produksi ladanya untuk memenuhi kebutuhan pasaran dunia seperti India, Malaysi, Srilanka dan Brazil berhasil memperbesar produksi dan ekspornya
Siswoputranto, 1976. Rismunandar 1990 mengatakan bahwa perkembangan lada sejak awal
abad 19 hingga lahirnya Orde Baru di Indonesia mengalami pasang surut, sebagai akibat dari gejolak perang maupun harga lada di dunia. Sejak tahun 1929
produksi lada berpusat di Lampung dan Bangka dengan ekspor dalam tahun 1931 sebanyak 25 000 ton dan 27 000 ton untuk tahun 1937, dan dinyatakan bahwa
harga lada yang tinggi terjadi dalam periode 1925 - 1930 sehingga pada tahun tersebut merupakan pendorong utarna bagi perluasan lahan di kedua daerah
tersebut. Selain yang dihasilkan di daerah Lampung dan Bangka sebagian produksi lada di Indonesia diperoleh dan daerah-daerah Sumatera Selatan,
Kalimantan Timur. Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatena Barat dan Jawa Barat yang umumnva merupakan usaha petani rakyat, kecuali kebun-kebun yang terdapat di
daerah Bangka. Sampai saat ini Indonesia terkenal dengan Lampung Black Pepper dan
Muntok White Pepper . Lada putih dihasilkan terutama daerah Bangka sedangkan
lada hitam terutama dihasilkan didaerah lampung. Pada saat ini hasil tanaman lada diseluruh dunia diperjualbelikan dalam bentuk lada putih, lada hitam, buah
lada hijau yang dikerinngkan, buah lada hijau yang di canning, lada bubuk, minyak atsiri dan oleoresin Rismunandar, 1990.
2.2. Sejarah Tanaman Lada di Provinsi Bangka Belitung
Tanaman lada Piper nigrum L mulai dibudidayakan di daerah Bangka- Belitung sekitar abad ke-16 Masehi dan mulai dikembangkan besar-besaran
sekitar abad ke-18 Masehi. Pada daerah Bangka Belitung, pada mulanya lada ditanam di Kecamatan Muntok dan Jebus yang kemudian menyebar kearah barat
seperti Desa Dalil dan Kecamatan Petaling. Adanya serangan penyakit kuning dan penurunan kesuburan tanah mengakibatkan tanaman lada tidak dapat terus
bertahan didaerah dimana mula-mula ditanam. Pusat pertanaman lada saat ini ada di bagian Selatan Pulau Bangka yaitu di Kecamatan Payung dan Toboali. Adanya
varietas yang berkembang dengan nama Lampung Daun Lebar, Lampung Daun Kecil dan Jambi memberi indikasi bahwa pertanaman lada di Bangka berasal dari
daratan Sumatera. Komoditas lada menjadi salah satu daya tarik bangsa Eropa datang ke
Indonesia. Rempah-rempah itu semakin berkembang pesat sejak Belanda, melalui VOC, membuka kantor perdagangan di Palembang yang juga melingkupi wilayah
Bangka - Belitung. Sejak tiga abad lalu lada Bangka lebih dikenal di dunia internasional sebagai Muntok White Pepper. Nama Muntok merujuk pada nama
pelabuhan di Bangka Barat yang menjadi transit perdagangan lada dari daerah Bangka - Belitung ke dunia luar.
Lada merupakan tanaman yang pernah menjadi komoditas primadona di Pulau Bangka dan Belitung. Tidak sedikit masyarakat yang meningkat
kesejahteraan hidupnya lantaran bercocok tanam lada. Tanaman yang sudah dibudidayakan di Indonesia sejak zaman penjajahan ini juga telah mengharumkan
nama Pulau Bangka Belitung. Bagi pemerintah Bangka Belitung sendiri, tanaman ini sudah cukup banyak berperan dalam sejarah propinsi, jauh sebelum
memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Puncak kejayaan lada pernah tercapai pada saat bangsa ini mengalami krisis pemerintahan sekaligus krisis ekonomi
pada pertengahan tahun 1998. Di saat masyarakat Indonesia di kawasan lain sedang dilanda kesulitan ekonomi, masyarakat Bangka Belitung ber-euphoria
dengan berbagai kebutuhan barang mewah akibat tingginya harga jual lada, yaitu mencapai level Rp. 100 000 per kilogram. Sejalan dengan dimulainya kehidupan
sebagai propinsi baru di Indonesia, ketenaran komoditas ini pun mulai terkikis. Level harga Rp. 100 000 per kilogram pun seakan-akan hanya kenikmatan sekejap
mata karena perlahan-lahan harga jual lada menurun drastis sampai pernah bertahan lama pada level harga belasan ribu rupiah per kilogram.
2.3. Kebijakan Pengembangan Lada di Provinsi Bangka Belitung