pemerintah daerah memberikan julukan kepada desa KP sebagai basis pertanian organik. Penghargaan juga telah diberikan dari Presiden RI kepada paguyuban
Al-Barakah pada tahun 2004 untuk ketahanan pangan tingkat nasional dan pada tahun 2011 pak MF sendiri penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara oleh
Presiden RI atas usahanya mengembangkan pertanian organik di wilayahnya. Dalam keseharian, pak MF selalu mengkonsumsi pangan organik yang ditanam
atau diusahakan secara lokal di rumahnya, misalnya, ayam kampung, beras organik, sayuran organik. Menurut pak MF, inilah salah satu bentuk ketananan
pangan lokal di ranah domestik. Publik pemerintah daerah juga paham apabila mengundang pak MF tidak akan menyuguhkan ayam negeri, karena pak MF pro
organik.
Dengan segala keberhasilannya dalam bidang organik, pak MF masih berjiwa sederhana. Hal ini terlihat dari rumahnya yang seperti rumah kebanyakan
di pedesaan jawa, meski pernah dikunjungi oleh Dirjen Ketahanan Pangan, dan pemerintahan daerah. Kendaraan operasionalnya sehari-hari berupa vespa “butut”
dan “rapuh” berwarna biru menemani setiap langkah perjuangan pak MF. Terkadang teman-teman pegiat serikat tani menyindir pak MF dengan
kendaranannya yang tidak sesuai dengan penghargaan dan prestasinya yang diterimanya selama ini. Namun semua itu dijawab dengan santai oleh pak MF
bahwa hidup tidak dipandang dengan harta, melainkan sejauhmana perjuangan kita menyelamatkan generasi penerus yang berjiwa organik dan sehat yang
terbebas dari racun kimia.
6.1.2 Forum Perempuan Bu SH
Ibu SH adalah seorang ketua divisi perempuan di SPPQT. Ibu kelahiran tahun 1976 ini lahir berasal dari Kota Salatiga. Sejak awal tidak terbesit di benak
bu SH untuk menjadi pegiat atau aktifis petani, apalagi menjadi pejuangn kaum perempuan dengan menjadi ketua divisi perempuan di serikat. Perjalanan menjadi
sekarang ini sangat panjang dan penuh dengan liku. Pada tahun 1996 an, di pedesaaan khususnya di Salatiga tengah terjadi booming bekerja sebagai
TKITKW ke luar negeri. Karena himpitan ekonomi, bu SH pun ikut mendaftar di PJTKI untuk bekerja sebagai TKW. Setelah sampai di Batam, bu SH dan
beberapa teman calon TKI terganjal pengurusan pasport dan dokumen kerja. Oleh PJTKI yang mengurusnya, maka SH dipekerjakan di Batam selama 3 bulan.
Karena ketidak jelasan pekerjaan di Batam, maka SH meminta untuk kembali ke kampungnya di Salatiga. Niat untuk menjadi bekerja terus ada di benak SH, maka
untuk kedua kalinya terdapat ajakan oleh seorang teman untuk bekerja di Jakarta. Ajakan ini diterima oleh SH, kemudian berangkat menuju Jakarta. Tak di sangka,
SH tidak dipekerjakan sebagai tenaga kerja melainkan dijual oleh temannya sendiri kepada trafficker menuju Sorong Papua. Saat perjalanan menuju Sorong,
sempat berhenti di Semarang inilah SH kemudian berhasil meloloskan diri dari trafficker. Sejak saat itu, bekerja atau sekedar niat untuk menjadi TKW atau
lainnya sirna dalam pikiran dan benak SH. Seketika itu pula muncul niat untuk bekerja di kampung halaman adalah suatu yang mulia, meski hasil yang didapat
tidak sebesar dari pekerjaan TKW. Namun resiko yang diterima sangat kecil ketika harus bekerja sebagai TKW.
Sejak peristiwa pelantaran oleh PJTKI dan usaha trafficking yang dialami, SH menjadi trauma. Namun pada tahun 2004 SH berkenalan dengan salah satu
pegiat serikat dan diajak untuk menjadi voluenter organisasi untuk perempuan. Tugasnya adalah membagi pengalaman untuk berbuat sesuatu agar kelak tak ada
orang lain disekitarnya bernasib sama, menjadi korban tindak perdagangan manusia. Tugas utamanya sekarang adalah mendampingi calon buruh mgran dan
keluarganya. Bagaimana bermigrasi aman dan mengelola keuangan pasca migrasi adalah hal utama yang harus ia sampaikan.
Sejak saat itu, SH memberikan informasi dan pemahaman kepada buruh migran dan calon buruh migran dengan pengalaman yang pernah di dapat.
Lambat laun pemikiran SH menjadi kritis khususnya terhadap isu perempuan, termasuk isu migran, deskriminasi, penindasan, pengurusan anak dalam keluarga.
Pemikiran kritis SH didapat dari berbagai sumber, seperti dari serikat sendiri, SP, migran care dan organisasi perempuan lainnya. Seringnya mendapat pelatihan
dan seminar yang dilakukan oleh organisasi ini, SH menjadi sadar akan isu perempuan. Namun, kesadaran kritis tidak mesti harus sesuai dengan apa yang
telah disampaikan, justru SH menerjemahkan sendiri konsep gender yang ditawarkan oleh organisasi perempuan ini. Apalagi ketika kembali ke serikat,
selalu diwanti-wanti oleh para senior di serikat semisal pak SH untuk tidak menerapkan konsep gender ala orang Jakarta di basis serikat. Karena konsep yang
ditawarkan sangat ekstrim dan berbahaya jika diterapkan di basis. Konsep gender sendiri menurut tokoh serikat yaitu BD adalah tidak melawan dominasi laki-laki
namun berusaha menyelaraskan kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu kegiatan untuk perempuan di serikat selalu berkaitan dengan penguatan
perempuan di domestik melalui ekonomi, pola pengasuhan anak, pangan sehat. SH sendiri berkeyakinan bahwa paradigma gender yang ditawarkan oleh serikat
adalah ecofiminism.
Dilemma yang dihadapi oleh SH dalam memperjuangkan gender tidak hanya di ranah publik, organisasi, kelompok, namun juga di keluarga sendiri.
Seringkali pemahaman yang ada di benak SH mendapat penolakan oleh keluarga sendiri, terutama oleh suaminya. Untuk mengurangi kecurigaan dan penolakan
terhadap aktifitas SH, sang suami kemudian diajak ikut serta dalam setiap aktifitas sang istri. Ini terlihat saat penguatan kelompok tani perempuan di Paguyuban
Sindoro Kasih Kabupaten Wonosobo tanggal 6 November 2012. Ini adalah media penyadaran SH untuk sang suami. Setelah ikut mendampingi SH, sedikit demi
sedikit sang suami paham akan ideologi gender yang ditengah diperjuangkan oleh SH. Keluarga juga sebagai sumber berbagi informasi untuk kelompok tani.
Setiap diskusi di tingkat kelompok, SH selalu berefleksi terhadap pengalamannya di keluarga sendiri. Cara ini sangat efektif memberi penyadaran terhadap
kelompok tani perempuan, karena pesan yang diterima sangat dekat dengan keseharian mereka dan digali dari pengalaman pribadi SH.
Di ranah publik tantangan gender sangat begitu kuat, mengingat budaya Jawa yang sangat partiarkhal. Perempuan ditempatkan sebagai kelas 2 dalam
struktur stratifikasi masyarakat Jawa dengan istilah “dapur dan kasur”. Persepsi ini tidak hanya dibangun oleh laki-laki saja, namun justru kaum perempuan
sendiri yang memeliharanya dengan alasan berbakti kepada suami. Budaya partiarkhal ini bersumber dari warisan feodalisme masyarakat Jawa. Tekanan lain
yang lebih kuat adalah kapitalisme yang tengah melanda kaum perempuan.
Akibat kapitalisme, perempuan makin terpojok dengan serangan produk-produk kapitalisme di pedesaan. Perempuan makin bersifat materialistik, semua harus
dihitung dengan uang. Pola pangan lokal tergantikan dengan pola pangan import. Belum lagi serangan yang paling massif dilakukan oleh televisi sebagai media
bagi kapitalisme. SH sendiri meyakini bahwa televisi sebagai sumber masalah yang meracuni kaum perempuan pedesaan, sehingga terjadi proses peniruan dan
tindakan yang tidak sesuai dengan budaya setempat.
Berdasarkan kontestasi yang terjadi, maka proses penyadaran untuk kaum perempuan tidak hanya melepaskan tirani kapitalisme yang juga dialami oleh
kaum laki-laki, namun juga melepaskan ikatan partiakhi yang bersumber dari feodalisme. Media yang digunakan adalah interpersonal dan pertemuan
kelompok. Selain itu penggunaan media facebook atau sms juga digunakan, namun intensitasnya rendah mengingat akses perempuan terhadap media
elektronik sangat rendah. Proses penyadaran melalui kelompok diawali dengan sesi curah pendapat yang berisi pengalaman anggota dalam tema tertentu. Setelah
itu diskusi dan penyampaian solusi yang berasal dari anggota ataupun bu SH sendiri. Proses perubahan sendiri sangat lama terwujud, tergantung dari masalah
atau isu yang berkembang. Jika isu itu tidak melibatkan pihak lain, atau hanya perempuan saja yang terlibat, isu mudah untuk dipecahkan. Misalnya, isu
pembedayaan perempuan melalui simpan pinjam. Karena ikhtiarnya adalah kuasa perempuan atas ekonomi keluarga dan membantu pengelolalan ekonomi keluarga.
Lain pula jika isu pola pengasuhan anak, akan sulit dilakukan karena melibatkan anak, dan suami yang penuh dengan tantangan. Apalagi menyangkut KDRT
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sangat sulit muncul dipermukaan dalam proses penyadaran. SH sendiri sadar bahwa masalah akan terjawab dari
perempuan itu sendiri. Dan selalu dimulai dari yang kecil namun bersifat kolektif justru dapat menjadi perubahan besar. Seperti pengadaan pangan lokal setiap hari
tapi dilakukan bersama-sama satu kelompok dapat menjadi perubahan besar di tingkat desa.
Transformasi identitas kaum perempuan sudah bersifat kolektif, hal ini dibuktikan dengan kebanggaan anggota kelompok saat mengikuti festival pangan
tingkat desa. Berdasarkan bentuk kesadaran yang mucul adalah kesadaran naif kaum perempuan. Dalam kesadaran naif ini sebenarnya kaum perempuan sudah
sadar akan bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dirasakan, namun secara praksis aksi sangat sulit dilakukan mengingat benturan budaya yang sangat kuat.
Secara kolektifitas keberdayaan perempuan terwujud di tingkat kelompok. Namun di ranah domestik dan publik, kuasa perempuan masih di bawah laki-laki.
6.1.3 Lumbung Sumber Daya Pemuda Pak LS