Dampak Kebijakan Pemerintah DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

Secara keseluruhan bahwa pengusahaan lada putih di provinsi Bangka Belitung, baik dilihat dari nilai PCR dan DRCR memiliki keunggulan, baik secara kompetitif dan komparatif. Berarti petani di provinsi Bangka Belitung mempunyai kemampuan secara ekonomi dalam membiayai dan memproduksi lada putih dan secara finansial lada putih yang dihasilkannya dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi pasar aktual dimana terdapat intervensi atau kebijakan pemerintah dan distorsi pasar, komoditas lada putih mempunyai daya saing sehingga mampu bersaing di pasar internasional dibawah kondisi kebijakan perekonomian yang ada. Kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan daya saing lada putih di provinsi Bangka Belitung yaitu melalui gerakan pengembangan lada putih Gerbang Latih yang dicanangkan pemerintah daerah dalam meningkatkan kembali minat masyarakat untuk membudidayakan lagi lada putih, langkah operasional antara lain: rehabilitasi tanaman lada yang telah rusak dan terserang hama penyakit tanaman, subsidi bibit tanaman lada, subsidi pupuk serta pengembangan kebun induk tanaman lada. Selain itu juga perbaikan teknologi budidaya tradisional menuju budidaya ramah lingkungan sehingga dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga dapat bersaing.

7.6. Dampak Kebijakan Pemerintah

Insentif kebijakan atau intervensi pemerintah dalam produksi maupun pemasaran lada putih memberikan dampak pada produsen maupun konsumen. Dampak yang diberikan bisa saja berpengaruh positif maupun negatif terhadap masing - masing pelaku ekonomi tersebut. Pengaruh kebijakan juga dapat meningkatkan atau menurunkan produksi dan produktivitas usahatani. Analisis dampak kebijakan ini terdiri dari kebijakan input, kebijakan output dan kebijakan input-output. Sedangkan untuk melihat besarnya dampak kebijakan tersebut, digunakan beberapa indikator yaitu dari Transfer Output, NPCO, Transfer Input, Transfer Factor dan NPCI, sementara secara simultan pada indikator Net Transfer, Profitability Coeficient PC, Effective Protection Coeficient EPC dan Subsidy Ratio to Producer SRP.

7.6.1. Dampak Kebijakan Output Lada Putih

Adanya intervensi pemerintah mengakibatkan harga output berbeda antara harga yang diterima petani dengan harga dipasar International. Kebijakan pemerintah dalam komoditas output, biasanya terdiri dari kebijakan subsidi, pajak dan kebijakan perdagangan, seperti penerapan tarif ekspor atau impor dalam rangka melindungi kebutuhan dalam negeri. Untuk komoditas lada, tidak ada kebijakan subsidi, pajak atau tarif ekspor maupun tarif impor lada putih. Sehingga kebijakan perdagangan lada yang berlaku disesuaikan dengan perkembangan harga dunia berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran. Salah satu pendekatan untuk melihat dampak kebijakan output adalah kriteria transfer output TO, yang merupakan selisih antara penerimaan finansial dengan penerimaan ekonomi. Transfer outputmenunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial. Jika TO lebih besar dari nol TO 0 atau positif menunjukkan bahwa ada insentif masyarakat terhadap produsen artinya harga yang dibayarkan oleh konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya atau ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Dan apabila nilai TO negatif, tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga output sosial yang diterima produsen lebih tinggi dari harga privatnya atau harga internasional lebih tinggi dari harga domestik, sehingga masyarakat atau konsumen membeli harga lada putih lebih rendah dari yang seharusnya. Tabel 11, tampak bahwa dampak kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar bekerja pada kondisi pasar persaingan sempurna menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari petani lada putih ke konsumen lada maupun produsen input. Kondisi ini menyebabkan petani sebagai penerima harga price taker sedangkan pembeli menguasai harga di pasar, baik tingkat domestik maupun dunia. Mengingat pada pasar lada putih belum ada kebijakan pemerintah, maka transfer pendapatan diduga lebih banyak ditentukan oleh kegagalan pasar bekerja pada kondisi pasar persaingan sempurna. Nampak bahwa terjadi transfer pendapatan dari petani lada putih ke konsumen sebesar Rp. 22 185 619 per hektar. Hal ini seiring dengan penelitian Marwoto 2003, nilai TO negatif dapat diinterprestasikan bahwa harga lada ditingkat petani atau domestik lebih rendah dari harga di pasar internasional, terjadi aliran surplus dari petani ke eksportir atau konsumen akhir di negara importir. Salvatore 1997 mengatakan bahwa harga terbentuk karena adanya perpotongan antara kurva tawar-menawar antara kedua negara yang terlibat dalam perdagangan, sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang diinginkan sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Dengan demikian harga dunia sangat dipengaruhi oleh kekuatan - kekuatan yang mempengaruhi perubahan permintaan impor, perubahan penawaran ekspor atau karena kedua- duanya secara bersama-sama. Selanjutnya Pitaningrum 2005 dalam Soebtrianasari 2008, kekuatan mekanisme harga dipasar internasional dapat mempengaruhi mekanisme pasar domestik dan sebaliknya. Tabel 11. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Output Lada Putih, Tahun 2011 No Indikator Nilai 1 Transfer Output TO Rpha - 22 185 619 2 Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO 0.87 Hasil Transfer Output TO berhubungan erat dengan koefisien proteksi output nominal NPCO, merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Dalam kaitan itulah nilai NPCO menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efisiensi yang mengakibatkan terjadinya divergensi harga privat terhadap harga sosial. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu merupakan petunjuk bahwa pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efisiensinya atau dunia, sehingga terjadi penambahan penerimaan petani akibat adanya kebijakan yang mempengaruhi harga output.Nilai NPCO 1, berarti konsumen dan produsen dalam negeri menerima harga lebih murah dari harga seharusnya, sehingga terjadi pengurangan penerimaan petani. Namun mengingat sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah untuk perdagangan lada putih, maka output lada putih ini diduga kegagalan pasar menyebabkan harga yang diterima petani lebih rendah dari seharusnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCO untuk pengusahaan komoditas lada putih di provinsi Bangka Belitung kurang dari satuNPCO 1 sebesar 0.87. Seperti yang terlihat pada Tabel 11, artinya bahwa petani menerima harga lebih murah dari harga dunia, dimana harga jual lada putih di tingkat petani 13 persen lebih murah dari harga output yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, telah terjadi pengalihan pendapatan dari petani lada ke konsumen lada yaitu industri makanan, industri farmasi dan industri yang berbahan baku lada putih. Lebih rendahnya harga lada putih di tingkat petani dibandingkan dengan harga sosialnya yang seharusnya diterima adalah berkaitan dengan tiga faktor klasik, yaitu 1 lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan, sehingga rantai pemasaran panjang, 2 posisi tawar petani lemah sehingga petani menjadi penerima harga yang pasif, dan 3 mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global Novianti, 2002. Dengan adanya revitalisasi lada putih maka kebijakan pemerintah dalam mendorong perbaikan harga lada putih dapat ditempuh melalui kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil yaitu : 1 mempercepat adopsi teknologi pengolahan hasil yang higienis mutu tinggi, 2 fasilitasi penyediaan sarana pengolahan hasil di daerah sentra produksi lada, 3 pemanfaatan limbah pengolahan kulit buah lada putih sebagai bahan minyak lada, 4 promosi produk - produk lada Indonesia dengan memfokuskan pada keunggulannya seperti rasa dan aroma yang prima, dan 5 pengembangan jaringan pemasaran dalam negeri dan ekspor.

7.6.2. Dampak Kebijakan Input Lada Putih

Kebijakan input tradable dan nontradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan harga input lebih tinggi dan biaya produksi meningkat sehingga mengurangi pendapatan petani. Dampak subsidi menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga meningkatkan pendapatan petani. Dalam penelitian ini, untuk melihat adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input asing di pasar, digunakan kriteria Transfer Input TI. Adapun jenis input asing yang digunakan dalam perkebunan lada adalah pupuk anorganik urea, SP36TSP dan KCl. Jika nilai TI lebih besar dari nol positif artinya terdapat pajak atau tarif impor atas input asing tersebut, sehingga petani harus membeli input tersebut dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya.Sedangkan TI kurang dari nol, hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan Berdasarkan Tabel 12, kebijakan input yang tidak efektif juga menyebabkan terjadi transfer input produksi dari pedagang input ke petani lada yaitu bernilai negatif sebesar Rp. 6 060 221 per hektar, artinya terdapat subsidi pemerintah terhadap input asing. Bentuk subsidi dapat berupa insentif yang memberikan kemudahan dalam pengadaan saran dan prasarana pertanian. Sebagaimaan diatur dalam peraturan menteri pertanian, No. 32PermentanSR.13042010, tentang tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi HET pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Hal ini berdampak pada biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli input produksi pupuk urea, TSPSP36 menjadi rendah, karena harga input yang diterima petani lada putih pada kondisi harga privat lebih rendah bila dibandingkan dengan harga sosialnya terutama harga input pupuk. Tabel 12. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Input Lada Putih, Tahun 2011 No Indikator Nilai 1 Transfer Input TI Rpha - 6 060 221 2 Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI 0.56 3 Transfer Faktor TFRpha -11 850 766 Kriteria koefisien proteksi input nominal NPCI adalah indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI merupakan rasio biaya input tradable berdasarkan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCI kurang dari satu NPCI1 maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi input asing tradable sehingga produsen membeli dengan harga yang lebih rendah. Dari hasil analisis pada Tabel 12, memperlihatkan bahwa nilai NPCI untuk pengusahaan lada putih kurang dari 1NPCI 1 yaitu 0.56. Hal ini berarti bahwa harga input yang dibayar petani lebih rendah 44 persen dari harga dunia, artinya pemerintah melakukan kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable dengan menetapkan harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Kondisi ini berpengaruh pada tingkat pengusahaan lada putih, karena harga input produksi tradable yang rendah akan membantu meningkatkan pendapatan petani di provinsi Bangka Belitung. Kebijakan pemerintah dapat dilihat dari subsidi pupuk kepada petani sebagaimaan diatur dalam peraturan menteri pertanian, No.32PermentanSR.13042010 tentang tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi het pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Harga subsidi pupuk urea Rp. 1 600kg, Superphos SP-18TSP Rp. 2 000Kg, untuk pupuk Kcl tidak disubsidi pemerintah. Darwis dan Nurmanaf 2004 mengemukakan bahwa beberapa kebijakan strategis perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut masalah pupuk ditingkat usahatani, yaitu : 1 rasionalisasi penggunaan pupuk ditingkat petani, 2 rekomendasi pupuk berdasarkan analisis tanah spesifikasi lokasi, 3 peningkatan efektifitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik, dan 4 perbaikan standarisasi dan sertifikasi pupuk, dan pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga pupuk ditingkat petani. Indikator Transfer Factor TF diterapkan untuk menilai kebijakan pemerintah terhadap input domestik non tradable seperti tenaga kerja, lahan, pupuk organik, tiang panjat hidup. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai TF menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi positif dan negatif. Nilai transfer faktor positif menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable, sedangkan TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable atau dengan kata lain kebijakan pemerintah lebih memihak pada produsen atau petani lada putih. Berdasarkan Tabel 12, nilai Transfer Faktor TF bernilai negatif. Artinya bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak kepada produsen atau petani. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang memihak petani atau produsen seperti penyediaan subsidi bibit lada, pupuk organik dan tiangpanjat hidup. Selain itu, upah tenaga kerja pada harga sosial sebesar 0.6 persen lebih rendah dibandingkan upah tenaga kerja pada harga privat.

7.6.3. Dampak Kebijakan Input - Output Lada Putih

Untuk melihat dampak kebijakan input-output keseluruhan dapat digunakan beberapa indikator yaitu koefisien proteksi efektif EPC, transfer bersih net transfer, koefisien keuntungan PC dan rasio subsidi produsen SRP. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah dalam input-output terhadap usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung dapat dilihat pada Tabel 13. Koefisien proteksi efektif merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap input dan output tradable. EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi pengusahaan lada putih domestik. EPC merupakan rasio yang membandingkan antara nilai tambah input tradable pada tingkat harga privat dengan nilai tambah input tradable pada tingkat harga sosial. Nilai EPC yang lebih besar dari satu EPC 1, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output dan input dapat memberikan insentif kepada petani lada putih untuk berproduksi. Hasil analisispada Tabel 13 memperlihatkan bahwa nilai EPC pada pengusahaan komoditas lada putih di Provinsi Bangka Belitung kurang dari satu EPC 1 yaitu 0.89, artinya dampak kebijakan input-output terhadap usahatani lada putih belum berjalan secara efektif. Nilai tersebut menunjukkan bahwa petani lada putih cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga output tidak sesuai dengan harga seharusnya harga sosial. Kondisi ini membuktikan bahwa secara simultan kebijakan pemerintah terhadap input - output tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi. Dengan kata lain pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input - output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usaha perkebunan lada, sebab nilai tambah yang diperoleh petani privat lebih rendah dari yang seharusnya diterima yaitu 89 persen. Rendahnya nilai tambah petani disebabkan mekanisme pasar yang distortif, yaitu disatu sisi petani menerima harga input yang tinggi, sedangkan disisi lain petani juga menrima harga output yang rendah dari yang seharusnya, atau sebalikanya petani menerima input yang lebih rendah akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga output. Tabel 13. Dampak Kebijakan Harga Output dan Kinerja Pasar Pada Usahatani Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 No Indikator Nilai 1 Koefisien Proteksi Efektif EPC 0.89 2 Net Transfer NT Rpha - 4 274 632 3 Koefisien Profitabilitas PC 0.87 4 Koefisien Rasio Subsidi Produsen SRP - 0.026 Net Transfer NT atau transfer bersih mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani. Nilai NT positif menunjukkan bahwa tambahan surplus produsen disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Dalam siklus usaha sepuluh tahun, petani hanya menerima keuntungan privat Rp. 25 454 038 per hektar, jauh lebih rendah dari keuntungan sosial yang seharusnya diterima petani Rp. 29 728 670 per hektar, akibatnya petani harus menerima net transfer negatif sebesar Rp. 4 274 632 per hektar. Kondisi ini mencerminkan besarnya pengurangan surplus petani sebagai akibat kebijakan pemerintah, sehingga dalam hal ini petani dirugikan, atau dengan kata lain menunjukkan bahwa secara keseluruhan, usahatani lada putih mengalami inefisiensi dimana petani dirugikan oleh adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar input input tradable dan faktor domestik dan output. Koefisien profitabilitas PC menunjukkan perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan sosialnya. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing tradable, dan input domestik net policy transfer. Jika nilai PC lebih besar dari satu PC1, menunjukkan bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Tabel 13 menunjukkan nilai rasio PC sebesar 0.86, artinya bahwa kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen petani lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. Keuntungan yang diterima petani lada berkurang sebesar 14 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan pemerintah. Koefisien Rasio Subsidi Produsen SRP menunjukkan rasio dari net transfer dengan penerimaan sosialnya. Nilai rasio subsidi bagi produsen merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 13 menunjukkan SRP bernilai negatif yakni sebesar 0.026. Hal ini berarti terjadi arah transfer dari petani ke pemerintah atau konsumen. Dengan kata lain kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan lebih besar dari pada nilai tambah keuntungan yang dapat diterimanya. Petani atau produsen lada putih mengeluarkan biaya produksi lebih besar 2.6 persen dari opportunity cost untuk produksi sehingga terjadi pengurangan penerimaan. Lebih rendahnya nilai tambah yang diterima produsen daripada harga sosialnya yang seharusnya diterima kemungkinan disebabkan karena faktor – faktor : 1 tingkat permodalan petani yang terbatas berdampak pada pemenuhan harga input, 2 tingkat pendidikan masih rendah, berpengaruh terhadap adopsi tekhnologi, 3 pemberdayaan kelembagaan petani belum maksimal, 4 masih panjangnya rantai pemasaran, sehingga margin penjualan banyak dinikmati pedagang, dan 5 petani lebih menjual dalam produk primer, dan pengembangan diversifikasi produk belum berkembang.

7.7. Perubahan terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih