suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Adapun tujuan dari Indikasi Geografis IG adalah perlindungan terhadap produk, mutu dari produk, nilai tambah produk dan upaya pengembangan
pedesaan. IG merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual HKI memberikan perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang
terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Untuk menghasilkan Lada yang bermutu baik dalam pelaksanaan IG maka tahapan pra
produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran menuju ketentuan ISO 9000, 14000 sistem mutu dan keamanan pangan, serta aplikasi produksi dan
pengolahan berdasarkan GAPGFP Good AgricultureFarming Practices dengan Penggunaan benih unggul, Penerapan teknologi lada ramah lingkungan, menuju
lada organik menggunakan junjung hidup dan pupuk kompos dan bio pestisida.
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu
Sub bab ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi lada dan aspek-aspek yang berkaitan dengan analisis usahatani, daya saing
kompetitif dan komperatif dengan pendekatan Policy Analysis Matrix PAM yang sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.5.1. Studi Tentang Aspek Komoditi Lada
Penelitian yang dilakukan oleh Syam 2002 mengenai analisis efisiensi produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi lada di Bangka
Belitung. Metode analisis fungsi produksi frontier stokastik, hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani Lada masih menguntungkan bagi petani, rataan TE
Technological Efficiency untuk petani sampel lada adalah 0.71. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produksi lada, dari
segi sebaran TE Technological Efficiency, komoditas lada tidak memiliki sebaran yang merata. Ini berarti bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan
kapabilitas managerial sebagai faktor internal yang dapat mempengaruhi prosesfungsi produksi lada.
Elizabeth 2003 melakukan penelitian tentang keragaan komoditas lada Indonesia dengan pendekatan analisis diskriptif. Hasil penelitiannya memberikan
informasi bahwa tanaman lada yang ada di Indonesia lebih banyak diusahakan oleh petani dibandingkan perusahaan besar. Hal ini disebabkan oleh harga yang
tidak bisa diprediksi, baik di dalam negeri mapun di luar negeri sehingga tidak bisa memprediksi berapa keuntungan atau pendapatan yang ditargetkan. Hasil
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara volume produksi dengan harga dalam negeri.
Analisis penawaran dan permintaan Lada Putih Indonesia di pasar internasional yang dilakukan oleh Soebtrianasari 2008. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penawaran ekspor ada putih Indonesia ke Arnenika Serikat sangat dipengaruhi oleh produksi lada putih Indonesia, jumlah ekspor lada putih
Indonesia ke Amerika Serikat tahun sebelumnya dan harga riil ekspor lada putih Indonesia. Sedangkan untuk faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor lada
putih Indonesia ke Belanda, hanya peubah harga riil ekspor saja yang berpengaruh nyata. Pada jangka panjang, ekspon lada putih Indonesia ke Amenika Senikat
lebih responsif terhadap penuhahan produksi lada putih, sedangkan ekspor lada putih ke Belanda hanya responsive terhadap perubahan harga riil ekspor.
Marwoto 2003 melakukan penelitian tentang perkebunan lada rakyat kabupaten bangka : ketidakefisien dan ketidak berdayaan. Menggunakan analisis
finansial dan ekonomi, hasil penelitian menunjukan ketidakefisienan tercermin dari kecendrungan penurunan nilai NPV menjadi Rp. 2 148 648 dan BC sebesar
1.13 pada skala usaha 5 tahunan dan tingkat suku bunga 12 persen dengan PC sebesar 0.174, EPC sebesar 0.61, SRP sebesar 0.37, NT sebesar Rp -50 554
988, TO sebesar Rp. -22 652 569, NPCO sebesar 0.83, TI sebesar Rp. 19 352 505 dan nilai NPCI sebesar 1.67.
2.5.2. Studi Tentang Aspek Usahatani Lada
Nurasa 2006 melakukan penelitian tentang analisis kelayakan finansial lada putih di Bangka, metode analisis menggunakan analisis input-output untuk
mendapatkan nilai Biaya Beneficial Cost Ratio BC Ratio, Net Present Value NPV, dan Internal Rate Of Return IRR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
pada tahun keempat, tanaman lada mulai berproduksi dengan nilai produksi mencapai Rp. 7 682 000 juta dan pendapatan sebanyak Rp. 4 376 000 juta. Nilai
produksi tertinggi terjadi pada tahun keenam, yaitu mencapai Rp. 9 849 000 juta dengan nilai pendapatan sebanyak Rp.7 816 000 juta. Sedangkan nilai produksi
terendah dicapai pada tahun kesepuluh, yaitu mencapai Rp 5 318 000 juta dengan nilai pendapatan mencapai Rp. 3 028 000 juta. Pada tingkat bunga 24 persen
keuntungan bersih NPV usahatani mencapai Rp. 0.27 juta per hektar dengan nilai BC Ratio sebesar 1.02. Sedangkan pada tingkat bunga 30 persen, usahatani
akan mengalami kerugian sebanyak Rp. 2.0 juta per hektar dengan nilai BC Ratio
sebesar 0.83. Pada tingkat input-output aktual, titik impas usahatani lada berada pada nilai IRR sebesar 24.63 persen.
Dewi et al, 2003, melakukan penelitian peningkatan pendapatan petani lada melalui perbaikan sistem usahatani, metode analisa usahatani, menunjukan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produksi lada yang diperoleh petani yang berusahatani secara terpadu antara lada dengan ternak kambing berbeda
156.63 persen atau berbeda 379.81 kgha dengan produksi petani lada monokultur. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh dari usahatani lada
berbeda 341.85 persen atau secara nominal sebesar Rp. 5 536 919.23 per tahun. Usaha ternak kambing pada sistem usahatani lada dapat menekan biaya produksi
usahatani lada sebesar Rp. 1 942 400 per tahun atau 50.54 persen dari total biaya produksi. Meskipun masih merupakan usaha sampingan ternak kambing mampu
memberikan kontribusi pendapatan sebesar 27.18 persen dari total pendapatan petani.
Sitanggang 2008, Analisis Usahatani Dan Tataniaga Lada Hitam Studi Kasus : Desa Lau Sireme, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi, hasil
penelitian menunjukan : 1. teknologi yang digunakan masih bersifat sederhana tradisional dan ketersediaan input produksi bibit, pupuk, obat-obatan dan
tenaga kerja cukup tersedia di daerah penelitian, 2. besar volume produksi, biaya produksi, penerimaan, pendapatan usahatani, pendapatan keluarga per
tahun dan kelayakan usahatani. Rata-rata jumlah produksi 54.89 Kg, Produktivitas usahatani 359.38 KgHa, produktivitas tenaga kerja 29.86 KgHKP,
biaya produksi Rp. 5 783 656.04Ha, penerimaan Rp. 10 062 626.27Ha, pendapatan usahatani Rp. 4 278 970.23Ha, pendapatan keluarga Rp. 6 987
026.61Ha. Usahatani lada di daerah penelitian layak diusahakan secara finansial. Hal ini terlihat dari perhitungan analisis NPV sebesar 19 086 542.94; Net BC
sebesar
4.62, IRR
sebesar
44.39 persen.
2.5.3. Studi Tentang Aspek Daya Saing
Model PAM Policy Analysis Matrix pertama kali dikemukakan oleh Monke dan Pearson 1989. Matriks ini telah banyak digunakan secara luas pada
penelitian empiris kebijakan pertanian antara lain studi yang mengungkapkan daya saing kompetitif dan komperatif yang telah dilakukan oleh Nurasa 2002
Secara ekonomi usahatani lada putih siklus 7 tahun yang didasarkan pada net present value
NPV di Bangka-Belitung memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih kecil dari satu 0.36. Pengembangan
usahatani lada putih domestik hanya membutuhkan alokasi korbanan sumberdaya di dalam negeri lebih kecil dari 1 US, yaitu US 0.36. Demikian pula
keunggulan kompetitif usahatani lada putih cukup memadai sebagaimana ditunjukkan oleh nilai PCR yang kurang dari satu. Gambaran ini mengisyaratkan
bahwa usahatani lada putih layak untuk dikembangkan mengingat korbanan biaya domestik yang dibutukan relatif rendah, dan cenderung efisien dalam pemanfaatan
sumberdaya. Sudarlin 2008, menganalisis daya saing pengusahaan komoditi lada putih
Muntok White Pepper kasus di kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka Selatan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di
Kecamatan Airgegas baik secara finansial maupun ekonomi sangat menguntungkan dengan nilai keuntungan privat dan sosial masing-masing lebih
besar dan nol positif untuk setiap tahun produksi. Selain itu, pengusahaan
komoditi tersebut juga memiliki daya saing keunggulan kompetitif dan komparatif yang ditunjukkan oleh nilal PCR dan DRCR kurang dan satu untuk
masing-masing tahun produksi. Keunggulan kompetitif dan komparatif tertinggi tercapal pada tahun ke-4 dengan nilai PCR dan DRCR yaitu sebesar 0.22 dan
0.18. Hal ini menandakan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di Kecamatan Airgegas layak untuk dijalankan dan dikembangkan baik tanpa atau dengan
adanya kebijakan pemenintah. Marlinda B 2008 melakukan penelitian analisis daya saing lada
Indoensia di pasar internasional, metode analisis Herfindahl Index dan Revealed Comparative Advantage
RCA. Berdasarkan analisis nilai RCA komoditi lada Indoensia memiliki keunggulan komparatif yang mempunyai nilai RCA lebih dari
satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 14.32 tetapi daya saingnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam.
Desianti 2002 melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas dan daya saing kopi robusta. Hasil analisis
menunjukan, analisis per hektar menunjukkan bahwa profitabilitas perkebunan rakyat secara finansial dan ekonorni di seluruh wilayah menguntungkan. Hasil
analisis daya saing per hektar menunjukkan seluruh wilayah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang berarti setiap wilayah mampu membiayai sistem
produksi kopi lebih murah dibandingkan jika mengimpor kopi.
2.5.4. Studi Tentang Aspek Kebijakan
Studi tenatang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi, dengan menggunakan matrik analisis
kebijakan PAM. Matriks ini telah banyak digunakan secara luas pada penelitian
empiris kebijakan pertanian antara lain studi yang mengungkapkan Sudarlin 2008, menunjukan bahwa dampak kebijakan terhadap output yang ditunjukan
oleh nilai Koefiisen Proteksi Output Nominal NPCO untuk masing-masing tahun produksi yang sama yaitu NPCO 1 sebesar 0.96, artinya petani menerima
harga lebih murah dari harga dunia, dimana harga jual lada putih ditingkat petani 4 persen lebih murah dari harga output yang seharusnya diterima. Dampak
kebijakan terhadap input ditunjukan nilai NPCI1 yakni antara 0.77 - 0.8, artinya harga input produksi yang dibayar petani lada lebih rendah 19 sampai 23 persen
dari harga dunia terutama harga pada input pupuk. Sedangkan kebijakan terhadap input dan output tradable, ditunjukan nilai EPC 1, menunjukan bahwa petani
lada cendrung membayar input tradable dan menjual harga output tidak sesuai dengan harga seharusnya harga sosial. Secara simultan kebijakan pemerintah
terhadap input-output tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada untuk berproduksi.
Desianti 2002 menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas dan daya saing kopi robusta, hasil penelitian menunjukan dari hasil
kebijakan input domestik lahan, tenaga kerja, dan alat pertanian kecil menunjukan bahwa pemerintah masih melindungi produsen faktor domestik, hal
ini ditunjukan dengan terjadinya transfer pendapatan dari petani kepada produsen faktor domestik pada seluruh wilayah pengamatan.
Hasil Analisis PAM yang dilakukan Mayrita 2007 terhadap jagung lahan kering dan lahan sawah di Sumatera Utara menghasilkan nilai NPCI 1, yaitu
0.94756. Kebijakan input produksi, seperti subsidi pupuk dan subsidi benih ternyata tidak efektif. Terbukti harga input yang harus dibayar petani jagung baik
pada lahan sawah irigasi maupun lahan kering masing-masing 0.84 persen dan 0.58 persen lebih tinggi dan harga seharusnya dibayar petani. Hal ini terlihat dan
nilai NPCI 1, yaitu 1.00840 pada lahan sawah dan 1.00576 pada lahan kering. Secara keseluruhan kebijakan pemenintah dan kinerja pasan jagung di Indonesia
tidak melindungi petani jagung berproduksi. Novianti 2003 menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya
saing komoditas unggulan sayuran dengan menggunakan PAM menunjukan bahwa mengindikasikan tidak adanya insentif ekonomi terhadap usahatani
kentang dan kubis berupa proteksi harga input maupun Output, namun intervensi berupa usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar masih perlu
dilakukan untuk mengurangi fluktuasi harga yang terjadi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian - penelitian sebelumnya
diantaranya penelitian Sudarlin 2008 yaitu : 1 lingkup lokasi penelitian adalah Provinsi Bangka Belitung dimana sentra lada putih terdapat pada Kabupaten
Bangka Barat, Kabupaten Bangka Selatan dan Kabupaten Belitung 2 pola budidaya dalam penelitian ini sudah menerpakan konsep Good Agriculture
Practice GAP dengan menggunakan tiang panjat hidup menuju lada ramah
lingkungan, 3 sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder pada tahun 2009 - 2010, 4 responden dalam penelitian ini adalah petani yang
telah menggunakan tiang panjat hidup dalam usahataninya, dan 5 penelitian ini dilakukan setelah adanya kebijakan gerakan pengembangan lada putih
GERBANG LATIH di Provinsi Bangka Belitung.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Pengertian dan Teori Daya Saing
Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi,
menjual dan menyediakan barang-barang dan jasa kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep
daya saing bisa juga diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan
suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang
terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan
kelanjutan biaya produksinya Simanjuntak, 1992. Konsep daya saing pada tingkat nasional adalah produktivitas.
Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu tenaga kerja atau modal. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup negara yang
berjangka panjang. Produktivitas adalah akar penyebab pendapatan per kapita nasional Cho dan Moon, 2003. Daya saing diidentikkan dengan produktivitas
atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan dalam proses produksi.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu