mengeluarkan biaya produksi lebih besar 2.6 persen dari opportunity cost untuk produksi sehingga terjadi pengurangan penerimaan.
Lebih rendahnya nilai tambah yang diterima produsen daripada harga sosialnya yang seharusnya diterima kemungkinan disebabkan karena faktor
– faktor : 1 tingkat permodalan petani yang terbatas berdampak pada pemenuhan
harga input, 2 tingkat pendidikan masih rendah, berpengaruh terhadap adopsi tekhnologi, 3 pemberdayaan kelembagaan petani belum maksimal, 4 masih
panjangnya rantai pemasaran, sehingga margin penjualan banyak dinikmati pedagang, dan 5 petani lebih menjual dalam produk primer, dan pengembangan
diversifikasi produk belum berkembang.
7.7. Perubahan terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih
Gittinger 1986 mengemukakan bahwa meneliti kembali suatu analisis dengan tujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi sebagai akibat keadaan
yang berubah - ubah disebut dengan analisis kepekaan sensitivity analysis. Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis dalam metode PAM merupakan
analisis yang bersifat statis. Analisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kepekaan efisiensi dalam usahatani lada putih terhadap perubahan pada komponen
- kompenen yang sangat berpengaruh dalam usahatani lada putih, dalam hal ini yang berpengaruh nyata yaitu input pupuk dan perubahan output.
Pada penelitian ini dilakukan analisis kepekaan untuk mengantisipasi adanya perubahan lingkungan strategis, kebijakan pemerintah, struktur biaya
produksi dan produktivitas terhadap keuntungan dan daya saing lada putih sangat penting dilakukan, sehingga dapat diketahui jika terjadi perubahan pada aspek -
aspek tersebut, apakah memproduksi lada putih di Bangka Belitung masih lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan impor.
Analisis kepekaan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 skenario mencakup : 1 perubahan pada harga output sebesar 20 persen,
2 perubahan harga input khususnya pupuk sebesar 20 persen, dan 3 perubahan pada produksi tanaman lada sebesar 20 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan
asumsi harga input lainnya tetap ceteris paribus. Secara keseluruhan, dari 3 skenario kebijakan, kondisi yang paling tidak menguntungkan petani di Provinsi
Bangka Belitung adalah ketika produksi lada putih turun 20 persen dan harga output turun 20 persen atau sensitif terhadap perubahan produksi dan harga ouput.
Tabel 14. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No Skenario
Keuntungan RpHa Privat
Sosial
1 Kondisi normal
25 454 038 29 728 670
2 Produksi turun 20 persen
-3 410 123 -3 573 420
3 Harga output turun 20 persen
-3 404 820 -3 567 302
4 Harga pupuk naik 20 persen
15 236 808 15 331 977
Berdasarkan Tabel 14, penurunan produksi lada putih 20 persen menyebabkan keuntungan petani keuntungan privat dan sosial menjadi negatif
atau sensitif terhadap perubahan produksi. Hal ini juga terjadi pada penurunan harga output sebesar 20 persen menyebabkan keuntungan petani menjadi negatif
baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Penurunan harga output sebesar 20 persen dari kondisi harga normal yaitu Rp. 48 500 menjadi Rp. 38 800
per kilogram harga privat dan Rp. 55 957 menjadi Rp 44. 766 per kilogram harga sosial, membuat keuntungan petani menjadi negatif. Kondisi ini
menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak layak lagi untuk diusahakan karena memberikan keuntungan yang negatif. Kita ketahui bahwa
harga lada putih merupakan insentif bagi petani untuk berproduksi, ketika harga lada putih turun menyebabkan kemampuan petani untuk membeli sarana produksi
menjadi menurun bahkan tidak mampu lagi, sehingga berdampak pada penurunan produksi dan intensitas pengelolaan kebun lada putih.
Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak mempengaruhi pendapatan petani, artinya kenaikan harga pupuk tidak sensitif terhadap keuntungan petani
baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen menyebabkan keuntungan petani menurun sebesar Rp. 15 236
808 atau 59.8 persen keuntungan privat dan Rp. 15 331 977 atau 51.6 persen keuntungan sosial dari keuntungan normalnya.Walaupun harga pupuk naik
sebesar 20 persen, usahatani lada putih di Bangka Belitung masih layak untuk diusahakan. Kenaikan harga pupuk dapat diantisipasi petani dengan mengurangi
penggunaan pupuk kimia dan meningkatkan penggunaan pupuk alternatif seperti pupuk kandang. Hal ini seiring dengan gerakan pengembangan lada putih di
Provinsi Bangka Belitungbahwa budidaya secara tradisional yang selama ini dilakukan oleh petani lada putih dengan biaya produksi yang cukup tinggi
khususnya penggunaan pupuk, maka harus mengubah pola budidaya lada putih sesuai dengan anjuran menuju budidaya yang ramah lingkungan. Budidaya ramah
lingkungan ini dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia digantikan dengan pemanfaatan pupuk organik dan biomasa hasil pangkasan tajar hidup.
Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing lada putih di Provinsi Bangka Belitung apabila terjadi perubahan faktor internal maupun
eksternal, apakah usahatani lada putih masih memiliki daya saing. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing lada putih dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011
No Skenario
Nilai PCR
DRCR
1 Kondisi normal
0.813 0.805
2 Produksi turun 20 persen
1.032 1.030
3 Harga output turun 20 persen
1.031 1.029
4 Harga pupuk naik 20 persen
0.89 0.90
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan petani lada putih berada pada kondisi paling tidak berdaya saing adalah ketika produksi
lada putih dan harga output turun sebesar 20 persen. Kondisi lain yang dapat ditunjukkan oleh analisis sensitivitas adalah yang paling sensitif terhadap
perubahan daya saing yaitu jika terjadi perubahan produksi dan perubahan harga lada putih, menyebabkan usahatani lada putih tidak memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Penurunan produksi dan harga lada putih sebesar 20 persen menyebabkan nilai PCR dan DRCR lebih besar dari satu, hal ini berarti
usahatani lada putih di Provinsi Bangka Belitung tidak efisien untuk diproduksi baik secara finansial maupunekonomi, karena memboroskan sumberdaya.
Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah dengan mengembangkan paket teknologi budidaya lada putih sesuai anjuran yakni; penggunaan varietas unggul,
penggunaan parit keliling dan saluran drainase, pemangkasan sulur yang teratur sampai umur produktif, pemangkasan tajar diawal dan diakhir musim hujan,
pembuangan sulur inferior dan cabang bawah, penanaman penutup tanah Arachis Pintoi
dan pagar keliling rumput gajah, pemupukan yang berimbang dengan
pupuk anorganik dan organik, pengendalian hama penyakit yang ramah lingkungan, dan panen yang tepat.
Sedangkan kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen tidak sensitif terhadap perubahan daya saing lada putih baik PCR maupun DRCR. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai PCR dan DRCR lada putih lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa usahatani lada putih masih memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan
komparatif. Walaupun terjadi kenaikan harga pupuk, usahatani lada putih masih memiliki kemampuan membayar faktor domestik pada harga privat dan sosial.
Dikarenakan harga output lada putih ditentukan berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran lada putih di tingkat dunia dan terjadi pada pasar
persaingan sempurna. Untuk mempertahankan agar harga lada putih pada kondisi stabil sehingga adanya insentif bagi petani lada putih, oleh karena itu perlu
mekanisme kebijakan yang harus dilakukan yaitu pertama, mendorong perkembangan pangsa pasar domestik, selama ini lada putih di ekspor ke negara-
negara Eropa, Amerika Serikat, serta Asia. Untuk itu pentingnya memperluas pangsa pasar domestik khususnya industri rumah makan serta peningkatan
konsumsi rumah tangga. Kedua, mendorong industri pengolahan hasil lada putih agroindustri, selama ini ekspor lada putih ke negaraimportir dalam bentuk
primer biji lada putih kering sehingga nilai tambah industri lada dinikmati negara importir. Untuk itu perlu pengembangan diversifikasi lada putih pada
tingkat industri,agar petani dapat memperoleh nilai tambah dari produksinya. Ketiga,
mendorong perubahan pola budidaya lada putih konvensional menuju pola budidaya lada organik sesuai dengan permintaan pasar. Sudah waktunya
mengembangkan peluang pasar baru dengan pengembangan lada putih organik.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN