1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan seringkali dimaknai sebagai inisiasi dari suprastruktur yaitu
negara. Negara sebagai satuan tertinggi dalam sistem sosial pada satu wilayah berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap program pembangunan. Akibatnya, pembangunan dipandang sebagai manifestasi dari paradigma production centered development
pembangunan berfokus pada produksi. Inisiasi dan kemandirian warga dalam pembangunan menjadi rendah, karena dominasi negara dalam program
pembangunan terlalu besar. Antitesis terhadap pendekatan ini adalah paradigma people centered development
, yaitu pembangunan berpusat pada masyarakat Korten 1984. Dua dikotomi ini melahirkan model komunikasi linier dan
partisipatif Mefalopulos 2008 dan model komunikasi mekanistik dan organik Servaes 2008.
Apabila dikaitkan dengan konteks perubahan sosial, maka dua paradigma di atas dapat dilihat sebagai dua implikasi gerakan sosial yang berbeda. Gerakan
sosial yang berasal dari agen perubahan dari bawah vis a vis gerakan sosial yang berasal dari atas. Pada tipe pertama, perubahan sosial sebagai perubahan yang
diinginkan oleh lapisan bawah dengan kesenjangan agen perubahan yang nyata. Aktor utama adalah masyarakat yang mengorganisir diri. Sedangkan pada tipe
kedua adalah “paksaan” oleh elite atas terhadap masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan Sztompka 2005.
Gerakan pemberdayaan masyarakat lapiasan bawah dibawa oleh organisasi yang bernama NGO Non Government Organization yang diterjemahkan sebagai
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. Menurut Sosialismanto 2001, terdapat tiga penyebab LSM di Indonesia membela golongan tertindas;
pertama adalah kehidupan organisasi sosial politik tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat, kedua; keprihatinan terhadap nasib buruk kaum tertindas akibat
pembangunan selama ini, ketiga; meluasnya kesadaran politik dan sikap kritis terhadap pembangunan. Sejak reformasi terjadi gerakan sosial yang berasal dari
bawah banyak bermunculan. Dibuktikan dengan menjamurnya berbagai organisasi dan kelompok yang mengatasnamakan masyarakat bawah, seperti
gerakan feminis, gerakan petani, gerakan lingkungan dan sebagainya.
Hasil penelitian Purwandari 2006 terhadap gerakan petani di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kemunculan organisasi petani sebagai perlawanan
tersamar petani terhadap respon negara. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan
dekonstruksi sosial. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut
kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented.
Hasil temuan lain dalam penelitian Purwandari 2006 menunjukkan bahwa dalam pengorganisasian organisasi petani kelompok tani lebih akrab
dengan kerangka kebijakan dan aktivitas pemerintah tingkat lokal. Sebagai
konsekuensinya, program pemerintah seringkali hanya bersinggungan dengan kelompok. Sebaliknya paguyuban lebih banyak melakukan kegiatan dalam jalur
koordinasi organisasi induknya yaitu SPPQT Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah yang berpusat di Salatiga. Peran paguyuban dalam struktur organisasi
sebagai sarana atau wadah untuk pembelajaran bersama.
Hal senada juga terlihat dalam penelitian Hartoyo 2010, dimana organisasi gerakan petani merupakan kolektivitas sumber daya yang
merefleksikan sistem gerakan yang nampak besar berada dalam skala provinsi, tetapi dalam batas-batas tertentu perkembangannya semakin menjauh dari
lingkungan sosio-kultural gerakan yang hidup dan dihidupkan oleh komunitas petani basis. Artinya, ruang gerak organisasi gerakan petani semakin berjarak
dengan organisasi basis, dan komunikasi di antara mereka semakin lemah. Artinya terdapat masalah atau hambatan dalam saluran komunikasi.
Hasil penelitian Pambudi 2010 diperoleh dua kesimpulan mendasar mengenai situasi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta 1998-2004 sebagai
berikut; pertama, situasi politik yang berubah berpengaruh terhadap tujuan dan strategi gerakan masyarakat sipil. Tujuan gerakan bukan lagi untuk mengganti
pemerintahan, tetapi terbagi dalam dua tujuan besar yakni anti status quo dan pelembagaan politik. Strateginyapun juga berubah, tidak hanya melalui gerakan
protes saja, tetapi berkembang ke arah strategi kooperatif. Kedua; diantara faktor eksternal dan internal gerakan masyarakat sipil, faktor internal lebih berpengaruh,
yakni koordinasi, organisasi, dan kemampuan untuk mendesakkan perubahan yang hendak dituju.
Gerakan masyarakat sipil sebagai salah satunya melalui gerakan pemberdayaan ekonomi di tingkat basis. Penelitian Bancin 2012, menemukan
bahwa pemberdayaan masyarakat miskin melalui Credit Union melalui proses kesadaran kritis dimana anggota dapat memahami realitas penindasan dan
kemiskinan yang mendera kehidupan mereka. Proses kesadaran kritis dilakukan melalui proses komunikasi dialogis antara anggota dengan aktifis gerakan.
Kesadaran kritis pada akhirnya akan membentuk suatu pemahaman dan aksi kolektif yang berkelanjutan.
Salah satu gerakan masyarakat sipil adalah gerakan petani SPPQT Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah berdiri pada tahun 1999 di Jawa Tengah.
Tujun pendirian serikat tani adalah pengembangan masyarakat petani yang kuat mampu mendapatkan akses ke dan mengendalikan sumber daya dan mengatasi
kendala dalam rangka untuk meningkatkan penghidupan mereka dan pengaruh yang mempengaruhi kebijakan kehidupan mereka.
Hasil penelitian Sarwoprasodjo 2007 terhadap strategi gerakan SPPQT dalam menyikapi isu taman nasional di wilayah anggota SPPQT, melalui strategi
komunikasi consciousness
raising penumbuhan
kesadaran. Tujuan
consciousness raising sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi ruang publik
negara. Bentuk consciousness raising yang digunakan kepada anggota serikat adalah pelatihan, pertemuan sharing diskusi publik hingga keberadaan aksi-aksi
sosial penolakan taman nasional. Penelitian Wahyudi 2009 membuktikan bahwa aktivasi gerakan dalam bentuk consciousness raising dapat mendorong
terjadinya perilaku kolektif dalam aksi reklaiming lahan petani.
Oleh karenanya, fokus lebih lanjut penelitian ini adalah melihat proses penumbuhan kesadaran consciousness raising yang terjadi dalam serikat baik
dalam pertemuan rutin paguyuban maupun tidak rutin yang meliputi latar, aktor yang terlibat, isuperistiwa dan proses penyadaran yang dilakukan beserta motif
yang melandasinya hingga berujung pada aksi kolektif.
1.2 Perumusan Masalah