Membaca dan Menanggapi Drama
209 Ragam Budaya Nasional
X :
“Bohong berbisik. Mengapa engkau begini bodoh? sambil menunjuk ke sepatu Y. Lihat Sepatumu sudah ternganga-
nganga. Bajumu telah berjerumat. Kalau engkau mau… kantor kami senantiasa akan menerima engkau.”
Y :
“Kerjaku menjadi apa?” X
: “Biasa. Seperti aku sekarang. Sekali-sekali ada bestelan sajak,
atau cerita pendek, atau sandiwara, atau lelucon.” Y
: “Lantas kalau ada bestelen, engkau yang bikin?”
X :
“Mau apa lagi?” Y
: “Engkau bisa tulis?”
X :
“Bisa.” Y
: “Wah Engkau ini orang aneh. Misalkan, pemerintah memerlu-
kan rambutan untuk santapan serdadunya. Lantas dia meng- inginkan rambutan yang jitu, temponya tiga hari, engkau bisa
bikin?”
X :
“Gampang, tiga hari terlalu lama. Pukul sebelas dibestel jam dua belas sharp, tanggung siap.”
Y :
“Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya?”
X :
“Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang. Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa.”
Y :
“Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada ‘aku’-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas.”
X :
“Kalau sekarang engkau hendak memasukkan ‘aku’–mu ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan
dari Gambir Barat1.
Y :
“Oleh karena itulah, engkau tidak bisa menulis seperti kehendakmu itu.”
X :
“Bung Aku bilang saja terus terang. Gerak gerikmu sekarang diamat-amati oleh Gambir Barat.”
Y :
“Aku sudah tahu lama. Tapi itu aku tidak ambil perduli.” X
: “Engkau harus hati-hati. Omonganmu jangan terlalu lancang.”
Y :
“Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben. Tapi, kalau aku disuruhnya menulis-menulis, seperti yang engkau laksana-
kan, lebih baik aku makan tanah.”
X :
“Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin?”
Y :
“Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman.”
X :
“Tidak Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku X.”
210 Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dan MA Kelas XII Program Bahasa
Y :
“Tapi pekerjaanmu? Pekerjaanmu mempropaganda ini itu kepada rakyat.”
X :
“Rakyat toh mesti diberi penerangan?” Y
: “Betul Tapi bukan penerangan yang menjerumuskan itu, kalau
engkau bikin propaganda tentang laut, misalnya.” X
: “Aku tidak tahu.”
Y :
“Memang. Engkau tidak tahu. Tapi mereka, anak-anak muda yang terpedaya oleh ajak, atau cerita pendek, atau sandiwara-
mu tentang laut, apa engkau bisa tanggung?”
X :
“Mereka mesti tahu sendiri.” “Sobat Engkau bangsa apa?”
X :
“Aku bangsa Indonesia.” Y
: “Tulen?”
X :
“Tulen” Y
: “Tidak ada campuran?”
X :
“Tidak Ibu bapak 100 bangsa Indonesia.” Y
: “Kalau begitu aku tidak tahu, mengapa engkau mau menggali
kubur untuk bangsamu sendiri.” X
: “Aku tidak menggali kubur. Aku makan gaji.”
Y :
“Tapi gajimu berlumuran darah bangsamu sendiri.” X
: “Tidak dengan pekerjaanku, bangsa kita toh sudah berlumuran
darah.” Y
: “Jadi engkau hendak menambahnya lagi?”
X :
“Pekerjaanku ini seperti titik dalam lautan. Tidakkan menambah dan tidak akan mengurangi.”
Y :
“Oleh sebab itu, engkau kerjakan?” X
: “Mengapa aku saja yang engkau terkam?”
Y :
“Karena aku anggap engkau wakil dari gerombolanmu.” X
: “Bukan golonganku saja yang diperbudak. Semua golongan,
tidak ada terkecualinya.” Y
: “Aku juga tahu. Yang menjerit-jerit berteriak-teriak di lapangan
besar, seperti orang edan, juga bangsa kita. Juga tukang tipu rakyat.”
X :
“Nah. Itu dia. Jadi bukan aku saja.” Y
: “Itu bukan alasan untuk melakukan pekerjaanmu seperti
sekarang ini.” X
: “Lantas maumu aku mesti makan angin?”
Y :
“Bukan. Engkau dapat bekerja di lapangan lain. Pendidikanmu cukup.”
X :
“Maaf. Tapi aku tidak dapat hidup seperti engkau.” Y
: “Engkau mempunyai cita-cita?”
211 Ragam Budaya Nasional
X :
“Penuh.” Y
: “Cita-citamu akan dapat menahan segala deritaan.”
X :
“Aku tidak bisa. Tinggal di gubuk rebeh seperti engkau, maaf saja. Aku biasa tinggak di Laan. Baju mesti saban hari ganti,
sepatu mesti necis, jangan sampai ternganga. Jajan tidak bisa di pinggir jalan, nongkrong seperti engkau. Aku bisa duduk di
Oen.”
Y :
“Tapi jangan anggap, buah penamu telah kercap seni. Di luar kantomu ini, masih banyak pemuda-pemuda yang benar-benar
berdarah seni, 100 lebih bersih dari darahmu. Mereka sekarang gelisah menanti akhirnya penindasan ini. Tapi dalam
sementara itu, mereka menangis melihat kelakuan gerombolan- mu yang melontekan diri sebagai alat propaganda.”
X :
“Engkau cemburu melihat kedudukanku sekarang ini. Itu sebabnya engkau caci-caci aku.”
Y :
“Aku tidak ingin kedudukanmu. Aku tidak ingin menjadi beo. Aku tidak ingin menjadi ekor. Aku tidak ingin menjadi lonte
seperti engkau.”
X :
“Kalau tidak ingin, engkau boleh tutup mulutmu.” Y
: “Aku tidak akan menutup mulutku.Aku akan meneriak-neriakkan
pengkhianatanmu terhadap bangsamu sendiri, yang engkau jadikan mangsa kebengisan tokehmu dan yang engkau coba
meliputinya dengan tulisan-tulisanmu, untuk kepentingan kan- tongmu sendiri. Seandainya leherku yang kurus ini engkau suruh
penggal pada tokehmu, aku akan terus berteriak: meneriakkan pengkhianatanmu selama ini”
Sumber: Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, HB. Jassin, Balai Pustaka, hal. 88- 92.