Karakteristik Petani Responden Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial

7.2. Karakteristik Petani Responden

Pada penelitian ini yang menjadi kriteria untuk identifikasi petani responden terdiri atas beberapa aspek diantaranya yaitu; umur, tingkat pendidikan pengalaman berusahatani, luas areal tanaman lada putih dan umur tanaman lada putih yang menggunakan tiang panjat hidup. Untuk lebih jelasnya, karakteristik dari petani responden dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik Petani Responden Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No Uraian Rendah Tinggi 1. Umur tahun 28 63 2. Pendidikan Formal SD SMASMK 3. Pengalaman berusahatani lada putih tahun 5 35 4. Luas areal hektar 0.25 1 5. Umur tanaman lada putih tahun 3 10 Berdasarkan Tabel 7, memperlihatkan bahwa umur petani responden berkisar antara 28 tahun untuk yang terendah dan tertinggi berumur 63 tahun. Dari segi pendidikan formal, petani responden mempunyai tingkat pendidikan beragam mulai dari tamatan SD sebesar 22.2 persen, tamatan SMP sebesar 22.2 persen dan tamatan SMASMK sebesar 55.6 persen. Pengalaman usahatani responden beragam mulai dari 5 tahun sampai dengan 35 tahun, pengalaman ini didapat dari pengalaman orang tua terdahulu yang masih menggunakan tiang panjat mati untuk lada putihnya.Luas tanaman lada putih responden mulai dari 0.25 hektar atau 22.2 persen, 0.5 hektar atau 22.2 persen dan seluas 1 hektar 55.6 persen. Jarak tanam lada putih yaitu 2.5m x 2.5m, kalau dikonversikan dengan jumlah tanaman sebanyak 2 000 batang per hektar tanaman lada putih. Sedangkan sebaran umur tanaman lada putih petani responden bervariasi, mulai terendah berumur 3 tahun atau 33.3 persen, kemudian umur tanaman 4, 5, 6 dan 8 tahun atau masing - masing sebesar 11.1 persen dan umur tanaman lada putih tertinggi yaitu 10 tahun atau 22.2 persen dari total petani responden.

7.3. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial

Tingkat efisiensi dan kemampuan daya saing lada putih di Provinsi Bangka Belitung dapat dijelaskan dengan menggunakan matrik analisis kebijakan PAM. Matrik ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Menurut Mubyarto 1986, didalam mengelola usahataninya seorang petani memerlukan sejumlah input yang berupa biaya produksi. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan aktivitas budidaya tanaman lada putih sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Komponen biaya yang digunakan pada pengusahaan tanaman ini cukup beragam mulai dari biaya pembukaan kebun, pengadaan bibit, pupuk, tenaga kerja, tiang panjat atau tajar dan lainnya. Berdasarkan Tabel 8, untuk setiap tahunya siklus tanaman lada putih yaitu 10 tahun rata - rata biaya yang dikeluarkan petani terbesar dialokasikan untuk tenaga kerja baik secara finansial maupun ekonomi. Hal ini lebih disebabkan oleh mahalnya upah tenaga kerja di provinsi Bangka Belitung. Rata-rata upah tenaga kerja pria Rp. 70 000 per hok 7 jam kerja, sedangkan untuk wanita Rp. 50 000 per hok 7 jam kerja, biasanya tenaga kerja wanita digunakan pada saat panen. Proporsi terbesar penggunaan tenaga kerja pada saat tahun pertama yaitu pembukaan lahan yang terdiri dari tebas tebang, pembakaran, manduk, membuat lobang tanam dan lain-lain, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8, yang dirujuk dari Lampiran 7 dan Lampiran 8. Tabel 8. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Finansial dan Ekonomi Lada Putih per HektarThn di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No Uraian Finansial Ekonomi Jmlh Nilai Rp Jmlh Nilai Rp

A. Penerimaan

33 017 722 38 094 282

B. Biaya Input

1. Bibit Lada Btg 200 1 000 000 4.3 200 1000000 3.7 2. Tiang panjat hidup Btg 200 400 000 1.7 200 400000 1.5 3. Pupuk Kg Organik 1000 5 000 000 21.3 1000 5 000000 18.5 Urea 490 784 000 3.3 490 2254000 8.4 SP36TSP 583 1 166 000 5 583 3964400 14.7 KCL 614 3 561 200 15.2 614 3656370 13.6 Dolomit 36 36 000 0.15 36 36000 0.1 4. Tenaga Kerja Hok 158 10 142 444 44 158 9 502 460 35.2 5 Penyusutan Peralatan 1.6 106 000 0.46 1.6 106 000 0.4 6. Sewa Lahan 1 1 000 000 4.3 1 1000000 3.71 7. Pajak 1 50 000 0.2 1 50000 0.19

C. Total Biaya

23 245 644 100 26 969 230 100 Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pupuk organik rata-rata sebesar Rp. 5 000 000 per tahun. Penggunaan pupuk organik lebih diutamakan dibandingkan dengan pupuk anorganik, hal ini disebabkan bahwa kondisi tanah di Provinsi Bangka Belitung didominasi podsolik yang merupakan tanah dengan pH tingkat kemasaman yang rendah dan kandungan Al yang tinggi. pH yang rendah menyebabkan ketersediaan hara menurun, sedangkan Al yang tinggi dapat meracuni tanaman Sasmita dan Rusli, 2009. Selain itu juga untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia, dikarenakan harganya lebih mahal dan ketersediaanya terbatas. Harga pupuk organik di Provinsi Bangka Belitung masih tergolong tinggi dan jumlahnya sangat terbatas. Untuk itu usaha lada putih lebih intensif jika diintegrasikan dengan ternak, disamping tersedianya pakan ternak, sehingga dapat menurunkan biaya pembelian pupuk organik. Selanjutnya proporsi terbesar berikutnya adalah penggunaan pupuk kimia, selain penggunaan pupuk organik tanaman lada putih juga dibantu pemupukan dengan pupuk anorganik, penggunaan pupuk anorganik sebaik mungkin untuk diminimalisirkan, penggunaan pupuk anorganik untuk lebih cepat memacu pertumbuhan tanaman lada putih. Seiring dengan penelitian Marwoto 2003, mengatakan bahwa tingginya biaya operasional lada putih lebih disebabkan karena tingginya biaya pemupukan, pada umumnya kesuburan tanah sangat rendah sehingga pemupukan yang sesuai mutlak dilakukan. Karakteristik petani di Bangka Belitung dalam hal pemupukan anorganik tergantung pada harga lada putih, semakin tinggi harga lada maka semakin tinggi pemberian pupuknya. Tanaman lada awal berproduksi pada tahun ke-3, namun penerimaan tahun ke-3 belum mampu menutupi biaya investasi yang dikeluarkan petani selama tahun ke-1 dan ke-2. Tingkat penerimaan tertinggi pada pengusahaan komoditas lada putih dicapai pada produksi tahun ke-6 dengan penerimaan sebesar Rp. 58 200 000 per hektar analisis finansial dan Rp. 67 148 400 per hektar analisis ekonomi. Sedangkan penerimaan terendah pada tahun ke 10 sebesar Rp. 22 310 000 per hektar Finansial dan sebesar Rp. 25 740 220 ekonomi untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Namun, secara rata-rata siklus 10 tahun penerimaan usahatani lada secara finansial sebesar Rp. 33 017 722 per tahun, sedangkan penerimaan usahatani lada secara ekonomi sebesar Rp. 38 094 282 per tahun. Adanya perbedaan penerimaan petani yang cukup tinggi antara penerimaan secara ekonomi bila dibandingkan dengan penerimaan secara finansial, hal ini lebih dikarenakan adanya perbedaan harga output lada baik secara ekonomi dan finansial.

7.4. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial