Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5 menyandang disabilitas sebesar 2,45. Dari data tersebut penyandang
disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu keterbatasan atau tunaganda yaitu sebesar 39,97 Pusdatin Kementerian
Kesehatan RI: 2014. Akses dalam memperoleh pendidikan bagi ABK masih mengalami
berbagai kendala, kendala tersebut baik dari keluarga, masyarakat dan sekolah. Minimnya perhatian orang tua terhadap pendidikan ABK sehingga
sering kali pendidikan anaknya terabaikan. Kepedulian masyarakat terhadap ABK masih sangat kurang bahkan keberadaan mereka sering dikucilkan
dalam kehidupan masyarakat. Terbatasnya akses dan ketersediaan sekolah luar biasa, tenaga pendidik guru yang kompeten dalam menangani ABK dan
kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak semua anak yang berkelainan mendapatkan
pendidikan atau pelayanan yang semestinya. ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan secara khusus yang
disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya. Pelayanan ABK jika dikaitkan dengan kepentingan pendidikan terdiri dari beberapa
kategori yaitu sebagai berikut: kategori A tunanetra, B tunarungu, C tunagrahita, D tunadaksa, E tunalaras, F untuk kategori anak dengan
kemampuan di atas rata-ratasuperior, G untuk kategori anak yang mengalami
6 tunaganda. Setiap anak diberikan pelayanan pendidikan yang disesuaikan
dengan karakteristik kelainan dan kemampuan yang dimiliki anak tersebut. Kondisi seseorang yang mengalami kelainan memberikan dampak
yang kurang menguntungkan secara fisik, psikologis maupun psikososialnya, sehingga
dapat menghambat
kondisi perkembangan
anak dalam
memperdayakan fungsi kehidupannya. Permasalahan yang dialami anak berkebutuhan khusus berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan primer
seperti pangan, sandang, papan dan kemampuan bersosialisasi serta kemampuan untuk memelihara diri sendiri secara mandiri.
Kemampuan memelihara diri merupakan hal yang sangat penting baik bagi anak normal maupun anak yang mengalami kebutuhan khusus agar
mereka dapat menjaga kesehatan dan kebersihan diri secara mandiri. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Sehat
merupakan keadaan sejahtera secara menyeluruh, tidak hanya fisik tetapi juga jiwa dan kondisi sosialnya agar seseorang dapat hidup produktif dan bahagia
sesuai dengan fungsinya. Dengan kondisi kelainan yang dialaminya, ABK akan menghadapi
masalah yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. ABK memerlukan bimbingan dalam hal yang terkait dengan kesehatan agar ABK
dapat merawat dirinya secara mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
7 menyebutkan bahwa “Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan untuk menjaga agar hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis
”. Salah satu layanan kesehatan yang ditujukan pada ABK adalah
pendidikan kesehatan
reproduksi. Pendidikan
kesehatan reproduksi
merupakan kegiatan memberikan layanan pengetahuan tentang kesehatan dan kebersihan alat-alat reproduksi yang meliputi sistem, fungsi dan proses
reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem,
fungsi-fungsi dan proses reproduksi Cholil, 1996. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61
tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi pasal 4 yang menyatakan bahwa: 1.
Remaja berhak memperoleh informasi yang lengkap, jelas dan akurat tentang kesehatannya termasuk kesehatan reproduksi.
2. Remaja berhak memperoleh edukasi yang lengkap, jelas dan akurat
tentang kesehatannya, termasuk kesehatan reproduksi. 3.
Remaja berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi tanpa deskriminasi.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas maka dimaknai bahwa pendidikan kesehatan reproduksi menjadi hal yang penting untuk dipahami
oleh ABK agar mereka dapat merawatmenjaga kesehatan dan kebersihan dirinya terutama anak yang akan dan sedang menginjak masa remaja dan pada
jenjang pendidikan SLBSMPLBSMALB. ABK yang beranjak remaja yang
8 nantinya akan menjadi calon ayahibu dan menjadi orang tua perlu
mendapatkan pelayanan pendidikan kesehatan reproduksi dengan baik dan benar.
Pendidikan kesehatan reproduksi dapat membekali para remaja dari resiko pelecehan dan kekerasan seksual, resiko kehamilan yang tidak
diinginkan dan mencegah penyakit menular seksual dan HIVAIDS. Selain itu, anak dapat membentengi diri dari pergaulan bebas dan kenakalan remaja,
melindungi bagian tubuhnya, mengelola dorongan seksualnya dan menolak ajakan teman untuk melakukan hal yang negatif. Melalui pendidikan ini anak
yang mengalami kelainan atau ABK memperoleh haknya untuk memahami informasi kesehatan reproduksi secara lengkap dan benar.
Implementasi kebijakan pendidikan kesehatan reproduksi pada ABK dilakukan dalam proses belajar mengajar dikelas maupun diluar ruangan
kelas. Proses pembelajaran pendidikan kesehatan reproduksi sebaiknya tidak hanya memberikan materi saja tetapi juga ditunjang dengan praktek
keterampilan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan kesehatan reproduksi bagi ABK. Kegiatan belajar mengajar pendidikan kesehatan
reproduksi dilakukan dengan metode ceramah, diskusi atau tanya jawab, permainan edukasi, dan praktek sesuai dengan kondisi kelainan dan
perkembangan anak berkebutuhan khusus.
9 ABK membutuhkan bimbingan dari guru dan orang tua, sehingga
mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi secara lengkap dan benar dalam merawat organ kesehatan reproduksi agar tetap sehat
dan berfungsi dengan baik dan normal. Guru sebagai tenaga pendidik yang mempunyai tugas membimbing, membelajarkan, dan melatih peserta didik
diharapkan mampu menempatkan diri sebagai pusat informasi dan pembimbing anak dalam hal kesehatan reproduksi.
Pada kenyataannya, peranan orang tua dan guru dalam membimbing anaknya dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi belum
maksimal. Banyak orang tua dan masyarakat masih mengganggap pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks adalah suatu hal yang tabu untuk
dibicarakan. Implementasi pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah belum maksimal
yang dikarenakan
kurangnya kemampuan
guru dalam
menyampaikan materi kapada anak dan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah diselenggarakan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan peserta didik agar hidup sehat dan terhindar dari penyakit.
Sekolah khusus ABK yang disebut dengan sekolah luar biasa atau SLB. SLB sebagai lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
khusus bagi ABK mempunyai tugas untuk memberikan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak termasuk
10 membimbing anak dalam pendidikan kesehatan reproduksi. SLB Negeri 2
Yogyakarta dan SLB-A Yaketunis merupakan SLB yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY yang menyelenggarakan pendidikan kesehatan
reproduksi khusus kepada anak yang mengalami kelainan atau ABK. Kebijakan ini didasarkan pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas pasal 43 yang menyatakan bahwa “Pemerintah
daerah dan pemerintah KabupatenKota berkewajiban memberikan upaya pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
penyandang disabilitas yang memerlukan”. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan pendidikan
kesehatan reproduksi pada anak berkebutuhan khusus di sekolah luar biasa di kota Yogyakarta. Penelitian ini meneliti mengenai Implementasi kebijakan
pendidikan kesehatan reproduksi, berbagai faktor pendukung dan penghambat serta strategi yang digunakan dalam mengatasi masalah yang muncul pada
saat kebijakan tersebut diimplementasikan.