Ketinggian Tempat Altitude Klasifikasi Kekayaan Jenis Mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I

107 Tabel 4.24. Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas lereng Kategori Kesesuaian Skor Datar – Landai 0-15 Rendah 1 Agak curam 15-25 Sedang 5 Curam – sangat curam 25 Tinggi 10

4.3.8. Ketinggian Tempat Altitude

Berdasarkan hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi keberadaan macan tutul dengan peta ketinggian altitude di atas permukaan laut dpl, dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl 52,1 diikuti ketinggian lebih dari 1.000 m dpl 31,3 dan ketinggian 500-1.000 m dpl 16,7 Gambar 4.17 Gambar 4.17. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas ketinggian altitude di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa maka dilakukan uji χ 2 dengan hipotesis null Ho : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat altitude . Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α 5. Hasil perhitungan χ 2 disajikan pada Tabel 4.25. 108 Tabel 4.25. Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas ketinggian Availability Proporsi Frekuensi observasi macan tutul jawa O Frekuensi harapan amcan tutul jawa E O-E 2 E 1 2 3 4 5 6 0-500 m dpl 30.3698,19 0,67 25 32,39 1,69 500-1000 m dpl 68.363,76 0,15 8 7,29 0,07 1000 m dpl 78.021,36 0,17 15 8,32 5,36 Jumlah 450.083,31 1,00 48 48 7,12 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul kolom 5 = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 Gaspersz, 1994. Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 7.12 χ 2 0.05;2 . Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.25 diperoleh nilai χ 2 hitung yang lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α = 5, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat. Untuk mengetahui kondisi ketinggian tempat yang paling banyak digunakan prefered maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks Neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.26. Tabel 4.26. Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap ketinggian tempat di atas permukaan laut. Kelas ketinggian tempat Availability Proporsi a Records Proporsi r Indeks Seleksi w Terstandar 1000 78.021,36 0,17 15 0,31 1,80 0,49 500-1000 68.363,76 0,15 8 0,17 1,10 0,30 0-500 303.698,19 0,67 25 0,52 0,77 0,21 Jumlah 450.083,31 1,00 48 1,00 3,67 1,00 Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa sebaran macan tutul tidak dibatasi oleh ketinggian tempat, namun macan tutul jawa ditemukan banyak menggunakan daerah ketinggian. Dari Tabel 4.26 tampak bahwa lokasi dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl memiliki indeks seleksi kurang dari satu w = 0,77, artinya tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Sementara indeks seleksi tertinggi adalah pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl w = 1,80 atau paling disukai. 109 Hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap gangguan. Dalam hal ini kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan. Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1.000 m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung, khususnya di gunung-gunung seperti Gunung Slamet, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Lawu dan Gunung Muria serta merupakan taman nasional yaitu TN Gunung Merapi dan TN Gunung Merbabu Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia yang memiliki proporsi tertinggi rumah tangga rawan pangan yang berkisar antara 37,3 – 54,2 Salem et al., 2005. Pada tahun 2008, dari 34.142.100 jiwa penduduk Jawa tengah, 17,23 5.883.310 jiwa di antaranya merupakan penduduk miskin Munhur, 2009. Oleh karena itu, Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang tinggi, yaitu antara tahun 2000-2005 rata-rata 142.560 ha per tahun. Dari segi luasan, deforestasi di Jawa Tengah 2003-2006 5.073,2 ha merupakan yang terbesar 80,6 dari total deforestasi di Pulau Jawa Departemen Kehutanan, 2007a. Pentingnya faktor ketinggian tempat altitude juga diuraikan pada subab 4.1.3 dan Gambar 4.2. di mana dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67 berada di daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor kerawanan terhadap tekanan dari penduduk di sekitar hutan yang lebih tinggi di daerah dataran rendah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Walaupun berbagai literatur menyebutkan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas, namun dalam penelitian ini terbukti macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat di tempat-tempat ketinggian. Untuk keperluan penyusunan model kesesuaian habitat, ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi tiga kelas seperti disajikan pada Tabel 4.27. 110 Tabel 4.27. Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas Ketinggian tempat Kategori Kesesuaian Skor 500 m dpl Rendah 1 500 – 1.000 m dpl Sedang 5 1.000 m dpl. Tinggi 10

4.4. Fragmentasi Hutan Alam