Topografi Klasifikasi Kekayaan Jenis Mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I

104 Gambar 4.15. Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah.

4.3.7. Topografi

Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia Chundawat, 1990; Marker and Dickman, 2005. Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam. Hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi macan tutul dengan peta topografi yang diklasifikasikan menjadi lima kelas diperoleh sebaran macan tutul jawa menurut kelas lereng sebagaimana disajikan pada Gambar 4.16. Dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar 43,8, curam 31,3 dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai, agak curam dan sangat curam. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kelas lereng dan keberadaan macan tutul jawa maka dilakukan uji χ 2 dengan hipotesis null Ho : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi topografi lereng. Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α 5. Hasil perhitungan χ 2 disajikan pada Tabel 4.22. 105 Gambar 4.16. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 4.22. Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara kondisi kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas Lereng Luas Ha Proporsi Frekuensi Observasi macan tutul jawa O Frekuensi Harapan macan tutul jawa E 0-E 2 E 1 2 3 4 5 6 Sangat curam 40 27.015,21 0,06 5 2,88 1,56 Curam 25-40 68.966,61 0,15 15 7,36 7,95 Agak curam 15-25 44.955,80 0,10 4 4,79 0,13 Landai 8-15 27.826,58 0,06 3 2,97 0,00 Datar 0-8 281.319,11 0,63 21 30,00 2,70 Jumlah 450.083,31 1,00 48 48 12.34 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul kolom 5 = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 Gaspersz, 1994. Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 12,34 χ 2 0.05;4. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.22 diperoleh nilai χ 2 hitung yang lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α = 5, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Untuk mengetahui kondisi lereng yang paling banyak digunakan maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.23. Keterangan : Datar = kelerengan 0 – 8 Curam = kelerengan 25 – 40 Landai = kelerengan 8-15 Sangat curam = kelerengan 40 Agak curam = kelerengan 15-25 106 Tabel 4.23. Indeks Neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap kondisi kelerengan habitatnya. Kelas Lereng Availability Proporsi a Records Proporsi r Indeks Seleksi w Terstandar Curam 25-40 68.966,61 0,15 15 0,31 2,04 0,32 Sangat curam 40 27.015,21 0,06 5 0,10 1,74 0,27 Landai 8-15 27.826,58 0,06 3 0,06 1,01 0,16 Agak curam 15-25 44.955,80 0,10 4 0,08 0,83 0,13 Datar 0-8 281.319,11 0,63 21 0,44 0,70 0,11 Jumlah 450.083.31 1,00 48 1.00 6,32 1,00 Berdasarkan hasil perhitungan indeks seleksi w ternyata macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat dengan kondisi lereng curam w = 2,04 dan sangat curam w = 1,74. Kondisi datar justru memiliki nilai indeks seleksi kurang dari satu w = 0,70 yang berarti tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Dengan demikian, benar bahwa macan tutul lebih menyukai kondisi topografi yang berat. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor keamanan habitat, karena pada kondisi toporafi yang berat umumnya tingkat kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan memang kawasan hutan bertoografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Pentingnya faktor topografi juga ditunjukkan pada sub bab 4.1.3 dan Gambar 4.16 dimana dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67 memiliki topografi datar. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar hutan tekanan dari penduduk. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa topogrofi kemirinagn lereng merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Untuk keperluan pemodelan, kelerengan dikelompokkan ke dalam tiga kelas sebagaimana Tabel 4.24. 107 Tabel 4.24. Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas lereng Kategori Kesesuaian Skor Datar – Landai 0-15 Rendah 1 Agak curam 15-25 Sedang 5 Curam – sangat curam 25 Tinggi 10

4.3.8. Ketinggian Tempat Altitude