Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi Penataan Ruang Wilayah

149 tujuan sudah ada macan tutul jawa bisa terjadi penolakan atau perebutan teritori dan yang kalah akan keluar bisa menggangu masyarakat sekitarnya. ƒ Diutamakan yang memiliki konektivitas dengan populasi macan tutul jawa lain di sekitarnya. ƒ Diutamakan kawasan hutannya tidak berbatasan langsung dengan pemukiman tetapi memiliki buffer berupa hutan negara ƒ Belum pernah ada konflik antara masyarakat dengan satwaliar. ƒ Calon lokasi tujuan translokasi harus diteliti secara ilmiah yang melibatkan lembaga penelitian. ƒ Sebelum dilakukan translokasi harus didahului dengan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar hutan yang menjadi tujuan translokasi. Diperlukan paradigma holistik untuk reintroduksi yang memfokuskan pada sumber dampak dan penerima dampak dari empat kelompok variabel: 1 pertimbangan biologi ekologi, genetik, teknik reintroduksi, dll.; 2 issue kekuatan kewenangan pengendalian sumberdaya, peraturan dan perundangan, hubungan antar aktor, dll.; 3 aspek organisasi struktur program, perilaku birokrasi, kultur organisasi, dll.; dan 4 pertimbangan sosial ekonomi nilai-nilai dalam masyarakat, sikap, persepsi, kondisi perekonomian, dll.. Paradigma ini dapat membantu masyarakat untuk peduli dan berpartisipasi sehingga reintroduksi dapat berhasil Richard et al., 2002. Reintroduksi memerlukan pendekatan multi-disiplin yang melibatkan tim dari beragam latar belakang seperti dari lembaga-lembaga pemerintah kehutanan dan lingkungan hidup, LSM, lembaga donor, universitas, lembaga veteriner, kebun binatang dan taman safari dengan keahlian yang relevan. Salah satu kunci sukses reintroduksi adalah sosialisai atau penyuluhan masyarakat akan pentingnya menyelamatkan spesies yang diintroduksi, karena banyak kematian dan kepunahan spesies disebabkan oleh konflik dengan masyarakat.

4.7.3. Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi

Gunung Slemet sebagai “mainland” populasi macan tutul jawa yang menjadi sumber rekolonisasi kantong-kantong habitat di sekitarnya sebaiknya diusulkan menjadi kawasan konservasi, khususnya taman nasional agar dapat lebih menjamin kelestarian macan tutul jawa khususnya dan keanekaragaman hayati di Provinsi Jawa Tengah pada 150 umumnya. Hal ini karena disamping sebagai pusat populasi macan tutul jawa yang relatif aman, Gunung Slamet juga merupakan pusat keanekaragaman hayati langka lainnya di Jawa Tengah, seperti elang jawa Spizaetus bartelsi Raptor Indonesia, 2010; owa jawa Hylobates moloch, rekrekan Presbytis fredericae dan lutung Presbytis comata Java Primate Center, 2010. Gunung Slamet juga memiliki potensi dan peranan hidrologis yang penting bagi delapan KabupatenKota di sekitarnya Tegal, Slawi, Brebes, Pemalang, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap. Dari Gunung Slamet ini mengalir 11 sungai penting yaitu sungai Banjaran, S. Logawa, S. Bojo, S. Penaki, S. Gronggongan, S. Lembarang, S. Gung, S.Brengkah, S. Comal, S. Batur, S. Erang Kompleet, 2001. Selain potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan lansekap Gunung Slamet dan sekitarnya juga memiliki potensi wisata alam yang menarik dan sudah berkembang pesat. Kawasan ini juga menyambung dengan bentang alam dataran tinggi Dieng yang memiliki kekayaan peninggalan budaya dan keindahan alam yang bernilai tinggi. Penetapan kawasan Gunung Slamet sebagai kawasan konservasi akan menambah kawasan konservasi daratan di Provinsi Jawa Tengah yang relatif masih sedikit 2,54.

4.7.4. Penataan Ruang Wilayah

Kepunahan dan keterancaman macan tutul jawa banyak disebabkan oleh fragmentasi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat, degradasi habitat dan pemecahan habitat. Fragmentasi merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindari dari pembangunan. Pembangunan itu sendiri diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Agar kegiatan pembangunan dapat harmoni dan sinergi dengan konservasi keanekaragaman hayati umumnya dan macan tutul jawa khususnya maka kebijakan penataan ruang merupakan awal kunci keberhasilannya. Pada level regional provinsi maupun kabupaten, kebijakan yang dapat berdampak pada kelestarian macan tutul jawa adalah kebijakan tata ruang wilayah yang mencakup pola pemanfaatan ruang dan arahan pengelolaannya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masuk dalam pola pemanfaatan ruang Kawasan Lindung. Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya provinsi merupakan arahan umum yang harus ditindak-lanjuti dengan kebijakan di tingkat KabupatenKota. Di 151 Provinsi Jawa Tengah, kawasan yang ditetapkan berfungsi lindung seluas 283.946 hektar, atau sekitar 8,7 dari luas wilayah provinsi. Di sini terlihat bahwa hutan lindung merupakan sub kawasan lindung yang paling besar 4,23. Sementara Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya hanya 0,45 BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah, 2003. Dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah termasuk lebih sedikit memiliki kawasan hutan konservasi daratan, sehingga kelestarian satwa langka lebih banyak bergantung pada hutan produksi Issue fragmentasi habitat masih kurang mendapat perhatian para pengambil kebijakan tata ruang, karena kurangnya pemahaman. Para pembuat kebijakan tata ruang di daerah umumnya masih berpegang pada komposisi luasan dengan standar luas hutan minimal 30 dari luas wilayah. Dari penelitian ini ditemukan tingkat fragmentasi hutan alam yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada level daerah, masih terdapat dua kelemahan utama dalam kebijakan tata ruang wilayah. Pertama adalah belum dipertimbangkannya konsep kekompakan lansekap hutan dan konektifitas antar kelompok hutan. Kedua belum adanya keterpaduan antar sektor terkait dalam implementasi kebijakan yang menyangkut pemanfaatan pola ruang, sehingga sering terjadi konflik kepentingan ruang antar sektor.

4.7.5. Kebijakan Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa