk dapat menerima dirinya dengan status tersebut di dalam hidupnya Sfakianos, 2012. 58

E. Paradigma Teoritis