Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Mars ialah Suhar. Suhar berkeinginan untuk menguasai dan
merampas tanah Mojokuto dan berambisi untuk menikahi Sun. c
Peran Sun, tokoh atau apapun yang menjadi sasran perjuangan Lion
dan juga yang ingin didapatkan Mars. Merupakan apa yang diinginkan dan diperjuangkan oleh Lion dan Mars.
Dalam naskah Cannibalogy Sun diperankan oleh Sinta Salim dan Tanah Mojokuto, karena kedua hal tersebut yang sedang di
perjuangkan oleh peran Lion dan Mars. d
Peran Earth, yaitu peran atau tokoh apapun yang menerima hasil perjuangan Lion atau Mars. Jika Lion berjuang untuk dirinya
sendiri, maka Lion dapat berperan sebagai Earth. Begitu juga Mars, jika ia berjuang untuk dirinya sendiri maka sekaligus sebagi Earth.
Dalam naskah Cannibalogy yang berperan sebagai Earth ialah rakyat Mojokuto, hal tersebut dikarenakan dalam naskah Cannibalogy peran
Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan Olanda.
e Peran Scale, yaitu peran yang menghakimi, memutuskan,
menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi dalam drama. Biasanya pertengahan antara Lion dan Mars.
Dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Scale ialah Mas Ageng Rais. Mas Ageng merupakan sosok penguasa dalam naskah ini
yang berhak memberikan keputusan layaknya hakim. f
Peran Moon, yaitu peran yang bertugas sebagai penolong. Bisa saja Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas
menolong Mars. Di dalam kondisinya akan muncul banyak variasi peran. Tidak menutup kemungkinan peran Moon yang membatu Sun,
Earth, dan Scale.
43
Dalam naskah Cannibalogi Peran Moon dapat
43
Hasanuddin, op.cit., h. 81.
digambarkan pada sosok Landless yang memuluskan jalan Suhar menuju kekuasaan.
Ketiga, sistem perwatakan. Tokoh watak atau karakter dalam
drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi
sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta alur cerita.
Keempat, tindakan. Dalam menjalankan peran dan perwatakannya,
tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi, meliputi: 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani
atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau
rohanni, seperti mentalitas, tempramen, cipta, rasa, krasa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan
sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat,
agama, ideology, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul
sosial. Perwatakan atau penokohan juga memiliki dasar-dasar tersendiri.
Watak hendaklah bergerak bebas tanpa mendapat gangguan meski dari penulisnya sendiri. Adalah suatu perbuatan yang kurang etis, apabila sang
dramawan masuk menyusup ke dalam diri watak. Jadilah watak itu sebagai boneka dan dialog yang diucapkan adalah ucapan sang
dramawannya sendiri.
44
44
Suyadi San, op.cit., h.12.
Sependapat dengan Suyadi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya menyampaikan bentuk komunikasi dalam naskah drama secara skematik
yang diadaptasi dari Luxemburg sebagai berikut :
pengarang pembaca
Di dalam teks yang bicara adalah aktor atau pelaku, bukan pencerita seperti halnya dalam prosa rekaan. Pengarang menyerahkan
segalanya kepada pelaku, demikian juga pembaca langsung berhadapan dengan pelaku. Pelaku bisa bergantian peran sebagai pembicara dan
pendengar. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya hubungan tidak langsung antara pengarang dan aktor serta komunikasi
aktor dan pembaca.
45
Sesuatu yang unik dalam kedudukan watak pada drama ialah bahwa antara watak-watak dalam drama tidak harus ada persamaan atau
penerimaan. Setiap watak mempunyai posisinya tersendiri dan bergerak menurut kemauannya sendiri. Ia tidak boleh menjadi bayang-bayang
watak yang lain. Menciptakan pelakon atau tokoh adalah mudah, tetapi menciptakan watak teramat sukar.
Watak yang dinamis, yang berani, yang lebih bijak dari audien, yang lebih pintar dan mempunyai unsur-unsur keuniversalan sangat
penting bagi perwatakan dalam sebuah drama. Jika terdapat watak yang seperti ini, niscaya sebuah drama itu akan menjanjikan nilai dan mutu.
Sebaliknya watak yang statis, menyerah, kalah, dan dialognya juga lemah, akan menjadikan drama itu tidak menarik dan menjemukan.
45
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teaori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo, 2008.h. 163. aktor
aktor
Kebulatan watak akan muncul dari sudut fisik, mental, dan tindakannya. Audien akan mengenali mereka dari data-data tersebut. Di
samping itu gambaran-gambaran yang bercorak sosial, seperti pekerjaannya, sosialisasinya, agamanya, politiknya, dan sebagainya akan
lebih menolong menjadikan ia watak yang bulat. Apalagi jika sifat kejiwaan atau psikologi membantunya sehingga dapat dikemukakan cita-
citanya, perangainya, dan tindakannya; ini akan lebih menguatkan perwatakan.
46
b. Alur
Permasalahan yang terkandung dalam drama akan membangun lakon lebih jelas dan konkret, selain dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh
atau sekelompok tokoh yang melakoni peran yang berbeda, dapat pula dibangun melalui laku. Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan
tokoh-tokoh, selanjutnya gerakan serta tindakan para tokoh dapat membentuk atau membangun suatu peristiwa.
Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja secara tiba-tiba atau
serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh
suatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi.
47
Oleh sebab itu, usaha untuk memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan
memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh. Pada akhirnya, pembaca dapat menemukan sebuah peristiwa yang
nantinya berhubungan satu sama lain tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut dengan alur
atau plot.
46
Suyadi San, op.cit., h.12.
47
Ibid., h. 86.
Alur sebagai rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat. Jika hubungan kausalitas
peristiwa terputus, dengan peristiwa yang lain, maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas
sesama peristiwa yang terdapat dalam naskah drama. Karakteristik alur drama dikategorikan menjadi dua, yakni alur
konfensional dan non konfensional. Pengertian alur konfensional ialah dimana peristiwa yang disajikan terlebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya
peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan alur nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runtutan sebagaimana
alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonfensional tidak mempunyai keteraturan. Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur,
tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk di dalamnya.
48
Selain karakteristik alur drama seperti di atas, terdapat tahapan lain yang terlihat lebih rinci, hal tersebut seperti yang dikemukakan Tasrif dalam
Nurgiantoro. Tasrif membedakan tahapan alur menjadi lima bagian. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1 Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh -tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain
yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
2 Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan
peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi,
48
Ibid. , h. 90
tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang
dikemukakan di atas. 3
Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. 4
Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan- pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh -tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama. 5
Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik
yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir
di atas.
49
Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk diagram. Diagram struktur yang dimaksud biasanya didasarkan pada
urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Seperti yang digambarkan oleh Jones dalam Nurgiantoro.
49
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi,Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013 h.149.
Klimaks
Inciting Forces + Pemecahan
Awal Tengah
Akhir
Keterangan: Konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan Konflik dan keegangan mulai dikendorkan
+ Inciting force menyaran pada hal-hal yang semakin meningkatkan konflik sehingga akhirnya mencapai
klimaks. Diagram di atas menggambarkan perkembangan plot yang runtut dan
kronologis. Jadi sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis konfensional itu.
50
c. Latar dan Ruang
Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika
permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku.
Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan
alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat menunjang alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik.
Ruang merupakan unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar. Ruang juga menyangkut tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk
50
Ibid., h. 151.