Menunjukkan Majas dalam Puisi
208 Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA Kelas XII Program Bahasa
Tuliskan hasilnya di buku tugas dengan mengikuti format di bawah ini Format 9.3
Seniman Pengkhianat “Orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada
fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita orang-orang yang pernah bekerja di propaganda polisi rahasia Jepang, umumnya di dalam
usaha kolone 5 Jepang. Orang-orang ini harus dianggap sebagai peng- khianat perjuangan dan harus diperbedakan dari kaum buruh biasa
yang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.” Perjuangan Kita, oleh Sjahrir, h. 24.
X :
“Belum juga dia datang. Janjinya pukul sebelas. Sekarang sudah lewat setengah jam.”
Y :
“Ah, dia banyak urusannya barangkali. Sandiwara sangat maju.”
X :
“Itu dia Manuskripku sekarang ada padanya.” Y
: “Manuskrip yang mana?”
X :
“Sandiwara 4 babak, Kesuma Negara.” Y
: “Oh, yang baru lagi?”
X :
“Ya, abis? Kemauan zaman. Kita mesti turut zaman, bukan?” Y
: “Aku heran melihat engkau. Apa saja acaranya, engkau mem-
buatnya menjadi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagai- nya.”
X : “Apa susahnya. Bikin saja, asal u sama u, a sama a, b sama b,
sudah beres. Bikin cerita pendek syaratnya asal jangan lupa: menghancurkan musuh, musuh jahanam, musuh biadab;
kemenangan tinggal tunggu hari lagi. Pihak kita: kesayangan Tuhan, Tuhan telah menjanjikan kita kemenangan dan sebagai-
nya yang muluk-muluk, yang jelek-jelek pada pihak lawan.”
Y :
“Kuheran. Engkau dapat menulis demikian.” X
: “Mengapa heran? Engkau juga bisa, kalau engkau mau.”
Y :
“Biarpun aku meu, aku tidak bisa.”
No. Nama Pelaku
Watak Tokoh 1.
2. 3.
X Y
Z ....................................................
.................................................... ....................................................
209 Ragam Budaya Nasional
X :
“Bohong berbisik. Mengapa engkau begini bodoh? sambil menunjuk ke sepatu Y. Lihat Sepatumu sudah ternganga-
nganga. Bajumu telah berjerumat. Kalau engkau mau… kantor kami senantiasa akan menerima engkau.”
Y :
“Kerjaku menjadi apa?” X
: “Biasa. Seperti aku sekarang. Sekali-sekali ada bestelan sajak,
atau cerita pendek, atau sandiwara, atau lelucon.” Y
: “Lantas kalau ada bestelen, engkau yang bikin?”
X :
“Mau apa lagi?” Y
: “Engkau bisa tulis?”
X :
“Bisa.” Y
: “Wah Engkau ini orang aneh. Misalkan, pemerintah memerlu-
kan rambutan untuk santapan serdadunya. Lantas dia meng- inginkan rambutan yang jitu, temponya tiga hari, engkau bisa
bikin?”
X :
“Gampang, tiga hari terlalu lama. Pukul sebelas dibestel jam dua belas sharp, tanggung siap.”
Y :
“Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya?”
X :
“Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang. Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa.”
Y :
“Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada ‘aku’-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas.”
X :
“Kalau sekarang engkau hendak memasukkan ‘aku’–mu ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan
dari Gambir Barat1.
Y :
“Oleh karena itulah, engkau tidak bisa menulis seperti kehendakmu itu.”
X :
“Bung Aku bilang saja terus terang. Gerak gerikmu sekarang diamat-amati oleh Gambir Barat.”
Y :
“Aku sudah tahu lama. Tapi itu aku tidak ambil perduli.” X
: “Engkau harus hati-hati. Omonganmu jangan terlalu lancang.”
Y :
“Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben. Tapi, kalau aku disuruhnya menulis-menulis, seperti yang engkau laksana-
kan, lebih baik aku makan tanah.”
X :
“Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin?”
Y :
“Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman.”
X :
“Tidak Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku X.”