Singapura hanya sekitar 15 000 ton, dan bahkan pada tahun 2010 impor lada ke Singapura sebesar 14 000 ton. Hal ini disebabkan karena negara produsen telah
mengekspor lada mereka langsung ke negara tujuan tanpa melalui Singapura.
5.2. Perkembangan Lada Putih di Indonesia
5.2.1. Produksi lada Putih Indonesia
Sejauh ini produksi lada bertumpu pada lada putih dan lada hitam. Lada putih terutama dihasilkan di daerah yang memiliki sumber air berlimpah untuk
proses perendaman seperti Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Tengah Direktorat Jendral Perkebunan, 2007. Sampai
dengan tahun 2011, areal pengembangan lada diduga sekitar 194 519 ha dengan produksi sekitar 91 668 ton. Saat ini usahatani lada putih dan hitam tersebar di
30 provinsi dan melibatkan sekitar 330 372 Kepala Keluarga KK petani. Apabila satuKK diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga maka usahatani lada
mampu menghidupi sekitar 1.6 juta warga di pedesaan yang sebagian besar berada di Lampung dan Bangka Belitung.
Berdasarkan data penyebaran areal lada di Indonesia, 54 persen dari areal ladatersebut berada di Lampung dan Bangka - Belitung. Apabila digabung
dengan Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, proporsi luas arealnya menjadi 73 persen dari total lada Indonesia, sisanya sebesar 29 persen
berada di provinsi lainnya. Produksi lada putih Indonesia pada tahun 2009 sebesar 33 790 ton dengan total luas areal tanaman lada putih sebesar 76 028
hektar. Sedangkan pada tahun 2010 terjadinya penambahan luas areal tanaman lada putih sebesar 79 693 hektar, sementara produksi lada putih mengalami
penurunan produksi sebesar 32 885 ton. Untuk lebih jelasnya luas lahan dan produksi lada hitam dan putih per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.
5.2.2. Ekspor dan Impor Lada Putih Indonesia
Volume ekspor lada Indonesia selama periode 2000 sampai 2010 mengalami trend penurunan dari 63 938 ton tahun 2000, menjadi 63.000 ton pada
tahun 2010. Rata - rata penurunan ekpor lada Indonesia sebesar 1.34 persen per tahun. Penurunan terjadi di kedua jenis lada yang diekspor, hitam dan putih.
Ekspor lada putih Indonesia di tujukan kepada negara - negara di Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Ocenia. Berdasarkan International Pepper Community
tahun 2009, bahwa rata-rata ekspor lada Indonesia terbesar ke Asia sebesar 64 persen, selanjutnya ke Eropa sebesar 21 persen, ke Amerika sebesar 14 persen,
dan sisanya ke Afrika dan Oceania sebesar 0.7 persen dan 0.4 persen. Impor lada Indonesia mengalami peningkatan selama periode 2000 - 2009. Awalnya hanya
707 ton pada tahun 2000, namun pada tahun 2001 sampai 2002 terjadi lonjakan impor lada Indonesia sebesar 3308 ton dan 2279 ton. Kemudian Pada tahun2004
impor lada turun hanya 339 ton, selanjutnya tahun 2009 terjadi kenaikan impor lada di Indonesia sebesar 3327 ton.
Perkembangan harga lada di pasar dunia cenderung fluktuatif. Harga lada hitam tahun 2000 mencapai US 4 024 per ton, turun menjadi US 1 451 per ton
pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi US 3 677 per ton pada tahun 2006. Pola serupa juga terjadi pada harga lada putih, yaitu sebesar US 3 933 per
ton tahun 2000, turun menjadi US 2 219 per ton tahun 2005, kemudian meningkat lagi mencapai US 5 666 per ton pada tahun 2010 International
1000 2000
3000 4000
5000 6000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 U
S M
T
tahun
Lada Putih Lada Hitam
Pepper Community, 2011. Untuk lebih jelasnya perkembangan harga lada hitam dan putih dunia dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber : International Pepper Community, 2010.
Gambar 10. Perkembangan Harga Lada Hitam dan Putih Dunia, Tahun 2000-2010
Perkembangan harga lada putih dan hitam di dunia berpengaruh terhadap harga lada putih dan hitam domestik khususnya pada daerah sentra
produksi lada putih di provinsi Bangka Belitung. Kondisi ini mengakibatkan harga lada putih dan hitam domestik mengalami fluktuatif. Perkembangan
harga lada putih domestik tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar Rp. 100 000 per kilogram. Kenaikan ini, disebabkan oleh adanya krisis ekonomi moneter
yang dialami Indonesia, yang menyebabkan nilai rupiah terhadap dolar melemah depresiasi. Pasca krisis moneter, kondisi harga lada putih domestik mengalami
penurunan, dan puncaknya pada tahun 2006 harga lada putih turun hingga terendah sebesar Rp. 22 000 per kilogram. Namun sejak tahun 2007 harga lada
putih meningkat berkisar Rp. 40 000 per kilogram Daras dan Pranowo, 2009. Bahkan pada tahun 2009, harga lada putih rata - rata berkisar Rp. 37 000 per
kilogram dan tahun 2010 kisaran harga lada putih sebesar Rp. 46 000 - Rp. 50 000 per kilogram.
5.2.3. Sistem Agribisnis Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung
Suatu sistem adalah sekumpulan entitas, bisa dalam wujudnya atau dalam bentuk abstrak, yang secara keseluruhan menunjukkan adanya hubungan interaksi
satu dengan lainnya untuk menghasilkan tujuan tertentu. Sistem agribisnis merupakan totalitas atau kesatuan kinerja yang terdiri dari subsistem input dan
sarana produksi, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, subsistem penunjang. Pembahasan sistem agribisnis lada putih di
provinsi Bangka Belitung dilakukan melalui studi pustaka desk study penelitian - penelitian terdahulu di provinsi Bangka Belitung.
5.2.3.1. Subsistem Input dan Sarana Produksi
Subsistem ini mencangkup kegiatan pengadaaan bibit, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian. Industri pembibitan tanaman lada putih yang dapat
menjamin pasokan, mutu dan harga yang terjangkau di provinsi Bangka Belitung belum ada. Petani umumnya masih menggunakan bibit dari kebun sendiri atau
pekebun lainnya. Sementara itu, pemerintah telah mensertifikasi 7 varietas bibit unggul lada putih yaitu natar 1, natar 2, petaling, petaling 2, chunuk rs, lampung
daun kecil rs dan bengkayang. Sedangkan untuk pupuk keberadaannya masih terbatas berdasarkan pengajuan kelompok untuk pupuk subsidi.
Menurut Listyati 2009, permasalahan pengadaan sarana produksi belum efisien, bibit unggul dan pupuk sulit diperoleh dan keberadaanya kurang tepat
waktu. Yuhono 2009 menambahkan bahwa sentra-sentra produksi lada putih masih mengalami hambatan dalam memperoleh sarana produksi yang dibutuhkan.
Pupuk urea, SP36, KCL, dolomit dan pestisidapada umumnya hanya tersedia di
Ibu Kota Kabupaten. Pada umumnya lembaga - lembaga yang terkait dalam pengadaaan sarana produksi di pedesaan seperti kelompok tani yang tergabung
dalam Asosiasi Petani Lada Indonesia APLI, koperasi, lembaga sosial desa dan lainya masih kurang berperan. Terbatasnya modal, informasi, bimbingan dan
akses atau kemudahan menjadi kendala utama dalam pengadaan saran produksi.
5.2.3.2. Subsistem Usahatani LadaPutih
Pada umumnya teknologi budidaya lada putih di Provinsi Bangka Belitung masih konvensional yaitu masih didasarkan pada kebiasaantradisi nenek
moyang secara turun temurun. Tanaman lada putih saat ini dibudidayakan dalam dua bentuk yaitu; budidaya dengan menggunakan tiang panjat mati dan budidaya
tiang panjat hidup. Di Provinsi Bangka Belitung sendiri sebagian besar 98.4 persen menggunakan tiang panjat mati Zaubin dan Yufdi 1996 dalam Ibrahim et
al, 2009. Penggunaan tiang panjat mati saat ini dirasakan sangat tidak ekonomis
karena disamping harga tiang panjat mati yang mahal yaitu berkisar Rp. 15 000 - Rp. 25 000 jenis mendaru, melangir dan kayu besi dan biasanya hanya bertahan
selama 3 - 4 tahun, penggunaan pupuk dan pestisida juga menjadikan biaya produksi penggunaan tiang panjat mati lebih tinggi dibandingkan dengan tiang
panjat hidup. Selain itu penggunaan tiang panjat mati juga berdampak pada kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon - pohon.
Upaya meningkatkan produktivitas lada putih di Bangka Belitung sebesar 1.5 - 2 ton per hektar, dianjurkan menggunakan tiang panjat hidup. Jenis tiang
panjat yang disarankan adalah gamal Glyricidia maculata HBK dan dadap cangkring Eiythrina fusca Lour. Hasil biomas pangkasan tiang panjat bisa
dibenamkan akan meningkatkan kesuburan tanah, merangsang pertumbuhan, dan
perkembangan mikroorganisme tanah yang jika disertai dengan pemberian pupuk kandang akan mempercepat proses pembusukan sehingga dapat menghambat
perkembangan patogen dalam tanah Wahid et al, 2006. Budidaya lada putih di Bangka Belitung perlu mendapat perhatian khusus
karena pendapatan dari lada putih menjadi sumber penghasilan utama petani pasca tambang timah. Pemeliharaan dilakukan secara tradisional dengan investasi yang
sangat tinggi tetapi produksi masih rendah, sehingga perlu adanya upaya untuk menerapkan budidaya anjuran secara lebih optimal. Budidaya anjuran merupakan
penyempurnaan dari budidaya tradisional dengan menerapkan prinsip : 1. Penggunaan Variatas Unggul
Varietas lada yang telah dilepas adalah natar 1, natar 2, petaling 1, petaling 2, chunuk rs, Lampung Daun Kecil LDK rs dan bengkayang. Khusus untuk di
Bangka Belitung dianjurkan menggunakan verietas petaling1, petaling 2, lampung daun kecil RS dan chunuk RS, dikarena vareitas tersebut unggul lokal asal
Bangka Belitung. 2. Penggunaan Parit Keliling dan Saluran Drainase
Tanaman lada kurang baik pada areal yang tergenang, oleh sebab itu saluran drainase dan parit keliling sudah menjadi keharusan yang dilakukan oleh
petani. Sebagai langkah pengamanan lahan supaya tidak berlebihan air, saluran drainase dengan ukuran lebar 30 cm, dalam 20 cm dan parit keliling yang
berukuran lebar 40 cm dalam 30 cm. 3. Pemangkasan Sulur yang Teratur Sampai Umur Produktif
Pada umur 11 - 12 bulan diawal usim hujan dilakukan pemangkasan sulur, lebih kurang 30 - 50 cm dari permukaan tanah, setek hasil pemangkasan
berupa setek tujuh ruas digunakan sebagai benih tanaman berikutnya untuk perluasan areal tanaman lada. Tanaman lada muda yang telah tumbuh mencapai
8 - 9 buku, dilakukan pemangkasan pada ketinggian 30 - 50 cm dari permukaan tanah untuk merangsang pembentukan sulur panjat baru. Pemangkasan
berikutnya dilakukan apabila telah mencapai 7 - 9 buku 8 bulan. Selanjutnya dilakukan pemangkasan secara rutin sampai umur produksi 2 tahun, sehingga
akan terbentuk kerangka tanaman yang mempunyai banyak cabang produktif. 4. Pemangkasan Tajar Diawal dan Diakhir Musim Hujan
Tajar tiang panjat memberikan naungan sehingga kondisi iklim mikro dibawahnya ikut terpengaruh yang berakibat keseluruhan aspek agronomis
tanaman, tetapi intensitas sinar matahari yang dibutuhkan tanaman lada putih 50 - 70 persen senantiasa dipertahankan. Oleh karena itu, disarankan agar tajar tiang
panjat dipangkas 2 kali dalam setahun, yaitu diawal musim hujan dan akhir musim hujandengan meninggalkan 2 - 3 cabang untuk menghadapi musim
kemarau. Hasil pangkas berupa biomas dapat bermanfaat untuk menambah bahan organik tanah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi serapan hara.
5. Pembuangan Sulur Inferior dan Cabang Bawah Sulur gantung adalah sulur panjat yang tumbuhnya tidak melekat pada
tajar, karena tidak dilakukan pengikatan, sehingga tumbuh menggantung. Sulur cacing atau sulur tanah adalah sulur panjat yang tidak melekat pada tajar dan
tumbuh menjalar di permukaan tanah. Sulur gantung dan sulur cacing merupakan sulur yang bersifat parasit inferior yang turut menguras makanan tapi tidak
produktif, oleh sebab itu sulur tersebut harus selalu dibuang secara rutin. Cabang - cabang yang menutupi tanah pada pangkal batang harus dipangkas.
6. Penanaman Penutup Tanah Arachis Pintoi dan Pagar Keliling Rumput Gajah Penyiangan yang dianjurkan adalah penyiangan terbatas yaitu hanya
menyiangi gulma di sekitar batang tanaman tajuk, dengan maksud diantara tanaman lada tetap ada tanaman yang dikendalikan dengan cara memangkas.
Tanaman yang dikendalikan ini adalah penutup tanah arachis pintoi yang berfungsi sebagai pencegah erosi permukaan tanah, pengendali hama penyakit dan
sebagai sumber pakan ternak. 7. Pemupukan yang Berimbang dengan Pupuk Anorganik dan Organik
Lada merupakan tanaman yang membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang relatif banyak. Untuk memperoleh pertumbuhan dan hasil yang tinggi
diperlukan dosis pemupukan yang tinggi dengan unsur - unsur yang seimbang. 8. Pengendalian Hama Penyakit yang Ramah Lingkungan
Hama yang menyerang tanaman lada terdiri dari penggerek batang, penghisap buah dan penghisap bunga. Hama penggerek batang Lophobarsis
piperis tersebar di seluruh daerah pertanaman lada di Indonesia. Penggerek
batang merupakan hama yang paling merugikan. Larvanya menggerek batang dan cabang, sedangkan serangga dewasanya menyerang bagian tanaman seperti
pucuk, bunga dan buah, sehingga dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi. Pengendalian hama penyakit tanaman lada dilakukan dengan
menggunakan musuh alami seperti yang terdapat pada penutup tanah tanaman. 9. Panen yang Tepat
Memproduksi lada putih, dengan cara buah lada dipetik setelah 8 - 9 bulan, bunga muncul ditandai oleh sebagian buah dalam satu tandan sudah
bewarna kuning kemerahan.
5.2.3.3. Subsistem Pengolahan Lada Putih
Dalam sistem perdagangan internasional, mutu produk memegang peranan yang sangat penting, Lada putih, sebagai komoditas yang banyak
diperdagangkan juga tak lepas dari kondisi tersebut. Artinya komoditas lada putih yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan oleh negara -
negara importir lada putih. Dengan demikian penanganan pascapanen harus ditangani dengan serius.
Pengolahan lada putih di provinsi Bangka Belitung tergolong masih sangat tradisional. Pengolahan secara tradisional memerlukan waktu yang cukup
lama, air yang bersih dan tenaga yang banyak. Kita ketahui bahwa jenis produk lada putih yang dihasilkan petani sangat tergantung pada cara dan pengolahan
hasilnya. Untuk memproduksi lada putih petani biasanya mengolah dengan cara merendam, merontok, mengupas, menjemur lada putihnya sendiri. Seringkali
dalam melakukan perendaman, air yang digunakan tidak bersih atau air tidak mengalir, dan pengupasan umumnya dilakukan dengan cara menginjak - nginjak
karung lada putih mengakibatkan aroma lada putih kurang tajam, sehingga mutu lada putih yang dihasilkan menjadi rendah dan banyak mengandung lada hitam
Wahid et al, 2006 . Hal ini menyebabkan harga lada putih yang baik dengan lada putih yang
tercampur lada hitam berbeda Rp. 1 500 per kilogram. Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada putih dipasar dunia perlu dilakukan perbaikan
pengolahan dan penerapan sistem manajemen mutu ditingkat petani. Padahal saat ini sudah banyak tersedia alat-alat pengolahan lada putih secara mekanis seperti
alat pengupas, alat perontok, pengering, sortasi dan alat penyulingan minyak.
90
5.2.3.4. Subsistem Pemasaran Lada Putih
Pada umumnya sistem pemasaran lada putih di Provinsi Bangka Belitung lebih mengarah pada transaksi pada alur pemasaran yang tetap, yaitu petani
menjual lada putih pada pedagang pengumpul desa, dari pedagang pengumpul desa dijual ke pedagang kotakecamatan, kemudian dari pedagang besarkota
dijual ke pedagang besar atau eksportir. Berdasarkan wawancara dengan pengurus AELI Asosiasi Ekspor Lada Indonesia hampir 90 persen lada putih
Bangka Belitung diekspor ke negara negara Eropa, Amerika dan Asia. Sedangkan 10 persen lada putih Bangka Belitung diperdagangkan antar daerah pulau.
Gambar 13, diagram alur pemasaran lada putih di Provinsi Bangka Belitung.
10 Gambar 13. Saluran Tataniaga Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung
Berdasarkan hasil wawancara dengan lembaga pemasaran pedagang pengumpul desa dan kecamatankota, masing-masing lembaga pemasaran
tersebutmemperoleh marjin keuntungan antara Rp. 1 500-Rp. 2 000 per kilogram.
5.2.3.5. Subsistem Penunjang
Dalam kegiatan agribisnis atau usahatani, faktor kelembagaan mutlak diperlukan untuk mengatasi masalah dan kendala yang dihadapi, dimana
kelembagaan merupakan wadah yang dibentuk untuk mengelola sumberdaya yang
Pedagang
Pedagang Besar
eksportir PETANI
Pedagang desa Pengumpul
Antar Pulau Ekspor
dimiliki secara optimal, baik itu kelembagaan formal maupun non formal, yang semuanya mempunyai pola aturan, tatacara, adat istiadat, struktur organisasi, dan
pengelolaan yang berbeda. Beberapa bentuk lembaga penunjang agribisnsi lada putih di Bangka Belitung lain adalah: penyuluh pertanian, kelompok tani dan
Gabungan Kelompok Tani Gapoktan, koperasi unit desa, pasar, dan lembaga perbankan atau keuangan serta badan pengelolaan, pengembangan dan pemasaran
Lada Putih BP3L. Jaringan kelembagaan agribisnis lada putih di Bangka Belitung ini secara
keseluruhan masih tergolong lemah dan belum berjalan dengan baik, terutama peran kelompok tani, koperasi unit desa dan lembaga perbankan. Untuk itu
kelompok tani yang ada sebaiknya mendapat bimbingan yang lebih intensif, agar dapat lebih mengaktifkan kegiatannya dan lebih mandiri, namun tetap terorganisir
dengan baik dalam mengelola usaha pertaniannya. Selain itu, koperasi pertanian yang telah dibentuk oleh dinas pertanian terkait juga belum dimanfaatkan secara
maksimal dan pihak perbankan sebagai lembaga perkreditan juga belum dimanfaatkantersentuh oleh petani. Agar semua lembaga berperan aktif, maka
peran penyuluh pertanian lapangmenjadi ujung tombak untuk lebih aktif lagi dalam membina kelompok taninya.
Upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan pemasaran lada putih di Bangka Belitung, pada tahun 2010 berdasarkan surat keputusan
gubernur Bangka Belitung telah dibentuk suatu badan yang secara khusus menangani lada putih di Bangka Belitung yaitu Badan Pengelolan, Pengembangan
dan Pemasaran Lada BP3L. Selama berdirinya BP3L telah memperjuangkan lada putih Muntok whiter peper memperoleh sertifikat indikasi geografis SIG.
VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH