Metapopulasi HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa

116 Gambar 4.23. Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa Tengah: a sistem tebang habis; b perambahan hutan; c jaringan jalan raya; d jaringan listrik SUTET; e pertanian; f jaringan irigasi.

4.5. Metapopulasi

Fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong habitat patches yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang menyebar di Provinsi Jawa Tengah dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti yang diklasifikasikan oleh Harrison Taylor 1997 yaitu: 1 classic metapopulation; 2 mainland-island metapopulation ; 3 non equilibrium metapopulation; dan 4 patchy population. a b c d e f KPH Kendal KPH Pemalang Alas roban KPH Kendal KPH Kendal Besokor, KPH Kendal KPH Pemalang 117

1. Non equilibrium population

Contoh metapopulasi tipe non equilibrium di Provinsi Jawa Tengah adalah populasi di Gunung Muria KPH Pati, populasi di Mandirancan dan sekitarnya di KPH banyumas Timur dan Banyumas Barat, populasi di Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran dan Gunung Sindoro; serta populasi di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo. Gambar 4.24. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Muria dan sekitarnya KPH Pati. Di Gunung Muria dan sekitarnya Gambar 4.24, fragmentasi menyebabkan kantong-kantong habitat terpisah cukup jauh dan ada penghalang berupa pemukiman di antara kantong habitat tersebut. Populasi di patch Gunung Muria A yang sebelumnya mungkin merupakan sumber mainland bagi patches di sekitarnya B, C, D, E, F telah terpisah jauh akibat fragmentasi oleh pemukiman. Akibatnya populasi Gunung Muria tidak dapat melakukan kolonisasi terhadap patches tersebut. Populasi macan tutul di kantong habitat C Gunung Clering mengalami kepunahan lokal pada tahun 2000an akibat perambahan hutan dan tidak ada konektifitas untuk migrasi ke patches lain serta tidak adanya rekolonisasi dari Gunung Muria karena tidak ada konektifitas. Populasi macan tutul jawa di Mandirancan C dan sekitarnya Gambar 4.25, terfragmentasi dan terpisah jauh dengan populasi di Notog D, Jatilawang B, RPH D E F B C Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A 118 Kretek E, Cimanggu F dan Nusakambangan A. Populasi Mandirancan berdekatan dengan populasi Notog namun terfragmentasi secara alami oleh Sungai Serayu dan jalan raya Purwokerto-Cilacap. Sementara populasi Nusakambangan terfragmentasi secara alami oleh Segara Anakan sehinga terpisahkan dari populasi macan tutul di daratan Pulau Jawa. Populasi Cimanggu dan Kretek terpisahkan dari populasi lainnya oleh jalan raya dan pemukiman yang berkembang di sekitar hutan. Dengan kondisi demikian, populasi-populasi tersebut diperkirakan rentan terhadap kepunahan, bahkan populasi Notog dan Jatilawang telah mengalami kepunahan lokal. Dalam metapopulasi ini, populasi Mandirancan, Cimanggu dan Nusakambangan diperkirakan tidak akan bertahan lama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konektifitas dengan populasi lain dan luasan habitat yang kecil, yaitu Nusakambangan 952 ha, Mandirancan 1.228,4 ha dan Cimanggu 1.750,8 ha. Sementara Populasi RPH Kretek diperkirakan dapat bertahan karena memiliki habitat yang lebih luas dan adanya kemungkinan rekolonisasi dari Gunung Slamet. Gambar 4.25. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di RPH Mandirancan KPH Banyumas Timur dan sekitarnya. Pada Gambar 4.26 tampak bahwa populasi macan tutul jawa di Gunung Sindoro D, Gunung Sumbing C, Gunung Ungaran F, Gunung Merapi A dan Gunung Merbabu B dapat dianggap sebagai populasi tunggal yang terisolasi karena tidak ada A B C D E F Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : 119 konektifitas satu sama lain. Dalam beberapa tahun mendatang, meskipun terisolasi, populasi ini diperkirakan masih dapat bertahan karena luasan habitatnya cukup luas sekitar 5000 ha atau lebih dan jumlah individu dalam populasi tersebut diperkirakan masih cukup banyak. Populasi macan tutul jawa di puncak-puncak gunung juga relatif sedikit mendapat tekanan atau gangguan dari manusia. Gambar 4.26. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di beberapa gunung di Jawa Tengah. Populasi macan tutul jawa di Gunung Lawu B, Gunungkidul C, Kulonprogo D dan Gunung Merapi A terpisah jauh, mungkin sejak lama Gambar 4.27. Populasi-populasi tersebut tidak memiliki konektifitas satu sama lain sehingga tidak ada migrasi untuk kolonisasi atau rekolonisasi. Akibatnya populasi Gunungkidul dan Kolonprogo telah mengalami kepunahan lokal dan tidak akan pernah mendapat rekolonisasi dari populasi Gunung Merapi maupun Gunung Lawu. Populasi Gunung Lawu dan Gunung Merapi menjadi populasi tunggal yang terisolasi. Meskipun terisolasi, kedua populasi tersebut diperkirakan akan dapat bertahan dalam beberapa dekade mendatang karena berada di kawasan hutan yang terlindungi Taman Nasional Gunung Merapi dan Hutan Lindung Gunung Lawu yang memiliki luasan cukup besar serta tekanan penduduk yang kecil karena berada di puncak-puncak gunung yang bertopografi berat. A B F C D E Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : 120 Gambar 4.27. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo. Tipe non equilibrium metapopulation juga terjadi pada populsi di KPH Kendal dan sekitarnya Gambar 4.28. Populasi Subah A, Besokor B dan Darupono C terpisah cukup jauh dan tidak ada konektifitas satu sama lain sehingga tidak dapat saling bertukar individu. Demikian juga dengan populasi di Gunung Prahu F dan Gunung Ungaran D di KPH Kedu Utara. Kelima populasi tersebut tidak terhubungkan satu sama lain sehingga dalam jangka panjang rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi yang diperkirakan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah populasi Darupono, Gunung Ungaran dan Gunung Prahu karena memiliki luasan habitat yang relatif besar Darupono 13.568,14 ha; Gunung Prahu 2.402.,32 ha; Gunung Ungaran 4.711,97 ha. Disamping itu, kantong habitat di Gunung Ungaran dan Gunung Prahu merupakan hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan populasi di hutan produksi A, B, C. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B C D 121 Gambar 4.28. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di KPH Kendal dan sekitarnya. Populasi yang paling rawan menghadapi kepunahan lokal dalam waktu dekat adalah populasi Besokor. Hal ini disebabkan oleh luasan habitat yang kecil 692,1 ha dan tidak memiliki konektifitas dengan populasi Subah karena fragmentasi oleh pertanian dan jalan raya Semarang – Pekalongan serta terfragmentasi dengan populasi Darupono oleh lahan pertanian dan jalan raya Weleri-Temanggung. Sementara populasi Subah memiliki luasan yang lebih besar 2.422,77 ha. Populasi non equilibrium lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah kumpulan populasi di KPH Kedu Selatan Gambar 4.29. Populasi Pringombo B terpisah jauh dengan populasi Karangsembung A dan populasi Bruno C. Populasi Bruno telah mengalami kepunahan lokal dan tampaknya sulit mendapatkan kolonisasi kembali dari populasi Pringombo maupun Karangsembung karena jaraknya jauh dan adanya fragmentasi hutan. Populasi Pringombo dan Karangsembung tampakanya memiliki resiko kepunahan lokal yang sama besar karena tekanan penduduk dan kerusakan hutan akibat perambahan yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun 1998. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B C D F 122 Gambar 4.29. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di KPH Kedu Selatan.

2. Mainland-island metapopulation

Mainland-island metapopulation merupakan sistem dari habitat patches islands berlokasi di dalam jarak sebaran dari suatu habitat yang sangat besar mainland di mana populasi lokal tidak akan pernah punah Harrison Taylor 1997. Tipe metapopulasi Mainland-island bisa digambarkan dengan populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya Gambar 4.30. Populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet merupakan mainland population yang menjadi sumber kolonisasi bagi patches hutan di sekitarnya seperti patch hutan RPH Kretek B, Balapulang C; Kalibakung D Moga E dan Paninggaran F. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B C 123 Gambar 4.30. Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya. Populasi Balapulang C telah mengalami kepunahan lokal akibat perambahan hutan dan tidak ada rekolonisasi dari Gunung Slamet karena tidak ada konektifitas akibat fragmentasi. Sementara populasi Moga E terisolasi dari mainland Gunung Slamet A dan populasi Paninggaran F. Beberapa tahun mendatang populasi yang rentan mengalami kepunahan lokal adalah populasi Moga karena terisolasi dan luasannya kecil 2.513,6 ha dan populasi Kalibakung D yang luasnya hanya 619,9 ha. Sementara patch hutan Balapulang C masih bisa diharapkan menerima migrasi dari populasi Kalibakung D jika ada koridor untuk migrasi.

3. Classic Levins Metapopulation

Classic metapopulation merupakan suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu resiko kepunahan yang signifikan Harrison Taylor 1997. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B C D E F 124 Populasi-populasi di Jawa Tengah bagian Timur KPH Semarang, Telawa, Gundih, Purwodadi, Blora, Randublatung, Cepu dan Kebonharjo dapat menggambarkan tipe Classic metapopulation Gambar 4.31 memiliki resiko kepunahan lokal yang sama signifikannya karena memiliki kondisi hutan yang sama dan tingkat ancaman yang relatif sama. Beberapa populasi telah mengalami kepunahan lokal namun masih ada harapan direkolonisasi oleh populasi yang masih ada di dekatnya. Populasi Gunung Lasem M dan Pasedan L mungkin akan sulit untuk mendapatkan rekolonisasi dari populasi Kebonharjo G karena tidak ada konektifitas. Sementara populasi Kebonharjo G masih ada konektifitas dengan populasi Cepu F dan Randublatung E. Gambar 4.31. Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa Tengah bagian timur. Populasi Karangsono, Telawa C dapat menjadi sumber kolonisasi populasi yang telah punah lokal di Gunung Pati, Semarang A, Sragen, Telawa B dan Segorogunung, Gundih D. Populasi Cepu F juga memiliki konektifitas dengan Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B D E F G H J K L M C I 125 Populasi Segorounung D tetapi jaraknya cukup jauh. Populasi Barisan, Pati J, Ngiri, Mantingan K dan Krocok, Blora H hanya memiliki konektifitas dengan populasi Sambirejo, Purwodadi I. Sementara populasi Kebonharjo G tidak memiliki konektifitas dengan ketiga populasi yang telah mengalami kepunahan lokal tersebut J, K, H sehingga tidak bisa diharapkan mengkolonisasi ketiga patches hutan yang telah kehilangan macan tutul jawa tersebut. Dengan demikian populasi Karangsono, Telawa C dan populasi Sambirejo, Purwodadi I memiliki peranan yang sangat penting untuk melakukan kolonisasi kembali bekas-bekas kantong habitat macan tutul jawa yang telah kosong di sekitarnya. opulasi Kebonharjo, Cepu dan Randublatung diperkirakan masih akan bertahan dalam waktu yang lama ke depan karena ketiganya memiliki konektifitas sehinga dapat saling bertukar individu.

4. Patchy population

Patchy population adalah suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub populasi sangat tinggi sehingga dapat dapat dikatakan secara efektif merupakan satu populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya Harrison Taylor 1997. Patchy population dapat digambarkan oleh metapoulasi di kelompok hutan Salem KPH Pekalongan Barat yang menyambung dengan kelompok hutan Majenang KPH Banyumas Barat Gambar 4.32. Populasi macan tutul di Majenang A dan Pesahangan B di KPH Banyumas Barat serta populasi di Indrajaya C, Winduasri E dan Cikuning D di KPH Pekalongan Barat saling terhubung sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran individu. Lansekap hutan masih tersambungkan meskipun ada fragmentasi oleh pemukiman dan lahan pertanian. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini disebabkan hutannya merupakan tanaman pinus yang disadap getahnya sehingga relatif tidak ada kegiatan penebangan dan sebagian merupakan hutan lindung, seperti di Indrajaya C dan Cikuning D. 126 Gambar 4.32. Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat. Patchy population juga ada di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya Gambar 4.33. Patchy population yang pertama adalah populasi macan tutul jawa di Brondong A, Lemahabang B dan Pedagung C di KPH Pekalongan Timur yang masih terhubungkan satu sama lain. Patchy population kedua terdiri dari populasi macan tutul jawa di Jolotigo, Pekalongan Timur D, Cipero, Pemalang G, Winduaji, Pekalongan Timur F dan Paninggaran, Pekalongan Timur E yang masih saling terhubungkan sehingga dapat saling migrasi. Sementara di sekitarnya ada populasi kecil, yaitu Lobongkok, Pemalang H seluas 1.463,1 ha dan Moga, Pekalongan Barat I seluas 2.513,6 ha yang terisolasi dari kedua kelompok patchy population tersebut. Kedua populasi kecil dan terisolasi tersebut diperkirakan akan mengalami kepunahan lokal dalam beberapa tahun mendatang apabila tidak ada konektifitas ke populasi lain di dekatnya. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B C D E 127 Gambar 4.33. Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya. Tipe patchy population juga ada di KPH Pemalang dan sekitarnya Gambar 4.34. Populasi macan tutul jawa di Mangunsari A, Karangasem D, Kenyere C dan Kejene E di KPH Pemalang serta populasi di Gunung prahu B di KPH Kedu Utara saling terhubungkan satu sama lain sehingga arus pertukaran individunya lancar. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan. Metapopulasi tersebut tidak memiliki konektifitas ke populasi di Karangkobar F yang telah mengalami kepunahan lokal beberapa tahun yang lalu. Populasi di Gunung Sindoro G juga terfragmentasi dari patchy population tersebut. Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : A B D E F G H I C 128 Gambar 4.34. Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya. Dari analisis terhadap metapopulasi, populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam kelompok populasi yang membentuk non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi lokasi indikasi macan tutul jawa atau 31,25 dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11 populasi atau 22,92 dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42 dari seluruh populasi dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42 dari seluruh populasi Tabel 4.28. Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa tersebut tampak bahwa non equilibrium metaoipulation cukup besar 31,25. Hal ini tentu mengkhawatirkan kelestarian macan tutul jawa di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut A B C E F G Patch pernah dilaporkan dihuni Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Keterangan : D 129 rentan terhadap kepunahan lokal akibat tidak adanya konektifitas untuk migrasi antar populasi Tabel 4.28. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Tipe Metapopulasi Jumlah Kelompok Jumlah populasi Proporsi 1. Non Equilibrium Metapopulation 6 15 31,25 2. Mainland-Islands Metapopulation 1 11 22,92 3. Classic Metapopulation 1 5 10,42 4. Patchy Population 4 17 35,42 Jumlah 12 48 100,00 Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainland- islands . Gunung Slamet menjadi patch sumber source kolonisasi mainland bagi populasi-populasi di sekitarnya islands yang menjadi penerima sink. Populasi yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah populasi- populasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH Pekalongan Barat- KPH Banyumas Barat Salem-Majenang, Pekalongan Timur Brondong–Paninggaran dan sekitarnya, dan KPH Pemalang dan sekitarnya. Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk pemukiman, jalan dan lahan pertanian. Berdasarkan analisis metapopulasi tersebut dapat dibuat peta resiko kepunahan lokal macan tutul jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.35. Dari Gambar 4.35 tampak ada delapan populasi 17 yang memiliki resiko kepunahan lokal tinggi. Hal ini disebabkan oleh luas habitatnya yang kecil dan terisolasi atau terdegradasi berat. Sembilan belas populasi 39 memiliki resiko kepunahan lokal sedang dan 21 populasi 44 memiliki resiko kepunahan lokal rendah Lampiran 3. 130 Gambar 4.35. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya 131

4.6. Model Spasial Kesesuaian Habitat