tokoh bahkan juga hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas. Kedua, “Dia” terbatas yaitu pencerita yang
berada di luar cerita yang mengetahui segala sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik tindakan maupun batin tokoh tersebut. Dalam percakapan
antar tokoh banyak penyebutan “aku” dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia” sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri.
Jenis sudut pandang pertama “akuan” terdiri atas “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Sudut pandang “Aku” tokoh utama yaitu
pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama, melaporkan cerita dari sudut pandang “aku” dan menjadi fokus atau pusat cerita. Sudut pandang
“aku” tokoh tambahan, yaitu pencerita yang tidak ikut berperan dalam
cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut
pandang “saya”.
6. Gaya Bahasa
Bahasa dapat menjadi sarana pengungkapan sastra. Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
22
Gaya berdasarkan pendapat Aminuddin adalah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
23
Alat gaya dapat melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata atau pun majas
kalimat.
7. Amanat
Pamusuk Eneste mendefinisikan amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti-
persoalan yang digarapnya.
24
Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.
22
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 61.
23
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 158-159.
24
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, NTT: Nusa Indah, 1991, h. 57.
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri pengarang dan pembacanya. Dari sudut pengarang, nilai ini biasa disebut
amanat. Wahyudi Siswanto mengemukakan, amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca atau pendengar.
25
Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat
tersurat. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu;
biografi pengarang, psikologi pengarang, keadaan lingkungan sosial dan ekonomi pengarang, dan pandangan hidup suatu bangsa.
26
B. Hakikat Nilai Moral
1. Pengertian Nilai Moral
Nilai atau value bahasa Inggris atau valere bahasa Latin berarti berguna, berdaya, dan berlaku. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai
selalu menyangkut tindakan, nilai seseorang diukur melalui tindakan.
27
Berdasarkan pemaparan Sutarjo dalam buku Pembelajaran Nilai Karakter, nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai,
dan menjiwai tindakan seseorang.
28
Istilah Moral berasal dari kata Latin mos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, cara tingkah laku, kelakuan, mores
adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Helden dan Richards dalam Sjarkawi mengatakan bahwa moral adalah suatu kepekaan
dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya
Atkinson mendefinisikan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan.
29
25
Wahyudi Siswanto, op.cit., h. 162.
26
Ibid., h. 23-24.
27
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 64.
28
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 56.
29
Sjarkawi, op. cit,. h. 28.
Moral tidak identik dengan ilmu, pangkat atau keturunan, artinya tidak setiap orang bodoh, orang rendah dan dari keturunan rakyat banyak akan
bermoral rendah, kendatipun kemampuannya untuk berpikir itu terbatas. Betapa banyaknya kita melihat kejahatan, kemaksiatan, dan kemerosotan
moral terjadi di kalangan orang pandai, berpangkat tinggi dan dari keturunan bangsawan. Moral menyangkut kebaikan, orang yang tidak baik
juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana kita mungkin
dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi.
30
Aristoteles dalam H.Burhanuddin menjelaskan, nilai moral adalah manusia itu dalam semua perbuatannya, bagaimanapun juga mengejar
sesuatu yang baik.
31
Nilai moral tidak boleh berlawanan atau bertentangan dengan agama yang dianutnya, maka pendidikan moral tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh dalam novel yang ditulis pengarang Rusia termasyhur, Dostoyevski: “Seandainya Allah tidak ada,
semuanya diperbolehkan”.
32
Oleh karena itu, karena hidup berpegang teguh pada ajaran agama yang berasal dari Allah maka setiap perilaku ada batasan
yang dikatakan baik atau buruk yang sering disebut perilaku bermoral atau tidak bermoral.
Pengaruh agama dengan sendirinya membina budi pekerti dan membina otak, bagi orang yang sama sekali tidak pernah mendapatkan didikan dan
ajaran agama ataupun tidak pernah mempelajari agama itu sendiri, maka kebiasaan hidupnya dengan sendirinya tidak dilandasi oleh ajaran-ajaran
30
Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Moral dan Masalahnya Yogyakarta: Kanisius, 1990, h.13.
31
Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, h. 31.
32
K. Bertens, Etika Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 38.