Keberdayaan Perempuan Menuju Keselarasan Relasional

5.3 Keberdayaan Perempuan Menuju Keselarasan Relasional

Penggunaan istilah perempuan dalam program pemberdayaan serikat dinilai lebih dikenal ketimbang penggunaan istilah gender. Dalam kacamata serikat, isu ketidakadilan perempuan disebabkan oleh faktor struktural dan kultural masyarakat. Faktor struktural disebabkan oleh kapitalisme dan kultural lebih disebabkan oleh faktor warisan feodalisme. Ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan dapat terjadi pada ranah domestik, dan publik. Negara seringkali menyumbang kemiskinan yang dialami oleh perempuan, di samping oleh kapitalis global. Serikat berikhtiar untuk selalu memperjuangkan kaum perempuan baik sebagai ibu rumah tangga maupun mereka yang bekerja sebagai buruh. Pengorganisasian kaum perempuan adalah strategi yang digunakan serikat untuk memperjuangkan kaum perempuan dalam bentuk kelompok perempuan. Kelompok perempuan terpisah dengan kelompok tani yang ada di paguyuban, meskipun keduanya di bawah koordinasi paguyuban. Pemisahan kelompok ini dilakukan untuk mempermudah proses pengorganisasian dan tentunya perbedaan dalam hal program kerja. Isu terkait pemberdayaan perempuan dalam penelitian ini adalah masalah pangan lokal dan pemberdayaan ekonomi membuat koperasi simpan pinjam. Begitu derasnya arus pangan import masuk ke desa membuat perempuan desa berfikir meninggalkan pangan lokal dengan pertimbangan kepraktisan instan dan gaya style. Makanan yang bersifat instan seperti mie instan selalu menjadi pilihan di meja makan karena tidak perlu waktu lama untuk mengolahnya. Bandingkan dengan mengolah nasi jagung, butuh waktu berjam-jam dan berhari- hari untuk siap dihidangkan di meja makan. Untuk gaya, maka pilihan tertuju pada pangan import. Karena mengikuti apa yang ada di televisi, lebih modern apabila memakan mie instan ketimbang nasi jagung. Lambat laun, pangan lokal termarginalkan dan lidah masyarakat desa sudah asing dengan pangan lokal seperti nasi jagung atau nasi. Ini yang menjadi isu hangat, bagaimana proses penyadaran kaum perempuan untuk kembali kepada pangan lokal. Isu yang tidak kalah pentingnya adalah pemberdayaan ekonomi kaum perempuan. Dalam konteks ini, pemberdayaan ekonomi berupa pembentukan koperasi atau arisan. Tujuan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan adalah untuk simpanan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Biasanya pembentukan koperasi selalu diawali oleh adanya sistem arisan sebelumnya. Ketika modal bersama sudah besar, maka inisitif untuk membentuk koperasi menjadi terpikirkan. Inilah yang menarik untuk dikaji lebih dalam dengan melihat sejauhmana komunikasi penyadaran yang dilakukan oleh serikat berhasil untuk pemberdayaan ekonomi kaum perempuan. Isu perempuan selalu tertuju pada ketidakadilan relasional yang terjadi baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi subordinat dalam pengambilan keputusan di rumah tangga maupun di aras desa. Ini pula yang dialami oleh kaum perempuan yang tergabung dalam Forum Perempuan Desa Jombong. Berbagai bentuk ketidakadilan mereka rasakan dengan derajat yang berbeda-beda antar anggota. anggota forum perempuan menganggap bahwa fakta ketidakadilan menjadi lazim karena memang sudah seperti itu dalam masyarakat meletakkan kaum perempuan sebagai kelas dua. Berikut pandangan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan Desa Jombong: “Masalah pengupahan; masalah ini sudah jadi budaya dan kebiasaan,......misalnya dari jam 7 pagi sampai jam 12, ibu matun dan bapak macul. Macul memang lebih berat ketimbang matun. Tapi kalo sama-sama macul, tenaga perempuan lebih murah. Pernah hal ini disampaikan langsung kepada pemilik lahan, tapi jawabannya yaitu kerja laki-laki lebih berat dari kerja perempuan. Upah itu sudah ada sendiri di masyarakat. Upah buruh antara perempuan dan laki-laki berbeda. Jika perempuan Rp 25.000,- dan laki-laki Rp 35.000,-. Masalah perempuan dianggap konco wingking; seoarang ibu dengan mengerjakan semua tugas rumah dan mengasuh anak. Tapi kalo di rumah bapak tidak mau tahu tugasnya. Suara perempuan tidak dihargai; jika ada masalah selalu pendapat ibu yang salah dan tidak dihargai domestik. Jika di level publik desa, jika ada usulan dari perempuan yang selalu dipakai ya suara laki-laki. Suara perempuan minim, karena yang diundang di forum desa yang paling banyak laki-laki. Jika 50 orang paling perempuannya hanya 4-5 orang atau paling banyak 10 orang.” FGD, 04032013 Permasalahan di atas menjadi isu keberdayaan perempuan di Desa Jombong menjadi pintu masuk serikat dalam pengorganisasian gerakan. Isu keberdayaan menjadi politis apabila sampai pada tahapan pengambilan keputusan kaum perempuan. Isu keberdayaan perempuan menggunakan sarana ekonomi sehingga mereka tertarik untuk menjadi anggota kelompok perempuan. Pintu masuk awal dikemas dengan iming-iming ekonomi, meski serikat sendiri memiliki orientasi politis yaitu pengambilan keputusan ditangan kaum perempuan. Yang menarik adalah serikat tidak menggunakan istilah gender 11 dalam pengorganisasian kaum perempuan. Istilah isu perempuan lebih tepat digunakan ketimbang isu gender, meski subtansinya keduanya sama. Pilihan isu perempuan diambil karena dari segi bahasa lebih dikenal ketimbang istilah gender yang bagi masyarakat pedesaan kurang populer. Alasan berikutnya adalah paham gender sendiri oleh serikat dimaknai kembali bukan untuk merebut kekuasaan kaum laki- laki, namun berdaya bersama kaum laki-laki dengan keselarasan dan keharmonisan. Serikat beranggapan istilah gender terlalu ekstrim jika diterapkan dalam anggota petani di pedesaaan. Yang terpenting adalah perempuan desa mau ikut berorganisasi sehingga berdaya dan hidup selaras dengan kaum laki-laki dengan tanpa penindasan. 11 Istilah gender yang dimaknai oleh serikat bukan merujuk pada gender dalam arti konseptual namun mengacu pada istilah aliran feminisme. Gender sebagai suatu konsep hasil dari pemikiran atau rekayasa manusia yang dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat berbeda karena adat istiadat, budaya, agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Gender tidak bersifat universal dan tergantung situasional masyarakatnya. Suyanto, Narwoko 2004. Sedangkan feminisme adalah sebuah ideologi gerakan perempuan seperti; liberal, radikal libertarian atau kultural, marxis-sosialis, psikoanalisis,eksistensialis, posmodern, multikutural dan global, serta ekologis. Tong 1998 “Tapi memang isu yang diangkat adalah isu perempuan. Saya menyebutnya bukan gender, karena kalo langsung dibawa ke gender akan banyak terjadi pertentangan. Karena dulu ada kasus, SPPQT tahun 2004, saat itu saya masih voluenter. Waktu bawa ide gender secara mentah-mentah, lalu timbul goncangan. Ada yang sampai kelompoknya bubar. Seolah-olah provokasinya perempuan melawan laki-laki. Kita dapat ilmunya dari Suara Perempuan SP. Kita terimanya mentah-mentah tanpa kita saring. Karena tahun 2007 saya masih sendiri. Lalu saya sempat tanya ke teman yang di pertanian organik, lha kalo sampeyan kan menyampaikan pertanian organik ono ning Quran, lha kalo aq , Quran ne opo....tersu aku arep piye, dan itu sempet bertentangan dengan hati. Saya sempat dipanggil oleh pengurus SPPQT yaitu pak Syamsul. Lha saiki sampeyan terangkan apa iku gender, kalo ngga bener keluar aja dari SPPQT kalo gowo sing aneh-aneh. Jadi yang diinginkan adalah gender ala qaryah thayyibah. Ya ini, bukan untuk melawan laki-laki atau menafikan laki-laki, tapi bagaimana membangkitkan laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Bisa bekerja sama, bisa mewujudkna keadalian sosial bersama-sama”.wawancara Mba HS, 18102012

5.4 Merebut Ruang Produksi Melalui Perdes